I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam konteks
historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci
manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan
manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi
muatan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan
Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang
ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan
dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Abad ke-19
dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak
Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah
muncul seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya ialah
Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan
pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern,
dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]
Mengetahui
latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam
tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab
tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga,
pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan
karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari
mufassir tesebut, baik dalam metode atau
aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal
kepribadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami
sebuah kitab tafsir.
Maka dari itulah
lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus kepada
segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah
dalambalaghah,bahasa, dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah
memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu member
peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat bagi ummat
Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab
yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun
model penafsiran tersebut di kenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I.
Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar
yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan
murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Tafsir Adaby Al-Ijtima`i?
2.
Siapa
Sajakah Tokoh Tafsir Adaby Al-Ijtima`i?
3.
Bagaimana
Karakteristik Corak Penafsiran Adabi Ijtima`i?
4.
Bagaimana
Contoh Penafsiran Adaby Al-Ijtima`i?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir Adaby Al-Ijtima`i
Al-adabi wa
al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Corak tafsir
yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir
kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i.[3]
Kata al-adaby
dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi)
aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata
tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam
bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh
karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata
al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di
sebut dengan tafsir sosio-kultural.[4]
Berbagai model
tafsir yang sudah mulai berkembang di Zaman modern ini adalah tafsir al-Adabi
wa al-Ijtima’iy. Model tafsir ini adalah tafsir yang pembahasannya lebih
menekankan pada aspek-aspek sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Definisi secara
terminologis tafsir jenis ini dirinci dan di uraikan oleh para ahli sebagai
berikut. Di antaranya menurut Dr. Muhammad Husai al-Dzahabi mengatakan tafsir
al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan
bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan
ayat-ayat alQuran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang
berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia
pada umumnya.[5]
Sedangkan
Manna’ Qathan memberikan definisi: “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf
al-Ummah dan dengan urayan tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Menguraikan gaya alQuran yang pelik dengan menyingkapkan maknanya dengan
ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan maslah-masalah yang musykil
dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta
mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk alQuran.”[6]
B.
Tokoh
Tafsir Adaby Al-Ijtima`i
Mengenai penafsiran
Alquran kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur’ani sebagai
jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya
mempertemukan antara Qur’an dan sains modern yang selalu berkembang dengan
cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih
menegaskan I’jaz ilmi Alquran. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka
tafsir yang sangat banyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX
dan XX.
Seperti kitab-kitab tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini,
antara lain:
ü Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H)
ü Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M)
ü Tafsir Alquran Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut
ü Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Literatur Tafsir Alquran Di Indonesia Dari Segi Metode, Nuansa dan
Pendekatan tafsir.
Ø Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Alquran, Karya Jalaluddin Rahmat.
Ø Tafsir Juz ‘amma Disertai Asbab al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan
Edham Syifa’i.
Ø Tafsir Al-Mishbah, kesan dan keserasian Alquran.
Ø alquran Al-Karim, Tafsir atas surat-surat pendek Berdasarkan urutan
Turunnya Wahyu.
Ø Wawasan Alquran, karya M. Quraish Shihab.
Ø Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi
Alquran, karya Mahasin.
Ø Konsep Perbuatan Manusia Menurut Alquran, Karya Jalaludin Rahman
Ø Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran, Karya Musa Asy’ari.[7]
C.
Karakteristik
Corak Penafsiran Adabi Ijtima`i
Karakteristik
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu;
Pertama,
memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai
hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusah
membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan
yang utuh.
Kedua, keumuman
kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat
universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat
pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran
tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa,
bukan umat tertentu saja.
Ketiga,
al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu
ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran.
Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara
mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak
sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat,
menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha
menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap
menyebabkan umat Islam beku, tidak
dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat. Penggunaan daya pikir atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam
al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar
(pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda
kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Kelima, peranan
akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan
memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang
menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun
dan sebagainya.
Karena itu,
wahyu dan akal kedudukannya merupakan tanda kekuasaan Allah dalam wujud ini.
Kedua tanda kekuasaan itu tidak mungkin berlawanan, karena:
1. Keduanya menjadi tanda zat yang mutlak
sempurna. Akal manusia memustahilkan adanya perlawanan antara tanda-tanda
tersebut karena perlawanan itu berarti suatu kelemaha.
2. Wahyu dan akal keduanya menjadi sumber
hidayah, keduanya menuntun pada jalan yang lurus untuk kehidupan manusia dan
menentukan tujuan akhir manusia dalam kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal
yang demikian keadaannya tidak akan berbeda di dalam garis besar dalam
menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
Muhammad Abduh
meletakkan akal dalam kedudukan yang tinggi dalam menafsirkan ayat. Sebagai
contoh, menurut beliau malaikat bukan merupakan satu “person” tetapi bersifat
satu kekuatan yang berfungsi mengateur mekanisme pertumbuhan dan perkembangan
makhluk-makhluk di alam semesta ini.
Keenam,
merelevensikan ayat-ayat al-Quran dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan
aliran tafsir ini yang berorientasi kepada kemasyarakatan, maka salah satu
corak penafsirannya adalah mengkaitkan antara ayat alQuran dengan kebutuhan
masyarakat. Pada masa Abduh, umat Isalam berada dalam cengkraman kolonia barat.
Maka tafsir ini berusaha membangkitkan umat dari tidurnya, bangkit melawan
penjajah dan kembali mengkaji nilai-nilai al-Quran sehingga dapat mendorong
pada pembangunan dan kemakmuran rakyat.[8]
Merujuk ke
dalam buku Ali Hasan al-‘Aridhi dan buku Abdul Hayy al-Farmawi, corak tafsir
ini termasuk corak tafsir dengan metode tahlili (walaupun al-‘Aridhi sendiri
dalam subjudulnya mengenai adabi tidak menyertakan kata ijtima’i. Dia hanya
menyebutkan adabi ijtima’i dalam penjelasannya). Artinya bahwa tafsir ilmi dan
tafsir ijtima’i termasuk tafsir modern (dan kontemporer) yang menggunakan
metode tahlili.
Rachmat Syafei merinci ciri-ciri corak tafsir adabi ijtima’i yaitu
;
a)
Memperhatikan
ketelitian redaksi ayat-ayat al-Quran
b)
Menguraikan
makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
c)
Aksentuasi
yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Quran
d)
Penafsiran
ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam
masyarakat. Kemudian, Usman juga menjelaskan empat prinsip tafsir adabi
ijtima’i.[9]
D.
Contoh
Penafsiran Adaby Al-Ijtima`i
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Dalam tafsir tentang hukum-hukum Allah swt dalam masyarakat,
misalnya hukum Allah swt mengenai ciptaanNya yang tidak berubah yaitu Al-Qur’an
Surah an-Nisa’ ayat 34 berbunyi ;
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا (34)
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S.
an-Nisa’ Ayat 34).
Berbicara
mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa' biasanya dijadikan
sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang pembagian
kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk
menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang melandasi hak dan
kewajiban suami-istri:
1)
Terdapat
perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi
juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter
yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga
dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap
kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2)
Pola
pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas
dan tuntutan - minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu
derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih
tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34,
yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap
perempuan (istri)."
Kepemimpinan untuk
setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena
mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan
yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari
keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat
muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi
seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu
perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan
serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak
kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di atas,
dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a)
Adanya
sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya
kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
b)
Adanya
kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Ibnu Hazm -
seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak
berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan
sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
Walaupun diakui
dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan
materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak
dapat di jadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.
Sekali lagi
perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing
pasangan - paling tidak dari segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya
dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu
Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya
membantu suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya
antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih di
kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di
balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi
oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran
agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini,
sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri
untuk sujud kepada suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang suami
mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat
ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah
tangga dan bertanggung Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban
tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang
diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian
tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan
pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan ketenangan
bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau
wanita yang tidak disenangi oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga
inilah Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu
pria yang mengunjungi rumahnya.
Pada konteks
inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri berada di rumah. Firman
Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal berdiam di rumah
kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk
istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita.
Namun tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di rumah dan tidak
diperkenalkan keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus
diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya,
peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah
itu sebagai sakan, yakni "tempat yang menenangkan dan menenteramkan
seluruh anggotanya." Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw.
menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan
suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara
diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu,
seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya
pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap
wanita, karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa
keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri
wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa
kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa
diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami ketimpangan
kepribadian.
Rasulullah Saw.
pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dari pangkuan
Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul.
Rasulullah bersabda,
"Jangan
engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi
apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan
kasar itu)?
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari
perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena
itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap
perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini
pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang
anak.[10]
III.
KESIMPULAN
Corak
penafsiran metode adabi al-ijtima’i ialah Corak tafsir yang memadukan filologi
dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan.
Adapun
karakteristik corak penafsiran metode adabi al-ijtima’i antara lain:
a.
Memandang
bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan.
b.
keumuman
kandungan al-Quran.
c.
al-Quran
sumber utama aqidah dan syariat Islam.
d.
menerangi
taklid buta.
e.
peranan
akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran.
f.
merelevensikan
ayat-ayat al-Quran dengan kebutuhan masyarakat.
Adapun contoh penafsiran corak adabi al-ijtima’i bisa dilihat pada Al-Qur’an
Surah an-Nisa’ ayat 34 dan Al-Baqarah ayat 228 tentang peranan istri dalam
rumah tangga.
IV.
DAFTAR
PUSAKA
Al-Qattan
Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013).
Al-Qathan
Manna’, Mabahish fi Ulum alQuran, (Bairut:
Muassasah al-Risalah, 1976).
Al-Aridl Ali
Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992).
Al-Dzahabi
Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab
al-Arabi, 1976).
Karman
Supiana-M., Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002).
Nur
Kholis Mohamad dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.).
(Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997).
Saefudin
Ace , Metodologi dan corak Tafsir Modern (telaah terhadap karya J.J.G. Jansen).
Syafi’i
Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Usman. Ilmu
Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009).
WAWASAN
AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab,
M.A. ebook by.nazilhilmie@yahoo.com.
[1]Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013),
h.512
[2]Ali Hasan
al-“Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992),
hlm. 69-70
[3]Mohamad
Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.).
(Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997).
Hlm.xi
[4]Supiana-M.
Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm. 316-317
[5]Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab
al-Arabi, 1976), hlm. 215
[6]Manna’
al-Qaththan, Mabahish fi Ulum alQuran, (Bairut:
Muassasah al-Risalah, 1976).
[7]Ace
Saefudin, Metodologi dan corak Tafsir Modern (telaah terhadap karya J.J.G.
Jansen), hlm. 62.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2096035776.pdf
[8]Usman.
Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 204
[9]Rachmat
Syafi’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Pustaka Setia, 2006)hlm. 25.
[10]WAWASAN
AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab,
M.A. ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
No comments:
Post a Comment