ANWAR AT-TANZIL WA ASRAR AT-TA’WIL
KARYA AL-BAIDHAWI
A. Pengenalan
Kitab
1.
Nama Kitab:
Anwar at-Tanzil wa Asrar
at-Ta’wil. Dikenal dengan nama Tafsir al-Baidhawi.
2.
Nama Penulis:
Nashir ad-Din, Abu Said Abd Allah
bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi as-Syairazi. Lebih dikenal dengan nama
al-Baidhawi. (w. 691H/1097M)
4.
Kota Penerbit: Beirut, Lebanon
5.
Tahun Terbit: t.th
6.
Jumlah Juz/Jilid: 2 Juz/Jilid
No
|
Juz/Jilid
|
Surat
|
Hlm
|
1
|
I
|
al-Fatihah – al-Isra’
|
586
|
2
|
II
|
Al-Kahfi – an-Nas
|
635
|
B.
Biografi Mufassir
Nama lengkap al-Baidhawi adalah
Nashir ad-Din, Abu Sa’id Abu al-Khoir, Abd Allah bin Umar bin Muhammad bin Ali
al Baidhowi as-Syairazi. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang
berdekatan dengan kota Syiroz di Iran.[2] Di kota inilah Beliau
tumbuh dan berkembang menimba ilmu. Ia juga sempat tinggal dan belajar di
Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiraz mengikuti jejak ayahnya.
Al-Baidhawi hidup dalam suasana
politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan di
Syiraz saat itu sangat lemah, tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk
membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang
lemah, namun para elit politik yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang
hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap dunia peradilan pun demikian
kuatnya, sehingga banyak ahli fiqh yang menghawatirkan kemungkinan diperintah
untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat islam. Mungkin, karena pertimbangan
inilah setelah mengikuti guru spiritualnya, Syeh Muhammad Khatai
yang memintanya keluar dari pemerintah yang menyebabkan Al Baidhawi
mengundurkan diri dari jabatan hakim agung. Selepas mengundurkan
diri, Beliau mengembara ke Tabriz hingga akhir hayatnya. Di kota
inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir
yang berjudul “Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”.
Mengenai tahun meninggalnya tidak
ada kesepakatan di antara ulama. As-Subki dan al-Asnawi menyebut tahun wafat
al-Baidjawi adalah tahun 691H/1097M, semantara Ibnu Katsir tahun 685H/1092M..[3]
Di antara karya-karya al-Baidhawi
adalah:
1.
Al-Minhaj
fi Ilm al-Ushul
2.
Syarh
Mukhtashar Ibn Hajib fi al-Ushul
3.
Al-Idhah
fi Ushul ad-Din
4.
Al-Ghazah
al-Qashwa fi al-Fiqh
5.
Syarh
al-Kafiyah li Ibn Hajib
6.
Anwar
at-Tanzil wa Asror at-Ta’wil.[4]
C. Tafsir
Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil
1.
Sejarah Penulisan Tafsir
Kitab ini merupakan kitab tafsir
yang populer dalam umat islam, dan kitab tafsir ini dinamai oleh Al Baidhowi
sendiri dengan nama “Anwar at-Tanzil wa Asror at -Ta’wil”. Hal
ini tampak dalam pernyataan beliau yang terdapat dalam pengantar tafsirnya:
“Setelah melakukan shalat
istikharoh, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu
menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan
kitab ini, setelah penulisannya, dengan nama Anwar at tanzil wa asror at
ta’wil”
Al-Baidhawi menyebutkan dua alasan
yang mendesaknya untuk menulis tafsir ini. Pertama, bagi beliau, tafsir
dianggap sebagai ilmu yang tertinggi diantara ilmu agama yang lain. Mengenai
alasan yang pertama beliau menulis “Sesungguhnya ilmu yang paling tinggi derajatnya
dan paling mulya adalah ilmu tafsir. Ia adalah pemimpin ilmu-ilmu agama dan
kepalanya, fondasi dan dasar agama. Tidak pantas bagi seseorang untuk bicara
mengenainya kecuali bagi mereka yang menguasai pengetahuan agama, baik yang
ushul maupun yang furu’, dan ahli dalam bahasa dan sastra”.
Kedua, melaksanakan apa yang
diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran yang terbaik. Dalam
hal ini beliau menulis: “saya telah lama berkeinginan menulis disiplin
ini.... yang telah saya pelajari dari para sahabat, tabiin dan kaum salaf. Buku
yang juga akan mencakp fikiran-fikiran terbaik yang saya, dan mereka sebelum
saya, peroleh dari para pendahulu dan para ulama...”.
Dalam penulisan tafsir ini, beliau
memperoleh dari gurunya (Syaikh Muhammad al-Khata’i) yang menyarankan beliau
untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir ini
pun dilakukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar.
Beliau memiliki ketergantungan
pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga tafsirnya dianggap sebagai ringkasan
dari tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr ad-Din
Ar Razi, dan tafsir karya Ar -Raghib al-Isfahani. Hanya saja, beliau melakukan seleksi
secara ketat, sehingga meninggalkan paham-paham yang di anut para penulisnya.[5]
2.
Format Tafsir
a.
Sistematika Tafsir
Dalam penafsirannya, langkah
pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan tempat turunnya surah
(makki atau madani) dan jumlah ayat dari surah yang sedang ditafsirkan
tersebut. Setelah itu, beliau menjelaskan ayat satu per satu baik dengan
menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadis-hadis Nabi maupun qira’ah. Dia
akhir hampir setiap surah, al-Baidhawi menyertakan hadis-hadis yang menjelaskan
tentang keutamaan surah yang baru saja ditafsirkan.
Secara umum, al-Baidhawi
menafsirkan al-Qur’an ayat per ayat dengan terlebih dulu menjelaskan nama
surat, nisbat kepada tempat turunnya. Di akhir surat, beliau menjelaskan hadis
tentang keutamaan surat tersebut.[6]
b.
Metode Tafsir
Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asror
at-Ta’wil, sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, menggunakan
metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan sesuai dengan tertib mushaf Utsmani, dari awal
surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Dalam menafsirkan al Quran, al-Baidhawi
memanfaatkan berbagai sumber: ayat al-Quran, hadis Nabi, pendapat para sahabat
dan tabi’in, dan pandangan para ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan
qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan
penafsiran yang dilakukannya. Kisah-kisah israiliyat yang menjadi “bagian
penting” dalam kitab-kitab tafsir sebelumnnya diminimalisir. Kalaupun mengutip
kisah-kisah tersebut al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah
“ruwiya” (diriwayatkan) atau “qila” (dikatakan). Penggunaan kedua istilah ini
menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas
kisah-kisah israiliyat tersebut.
Pendekatan bahasa menjadi “menu
utama” dalam setiap penafsiran al-Baidhawi. Dalam hal ini, al-Baidhawi
menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan
antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi
kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan al-Baidhawi untuk menguraikan
maknanya. Dari sini sangat tampak bahwa al-Baidhawi memang sangat menguasai
beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawayh, al-Khalil, al-Mubarrad,
Sa’lab dan lain-lain.
Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
menghubungkannya dengan ayat lain (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an) merupakan
bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini dilakukan dengan cara
menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain yang
dalam surah yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang
ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surah yang lain dari al-Qur’an.
Dalam hal qiraat, al-Baidhawi
tidak hanya menggunakan tujuh qiraat yang sering dianggap sebagai al-qiraat al
masyhurah, yaitu bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada tujuh imam: Ibnu Amir,
Ibn Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’ dan al-Kisa’i. Al-Baidhawi tidak hanya
memanfaatkan bacaan (qiraat) yang diperkenankan oleh imam tujuh ini, tetapi
juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qiraah yang lain,
seperti Ya’qub al-Hadhrami, Abu Bakr, dan lain-laian yang masuk dalam kategori al-qira’at
as-syadzah.
Selain mendasarkan pada ayat-ayat
al-Qur’an dan macam qiraat, dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Baidhawi juga
sangat besar memberikan porsi kepada hadis Nabi SAW. Hadis-hadis yang dikutip
sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan, kemudian hadis yang termasuk
dalam kategori asbabun nuzul, dan hadis-hadis yang lebih bersifat untuk
menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan. [7]
c.
Corak Tafsir
Kitab tafsir Al Baidhawi merupakan
salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran secara bil ma’tsur
dan bir ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, beliau tidak hanya memasukkan
riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al Qur’an, yang
menjadi ciri khas dari penafsiran bil ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad
untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
beliau sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu
corak yang spesifik secara mutlak, misalnya fiqih, akidah atau yang lain.
Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat,
fiqih, bahkan tasawuf. Hanya saja sebagai seorang sunni, penafsiranya cenderung
kepada madzhab yang diikutinya. Dan secara umum kitab tafsir ini
lebih kental nuansa teologinya.
Meskipun al-Baidhawi banyak
merujuk pada tafsir al- Kasysyaf karya Zamakhsyari yang beraliran Muktazilah, Beliau
meninggalkan, bahkan seringkali mengkritik aspek-aspek kemuktazilahannya.
Salah satu ciri yang menjadi
karakter dari kitab tafsir al-Baidhawi ini adalah bahwa penulisannya senantiasa
menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan pendek. Keringkasan penggunaan bahasa
dalam kitab tafsir ini secara nyata tampak dari jumlahnyayang hanya dua jilid.
Meski disiplin keilmuan yang digunakan dan sumber penafsiran hampir sama dengan
kitab Mafatihul Ghaib dan Al-Kasysyaf, namun kedua kitab ini lebih tebal.
Selain itu banyaknya syarah atau hasyiyah mungkin bisa disebut sebagai
salah satu indikasi sangat ringkasnya kitab tafsir ini. [8]
3.
Komentar terhadap Tafsir.
Kitab tafsir ini merupakan salah
satu induk kitab tafsir bagi orang yang ingin memahami Kalam Allah dan
mengetahui rahasia dan maknanya.[9]
Mani’ Abdul Halim Mahmud mengutip
pendapat salah satu ulama yang mengatakan bahwa kitab tafsir ini adalah kitab
besar, kaya penjelasan, rizqi dari Allah dengan ungkapan yang baik di antara
jumhur ahli keutamaan.[10]
[1]Tafsir
ini telah dicetak beberapa kali, di antaranya: Bombay, 1271 H.; Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, cet. I, 1408H/1988M, 2 jilid; Beirut: Muassasah al-‘A’lami
li al-Mathbu’at, cet. I, 1410, 4 jilid; Mesir: Bulaq, 1283H. Lihat: Muhammad
‘Ali Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Muassasah
at-Thaba’ah wa an-Nasyr Wazarah ats-Tasaqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373),
hlm. 159.
[3]M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir
Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 211. Lihat: Iyazi,
al-Mufassirun…, hlm. 158-159.
No comments:
Post a Comment