Saturday, May 14, 2016

Makalah Ulumul Hadits 2 Riwayah bil Lafdzi dan Riwayah bil ma’na

I.                  PENDAHULUAN
A.   Latar belakang Masalah
Berdasarkan bukti histories ini menggambarkan bahwa periwayatan dan perkembangan hadist sejalan seiring dengan perkembangan lainnya menatap persektif keilmuan hadits bergambar jelas bahwa ajaran hadits ternyata mempunyai andil besar dalam mendorong kemajuan umat islam. Sebab hadist nabi sebagaimana Al Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan dengan demikian disiplin ilmu hadits justru menybabkan kemajuan umat islam.
Dengan demikian menempatkan posisi yang perlu pengkajian secara komfrehensif untuk menjamin keasliannya. Periwayatan hadits telah menempuh rentang waktu yang amat panjang. Bahkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya yang berjudul al-sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Buchari dalam Kaidah Keshahihan Matan hadits mengungkapkan bahwa kodifikasi hadits (tadwin) hadits secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan tenggang waktu sekitar 90 tahun sesudah Nabi SAW wafat.[1]
Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi rujukan dalam hukum islam , tentu memerlukan suatu cabang Ilmu yang lazim disebut Ilmu Ushulul Hadits atau Ilmu Hadits, Dengan Ilmu tersebut kita dapat menggali sumber-sumber Hukum Islam yang banyak terkandung dalam Hadits. Disamping sebagai sumber kedua dalam hukum Islam Hadits juga sebagai media dalam memahami Al Qur’an karena tidak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat Global dijelaskan dalam Hadits Nabi.
Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya.  sebab studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan lafadz (riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya (riwayat bi al-ma’na), menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.
B.   Rumusan Masalah
1.      Pengertian Riwayat
2.      Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh dan Contohnya
3.      Pengertian Riwayah bil ma’na dan Contohnya
II.               PEMBAHASAN
A.   Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).[2]
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.[3]
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada yang lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.[4]
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan   rawi (periwayat).
  2. Apa yang diriwayatkan.
  3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad).
  4.  Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
  5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
B.   Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh dan Contohnya
riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh  sering juga disebut dengan periwayatan secara lafzhi.[5] Munzier Suparta memberikan terminologi  periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.[6]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian  tentang   riwayat bi al-lafzh yaitu redaki suatu hadits yang diriwayatkan  tersebut sama persis seperti yang disampaikan rasulullah. Contoh hadis yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Saibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ishaq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud).
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib.
Dimuka telah diketahui bahwa karena perbedaan cara-cara perawi menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pula lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan hadits.
Secara garis besar Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits, itu dapat dikelompokan kepada dua kelompok yakni :
Pertama : lafadh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar lansung dari gurunya. lafadh-lafadh itu tersusun sebagai berikut :
سمعت سمعنا
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya
Kemudian
حدثنا حدثني
Dibawah  Tahdits
اخبرني, اخبرنا
Kemudian
انبعنا , نبعنا
kedua lafadh ini jarang sekali pemakaiannya terakhir
ذكر لي فلان, ذكر لنا فلان
disamping lafadh-lafadh diatas kadang kita jumpai
قال حدثنا  berarti  فثنا
قال حدثني  berarti  فثني
Kedua : lafadh riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri yaitu :
روي, حكي, عن, أن.....
C.   Riwayah bil ma’na
1.      Pengertian
Pengertian riwayah bil ma’na adalah suatu hadis yang redaksinya disusun sendiri oleh perawi tanpa merubah makna.
2.      Hukum periwayatan bil ma’na
Sebagian ulama’ hadis menolak periwatan bil ma’na tetapi ada yang membolehkannya dengan syarat yaitu jika perawinya ahli dalam bidang bahasa dan sering memberikan fatwa. Dalam buku yang berjudul kaedah kesahihan sanad hadis memberikan ketentuan yang telah disepakati dalam meriwayatkan hadis bilma’na diantaranya :
a)      Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benarmemiliki pengetahuan b.arabyang mendalam
b)      Periwayatan dilakukan karena sangat terpaksa
c)      Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda nabi dalam bentukbacaan yang sifatnya ta’abudi, misalnya dikir, do’a , azan, takbir, dan syahadat,, seta bukan sabda nabi dalam bentuk jawami’ul kalam.
d)     Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna  atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan agar menambahkan kata-kata  أوكما قال atau  أو نحو هذا .
e)      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi.
Para sahabat nabi umumnya memperbolehkan periwayatan hadisdengan makna. Diantara mereka itu ialah Ali bin abi thalib, Abdullah bin abban, abdullah bin masud, anas bin malik, abu darda’, abu hurairah dan aisyah. Sebagian kecil sajadari kalangan sahabatcukup ketat berpegang pada periwayatan dan lafal.di antaranya adalah umar bin khatab, abdullah bin umar bin kkhatab, dan zaid arqam. Walaupun demikian, mereka yang ketat berpegang pada periwayatan secara lafal itu tidaklah melarang secara tegas sahabat lain meriwayatkan hadis secara makna.tampaknya mereka memahami bahwa bagaimanapun juga memang sangat sulit seluruh apa yag disabdakan nabi diriwayatkan secara llangsung secara lafal.
Ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat nabi meriwayatkan hadis secara makna. Abu bakar arabi(wafat 573 H= 1148 M) berpendapat, selain sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara ma’na. Menurut ianu alarabi, sahabat nabi diperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna, karena mereka itu ;1. Memiliki pengetahuan b.arab yang tinggi ( alqashashah wal balaghah) dan 2. Menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan nabi.    
3.      Contoh periwayatan hadis bi ma’na
Hadis tentang niat beramalal- bukhari, muslim, abu dawud, at-turmudzi, al-nasa’i, ibnu majjah, dan lain-lain. , telah meriwayatkan hadis tersebut. Nama sahabat Nabi berstatus sebagai saksi pertama untuk seluruh sanad hadis itu adlah umar bin khotob.  Dalam shahih bukhari hadis dimaksud termuat tujuh tempat. Nama-nama periwayatnya untuk tujuh sanad sama dithobaqotnya (tingkatan) pertama sampai dengan thobaqot keempat. Yakni : umar bin khotob, alaqamah bin waqashal-laysiy; nuhammad bin ibrahimbin alharis al-taymiy dan yahya bin sa’id alsahriy. Kemudian di tabhaqat kelima telah terjadi perbedaan nama periwayat. Yakni sofyan, dalam hal ini bin ‘uyaynah malik bin anas, abdul wahab dan hammad bin zayd dithabaqat keenam yakni sebelum albukhari, nama-nama periwayatnya diketujuh sanad tersebut berbeda juga. Yakni alhumaydiy ‘abd allah bin azzubair, ‘abda Allah  bin maslamah, muhammad bin katsir musaddad, yahya bin qaz’ah, qutaibah bin sa’id dan abual-nu’man.
Ternyata, matan hadis dari tujuh sanad al-bukhori tersebut terdapat perbedaan redaksi. Di awal matannya saja, telah ada perbedaan-perbedaan susunan. Dalam hal ini ada lima macam susunan.[7]
إنما الأعمال بالنيات
الأعمال بانية
العمل بالنية
إنما الأعمال بالنية
ياأيها الناس إنما الأعمال بالنية

III.           PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1.      Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadis secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2.      Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa) disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara makna.
3.      Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4.      Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,     namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan diutamakan.
5.      Penulisan periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6.      Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan melakukan periwayatan secara makna.
B.   Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini pemakalah buat, kritik dan saran dari kawan-kawan merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.
Terima kasih atas segala perhatian, mohon maaf bilamana ada kesalahan, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…





IV.           DAFTAR PUSAKA

M., Buchari., Kaidah Keshahih-an Matn Hadits, Padang, Penerbit Azka, 2004.
Ma’luf, Luwis, al-Munjid  fi al-Lughah, 1973. Beirut: Dar  al-Masyriq.
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena.
Suparta,  Munzier Ilmu hadis, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Ajjaj  Al-Khatib, Muhammad,  Ushul Hadits ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Darul Fikr,           1963.
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.


[1] Buchari.M., Kaidah Keshahih-an Matn Hadits, ed.I, (Padang:Penerbit Azka, 2004), h. 1
[2] Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, (Ttp: Maktabah Libnan, tt), dan  Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h.289.
[3] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[4] A.Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.178
[5] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 79
[6] Munzier Suparta, Ilmu hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. Ke-I, h. 83
[7] Ahmad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan  Sanad Hadis,  Bulan  Bintang,  Jakarta, 1995h. 81

No comments:

Post a Comment