BAB I
PEDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Farid Essack
meruapak salah satu bagian dari penafsir yang kontemporer dari Afrika Selatan
yang mampu memperjuangkan pembebasan setiap penduduk di Afrika Selatan dari
pemerintahan Apartheid. Serta juga dari ide tafsirnya ia mencoba menyelaraskan
antara agama yang ada pada satu tujuan yakni melakukan perlawanan terhadap
kekejaman, kesewenang-wenangan, dan juga ketidakadian.
Afrika Selatan
merupakan wilayah yang penduduknya muliti agama dan multi ras yang dengan keadaan
yang seperti itu tidak dapat dipungkiri, bahwa secara perjalanan sejarah
keragaman tersebut menjadi alat untuk saling menindas di antara satu sama
lainnya. Berdasarkan penggolongan kulit misalnya. Afrika Selatan tergolong pada
tiga golongan; yaitu glongan berkulit putih yang memegang kekuasaan penuh
pemerintahan Apartheid dan golongan kulit hitam, dan juga ada golongan berwarna
dan India. Begitu juga dengan keberadaan agama yang ada.
Ternyata dari
perbedaan tersebut telah menyebabkan kondisi yang cenderung dilematis. Baik
dari aspek sosial-politik, maupun juga berdapak pada aspek sosial keagamaan.
Dalam aspek sosial-politik, misalnya sejak tahun 1948 hingga pada awal 1999
kekuasaan sepenuhnya dipegang golongan yang berkulit putih. Kebijakan rezim Apartheid
cenderung diskriminatif, serta itu mencakup semua bidang; ekonomi, politik, dan
juga hukum. Bahkan pada tahun 1949 dan 1950 ada larangan nikah antara ras yang
berbeda, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang mengarah pada diskriminatif.
Sehingga dari perjalanannya lahirlah benih-benih gerakan sosial anti rezim dan
eksploitatif untuk melahirkan suatu perubahan yang radikal.[1]
Begitu juga dengan sosial-keagamaan, keberagamaan yang ada hanya sebagai
media pengkotak-kotaan di antara para pemeluk agama yang disebabkan oleh
kebijakan rezim Apartheid. Dengan keberadaan jumlah umat Kristen yang menduduki
pada ranking pertama daripada agama lainnya termasuk Islam, Kristen sekaligus
dijadikan sebagai agama negara dan mendapat keistimewaan daripada agama-agama
lainnya. Karena memang yang keberadaan Islam hanya terdiri dari 329.000
pemeluk, sementara pemeluk Kristen terdiri 22.603.000 pemeluk, walaupun secara
Islamisasi di Afrika Selatan sekitar 300 tahun. Namun keberadaan Islam
kurang mendapat respon yang maksimal dari penduduk Afrika Selatan.
Kondisi yang demikian secara pribadi Farid Essack telah menimbulkan gagasan
pembebasan untuk melahirkan suatu perubahan yang radikal. Terbukti dengan
pemahamannya yang sangat bersifat regresif dan progresif serta pemaknaan ulang
terhadap ajaran agama (khususnya Islam) telah mengalami distorsi pemahaman yang
jauh dari harapan kebersamaan. Maka dari itu ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalam memahami teks al-Qur’an untuk memperoleh signifikansi dengan
konteks yang ada di Afrika Selatan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Biografi Farid Essack?
2.
Apa Karya-Karyanya?
3.
Bagaimana Metode Penafsiran Farid
Essack?
4.
Bagaimana Interaksi-Integrasi Metode
Farid Essack?
5.
Bagaimana Contoh Penafsiran Farid
Essack?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Farid Essack
Sejak lahir
Essack bernama Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah
pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin. Pendidikan dasar
dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman
sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Esack justru
bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah
madrasah lokal.
Tahun 1974,
Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong
pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan
pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Esack melanjutkan
studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan
waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di
bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi.
Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya
sedang berjuang melawan Apartheid.
Selama di tanah
airnya ini, Esack bersama beberapa temannya membentuk organisasi politik
keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui
organisasi ini, Esack berkeinginan dan berjuang keras untuk menemukan formulasi
Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya
malakukan perubahan.
Tahun 1990,
Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di
sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Esack menempuh
program Doktor di Pusat Studi Islam dan
Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim
Relations [CSIC]) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun
1996, Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan
desertasi berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of
Inter-religious Solidarity against Oppression.[2]
B.
Karya-karya
Essack
Karya-karya Easck amat banyak, baik berupa artikel maupun buku, di
antaranya yaitu :
1.
On Being A Muslim: Finding a
Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.
2.
Qur’an, Liberation, and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”,
Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas;
Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung:
Mizan, 2000.
3.
“Muslim in South Africa: The Quest
for Justice”, dalam Journal of Islam and
Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987).
4.
“Contemporary Religious Thought in
South Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of
Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991).
5.
“Qur’anic Hermeneutic:
Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993).
C.
Metode
Penafsiran Farid Essack
Dalam memahami
teks Qur’an Essack (panggilan akrabnya) menggunakan dua pendekatan, yaitu
regresif-progresif dan hermeneutika. Secara umum regrefi-progresif berfungsi
pada tataran realitas sebagai upaya mendekatai dan menyikapi relaitas, dalam
artian hubungan antara realitas masa lalu dan masa sekarang sebagai bentuk
upaya kontekstualisasi kaintannya dengan teks. Kemudian dengan asumsi dasar
itulah Essack pada akhirnya memilih hermeneutika juga sebagai metode untuk
memahami al-Qur’an. Hermeneutika menurut Essack berfungsi dalam proses
pemahaman terhadap teks, dan sekaligus sebagai upaya pemaknaan ulang teks dalam
suatu system makna dan system nilai tertentu.
a)
Regresif-Progresif
Dalam hal ini,
Essack lebih terinspirasi ole hide-ide progresif Arkoun dalam memandang latar
sejarah makna al-Qur’an, bahwa teks ada
kaitannya dengan serangkaian peristiwa yang menjadi latar belakang lahirnya
teks di masa lalu untuk merekontruksi mekanisme historis dan factor-faktor yang
memproduksi teks tersebut demi untuk memberikan fungsi-fungsi baru secara
progresif. Maka Farid Essack mengedepankan nasih mansukh, asbab an-nuzul, dan
makki-madani sebagai pertimbangan untuk menegaskan ide progresifnya arkoun.
Sedangkan dalam prosedur progresifnya, Essack menyebut konsep ushul fiqh,
antara lain; istihsan, ‘urf dan al-maslahah al-mursalah.
Dalam ide
regresif dan progresifnya, Essack berupaya memberikan muatan makna baru
terhadap teks, sehingga teks lebih bersifat regresif dan progresif dengan
kandungan makna yang selalu aktif memberi kontribusi besar pada persoalan yang
selalu berkembang setiap saat. Makna yang kontemporer dan kontekstual. Misalnya
dengan adanya berbagai diskursus keilmuan yang telah mencoba memasukkan wacana
makna-makna al-Qur’an seperti terhadap kajian fiqh, tafsir, dan kajian-kajian
lainnya. Tentu yang penting juga selain memahami makna yang dikandungnya ialah
dituntut untuk memahami dan melakukan pembacaan terhadap peristiwa-peristiwa
melatarbelakangi teks-teks tertentu dengan realitas yang sedang terjadi.
Sehingga dapat ditemukan suatu realitas yang koheren. Itulah menyebabkan bahwa
teori-teori keilmuan yang baru berkembang pada era kontemporer ini akan memberi
kontribusi di dalam memahami al-Qur’an, supaya al-Qur’an tidak kehilangan makna
kontekstualnya dan terputus dari konteks serta relevansi historisnya.
b)
Hermeneutika
Substansinya,
hermeneutika berhubungan dengan persoalan penemuan makna yang tepat berdasarkan
konteksnya dalam upaya pemaknaan ulang terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan
bukti kehadiran Tuhan di dalam dunia ini. Oleh karena itu, harus dimaknai yang
respon terhadap konteks social budaya.
Hermeneutika
mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan
harapan sendiri serta tidak mungkin untuk menyisikan subjektivitas dan
pra-pemahaman yang dibawa penafsir. Hermeneutika seperti yang dikutip Essack,
pada dasrnya adalah suatu titik awal yang dipilih secara sadar yang berisikan
komponen ideologis, sikap, dan metodologi yang dirancang untuk membantu usaha
interpretasi serta untuk memudahkan pemahaman yang maksimal.
Korelasinya
dengan realitas yang terjadi di Afrika selatan adalah tentang beragam
penggunaan al-Qur'an dan penerimaannya dalam kondisi sosial politik tertentu.
Dengan kata lain, kaum muslimin sebenarnya tidak berdebat mengenai hakikat
al-Qur'an, melainkan mereka berbeda pendapat soal peran dan cara memahaminya.
Sehingga dengan demikian, hermeneutika dipandang oleh Essack suatu metode untuk
memahami ulang teks, termasuk juga Qur'an. Hermeneutik tidak semata
mengedepankan egoistik penafsir, tetapi mempelajari kontribusi pemahaman yang
senantiasa berubah tentang sesuatu teks, serta juga meneliti berbagai cara
bagaimana sebuah teks itu dapat diterima, di konkretkan, dan ditafsirkan.[3]
D.
Interaksi-Integrasi
Metode Farid Essack
Setelah membaca serta mengetahui metode yang di
gunakan Farid Essak dalam memahami al-Qur'an (metode regresif-progresif dan
metode hermeneutika), dapat diintegrasikan antara kedua metode tersebut. Karena
penafsiran yang diemban oleh Essack adalah bagaimana dapat mengaplikasikan
nilai-nilai penafsiran terhadap konteks yang terjadi di Afrika Selatan.
Bagaimana Essack mengkomunikasikan antara teks yang seolah tidak bicara dengan
konteks yang selalu berimplikasi tindak diskriminatif dari rezim pemerintahan
Apartheid. Sehingga dengan tafsirnya nanti akan diperoleh suatu penilaian yang
proporsional. Dalam hal ini ada tiga tangga yang dilalui Essack dalam melakukan
pembacaan terhadap konteks. Yaitu :
- Premis Mayor
Premis mayor menjadi asumsi dasar Essack ketika
mengedepankan teologi pembebasan nya. Anti rasisme adalah suatu keniscayaan di
mana pun, termasuk di Afrika Selatan dengan penyelewengan dari keadilan.
Keadilan inilah yang menjadi etika moral tunggal yang bisa dianggap sebagai
poros tunggal sebagai bentuk penentangan terhadap Apartheid.
Karena keadilan merupakan hak bagi semua yang
tertindas di seluruh alam semesta tanpa harus membeda-bedakan. Sedangkan
ketidakadilan adalah suatu kesalahan dan penyimpangan dari aturan alam.
Keadilan tidak membedakan ras, bangsa, warna, bahasa, bahkan juga agama. Karena
hukum Allah turun untuk kemanusiaan, untuk keadilan, dan untuk kesejahteraan
manusia di muka bumi hingga di akhirat kelak.
- Premis Minor
Adalah
dilematis ketika membicarakan realitas yang terjadi terhadap penduduk Afrika
Selatan bahwa perbedaan yang ada telah menjadi media legitimasi untuk terjadi
pelanggaran hak dan kesejahteraan yang semestinya diterima oleh semua penduduk
Afrika Selatan tanpa melihat perbedaan yang ada. Misalnya antara kulit putih dengan kulit hitam. Keduanya telah
menimbulkan dilematis yang cenderung mengenyampingkan kelompok kulit hitam.
Begitu juga dengan agama-agama yang ada.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, Essack menyadari bahwa konsep
pluralisme harus lahir dalam realitas Afrika Selatan sebagai media tercapainya
pembebasan. Dalam pluralismenya, menurutnya pengakuan terhadap agama lain harus diakui sepenuhnya
terhadap kebenaran agama lainnya. Karena dengan pluralisme yang seperti itu
akan dapat melahirkan tujuan bersama demi menuju pembebasan.[4]
E.
Contoh
Penafsiran Farid Essack
Ada tiga poin terpenting dalam penafsiran Farid Essack yang dikira
dapat memberi kontribusi besar terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan
dan relevansinya dengan perkembangan konteks, khususnya di Afrika Selatan. Contoh
Penafsiran Farid Essack yaitu Iman, Islam, dan Kufur.
1.
Iman
Seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur'an yang berbunyi:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ (4)
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang
beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia."
(Q.S. al-Anfal [8]: 2-4)
Kontekstualisasinya
dengan Afrika Selatan diperlukan konsep iman dengan pengertian yang lebih
inklusif mengenai golongan-golongan yang tercakup di dalamnya, akan tetapi
bukan sebatas iman yang dipahami selama ini oleh tradisionalis yang hanya
mencakup ruang yang sempit. Essack berusaha memberi pemahan terhadap iman yang
lebih dinamis dan tidak hanya terbentuk dalam struktur kelembambagaan, seperti
yang terjadi di Afrika Selatan.
Dengan
demikian, Essack mengaitkan dengan amal saleh. Begitu juga dengan al-Qur’an
kerap kali selalu mengaitkan dengan amal saleh. Karena dengan adanya
keterkaitan antara keduanya akan memberi gerak yang aktif dan dapat lebih
inklusif.
Essack memberi
pengertian amal saleh tidak sebatas ibadah ritual saja, melainkan diartikan
dengan pengertian yang cakupannya lebih luas dari pada sebatas ibadah ritual.
Terutama dalam memberi kontribusi terhadap upaya pembebasan di Afrika Selatan.
Seperti yang dikutip dari tulisannya Umi
Baiki dalam Skripsinya yang berjudul Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian
Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, ia menulis bahwa tauhid harus
diberi ruang dalam ruang yang lebih praktis. Ia juga mengaitkan dengan teori
yang diungkapkan oleh Habermas dalam teori prasisnya. Menurutnya, praksi
mempunyai dua deminsi filosofi (kerja dan interaksi komunikasi).
Signifikansi
nya adalah, ketika iman dikaitkan dengan amal saleh tentu secara pribadi
penafsiran Essack diharapkan untuk melahirkan jiwa-jiwa yang berkarakter
perjuangan untuk pembebasan, lagi-lagi tujuannya adalah pembebasan. Karena
sebelumnya, amal saleh juga di Afrika Selatan masih dipahami secara sempit.
Maka keimanan menurut Essack merupakan hubungan vertikal, yakni antara individu
orang dengan tuhannya, sesuai dengan kepercayaan agamanya masing-masing.
Keimanan bukan persoalan kelompok, golongan, ataupun yang telah berhasil
dilembagakan seperti di Afrika Selatan. Hal inilah yang diharapkan mampu
melahirkan antisipasi terhadap ketegangan-ketegangan yang terjadi antar agama
di Afrika Selatan.
Di sisi lain,
untuk mempertahankan argumennya, Essack mengaitkan dengan beberapa ayat, yang
salah satunya yang artinya berbunyi "Bagaimanakah nanti apabila mereka
kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan
disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang
mereka tidak dianiaya (dirugikan)" (al-Imran: 25) Hal inilah yang
diharapkan dari horizon harapannya, yakni untuk dapat memberi ruang bagi mereka
yang berjuang melawan penindasan (sebagai bagian dari amal saleh) terutama dari
golongan non-muslim yang selama ini justru aktif melawan Apartheid yang
tentunya ritual mereka bukanlah shalat seperti ritualnya orang-orang muslim.
Hal itu juga menunjukkan bahwasanya ibadah, dalam tafsir Essack bukan hanya
dipahami sebatas ritual semata, tetapi diartikan lebih luas meskipun Essack
berangkat dari ayat yang ironisnya menegaskan secara eksplisit tentang
keterkaitan antara iman dengan shalat.[5]
2.
Islam
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ
وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.(Q.S. al-Imran [3]: 19)
Ayat tersebut,
Essack berusaha memberikan suatu pemahaman yang mampu memberikan jalan bagi
kebasahan agama-agama lain di luar Islam. Di antara penafsir yang dirujuk oleh
Essack tidak satu pun yang memberikan makna Islam sebagai agama yang
dilembagakan. Dalam penafsiran mengenai Islam, Essck terlebih dahulu
mengartikan din sebagai agama seperti para penafsir yang ia rujuk. Mereka
memaknai din sebagai penyerahan diri pada Tuhan dan juga lebih sebagai respon
aktif terhadap kehendak Tuhan daripada sekedar keanggotaan etno-sosial dalam
kelompok tertentu sehingga dari itu akan mampu memberi ruang bagi ketundukan
pribadi di luar parameter historis komunitas Islam.
Juga dari ayat
tersebut ada suatu tempat yang terbuka untuk membuktikan bahwa Islam bukan
semata-mata agama yang dilembagakan, meskipun sebagian makna bisa berimplikasi
ke arah itu, namun bukanlah satu-satunya penafsiran yang utama. Kenapa Essack
lebih memaknai Islam sebagai proses dan juga sebagai respon aktif daripada suatu
komunitas yang dilembagakan. Karena ada faktor empiris dan pragmatis di Afrika
Selatan yang membutuhkan Islam yang inklusif. Itulah juga yang menyebabkan dari
pemahamannya lebih bersifat inklusif daripada Islam dimaknai sebagai agama yang
eksklusif yang hanya bersifat ideologis dan politis. Otentisitas Islam adalah
perdamaian (al-aslu fi al-islam huwa fi as-salam), sementara masih ada
golongan memahami bahwa otentitsitas Islam adalam perang (al-aslu fi
al-islam huwa fi al-harb). Seperti dalam firma-Nya "Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."
(Q.S. al-Baqarah [2]:208).[6]
3.
Kufr
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ
النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ
مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (21) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (22)
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang
menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan
menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala)
amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong."
(Q.S. al-Imran [3]: 21-22)
Lagi-lagi
berbicara konteks yang ada di Afrika Selatan, istilah kafir sendiri telah masuk
dalam wacana rasialis Afrika Selatan sebagai ekspresi yang dilekatkan pada
mayoritas yang berkulit hitam.
Jelas, bahwa
dari ayat tersebut kata kufr lebih cenderung pada suatu tindakan yang aktif dan
bukannya personalisasi (Yahudi). Karena ketika kufr adalah lawan dari iman dan
Islam, berarti kufr adalah juga suatu perilaku sadar dan sekumpulan tindakan
yang konkret disebabkan iman dan Islam juga merupakan suatu tindakan yang
aktif. Kufr bukan sekedar lawan dari iman ataupun Islam, melainkan merupakan
suatu perilaku dan tindakan yang mengarah pada penolakan terhadap segala
kebenaran dan penghalangan terhadap terwujudnya keadilan di muka bumi,
khususnya lagi-lagi Afrika Selatan. Meskipun kufr tersebut ada yang
mengindikasikan sebagai kelompok, tetapi menurut Essack sebagaimana yang
tersurat dalam al-Qur’an, bahwa kufr selalu ditekankan pada tanggung jawab
individu, terutama dengan adanya konsep mengenai pembalasan dan kebangkitan.
Begitu juga walaupun dalam al-Qur’an memuat berbagai kecaman yang sangat keras
terhadap suatu kelompok, tetapi selalu ada pengecualian tentang adanya kaum
lain di luar komunitas tersebut. Dengan asumsi ini sangat terlihat pada corak
penafsiran Essack di dalam mengkomunikasikan antara horizon teks dengan horizon
pemahaman untuk menemukan signifikansi penafsiran dengan konteks yang ada.[7]
Dari ide-ide yang ditelurkan oleh Essack merupakan penafsiran yang bersifat pembaruan
terhadap pemahaman-pemahaman yang dibangun sebelumnya, yang akan selalu
menafsirkan yang respon sosio-kulturan yang ada.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai
catatan penting terhadap pemikiran dari seorang Farid Essack penafsir
kontemporer dari Afrika Selatan dari metodenya yang regresif serta progresif
yang berfungsi pada tataran realitas sebagai upaya mendekatai dan menyikapi
relaitas, dalam artian hubungan antara realitas masa lalu dan masa sekarang
sebagai bentuk upaya kontekstualisasi kaintannya dengan teks, serta yang
melahirkan teori hermeneutika sebagai upaya pemaknaan ulang terhadap teks yang
telah dimaknai secara parsial dan dikotomi, yang cebnderung dapat memberi
kontribusi terhadap konteks yang ada. Sehingga tiga hasil penafsirannya; mengenai
iman, Islam, dan Kufr. Selain Essack sangat konsisten terhadap apa yang
tersurat dalam al-Qur’an ia juga sangat memperhatikan terhadap keberadaan
konteks yang ada, khususnya di Afrika Selatan.
Sehingga dalam
penafsirannya sarat dengan sunjektivitasnya dan konteks realitas yang ada di
Afrika Selatan. Sehingga pemikirannya seolah dipaksakan untuk pada suatu
keadaan yang cenderung berimplikasi pada pembebasan untuk suatu perubahan yang
radikal.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah mungkin objektif penafsiran Farid Essack jika
dihubungkan dengan daerah lain yang justru konteksnya tentu berbeda, apakah
masih dapat memberi signifikansi dari tafsir pembebasannya?. Inilah menurut
penulis sendiri bahwa diperlukannya untuk mengungkapkan tafsirnya yang cenderung
berupaya pada pembebasan.
B.
Kritik dan saran
BAB IV
DAFTAR PUSAKA
Baiki, Umi. Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian
Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, Skripsi Jurusan TH tahun
2005.
Esack, Farid . Membebaskan yang Tertindas, Al Quran,
Liberalisme, Pluralisme,(Bandung : Mizan, 1997)
Hasan, Fuad. Kajian Tafsir Resepsi Farid Essack, skripsi
jurusan TH tahun 2004.
Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual
Usaha Memahami Kembali Pesan al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Samsuddin, Sahiron. Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Qur’an Yogyakarta: Pesantren Nawesea
Press, 2009.
Rahardjo, Dawam Islam dan Transformasi Budaya, Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
[1] Lihat skripsi Umi Baiki jurusan TH, Paradigma Tauhid
dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, tahun
2005, hlm. 21
[2] Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas, Al Quran,
Liberalisme, Pluralisme,(Bandung : Mizan, 1997) hml 24.
[3] Lihat skripsi Fuad Hasan jurusan TH, Kajian
Tafsir Resepsi Farid Essack, tahun 2004, hlm. 50.
[4] Opcit
hlm 59.
[5] Lihat skripsi Umi Baiki jurusan TH, Paradigma
Tauhid dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, tahun
2005, hlm. 58.
[6] Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual
Usaha Memahami Kembali Pesan al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 146.
[7] Sahiron Samsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press),
hlm. 48
[8] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi
Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa), hlm. 4.
No comments:
Post a Comment