Friday, May 20, 2016

Makalah Study Kitab Tafsir Klasik tentang Anwar At-Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil Karya Al-Baidhawi



ANWAR AT-TANZIL WA ASRAR AT-TA’WIL
KARYA AL-BAIDHAWI

A.     Pengenalan Kitab
1.      Nama Kitab:
            Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil. Dikenal dengan nama Tafsir al-Baidhawi.
2.      Nama Penulis:
            Nashir ad-Din, Abu Said Abd Allah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi as-Syairazi. Lebih dikenal dengan nama al-Baidhawi. (w. 691H/1097M)
3.      Penerbit: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.[1]
4.      Kota Penerbit: Beirut, Lebanon
5.      Tahun Terbit: t.th
6.      Jumlah Juz/Jilid: 2 Juz/Jilid
No
Juz/Jilid
Surat
Hlm
1
I
al-Fatihah – al-Isra’
586
2
II
Al-Kahfi – an-Nas
635


B. Biografi Mufassir
Nama lengkap al-Baidhawi adalah Nashir ad-Din, Abu Sa’id Abu al-Khoir, Abd Allah bin Umar bin Muhammad bin Ali al Baidhowi as-Syairazi. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang berdekatan dengan kota Syiroz di Iran.[2] Di kota inilah Beliau tumbuh dan berkembang menimba ilmu. Ia juga sempat tinggal dan belajar di Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiraz mengikuti jejak ayahnya.
Al-Baidhawi hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun para elit politik yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap dunia peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak ahli fiqh yang menghawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat islam.    Mungkin, karena pertimbangan inilah  setelah mengikuti guru spiritualnya, Syeh Muhammad Khatai yang memintanya keluar dari pemerintah yang menyebabkan Al Baidhawi mengundurkan diri dari jabatan hakim agung. Selepas mengundurkan diri,  Beliau mengembara ke Tabriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul “Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”.
Mengenai tahun meninggalnya tidak ada kesepakatan di antara ulama. As-Subki dan al-Asnawi menyebut tahun wafat al-Baidjawi adalah tahun 691H/1097M, semantara Ibnu Katsir tahun 685H/1092M..[3]
Di antara karya-karya al-Baidhawi adalah:
1.      Al-Minhaj fi Ilm al-Ushul  
2.      Syarh Mukhtashar Ibn Hajib fi al-Ushul
3.      Al-Idhah fi Ushul ad-Din
4.      Al-Ghazah al-Qashwa fi al-Fiqh
5.      Syarh al-Kafiyah li Ibn Hajib
6.      Anwar at-Tanzil wa Asror at-Ta’wil.[4]

C. Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil
1. Sejarah Penulisan Tafsir 
Kitab ini merupakan kitab tafsir yang populer dalam umat islam, dan kitab tafsir ini dinamai oleh Al Baidhowi sendiri dengan nama “Anwar at-Tanzil wa Asror at -Ta’wil”. Hal ini tampak dalam pernyataan beliau yang terdapat dalam pengantar tafsirnya:
“Setelah melakukan shalat istikharoh, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan kitab ini, setelah penulisannya, dengan nama Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”
Al-Baidhawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis tafsir ini. Pertama, bagi beliau, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi diantara ilmu agama yang lain. Mengenai alasan yang pertama beliau menulis “Sesungguhnya ilmu yang paling tinggi derajatnya dan paling mulya adalah ilmu tafsir. Ia adalah pemimpin ilmu-ilmu agama dan kepalanya, fondasi dan dasar agama. Tidak pantas bagi seseorang untuk bicara mengenainya kecuali bagi mereka yang menguasai pengetahuan agama, baik yang ushul maupun yang furu’, dan ahli dalam bahasa dan sastra”.
Kedua, melaksanakan apa yang diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran yang terbaik. Dalam hal ini beliau menulis: “saya telah lama berkeinginan menulis disiplin ini.... yang telah saya pelajari dari para sahabat, tabiin dan kaum salaf. Buku yang juga akan mencakp fikiran-fikiran terbaik yang saya, dan mereka sebelum saya, peroleh dari para pendahulu dan para ulama...”.
Dalam penulisan tafsir ini, beliau memperoleh dari gurunya (Syaikh Muhammad al-Khata’i) yang menyarankan beliau untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir ini pun dilakukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar.
Beliau memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga tafsirnya dianggap sebagai ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf karya Zamakhsyari, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr ad-Din Ar Razi, dan tafsir karya Ar -Raghib al-Isfahani. Hanya saja, beliau melakukan seleksi secara ketat, sehingga meninggalkan paham-paham yang di anut para penulisnya.[5]

2. Format Tafsir
a. Sistematika Tafsir
Dalam penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan tempat turunnya surah (makki atau madani) dan jumlah ayat dari surah yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, beliau menjelaskan ayat satu per satu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadis-hadis Nabi maupun qira’ah. Dia akhir hampir setiap surah, al-Baidhawi menyertakan hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan surah yang baru saja ditafsirkan.
Secara umum, al-Baidhawi menafsirkan al-Qur’an ayat per ayat dengan terlebih dulu menjelaskan nama surat, nisbat kepada tempat turunnya. Di akhir surat, beliau menjelaskan hadis tentang keutamaan surat tersebut.[6]
b. Metode Tafsir
Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asror at-Ta’wil, sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan sesuai dengan tertib mushaf Utsmani, dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Dalam menafsirkan al Quran, al-Baidhawi memanfaatkan berbagai sumber: ayat al-Quran, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan para ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukannya. Kisah-kisah israiliyat yang menjadi “bagian penting” dalam kitab-kitab tafsir sebelumnnya diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah “ruwiya” (diriwayatkan) atau “qila” (dikatakan). Penggunaan kedua istilah ini menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah israiliyat tersebut.
Pendekatan bahasa menjadi “menu utama” dalam setiap penafsiran al-Baidhawi. Dalam hal ini, al-Baidhawi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan al-Baidhawi untuk menguraikan maknanya. Dari sini sangat tampak bahwa al-Baidhawi memang sangat menguasai beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawayh, al-Khalil, al-Mubarrad, Sa’lab dan lain-lain.
Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat lain (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an) merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain yang dalam surah yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surah yang lain dari al-Qur’an.
Dalam hal qiraat, al-Baidhawi tidak hanya menggunakan tujuh qiraat yang sering dianggap sebagai al-qiraat al masyhurah, yaitu bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada tujuh imam: Ibnu Amir, Ibn Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’ dan al-Kisa’i. Al-Baidhawi tidak hanya memanfaatkan bacaan (qiraat) yang diperkenankan oleh imam tujuh ini, tetapi juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qiraah yang lain, seperti Ya’qub al-Hadhrami, Abu Bakr, dan lain-laian yang masuk dalam kategori al-qira’at as-syadzah.
Selain mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan macam qiraat, dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Baidhawi juga sangat besar memberikan porsi kepada hadis Nabi SAW. Hadis-hadis yang dikutip sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan, kemudian hadis yang termasuk dalam kategori asbabun nuzul, dan hadis-hadis yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan. [7]

c. Corak Tafsir
Kitab tafsir Al Baidhawi merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran secara bil ma’tsur dan bir ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, beliau tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al Qur’an, yang menjadi ciri khas dari penafsiran bil ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak, misalnya fiqih, akidah atau yang lain. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqih, bahkan tasawuf. Hanya saja sebagai seorang sunni, penafsiranya cenderung kepada madzhab yang diikutinya. Dan secara umum kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologinya.
Meskipun al-Baidhawi banyak merujuk pada tafsir al- Kasysyaf karya Zamakhsyari yang beraliran Muktazilah, Beliau meninggalkan, bahkan seringkali mengkritik aspek-aspek kemuktazilahannya.
Salah satu ciri yang menjadi karakter dari kitab tafsir al-Baidhawi ini adalah bahwa penulisannya senantiasa menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan pendek. Keringkasan penggunaan bahasa dalam kitab tafsir ini secara nyata tampak dari jumlahnyayang hanya dua jilid. Meski disiplin keilmuan yang digunakan dan sumber penafsiran hampir sama dengan kitab Mafatihul Ghaib dan Al-Kasysyaf, namun kedua kitab ini lebih tebal. Selain itu banyaknya syarah atau hasyiyah mungkin bisa disebut sebagai salah satu indikasi sangat ringkasnya kitab tafsir ini. [8]

3. Komentar terhadap Tafsir.
            Kitab tafsir ini merupakan salah satu induk kitab tafsir bagi orang yang ingin memahami Kalam Allah dan mengetahui rahasia dan maknanya.[9]
            Mani’ Abdul Halim Mahmud mengutip pendapat salah satu ulama yang mengatakan bahwa kitab tafsir ini adalah kitab besar, kaya penjelasan, rizqi dari Allah dengan ungkapan yang baik di antara jumhur ahli keutamaan.[10]





















                [1]Tafsir ini telah dicetak beberapa kali, di antaranya: Bombay, 1271 H.; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. I, 1408H/1988M, 2 jilid; Beirut: Muassasah al-‘A’lami li al-Mathbu’at, cet. I, 1410, 4 jilid; Mesir: Bulaq, 1283H. Lihat: Muhammad ‘Ali Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Muassasah at-Thaba’ah wa an-Nasyr Wazarah ats-Tasaqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373), hlm. 159.
                [2]Iyazi, Al-Mufassirun…, hlm. 158-159.
[3]M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 211. Lihat: Iyazi, al-Mufassirun…, hlm. 158-159.
                [4]Iyazi, al-Mufassirun…, hlm. 159. Lihat: Mani’ Abd Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin  (Kairo: Dar al-Kitab al-Misriy, 1978), hlm. 242.
[5]Adz-Dzahabi,  At Tafsir..., hal. 211-215. Lihat: Mahmud, Manahij… hlm. 242-243.
                [6]Iyazi, al-Mufassirun…, hlm. 161.
                [7]Adz-Dzahabi,  At Tafsir..., hal. 211-215
                [8]Adz-Dzahabi,  At Tafsir..., hal. 211-215
                [9]Adz-Dzahabi, At-Tafsir…, hlm. 216.
                [10]Mahmud, Manahij …, hlm. 243-244.

No comments:

Post a Comment