I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang Masalah
Berdasarkan bukti histories ini menggambarkan bahwa periwayatan dan
perkembangan hadist sejalan seiring dengan perkembangan lainnya menatap
persektif keilmuan hadits bergambar jelas bahwa ajaran hadits ternyata
mempunyai andil besar dalam mendorong kemajuan umat islam. Sebab hadist nabi
sebagaimana Al Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut
pengetahuan dengan demikian disiplin ilmu hadits justru menybabkan kemajuan
umat islam.
Dengan demikian menempatkan posisi yang perlu pengkajian secara
komfrehensif untuk menjamin keasliannya. Periwayatan hadits telah menempuh
rentang waktu yang amat panjang. Bahkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam
bukunya yang berjudul al-sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana yang dikutip oleh
Buchari dalam Kaidah Keshahihan Matan hadits mengungkapkan bahwa kodifikasi
hadits (tadwin) hadits secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan
pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan
tenggang waktu sekitar 90 tahun sesudah Nabi SAW wafat.[1]
Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi
rujukan dalam hukum islam , tentu memerlukan suatu cabang Ilmu yang lazim disebut
Ilmu Ushulul Hadits atau Ilmu Hadits, Dengan Ilmu tersebut kita dapat menggali
sumber-sumber Hukum Islam yang banyak terkandung dalam Hadits. Disamping
sebagai sumber kedua dalam hukum Islam Hadits juga sebagai media dalam memahami
Al Qur’an karena tidak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat Global
dijelaskan dalam Hadits Nabi.
Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan banyak
mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang
apriori terhadap otentisitasnya. sebab
studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang
krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap
keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus
dengan lafadz (riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah
cukup dengan maknanya (riwayat bi al-ma’na), menjadi isu penting
dikalangan ulama hadis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Riwayat
2. Pengertian Riwayat
Bi Al-Lafzh dan Contohnya
3.
Pengertian
Riwayah bil ma’na dan Contohnya
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riwayat Bi Al-Lafzh Wa Bi Al Ma’na
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih
dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau
al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan
periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat
berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan
al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).[2]
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang
dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu.[3]
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan
kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan
demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang
sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya
kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan
penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya
dari rasul atau sahabat kepada yang lain seperti apa yang didengarnya tanpa
disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan.
Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi
hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.[4]
Beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadis adalah sebagai
berikut:
- Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat).
- Apa yang diriwayatkan.
- Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad).
- Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
- Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
B. Pengertian Riwayat
Bi Al-Lafzh dan Contohnya
riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan
menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh sering juga disebut dengan periwayatan secara lafzhi.[5]
Munzier Suparta memberikan terminologi periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan
hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.[6]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat
penulis simpulkan bahwa pengertian
tentang riwayat bi al-lafzh
yaitu redaki suatu hadits yang diriwayatkan
tersebut sama persis seperti yang disampaikan rasulullah. Contoh hadis
yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو
خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar
bin Abu Saibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari
al-Ajlah dari Abu Ishaq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda :
Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan
memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud).
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي
اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان
الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو
خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله
صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور
قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول
الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa
dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad
hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib.
Dimuka telah diketahui bahwa karena
perbedaan cara-cara perawi menerima hadits dari guru yang memberikan, maka
berbeda pula lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan hadits.
Secara garis besar Lafadh-lafadh untuk
menyampaikan hadits, itu dapat dikelompokan kepada dua kelompok yakni :
Pertama : lafadh meriwayatkan hadits
bagi para rawi yang mendengar lansung dari gurunya. lafadh-lafadh itu tersusun
sebagai berikut :
سمعت
سمعنا
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang
diriwayatkan tinggi martabatnya
Kemudian
حدثنا
حدثني
Dibawah Tahdits
اخبرني,
اخبرنا
Kemudian
انبعنا
, نبعنا
kedua lafadh ini jarang sekali
pemakaiannya terakhir
ذكر
لي فلان, ذكر لنا فلان
disamping lafadh-lafadh diatas kadang
kita jumpai
قال
حدثنا berarti فثنا
قال
حدثني berarti فثني
Kedua : lafadh riwayat bagi rawi yang
mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri yaitu :
روي,
حكي, عن, أن.....
C.
Riwayah bil ma’na
1.
Pengertian
Pengertian riwayah
bil ma’na adalah suatu hadis yang redaksinya disusun sendiri oleh perawi tanpa
merubah makna.
2.
Hukum periwayatan bil ma’na
Sebagian ulama’ hadis menolak periwatan
bil ma’na tetapi ada yang membolehkannya dengan syarat yaitu jika perawinya
ahli dalam bidang bahasa dan sering memberikan fatwa. Dalam buku yang berjudul
kaedah kesahihan sanad hadis memberikan ketentuan yang telah disepakati dalam
meriwayatkan hadis bilma’na diantaranya :
a)
Yang boleh meriwayatkan hadis secara
makna hanyalah mereka yang benar-benarmemiliki pengetahuan b.arabyang mendalam
b)
Periwayatan dilakukan karena sangat
terpaksa
c)
Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah
sabda nabi dalam bentukbacaan yang sifatnya ta’abudi, misalnya dikir, do’a ,
azan, takbir, dan syahadat,, seta bukan sabda nabi dalam bentuk jawami’ul
kalam.
d)
Periwayat yang meriwayatkan hadis secara
makna atau yang mengalami keraguan akan
susunan matan hadis yang diriwayatkan agar menambahkan kata-kata أوكما قال atau أو نحو هذا .
e)
Kebolehan periwayatan hadis secara makna
hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi.
Para sahabat nabi umumnya memperbolehkan
periwayatan hadisdengan makna. Diantara mereka itu ialah Ali bin abi thalib, Abdullah
bin abban, abdullah bin masud, anas bin malik, abu darda’, abu hurairah dan
aisyah. Sebagian kecil sajadari kalangan sahabatcukup ketat berpegang pada
periwayatan dan lafal.di antaranya adalah umar bin khatab, abdullah bin umar
bin kkhatab, dan zaid arqam. Walaupun demikian, mereka yang ketat berpegang
pada periwayatan secara lafal itu tidaklah melarang secara tegas sahabat lain
meriwayatkan hadis secara makna.tampaknya mereka memahami bahwa bagaimanapun
juga memang sangat sulit seluruh apa yag disabdakan nabi diriwayatkan secara
llangsung secara lafal.
Ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain
sahabat nabi meriwayatkan hadis secara makna. Abu bakar arabi(wafat 573 H= 1148
M) berpendapat, selain sahabat nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara
ma’na. Menurut ianu alarabi, sahabat nabi diperbolehkan meriwayatkan hadis
secara makna, karena mereka itu ;1. Memiliki pengetahuan b.arab yang tinggi (
alqashashah wal balaghah) dan 2. Menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan
nabi.
3.
Contoh periwayatan hadis bi ma’na
Hadis tentang niat beramalal- bukhari,
muslim, abu dawud, at-turmudzi, al-nasa’i, ibnu majjah, dan lain-lain. , telah
meriwayatkan hadis tersebut. Nama sahabat Nabi berstatus sebagai saksi pertama
untuk seluruh sanad hadis itu adlah umar bin khotob. Dalam shahih bukhari hadis dimaksud termuat
tujuh tempat. Nama-nama periwayatnya untuk tujuh sanad sama dithobaqotnya
(tingkatan) pertama sampai dengan thobaqot keempat. Yakni : umar bin khotob,
alaqamah bin waqashal-laysiy; nuhammad bin ibrahimbin alharis al-taymiy dan
yahya bin sa’id alsahriy. Kemudian di tabhaqat kelima telah terjadi perbedaan
nama periwayat. Yakni sofyan, dalam hal ini bin ‘uyaynah malik bin anas, abdul
wahab dan hammad bin zayd dithabaqat keenam yakni sebelum albukhari, nama-nama
periwayatnya diketujuh sanad tersebut berbeda juga. Yakni alhumaydiy ‘abd allah
bin azzubair, ‘abda Allah bin maslamah,
muhammad bin katsir musaddad, yahya bin qaz’ah, qutaibah bin sa’id dan
abual-nu’man.
Ternyata, matan hadis dari tujuh sanad
al-bukhori tersebut terdapat perbedaan redaksi. Di awal matannya saja, telah
ada perbedaan-perbedaan susunan. Dalam hal ini ada lima macam susunan.[7]
إنما
الأعمال بالنيات
الأعمال
بانية
العمل
بالنية
إنما
الأعمال بالنية
ياأيها
الناس إنما الأعمال بالنية
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
kajian di atas maka dapat diperoleh poin-poin sebagai berikut :
1.
Dengan
ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW, dengan tidak
mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadis
secara lafdzi. Hadis yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama
sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2.
Dengan
pengertian atau maksudnya, sedangkan lafaz dan ucapan (susunan bahasa) disusun
sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadis secara
makna.
3.
Periwayatan
hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara
kemurnian dan keotentikan hadis.
4.
Meskipun
pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna, namun menuntut persyaratan berat bagi
perawinya dan periwayatan hadis dengan lafaz lebih diprioritaskan dan
diutamakan.
5.
Penulisan
periwayatan hadis secara makna hanya boleh dilakukan oleh mereka yang
benar-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi mereka yang syaratnya belum
mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan periwayatan secara makna. Hal ini
untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan yang otentik tanpa campur tangan
manusia yang mau merubah (memalingkan) isi hadis tersebut.
6.
Harus
memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang baku bagi mereka yang akan melakukan
periwayatan secara makna.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini pemakalah
buat, kritik dan saran dari kawan-kawan merupakan sebuah keniscayaan untuk
melengkapi makalah ini.
Terima kasih atas segala perhatian,
mohon maaf bilamana ada kesalahan, wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh…
IV.
DAFTAR PUSAKA
M., Buchari., Kaidah Keshahih-an Matn Hadits, Padang, Penerbit
Azka, 2004.
Ma’luf, Luwis, al-Munjid fi
al-Lughah, 1973. Beirut: Dar al-Masyriq.
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988.
Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena.
Suparta, Munzier Ilmu hadis, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Ajjaj Al-Khatib, Muhammad, Ushul Hadits ulumuhu wa
Mustalahuhu, Beirut: Darul Fikr, 1963.
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 2005.
[1] Buchari.M., Kaidah Keshahih-an
Matn Hadits, ed.I, (Padang:Penerbit Azka, 2004), h. 1
[2] Butrus al-Bustaniy, Kitab
al-Quthr al-Muhith, (Ttp: Maktabah Libnan, tt), dan Luis Ma’luf, Al-Munjid
fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h.289.
[3] M.Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[4] A.Rahman
Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.178
[5] M.Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 79
[6] Munzier Suparta, Ilmu hadis, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. Ke-I, h. 83
[7] Ahmad Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1995h.
81
No comments:
Post a Comment