Friday, May 13, 2016

Makalah Hadits Kontektual Metode Penafsiran Farid Essack



BAB I
PEDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Farid Essack meruapak salah satu bagian dari penafsir yang kontemporer dari Afrika Selatan yang mampu memperjuangkan pembebasan setiap penduduk di Afrika Selatan dari pemerintahan Apartheid. Serta juga dari ide tafsirnya ia mencoba menyelaraskan antara agama yang ada pada satu tujuan yakni melakukan perlawanan terhadap kekejaman, kesewenang-wenangan, dan juga ketidakadian.
Afrika Selatan merupakan wilayah yang penduduknya muliti agama dan multi ras yang dengan keadaan yang seperti itu tidak dapat dipungkiri, bahwa secara perjalanan sejarah keragaman tersebut menjadi alat untuk saling menindas di antara satu sama lainnya. Berdasarkan penggolongan kulit misalnya. Afrika Selatan tergolong pada tiga golongan; yaitu glongan berkulit putih yang memegang kekuasaan penuh pemerintahan Apartheid dan golongan kulit hitam, dan juga ada golongan berwarna dan India. Begitu juga dengan keberadaan agama yang ada.
Ternyata dari perbedaan tersebut telah menyebabkan kondisi yang cenderung dilematis. Baik dari aspek sosial-politik, maupun juga berdapak pada aspek sosial keagamaan. Dalam aspek sosial-politik, misalnya sejak tahun 1948 hingga pada awal 1999 kekuasaan sepenuhnya dipegang golongan yang berkulit putih. Kebijakan rezim Apartheid cenderung diskriminatif, serta itu mencakup semua bidang; ekonomi, politik, dan juga hukum. Bahkan pada tahun 1949 dan 1950 ada larangan nikah antara ras yang berbeda, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang mengarah pada diskriminatif. Sehingga dari perjalanannya lahirlah benih-benih gerakan sosial anti rezim dan eksploitatif untuk melahirkan suatu perubahan yang radikal.[1]
Begitu juga dengan sosial-keagamaan, keberagamaan yang ada hanya sebagai media pengkotak-kotaan di antara para pemeluk agama yang disebabkan oleh kebijakan rezim Apartheid. Dengan keberadaan jumlah umat Kristen yang menduduki pada ranking pertama daripada agama lainnya termasuk Islam, Kristen sekaligus dijadikan sebagai agama negara dan mendapat keistimewaan daripada agama-agama lainnya. Karena memang yang keberadaan Islam hanya terdiri dari 329.000 pemeluk, sementara pemeluk Kristen terdiri 22.603.000 pemeluk, walaupun secara Islamisasi di Afrika Selatan sekitar 300 tahun. Namun keberadaan Islam kurang mendapat respon yang maksimal dari penduduk Afrika Selatan.
Kondisi yang demikian secara pribadi Farid Essack telah menimbulkan gagasan pembebasan untuk melahirkan suatu perubahan yang radikal. Terbukti dengan pemahamannya yang sangat bersifat regresif dan progresif serta pemaknaan ulang terhadap ajaran agama (khususnya Islam) telah mengalami distorsi pemahaman yang jauh dari harapan kebersamaan. Maka dari itu ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam memahami teks al-Qur’an untuk memperoleh signifikansi dengan konteks yang ada di Afrika Selatan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Farid Essack?
2.      Apa Karya-Karyanya?
3.      Bagaimana Metode Penafsiran Farid Essack?
4.      Bagaimana Interaksi-Integrasi Metode Farid Essack?
5.      Bagaimana Contoh Penafsiran Farid Essack?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Farid Essack
Sejak lahir Essack bernama Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin. Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal.
Tahun 1974, Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan Apartheid.
Selama di tanah airnya ini, Esack bersama beberapa temannya membentuk organisasi politik keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya malakukan perubahan.
Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi  Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations [CSIC]) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression.[2]
B.     Karya-karya Essack
Karya-karya Easck amat banyak, baik berupa artikel maupun buku, di antaranya yaitu :
1.      On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.
2.      Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
3.      “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of  Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987).
4.       “Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991).
5.       “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993).
C.     Metode Penafsiran Farid Essack
Dalam memahami teks Qur’an Essack (panggilan akrabnya) menggunakan dua pendekatan, yaitu regresif-progresif dan hermeneutika. Secara umum regrefi-progresif berfungsi pada tataran realitas sebagai upaya mendekatai dan menyikapi relaitas, dalam artian hubungan antara realitas masa lalu dan masa sekarang sebagai bentuk upaya kontekstualisasi kaintannya dengan teks. Kemudian dengan asumsi dasar itulah Essack pada akhirnya memilih hermeneutika juga sebagai metode untuk memahami al-Qur’an. Hermeneutika menurut Essack berfungsi dalam proses pemahaman terhadap teks, dan sekaligus sebagai upaya pemaknaan ulang teks dalam suatu system makna dan system nilai tertentu.
a)          Regresif-Progresif
Dalam hal ini, Essack lebih terinspirasi ole hide-ide progresif Arkoun dalam memandang latar sejarah  makna al-Qur’an, bahwa teks ada kaitannya dengan serangkaian peristiwa yang menjadi latar belakang lahirnya teks di masa lalu untuk merekontruksi mekanisme historis dan factor-faktor yang memproduksi teks tersebut demi untuk memberikan fungsi-fungsi baru secara progresif. Maka Farid Essack mengedepankan nasih mansukh, asbab an-nuzul, dan makki-madani sebagai pertimbangan untuk menegaskan ide progresifnya arkoun. Sedangkan dalam prosedur progresifnya, Essack menyebut konsep ushul fiqh, antara lain; istihsan, ‘urf dan al-maslahah al-mursalah.
Dalam ide regresif dan progresifnya, Essack berupaya memberikan muatan makna baru terhadap teks, sehingga teks lebih bersifat regresif dan progresif dengan kandungan makna yang selalu aktif memberi kontribusi besar pada persoalan yang selalu berkembang setiap saat. Makna yang kontemporer dan kontekstual. Misalnya dengan adanya berbagai diskursus keilmuan yang telah mencoba memasukkan wacana makna-makna al-Qur’an seperti terhadap kajian fiqh, tafsir, dan kajian-kajian lainnya. Tentu yang penting juga selain memahami makna yang dikandungnya ialah dituntut untuk memahami dan melakukan pembacaan terhadap peristiwa-peristiwa melatarbelakangi teks-teks tertentu dengan realitas yang sedang terjadi. Sehingga dapat ditemukan suatu realitas yang koheren. Itulah menyebabkan bahwa teori-teori keilmuan yang baru berkembang pada era kontemporer ini akan memberi kontribusi di dalam memahami al-Qur’an, supaya al-Qur’an tidak kehilangan makna kontekstualnya dan terputus dari konteks serta relevansi historisnya.
b)         Hermeneutika
Substansinya, hermeneutika berhubungan dengan persoalan penemuan makna yang tepat berdasarkan konteksnya dalam upaya pemaknaan ulang terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan bukti kehadiran Tuhan di dalam dunia ini. Oleh karena itu, harus dimaknai yang respon terhadap konteks social budaya.
Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri serta tidak mungkin untuk menyisikan subjektivitas dan pra-pemahaman yang dibawa penafsir. Hermeneutika seperti yang dikutip Essack, pada dasrnya adalah suatu titik awal yang dipilih secara sadar yang berisikan komponen ideologis, sikap, dan metodologi yang dirancang untuk membantu usaha interpretasi serta untuk memudahkan pemahaman yang maksimal.
Korelasinya dengan realitas yang terjadi di Afrika selatan adalah tentang beragam penggunaan al-Qur'an dan penerimaannya dalam kondisi sosial politik tertentu. Dengan kata lain, kaum muslimin sebenarnya tidak berdebat mengenai hakikat al-Qur'an, melainkan mereka berbeda pendapat soal peran dan cara memahaminya. Sehingga dengan demikian, hermeneutika dipandang oleh Essack suatu metode untuk memahami ulang teks, termasuk juga Qur'an. Hermeneutik tidak semata mengedepankan egoistik penafsir, tetapi mempelajari kontribusi pemahaman yang senantiasa berubah tentang sesuatu teks, serta juga meneliti berbagai cara bagaimana sebuah teks itu dapat diterima, di konkretkan, dan ditafsirkan.[3]
D.    Interaksi-Integrasi Metode Farid Essack
Setelah membaca serta mengetahui metode yang di gunakan Farid Essak dalam memahami al-Qur'an (metode regresif-progresif dan metode hermeneutika), dapat diintegrasikan antara kedua metode tersebut. Karena penafsiran yang diemban oleh Essack adalah bagaimana dapat mengaplikasikan nilai-nilai penafsiran terhadap konteks yang terjadi di Afrika Selatan. Bagaimana Essack mengkomunikasikan antara teks yang seolah tidak bicara dengan konteks yang selalu berimplikasi tindak diskriminatif dari rezim pemerintahan Apartheid. Sehingga dengan tafsirnya nanti akan diperoleh suatu penilaian yang proporsional. Dalam hal ini ada tiga tangga yang dilalui Essack dalam melakukan pembacaan terhadap konteks. Yaitu :
  1. Premis Mayor
Premis mayor menjadi asumsi dasar Essack ketika mengedepankan teologi pembebasan nya. Anti rasisme adalah suatu keniscayaan di mana pun, termasuk di Afrika Selatan dengan penyelewengan dari keadilan. Keadilan inilah yang menjadi etika moral tunggal yang bisa dianggap sebagai poros tunggal sebagai bentuk penentangan terhadap Apartheid.
Karena keadilan merupakan hak bagi semua yang tertindas di seluruh alam semesta tanpa harus membeda-bedakan. Sedangkan ketidakadilan adalah suatu kesalahan dan penyimpangan dari aturan alam. Keadilan tidak membedakan ras, bangsa, warna, bahasa, bahkan juga agama. Karena hukum Allah turun untuk kemanusiaan, untuk keadilan, dan untuk kesejahteraan manusia di muka bumi hingga di akhirat kelak.
  1. Premis Minor
Adalah dilematis ketika membicarakan realitas yang terjadi terhadap penduduk Afrika Selatan bahwa perbedaan yang ada telah menjadi media legitimasi untuk terjadi pelanggaran hak dan kesejahteraan yang semestinya diterima oleh semua penduduk Afrika Selatan tanpa melihat perbedaan yang ada. Misalnya antara kulit putih dengan kulit hitam. Keduanya telah menimbulkan dilematis yang cenderung mengenyampingkan kelompok kulit hitam. Begitu juga dengan agama-agama yang ada.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, Essack menyadari bahwa konsep pluralisme harus lahir dalam realitas Afrika Selatan sebagai media tercapainya pembebasan. Dalam pluralismenya, menurutnya pengakuan terhadap agama lain harus diakui sepenuhnya terhadap kebenaran agama lainnya. Karena dengan pluralisme yang seperti itu akan dapat melahirkan tujuan bersama demi menuju pembebasan.[4]
E.     Contoh Penafsiran Farid Essack
Ada tiga poin terpenting dalam penafsiran Farid Essack yang dikira dapat memberi kontribusi besar terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan dan relevansinya dengan perkembangan konteks, khususnya di Afrika Selatan. Contoh Penafsiran Farid Essack yaitu Iman, Islam, dan Kufur.
1.      Iman
Seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur'an yang berbunyi:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4)
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia." (Q.S. al-Anfal [8]: 2-4)
Kontekstualisasinya dengan Afrika Selatan diperlukan konsep iman dengan pengertian yang lebih inklusif mengenai golongan-golongan yang tercakup di dalamnya, akan tetapi bukan sebatas iman yang dipahami selama ini oleh tradisionalis yang hanya mencakup ruang yang sempit. Essack berusaha memberi pemahan terhadap iman yang lebih dinamis dan tidak hanya terbentuk dalam struktur kelembambagaan, seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Dengan demikian, Essack mengaitkan dengan amal saleh. Begitu juga dengan al-Qur’an kerap kali selalu mengaitkan dengan amal saleh. Karena dengan adanya keterkaitan antara keduanya akan memberi gerak yang aktif dan dapat lebih inklusif.
Essack memberi pengertian amal saleh tidak sebatas ibadah ritual saja, melainkan diartikan dengan pengertian yang cakupannya lebih luas dari pada sebatas ibadah ritual. Terutama dalam memberi kontribusi terhadap upaya pembebasan di Afrika Selatan. Seperti yang dikutip dari  tulisannya Umi Baiki dalam Skripsinya yang berjudul Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, ia menulis bahwa tauhid harus diberi ruang dalam ruang yang lebih praktis. Ia juga mengaitkan dengan teori yang diungkapkan oleh Habermas dalam teori prasisnya. Menurutnya, praksi mempunyai dua deminsi filosofi (kerja dan interaksi komunikasi).
Signifikansi nya adalah, ketika iman dikaitkan dengan amal saleh tentu secara pribadi penafsiran Essack diharapkan untuk melahirkan jiwa-jiwa yang berkarakter perjuangan untuk pembebasan, lagi-lagi tujuannya adalah pembebasan. Karena sebelumnya, amal saleh juga di Afrika Selatan masih dipahami secara sempit. Maka keimanan menurut Essack merupakan hubungan vertikal, yakni antara individu orang dengan tuhannya, sesuai dengan kepercayaan agamanya masing-masing. Keimanan bukan persoalan kelompok, golongan, ataupun yang telah berhasil dilembagakan seperti di Afrika Selatan. Hal inilah yang diharapkan mampu melahirkan antisipasi terhadap ketegangan-ketegangan yang terjadi antar agama di Afrika Selatan.
Di sisi lain, untuk mempertahankan argumennya, Essack mengaitkan dengan beberapa ayat, yang salah satunya yang artinya berbunyi "Bagaimanakah nanti apabila mereka kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)" (al-Imran: 25) Hal inilah yang diharapkan dari horizon harapannya, yakni untuk dapat memberi ruang bagi mereka yang berjuang melawan penindasan (sebagai bagian dari amal saleh) terutama dari golongan non-muslim yang selama ini justru aktif melawan Apartheid yang tentunya ritual mereka bukanlah shalat seperti ritualnya orang-orang muslim. Hal itu juga menunjukkan bahwasanya ibadah, dalam tafsir Essack bukan hanya dipahami sebatas ritual semata, tetapi diartikan lebih luas meskipun Essack berangkat dari ayat yang ironisnya menegaskan secara eksplisit tentang keterkaitan antara iman dengan shalat.[5]
2.       Islam
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(Q.S. al-Imran [3]: 19)
Ayat tersebut, Essack berusaha memberikan suatu pemahaman yang mampu memberikan jalan bagi kebasahan agama-agama lain di luar Islam. Di antara penafsir yang dirujuk oleh Essack tidak satu pun yang memberikan makna Islam sebagai agama yang dilembagakan. Dalam penafsiran mengenai Islam, Essck terlebih dahulu mengartikan din sebagai agama seperti para penafsir yang ia rujuk. Mereka memaknai din sebagai penyerahan diri pada Tuhan dan juga lebih sebagai respon aktif terhadap kehendak Tuhan daripada sekedar keanggotaan etno-sosial dalam kelompok tertentu sehingga dari itu akan mampu memberi ruang bagi ketundukan pribadi di luar parameter historis komunitas Islam.
Juga dari ayat tersebut ada suatu tempat yang terbuka untuk membuktikan bahwa Islam bukan semata-mata agama yang dilembagakan, meskipun sebagian makna bisa berimplikasi ke arah itu, namun bukanlah satu-satunya penafsiran yang utama. Kenapa Essack lebih memaknai Islam sebagai proses dan juga sebagai respon aktif daripada suatu komunitas yang dilembagakan. Karena ada faktor empiris dan pragmatis di Afrika Selatan yang membutuhkan Islam yang inklusif. Itulah juga yang menyebabkan dari pemahamannya lebih bersifat inklusif daripada Islam dimaknai sebagai agama yang eksklusif yang hanya bersifat ideologis dan politis. Otentisitas Islam adalah perdamaian (al-aslu fi al-islam huwa fi as-salam), sementara masih ada golongan memahami bahwa otentitsitas Islam adalam perang (al-aslu fi al-islam huwa fi al-harb). Seperti dalam firma-Nya "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S. al-Baqarah [2]:208).[6]
3.       Kufr
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (21) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (22)
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (Q.S. al-Imran [3]: 21-22)
Lagi-lagi berbicara konteks yang ada di Afrika Selatan, istilah kafir sendiri telah masuk dalam wacana rasialis Afrika Selatan sebagai ekspresi yang dilekatkan pada mayoritas yang berkulit hitam.
Jelas, bahwa dari ayat tersebut kata kufr lebih cenderung pada suatu tindakan yang aktif dan bukannya personalisasi (Yahudi). Karena ketika kufr adalah lawan dari iman dan Islam, berarti kufr adalah juga suatu perilaku sadar dan sekumpulan tindakan yang konkret disebabkan iman dan Islam juga merupakan suatu tindakan yang aktif. Kufr bukan sekedar lawan dari iman ataupun Islam, melainkan merupakan suatu perilaku dan tindakan yang mengarah pada penolakan terhadap segala kebenaran dan penghalangan terhadap terwujudnya keadilan di muka bumi, khususnya lagi-lagi Afrika Selatan. Meskipun kufr tersebut ada yang mengindikasikan sebagai kelompok, tetapi menurut Essack sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an, bahwa kufr selalu ditekankan pada tanggung jawab individu, terutama dengan adanya konsep mengenai pembalasan dan kebangkitan. Begitu juga walaupun dalam al-Qur’an memuat berbagai kecaman yang sangat keras terhadap suatu kelompok, tetapi selalu ada pengecualian tentang adanya kaum lain di luar komunitas tersebut. Dengan asumsi ini sangat terlihat pada corak penafsiran Essack di dalam mengkomunikasikan antara horizon teks dengan horizon pemahaman untuk menemukan signifikansi penafsiran dengan konteks yang ada.[7] Dari ide-ide yang ditelurkan oleh Essack merupakan penafsiran yang bersifat pembaruan terhadap pemahaman-pemahaman yang dibangun sebelumnya, yang akan selalu menafsirkan yang respon sosio-kulturan yang ada.[8]
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Sebagai catatan penting terhadap pemikiran dari seorang Farid Essack penafsir kontemporer dari Afrika Selatan dari metodenya yang regresif serta progresif yang berfungsi pada tataran realitas sebagai upaya mendekatai dan menyikapi relaitas, dalam artian hubungan antara realitas masa lalu dan masa sekarang sebagai bentuk upaya kontekstualisasi kaintannya dengan teks, serta yang melahirkan teori hermeneutika sebagai upaya pemaknaan ulang terhadap teks yang telah dimaknai secara parsial dan dikotomi, yang cebnderung dapat memberi kontribusi terhadap konteks yang ada. Sehingga tiga hasil penafsirannya; mengenai iman, Islam, dan Kufr. Selain Essack sangat konsisten terhadap apa yang tersurat dalam al-Qur’an ia juga sangat memperhatikan terhadap keberadaan konteks yang ada, khususnya di Afrika Selatan.
Sehingga dalam penafsirannya sarat dengan sunjektivitasnya dan konteks realitas yang ada di Afrika Selatan. Sehingga pemikirannya seolah dipaksakan untuk pada suatu keadaan yang cenderung berimplikasi pada pembebasan untuk suatu perubahan yang radikal.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah mungkin objektif penafsiran Farid Essack jika dihubungkan dengan daerah lain yang justru konteksnya tentu berbeda, apakah masih dapat memberi signifikansi dari tafsir pembebasannya?. Inilah menurut penulis sendiri bahwa diperlukannya untuk mengungkapkan tafsirnya yang cenderung berupaya pada pembebasan.
B.      Kritik dan saran
BAB IV
DAFTAR PUSAKA
Baiki, Umi. Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, Skripsi Jurusan TH tahun 2005.
Esack, Farid . Membebaskan yang Tertindas, Al Quran, Liberalisme, Pluralisme,(Bandung : Mizan, 1997)
Hasan, Fuad. Kajian Tafsir Resepsi Farid Essack, skripsi jurusan TH tahun 2004.
Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Samsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
Rahardjo, Dawam Islam dan Transformasi Budaya, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.


[1] Lihat skripsi Umi Baiki jurusan TH, Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, tahun 2005, hlm. 21
[2] Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas, Al Quran, Liberalisme, Pluralisme,(Bandung : Mizan, 1997) hml 24.
[3] Lihat skripsi Fuad Hasan jurusan TH, Kajian Tafsir Resepsi Farid Essack, tahun 2004, hlm. 50.
[4] Opcit hlm 59.
[5] Lihat skripsi Umi Baiki jurusan TH, Paradigma Tauhid dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, tahun 2005, hlm. 58.
[6] Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 146.
[7] Sahiron Samsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press), hlm. 48
[8] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa), hlm. 4.

No comments:

Post a Comment