Wednesday, May 25, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Ashbabul Wurud Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
الحمد لله الذي أنعم علينا بأنواع النعم التي لا تحصى والصلاة و السلام على سيدنا و مولانا محمد وعلى اله و صحبه الذين أذهب عنهم الرجس وطهّرهم تطهيرا و سلّم تسليما كثيرا .
Hadits merupakan berita yang berupa ucapan, pekerjaan maupun ketetapan yang disandarakan kepada Nabi Muhammad SAW.[1] Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya hadits merupakan salah satu sumber hukum umat islam yang kedua setelah al-Qur’an al-Karim. Hadits mempunyai peranan penting dalam menentukan sebuah hukum, yaitu meguatkan suatu hukum yang telah ada dalam al-Qur’an, menjelaskan dengan detail hukum tersebut dan menerangkan cara pelaksanaan suatu hukum.
Hadits termasuk salah satu diantara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan dunia. Begitu besar perhatian ulama’ terhadap kajian dan studi untuk mempelajari dan memahami hadits. Para ulama’ telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusuun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hadits. Salah satunya yaitu dengan adanya ilmu asbabul wurud.
فإن من أنواع علوم الحديث معرفة أسبابه كأسباب نزول القرآن، وقد صنف فيه الأئمة كتبا في أسباب نزول القرآن، واشتهر منها كتاب الواحدي ولي فيه تأليف جامع يسمى " لباب النقول في أسباب النزول ".
وأما أسباب الحديث فألف فيه بعض المتقدمين ولم نقف عليه، وإنما ذكروه في ترجمته، وذكره الحافظ أبو الفضل ابن حجر في " شرح النخبة ".
وقد أحببت أن أجمع فيه كتابا، فتتبعت جوامع الحديث، والتقطت منها نبذا، وجمعتها في هذا الكتاب، والله الموفق والهادي للصواب.
فصل قال شيخ الأسلام سراج الدين البلقيني في كتابه " محاسن الاصطلاح "،: النوع التاسع والستون معرفة أسباب الحديث.
قال الشيخ أبو الفتح القشيري المشهور بابن دقيق العيد رحمه الله في " شرح العمدة " في الكلام على حديث: " إنما الأعمال بالنيات " في البحث التاسع: شرع بعض المتأخرين من أهل الحديث في تصنيف أسباب الحديث، كما صنف في أسباب النزول للكتاب العزيز فوقفت من ذلك على شئ يسير له.[2]
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud. Sebagian hadits ada yang mempunhyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak memiliki. Untuk kategori pertama, mengerahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman(misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadits. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau dalam memahami hadits.[3]
Teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah. Sebab, dibalik sebuah teks atau matan tersebut terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadits.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin sedikit mengurai menganai ilmu asbabul wurud al-hadits yang sangat penting fungsinya dalam memahami sebuah teks hadits.
KAJIAN TEORI
          Secara etimologis ”asbabul wurud” merupakan susunan idlofah, yang berasal dari kata asbab dan wurud. Kata ”asbab adalah bentuk jama’ dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat mehubungkan pada sesuatu yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari waroda, yaridu, wuruudan yang berarti datang atau sampai .
عرف أهل اللغة السبب بفتح السين والموحودة بأنّه الحبل. جاء في اللسان : أنّ ذلك في لغة هذيل. واختار له : أنّه كلّ شيئ يتوصل به إلى غيره.
الورود والموارد بمعنى المناهل أو الماء الذى يورد. [4]
Secara terminologi menurut As-suyuti, asbabul wurud diartikan sebagai berikut:
أنّه مايكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أوخصوص أوإطلاق أوتقييد أو نسخ أو نحو ذلك.
Artinya : “sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits”.
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqie, asbabul wurud adalah :
علم يعرف به السبب الذى ورد لأجله الحديث والزمان الذى جاء به.
            Artinya : ilmu yang menerangkan sebab-sebab dan masa-masa Nabi Muhammad SAW menuturkan sabdanya.
          Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa asbabul wurud merupakan konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau atau pertanyaan atau yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut disampaikan oleh Rasulullah SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits tersebut bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, naskh atau mansukh, dan lain sebagainya.[5]
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami kaji pada pembahasan ini adalah : Bagaimana cara memahami hadits dengan menggunakan asbabul wurud ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penyebab Munculnya Hadits dan Cara Mengetahuinya
Ada beberapa penyebab hadirnya hadits, diantaranya adalah :
1.      Berupa ayat al-Qur’an, artinya ayat al-Qur’an menjadi penyebab Rasulullah SAW menyampaikan hadits.
2.      Berupa Hadits, artinya pada saat itu Nabi menyampaikan suatu hadits, akan tetapi ada sebagian sahabat yang merasa kesulitandalam memahami apa yang dikehendaki Nabi sehingga hadits lain pun muncul.
3.      Berupa kasus yang terjadi atau sesuatu yang dikonsultasikan kepada Nabi atau jawaban yang diberikan oleh Nabi untuk merespon pertanyaan maupun pernyataan sahabat.
Adapun cara untuk mengidentifikasi hadits-hadits yang mempunyai asbabul wurud diantaranhya adalah :
1.      Diketahui dalam satu rangkaian hadits itu sendiri. Untuk kasus hadits seperti ini, maka akan lebih mudah bagi kita memahami konteks pada saat hadits tersebut disampaikan Nabi.
2.      Sebab hadirnya hadits yang tidak tertuang dala satu rangkaian redaksi hadits, namun diketahui melalui hadits lain dengan sanad yang berbeda. Untuk kasusu seperti ini, maka perlu adanya usaha yang lebih komprehensif dalam melakukan ekksplorasi hadits lain yang mengandung relevansi dan pesan yang serupa.[6]
B.     Urgensi mempelajari Asbabul Wurud
Menurut Imam As-Suyuthi, adapun urgensi mempelajari asbabul wurud adalah :
1.      Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak
2.      Mentafshil hadits yang masih nersifat global
3.      Menentukan ada atau tidak adanya naskh dalam hadits
4.      Menjelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hadits
5.      Menjelaskan maksud suatu hadits yang masih musykil.[7]
C.    Memahami kandungan Hadits dengan menggunakan Asbabul Wurud
1.      Al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi umum al-Lafdzi dan penerapannya
Seperti diketahui setiap asbabul wurud pasti didalamnya mencakup peristiwa, pelaku, waktu. Tidak mungkin mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.[8] Sedangkan dalam kaitannya dengan asbab wurud sebagian ulama’ berpegang pada kaidah “al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la Bi umum al-Lafdzi” yaitu patokan dalam memahami ayat atau hadits adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum.
Ulama’ telah membahas telah membahas hubungan antara sebab yang terjadi dengan ayat yang turun. Hal ini dianggap penting, karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum, sebagai akibat darinya, berdasarkan bunyi lafadznya, atau terkait dengan sebab berhadapan, yang masing-masing berbunyi :  
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب                                                
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sabab”
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”
            Al-Zarqani dalam mengawali pembahasan tentang hubungan antara sebab dengan jawaban sebagai akibat atas sebab itu menyatakan, bahwa jawaban atas suatu sebab ada dua kemungkinan;
  1. Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang bebas, dalam arti berdiri sendiri atau terlepas dari sebab yang ada.
  2. Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang tidak bebas, dalam arti tetap terkait secara langsung dengan sebab yang ada.[9]
Sebagian ulama’ lain berpendapat, bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafadz yang umum, karena lafadz yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehinggan pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya. [10]

Penerapan kaidah al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafdzi dalam Hadits
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(BUKHARI - 4073) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Perlu diketahui bahwa asbab wurud  hadits ini adalah pernyataan Rasulullah terkait gaya kepemimpinan anak perempuan kaisar persia yang mengantikan Kisra ayahnya. Ia dibunuh oleh anak laki-lakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh ayahnya sendiri, Syairuwiyah, maka ia memerintahkan kepada pembantunya yang setia untuk membunuh ayahnya setelah ia mati. Berselang enam bulan sejak kematian ayahnya, Syairuwiyah mati dengan cara diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja, karena disamping membunuh ayahnya, Syairuwiyah juga membunuh saudaranta yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran binti Syairuwiyah bin Kisra bin Barwis. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta kerajaan. Ia dikenal otoriter dan tidak meredam konflik antar suku di wilayah Persia. Tidak lama kemudian kerajaannya hancur berantakan, karena kepemimpinannya dianggap gagal.
Dalam konteks ini Nabi Muhammad bersabda; “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka”. Hadits ini diungkapkan Nabi dalam rangka pemberitahuan, hanyab sebuah informasi yang disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimate hukum dan tidak memiliki relevansi hukum.[11]
Dengan demikian hadits diatas harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak dapat digeneralisasikan, akan tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu. Bukan merupakan larangan semua kaum sesudahnya agar tidak menyerahkan pemerintahan kepada perempuan.
2.      Al-Ibrah bi ‘Umumil Lafdzi la bil Khusus al-Sabab dan penerapannya
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sabab”.
            Diatas merupakan kaidah ushuliyyah yang menemukan momentumnya. Suatu saat Nabi Muhammad sebagai penyampai syari’at dari Allah memilih untuk menggumakan redaksi kata umum, sementara pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sesuatu yang lebih spesifik, maka bisa difahami bahwa yang dikehendaki memang keumumannya, disamping para sahabat dan tabi’in setelahnya juga sepakat untuk menjadikan keumuman sebuah teks sebagai pertimbangan dan hal utama yang mereka jadikan sebagai pegangan, walaupun penyebab munculnya teks-teks tersebut khusus. [12]
            Ayat yang memiliki sebab tertentu, apabila ayat itu berupa perintah atau larangan, maka ayat itu mencakup person yang bersangkutan dan person lainnya yang memiliki kesamaan khusus, atau yang sama kedudukan dan keadaannya. [13]
            Jumhur ulama’ berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus pada hal-hal yang serupa dengan itu. [14]
Penerapan kaidah al-Ibrah bi ‘Umumil Lafdzi la bil Khusus al-sabab dalam Hadits
            Dalam persoalan mandi pada hari jum’at, imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Abdullah Ibnu Umar sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Apabila salah seorang di antara kalian datang untuk sholat jum’at, maka hendaklah mandi”.
            Hadits ini disabdakan Nabi karena sebab khusus. Pada masa itu, kebanyakan dari para sahabat masih hidup dalam keadaan ekonomi yang sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma dan memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja, kebanyakan dari mereka langsung ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Sehingga, bau keringat menganggu ketenangan dan kekhususan para jamaah. Kemudian, kemudian, ketika Nabi berkhutbah bersabda; “Wahai sekalian manusia, jika kalian melksanakan shalat jum’at. Hendaklah mandi terlebih dahulu, dan pakailah minyak wangi terbaik yang ada padanya”.
            Jumhur ulama’ mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit, dan lain-lain. Namun, apabila kondisinya telah berubah, kondisi umat Islam sudah makmur, masjid-masjid yang luas, pakaian mereka terbuat dari kain yang bagus, maka ada kelonggaran untuk tidak mandi ketika  hendak menunaikan shalat jum’at.
            Apabila kita amati dengan baik, pendapat yang disampaikan oleh jumhur ulama’ berdasarkan kaidah “al-Ibratu bi Umum al-Lafdzi la bi Khusus al-Sabab” (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman teks bukan kekhususan sebabnya). Dengan memaparkan kaidah ini, maka hadits ini berlaku bagi siapa saja yang menyebabkan munculnya hadits tersebut. Isi hadits tersebut tidak mengikat kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan perilaku peristiwa dan dalam kondisi yang berbeda.
            Jika memahami hadits tersebut dilepaskan dengan asbabul wurudnya, maka bisa disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib, sebagaima pendapat Daud al-Dzahiri yang cenderung memahami teks-teks agama secara harfiyah. Pendapat seperti ini muncul akibat pemahaman yang tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks sebab yang melatar belakangi. [15]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
          Dalam memahami suatu literatur, baik al-Qur’an maupun al-Hadits kita harus memahami historisitas bagaimana literatur tersebut dapat muncul. Karena kita ketahui bahwasanya kedua sumber hukum tersebut datang tidak dalam ruang yang hampa. Akan tetapi keduanya datang untuk memberikan suatu pembelajaran bagi kehidupan manusia agar lebih terarah.
            Di dalam penafsiran al-Qur’an ilmu yang membahas sejarah datangnya wahyu tersebut dinamakan asbabun nuzul, sedangkan dalam al-hadits dinamakan asbabul wurud. Ilmu ini sangat berguna dalam memahami literatur yang ada dengan meninjau kembali sejarah dimasa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qadhi. Samir bin Sami, Nailus Suul fi Syarhi Luma’il Ushul, Beirut: Syarikah Darul Masyari’, 2012,  vol. 1.
Al-Qattan. Manna’ Khalil, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H.
As-Shalih. Subhi Ibrahim, Ulum al-Hadits wa Mustholahuhu, Beirut : Dar al-Ilmi lil Malayin, 1984.
As-Suyuthi. Jalaluddin, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M.
Baidan. Nasruddin, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011,
Fudhaili. Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadits-Hadits, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012
Munawwar. Said Agil Husin, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Sattar. Abdul, Konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya terhadap Tampilan Redaksi Hadis (Studi Tentang Asbabul Wurud), Semarang : IAIN Walisongo.
Shihab. M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001.


[1] Subhi Ibrahim as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mustholahuhu, Beirut : Dar al-Ilmi lil Malayin, 1984, h. 3.
[2] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h. 65.
[3] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 6.
[4] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h. 10.
[5] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 8-9.
[6] Abdul Sattar, Konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya terhadap Tampilan Redaksi Hadis (Studi Tentang Asbabul Wurud), Semarang : IAIN Walisongo, h. 21-28.
[7] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h.11-17.
[8] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2007, hal.89
[9] Nasruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal.147
[10] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H, hal. 85
[11] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadits-Hadits, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012 hal.279-280
[12] Samir bin Sami al-Qadhi, Nailus Suul fi Syarhi Luma’il Ushul, Beirut: Syarikah Darul Masyari’, 2012,  vol1, hal. 351
[13] Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asb al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001, hal.190-191
[14] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H, hal. 84.
[15] Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001, hal.191-194

No comments:

Post a Comment