Tuesday, May 24, 2016

Makalah Madzahib Al-Tafsir tentang Tafsir Corak Adaby Al-Ijtima`i



I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir  tesebut, baik dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal kepribadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalambalaghah,bahasa, dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun model penafsiran tersebut di kenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tafsir Adaby Al-Ijtima`i?
2.      Siapa Sajakah Tokoh Tafsir Adaby Al-Ijtima`i?
3.      Bagaimana Karakteristik Corak Penafsiran Adabi Ijtima`i?
4.      Bagaimana Contoh Penafsiran Adaby Al-Ijtima`i?

II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Adaby Al-Ijtima`i
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i.[3]
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[4]
Berbagai model tafsir yang sudah mulai berkembang di Zaman modern ini adalah tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy. Model tafsir ini adalah tafsir yang pembahasannya lebih menekankan pada aspek-aspek sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Definisi secara terminologis tafsir jenis ini dirinci dan di uraikan oleh para ahli sebagai berikut. Di antaranya menurut Dr. Muhammad Husai al-Dzahabi mengatakan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat alQuran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.[5]
Sedangkan Manna’ Qathan memberikan definisi: “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan urayan tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya alQuran yang pelik dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan maslah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk alQuran.”[6]
B.     Tokoh Tafsir Adaby Al-Ijtima`i
Mengenai penafsiran Alquran kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur’ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara Qur’an dan sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih menegaskan I’jaz ilmi Alquran. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat banyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX dan XX.
Seperti kitab-kitab tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini, antara lain:
ü  Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H)
ü  Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M)
ü  Tafsir Alquran Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut
ü  Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Literatur Tafsir Alquran Di Indonesia Dari Segi Metode, Nuansa dan Pendekatan tafsir.
Ø  Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Alquran, Karya Jalaluddin Rahmat.
Ø  Tafsir Juz ‘amma Disertai Asbab al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i.
Ø  Tafsir Al-Mishbah, kesan dan keserasian Alquran.
Ø  alquran Al-Karim, Tafsir atas surat-surat pendek Berdasarkan urutan Turunnya Wahyu.
Ø  Wawasan Alquran, karya M. Quraish Shihab.
Ø  Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Alquran, karya Mahasin.
Ø  Konsep Perbuatan Manusia Menurut Alquran, Karya Jalaludin Rahman
Ø  Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran, Karya Musa Asy’ari.[7]
C.     Karakteristik Corak Penafsiran Adabi Ijtima`i
Karakteristik Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu;
Pertama, memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusah membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua, keumuman kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.
Ketiga, al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat, menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap menyebabkan  umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat. Penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Kelima, peranan akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir  ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan sebagainya.
Karena itu, wahyu dan akal kedudukannya merupakan tanda kekuasaan Allah dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan itu tidak mungkin berlawanan, karena:
1.    Keduanya menjadi tanda zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan adanya perlawanan antara tanda-tanda tersebut karena perlawanan itu berarti suatu kelemaha.
2.    Wahyu dan akal keduanya menjadi sumber hidayah, keduanya menuntun pada jalan yang lurus untuk kehidupan manusia dan menentukan tujuan akhir manusia dalam kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal yang demikian keadaannya tidak akan berbeda di dalam garis besar dalam menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
Muhammad Abduh meletakkan akal dalam kedudukan yang tinggi dalam menafsirkan ayat. Sebagai contoh, menurut beliau malaikat bukan merupakan satu “person” tetapi bersifat satu kekuatan yang berfungsi mengateur mekanisme pertumbuhan dan perkembangan makhluk-makhluk di alam semesta ini.
Keenam, merelevensikan ayat-ayat al-Quran dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan aliran tafsir ini yang berorientasi kepada kemasyarakatan, maka salah satu corak penafsirannya adalah mengkaitkan antara ayat alQuran dengan kebutuhan masyarakat. Pada masa Abduh, umat Isalam berada dalam cengkraman kolonia barat. Maka tafsir ini berusaha membangkitkan umat dari tidurnya, bangkit melawan penjajah dan kembali mengkaji nilai-nilai al-Quran sehingga dapat mendorong pada pembangunan dan kemakmuran rakyat.[8]
Merujuk ke dalam buku Ali Hasan al-‘Aridhi dan buku Abdul Hayy al-Farmawi, corak tafsir ini termasuk corak tafsir dengan metode tahlili (walaupun al-‘Aridhi sendiri dalam subjudulnya mengenai adabi tidak menyertakan kata ijtima’i. Dia hanya menyebutkan adabi ijtima’i dalam penjelasannya). Artinya bahwa tafsir ilmi dan tafsir ijtima’i termasuk tafsir modern (dan kontemporer) yang menggunakan metode tahlili.
Rachmat Syafei merinci ciri-ciri corak tafsir adabi ijtima’i yaitu ;
a)      Memperhatikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Quran
b)      Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat dengan susunan kalimat yang indah
c)      Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Quran
d)     Penafsiran ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian, Usman juga menjelaskan empat prinsip tafsir adabi ijtima’i.[9]
D.    Contoh Penafsiran Adaby Al-Ijtima`i
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Dalam tafsir tentang hukum-hukum Allah swt dalam masyarakat, misalnya hukum Allah swt mengenai ciptaanNya yang tidak berubah yaitu Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 34 berbunyi ;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa’ Ayat 34).
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa' biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1)      Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
2)      Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a)      Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan istri.
b)      Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat di jadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar para istri berada di rumah. Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni "tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh anggotanya." Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw. menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami ketimpangan kepribadian.
Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
"Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.[10]
III.             KESIMPULAN
Corak penafsiran metode adabi al-ijtima’i ialah Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan.
Adapun karakteristik corak penafsiran metode adabi al-ijtima’i antara lain:
a.       Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan.
b.      keumuman kandungan al-Quran.
c.       al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam.
d.      menerangi taklid buta.
e.       peranan akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran.
f.       merelevensikan ayat-ayat al-Quran dengan kebutuhan masyarakat.
Adapun contoh penafsiran corak adabi al-ijtima’i bisa dilihat pada Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 34 dan Al-Baqarah ayat 228 tentang peranan istri dalam rumah tangga.

IV.             DAFTAR PUSAKA
Al-Qattan Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa,     2013).
Al-Qathan Manna’, Mabahish fi Ulum alQuran, (Bairut:  Muassasah al-Risalah, 1976).
Al-Aridl Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992).
Al-Dzahabi Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab al-Arabi, 1976).
Karman Supiana-M., Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002).
Nur Kholis Mohamad dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.). (Yogyakarta:  Tiara wacana Yogya.1997).
Saefudin Ace , Metodologi dan corak Tafsir Modern (telaah terhadap karya J.J.G.    Jansen).
Syafi’i Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009).
WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. ebook by.nazilhilmie@yahoo.com.





[1]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013), h.512
[2]Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 69-70
[3]Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.). (Yogyakarta:  Tiara wacana Yogya.1997). Hlm.xi
[4]Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm. 316-317
[5]Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab al-Arabi, 1976), hlm. 215
[6]Manna’ al-Qaththan, Mabahish fi Ulum alQuran, (Bairut:  Muassasah al-Risalah, 1976).
[7]Ace Saefudin, Metodologi dan corak Tafsir Modern (telaah terhadap karya J.J.G. Jansen), hlm. 62.  http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2096035776.pdf
[8]Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hlm. 204
[9]Rachmat Syafi’i,  Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006)hlm. 25.
[10]WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. ebook by.nazilhilmie@yahoo.com

No comments:

Post a Comment