PEMIKIRAN MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN TENTANG HADITS
1. ADANYA PEMALSUAN SUNNAH
Musthafa al-Siba’I meyakini benar bahwa kemurnian hadits
tetap terjaga pada masa Rasulullah. Dari segi kesejarahan, dapat dipastikan
tidak pernah terjadi pemalsuan hadits pada masa hidup Rasulullah SAW,
dikarenakan beliau dikelilingi oleh shahabat-shahabat beliau yang sangat loyal
dan jujur. Keraguan sebagian orang bahwa hadits yang
berbunyi:
merupakan bukti bahwa Rasulullah menyabdakannya dilatar
belakangi oleh pemalsuan hadits pada masanya. Jika dikaji pada aspek
kuantitatif, hadits tersebut masuk dalam kategori hadits ahad. Jika memang asbab
al-wurud hadits tersebut seperti yang disangkakan di atas, maka
periwayatannya akan secara mutawatir, karena pemalsuan merupakan sesuatu yang
sangat jahat dan menjijikkan.[12]
Menurut As-Siba’I hadits tersebut tidak mempunyai sandaran sanad dalam sejarah
yang kukuh, juga tidak ada sandaran asbab al-wurud sebagaimana dapat
dibaca dalam berbagai kitab yang andal.[13]
Selain argumen historis di atas, Musthafa
as-Siba’I mengungkapkan analisisnya terhadap matn hadits tersebut, yaitu
bahwa hadits tersebut di atas merupakan peringatan Nabi kepada para sahabatnya
untuk berhati-hati dalam menuturkan sesuatu yang datang dari beliau dan
menjauhi kebohongan terhadap beliau bertalian dengan hal-hal yang beliau
sendiri tidak menyabdakannya.[14]
Adapun Ahmad Amin berpendapat bahwa awal
mula terjadinya pemalsuan hadits sudah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup[15].
Amin berargumentasi dengan hadits yang berbunyi:
Menurut Amin, diriwayatkannya hadits di atas, besar dugaan
bahwa sudah terjadi pemalsuan hadits pada masa Rasulullah, atau dengan kata
lain bahwa asbab al-wurud hadits tersebut di atas peristiwa pemalsuan
hadits yang terjadi pada masa Rasulullah. Pandangan tersebut didukung oleh
beberapa alasan yang dikemukakannya yaitu: Pertama, karena hadits pada
masa pertama belum dibukukan dalam kitab tersendiri. Kedua, hanya
mencukupkan dengan riwayat yang hanya didasarkan pada ingatan. Ketiga,
karena sukar menghimpun segala yang telah dikatakan dan dikerjakan oleh
Rasul selama 23 tahun. Ketiga alasan tersebutlah yang akhirnya Ahmad Amin
menyimpulkan ada golongan yang memberanikan diri meletakkan hadts-hadits yang
disandarkan kepada Rasul dengan jalan dusta.[16]
Kedua pandangan yang berbeda di atas, dapat dikaji dari dua
sudut, yaitu: Pertama, sudut historis, bahwa diriwayatkan hadits yang
dijadikan argumentasi Ahmad Amin telah terjadi pemalsuan hadits sejak
Rasulullah masih hidup tidak memiliki akar historisnya atau lebih dikenal
dengan asbab wurud al-hadits. Jika ada sahabat nabi yang melakukan
pemalsuan hadits, sudah barang tentu hadits man kazzaba…. diriwayatkan
secara mutawatir, karena perbuatan pemalsuan itu merupakan perbuatan yang
sangat jahat dan menjijikkan. Kedua, bahwa Amin menyatakan bahwa ia
patut menduga dengan perkataan Rasulullah tersebut telah terjadi pemalsuan
hadits. Apabila diperhatikan secara seksama, tampak bahwa pernyataan Ahmad Amin
yang masih besifat dugaan tersebut terkesan terlalu umum dan tekstual..
Perkiraan waktu permulaan terjadinya pemalsuan hadits, mengimplisitkan kesan
umum, sifat tekstualitas itu yang disimpulkannya secara tergesa-gesa sehingga
pernyataan itu layak disebut sebgai . Suatu pernyataan yang bertaraf
dugaan, akan naif untuk naik ke . posisi setaraf alat bukti yang akan
melololoskan pernyataan yang akan naik berstatus fakta yang akan menunjukkan
kebenaran. Padahal perkataan Rasulullah tersebut merupakan perintah beliau
kepada para sahabatnya untuk menturkan hadits beliau kepada orang-orang yang
akan datang dengan penuh hati-hati dan harus didasari dengan pengetahuan yang
benar. Dengan demikian pernyataan Ahmad Amin tentang awal mulanya terjadinya
pemalsuan hadits itu lemah dan dengan sendirinya ditolak.
2. KODIFIKASI HADITS
Kodifikasi hadits adalah upaya,
pengumpulan dan pembukuan hadits dalam satu kitab atau mushaf. Musthafa
as-Siba’i berpendapat tentang pembukuan hadits, bahwa tidak ada
perselisihan pendapat di antara para penulis biografi Nabi dan para ulama
Hadits dan para shahabat, bahwa al-Qur’an mendapat perhatian yang khusus dari
Nabi SAW, sehingga terpelihara dalam hafalan dan tertulis dalam
lembaran-lembaran, pelepah kurna, batu lempengan dan lain-lain. Karena itu wajar
ketika Rasulullah SAW wafat al-Qur’an tetap utuh dan tertib, tidak ada yang
kurang, kecuali belum disatukan dalam satu mushaf.[17]
Selanjutnya, bagaimnakah dengan nasib
Hadits. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa hadits atau sunnah
memang belum di tercatat secara resmi seperti tercatatnya al-Qur’an. Keadaan
demikian, menurut Musthafa al-Siba’I sebagaimana yang dikutip oleh M. Erfan
Soebahar setidaknya dikarenakan tiga sebab. Pertama, bahwa Rasul SAW
hidup bersama sahabat selama 23 tahun sehingga menuliskan ucapan, perbuatan dan
pergaulana beliau secara utuh dalam mushaf dan lembaran-lembaran adalah suit
dilakukan dari segi masalah lokasi. Sebab, hal itu membutuhkan adanya banyak
orang (sahabat), sementara pada waktu itu orang yang mampu menulis masih sangat
sedikit. Kedua, bahwa mayoritas orang Arab meyandarkan hafalan mereka
kepada ingatan, sementara pada waktu itu para sahabat masih terkonsentrasi
untuk menghafal al-Qur’an. Ketiga, bahwa adanya kekhawatiran
tercampurnya al-Qur’an dengan hadits nabi yang sangat banyak konteksnya.
Ketiga alasan di atas, bukan berarti tidak pernah terjadi
penulisan hadits secara tidak resmi. Ada sejumlah bukti yang ditunjukkan oleh
al-Siba’I mengenai telah terjadi pencatatan hadits pada masa Nabi SAW seperti
contoh berikut ini:
- Bahwa Rasulullah pernah menulis surat dan mengirimnya kpeada raja-raja di Jazirah Arab, dimana isi surat-surat tersebut seruan Nabi untuk memeluk Islam.[18]
- Bahwa Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah berkata: “Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang hadits Nabi daripadaku kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sebab dia mentata apa yang didengarnya dari Nabi dan saya tidak mencatat”.
- Bahwa Sahabat Rasulullah yang juga menantunya Ali RA dipastikan memiliki lembaran yang didalamnya tertulis hukum-hukum diyat (perdata).[19]
- Bahwa Rasulullah menulis surat kepada petugas yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan doma.[20]
Demikian beberapa bukti otentik yang diajukan Musthafa
al-Siba’I untuk memperkuat pendapatnya yang mengatakan bahwa pencatatan hadits
atau sunnah sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup, walaupun tidak secara
keseluruhan.
Selanjutnya akan diuraikan pandangan Ahmad Amin tentang
penulisan atau pencatatan hadits. Namun, sebelumnya, perlu dijelaskan
definisi hadits atau sunnah terlebih dahulu. Hadits atau sunnah adalah sesuatu
yang datang dari Rasul SAW berupa perkataan, pengamalan, atau ketetapan.
Setelah masa Rasul, dikumpulkan ke dalam (pengertian) hadits adalah sesuatu
yang datang dari sahabat, sebab sahabat adalah mereka yang selalu bergaul
dengan Nabi SAW, mendengar perkataan beliau, dan menyaksikan perbuatan beliau,
kemudian mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar. Lalu
datang setelah itu masa Tabi’in, yang bergaul dengan para sahabat, mendengar
dari mereka, dan melihat perbuatan mereka. Maka semua yang datang dari Rasul
SAW dan sahabat-sahabat disebut “hadits”.[21]
Dari definsi di atas, dapat dipahami bahwa hadits merupakan
verbalisasi sunnah atau tradisi kenabian yang berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan Nabi SAW yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini sejalan
dengan pandangan Amin selanjutnya mengenai pembukuan hadits seperti apa
yang dikatakannya sebagai berikut:
“Pada masa Nabi SAW hadits belum dibukukan sebagaimana
al-Qur’an, dan kita mengetahui Rasul SAW mengangkat beberapa penulis wahyu yang
mencatat ayat-ayat al-Qur’an pada waktu turunnya, tetapi beliau tidak
menentukan seseorang untuk mencatat apa-apa yang beliau katakan selain
al-Qur’an”.
Pernyataan ini merupakan titik tolak dari pemikiran kritik
Amin. Ia menengaskan bahwa pembukuan hadits belum populer pada masa Rasul, juga
belum ada aturan yang dijadikan pedoman seperti yang berlaku pada pembukuan
al-Qur’an, dengan kata lain bahwa periwayatan hadits menggunakan metode ingatan
dan tidak dengan pencatatan.
Dalam menguatkan argumentasinya, Amin mengutip hadits
berikut ini:
Artinya: Janganlah kamu semua menulis (sesuatu) dariku.
Barang siapa yang menulis dariku (sesuatu) selain al-Qur’an, maka hendaklah dia
menghapusnya. Dan katakanlah tentang aku sedangkan ini tidak mengapa, dan
barang siapa yang dengan sengaja berbohong tentang dirku maka hendaklah dia
mengambil tempat duduknya di neraka (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)
Dari hadits inilah Ahmad Amin berpandangan bahwa berangkat
dari larangan Rasul untuk menulis apapun yang datang dari Rasul kecuali
al-Qur’an merupakan indikasi bahwa pada masa Rasul hadits belum
dibukukan, setelah wafat Nabi SAW hanya ada satu kitab yang telah dibukukan
yaitu al-Qur’an.
Perbedaan pandangan kedua tokoh di atas, berangkat
dari perbedaan dalam memahami hadits yang secara tekstual berimplikasi kepada
larangan untuk menulis hadits. Bagi Musthafa al-Siba’I larangan yang terdapat
dalam hadits tersebut tidak dapat dipahami bahwa Rasulullah melarang kepada
siapapun untuk menulis hadits dalam bentuk apapun. Hadits di atas harus
dipahami suatu sikap prefentif Rasulullah kepada para sahabat untuk
berhati-hati dalam menulis sesuatu darinya. Dikarenakan pada waktu itu
al-Qur’an belum diturunkan secara lengkap. Sementara Ahmad Amin memahaminya
sangat tekstual. Kalau pemahaman tekstual tersebut dapat diterima, bagaimana
dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Musthafa al-Siba’I seperti diuraikan di
atas, dimana Rasulullah sendiripun telah menulis hadits, dan bahkan ada
beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Rasulullah. Akan tetapi jika hadits
tersebut dipahami sebagai indikasi belum dikodifikasinya hadits pada masa
Rasulullah secara resmi dalam satu mushaf, masih memungkinkan dapat diterima.
3. KREDIBILITAS SHAHABAT
Kredibilitas shahabat dalam terminologi ‘ulum al-hadits
dikenal dengan istilah ‘adalah al-shahabah. Term ‘Adalah
al-shahabah terdiri dari dua kata yaitu ‘adalah dan al-Shahabah. ‘Adalah
berasal dari bahasa arab, dalam tlanslitersi bahasa Indonesianya “adil”,
artinya penilaian terhadap kredibilitas perawi hadits yang memiliki integritas
moral-spiritual dan intelegensi yang tinggi. Kata Al-Shahabah juga
berasal dari bahasa arab yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sahabat
atau teman. Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat Rasulullah yang
meriwayatkan hadits darinya. Dalam terminologi “ulum al-hadits” seseorang dapat
dikatakan sahabat jika dia memeluk agama Islam, pernah bergaul dengan Rasulullah
atau melihatnya, beriman kedanya, dan meninggal dunia dalam keadaan Islam.[22]
Dengan demikian penilaian tentang kredibilitas yang akan
dilakukan adalah tingkat kredibilitas para sahabat Nabi yang meriwayatkan
hadits.
Menyikapi tentang ada tidaknya peluang kritik terhadap
kredibilitas sahabat nabi, Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa tidak ada celah
kritik terdapat sahabat nabi, sebagaimana telah menjadi kesepakatan para
tabi’in dan generasi sesudahnya dan seluruh ulama kritikus hadits. Mereka
berpendapat bahwa para sahabat itu “adalah” atau memiliki kredibilitas yang
tinggi dan bebas dari kebohongan dan pemalsuan.[23]
Pandangan Musthafa al-Siba’I berbeda dengan Ahmad Amin yang
menyatakan bahwa tidak seluruh ulama’ kritikus sepakat bahwa sahabat nabi
terbebas dari kritik kebohongan dan pemalsuan. Bahkan menurutnya bahwa para
kritikus hadits memperlakukan para sahabat itu seperti halnya orang lain, yang
berarti mempunyai kemungkinan ditemukan kebohongan dan kepalsuan dalam diri
para sahabat.[24]
Bahkan menurut Ahmad Amin, para sahabat sendiri pada zaman
mereka saling mengeritik (meneliti) antara satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian para sahabat itu meragukan kebenaran sebagaian yang lain, dan saling
mengeritik antara sesama mereka.[25].
Peryataan Ahmad Amin ini menurutnya didukung oleh beberapa bukti diantaranya:
- Kritik Bin ‘Abbas terhadap Abu Hurairah
- Bahwa para sahabat nabi jika mereka mendengar suatu penuturan hadits, mereka meminta periwayat hadits itu bukti atas kebenarannya
Bukti pertama, Ahmad Amin ingin menjelaskan bahwa kritik Bin
‘Abbas dan Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang kebenaran hadits berikut ini:
“Barang siapa yang membawa (mengangkat) jenazah, maka
hendaklah dia berwudhu”.
Bahwa suatu sikap kritis Bin ‘Abbas adalah dia tidak mau
menerima hadits di atas, dikarenakan perbedaan pemahaman terhadap hadits
tersebut. Menurut Bin ‘Abbas hadits di atas mempunyai makna “tidak mengharuskan
kita berwudhu setelah mengangkat kayu-kayu yang kering”. Inilah yang dipahami
oleh Ahmad Amin, bahwa Bin ‘Abbas meragukan kebenaran hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah. Dalam arti lain bahwa tingkat keadilan sahabat Abu Hurairah
juga dipertanyakan olehnya.
Kemudian, tuntutan perlu dihadirkannya saksi sebelum
menerima hadits memang berlaku di antara para sahabat Rasulullah, seperti
yang dilakukan Abu Bakar kepada al-Mughirah. Ahmad Amin memahaminya secara
tekstual, bahwa menurutnya permintaan persaksian tersebut merupakan indikasi
bahwa Abu Bakar tidak percaya dengan al-Mughirah. Padahal hal itu sudah menjadi
kebiasaan yang sanantiasa dipeganng bila menerima berita (hadits). Sikap
kehati-hatian ini juga bermaksud untuk mendidik kaum muslimin untuk selalu mencari
bukti bagi otentisitas hadits.
4. TEORI TA’DIL DAN AL-JARH DALAM PENELITIAN SANAD
Ta’dil dalam term ‘Ulum al-Hadits mempunyai arti penilaian
terhadap kualitas kredibilitas atau tingkat keadilan perawi hadits. Perawi
hadits dapat dikatakan adil atau memiliki kredibiltas yang tinggi apabila dalam
pribadi perawi hadits terintegrasi aspek spiritualitas,moral, dan intelegensi
yang tinggi. Kalau sudah demikian, maka periwatannya dapat diterima.[26]
Adapun Al-Jarh mempunyai makna orisinalnya berkisar
pada keinginan mencari cela, luka dengan tujuan untuk menyelamatkan sesuatu,
bukan didasari oleh rasa benci, dendam atau sentimentil. Dalam konteks hadits
dapat dikatakan bahwa al-jarh dilakukan untuk menyelamatkan hadits dari
suatu yang mencemarinya., sehingga sesuatu yang dilukai atau dicela berakibat
rendahnya kredibilitas atau tingkat keadilan perawi hadits. Kredibilitas yang
disorot dari perawi hadits adalah hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas,
moral dan intelegensi. Jika dari aspek-aspek tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
perawi hadits, maka kualifikasi perawi hadits tersebut memiliki kredibilitas
yang rendah. Dengan demikian, dapat berakibat periwayatannya lemah atau
ditolak.[27]
Dalam hal ini Musthafa al-Siba’I menuturkan bahwa penilaian ta’dil
dan al-Jarh terhadap seorang perawi harus didasari pengetahuan yang
obyektif tentang keadaan seorang perawi. Jika seorang perawi jujur, beriman,
dan mempunyai daya hafal yang kuat, maka perawi tersebut dapat dikatakan adil.
Dan sebaliknya jika seorang perawi sudah diketahui kebohongan, kefasikan, dan
daya hafalnya yang rendah, maka perawi tersebut dapat dikatakan cacat.
Subyektifitas yang dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab tidak dapat
dijadikan alasan untuk menta’dil atau menjarh seseorang.[28]
Ahmad Amin berpendapat bahwa penilaian ta’dil dan al-jarh
terhadap seorang perawi lebih dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab.
Kelompok Ahlussunah melakukan al-jarh terhadap banyaknya perawi yang
berlatar belakang syi’ah. Demikian pula sebaliknya, kelompok Syi’ah melakukan
al-Jarh kepada peawi yang berlatar belakang sunni.[29]
Dengan demikian, tradisi ta’dil dan al-Jarh yang dilakukan oleh ulama
kritikus hadits merupakan dampak dari perbedaan madzhab bahkan politik.
Sehingga yang muncul ke permukaan adalah subyektifitas kritikus.
Dari uraian pandangan Musthafa al-Siba’I dan Ahmad Amin di
atas, sangat jelas terlihat perbedaan. Perbedaan tersebut terdapat pada latar
belakangi atau motifasi seorang kritikus hadits melakukan ta’dil dan
al-Jarh kepada perawi hadits. Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa penilaian ta’dil
dan al-Jarh yang dilakukan para ulama kritikus hadits dilatar
belakangi oleh keinginan mencari tingkat kebenaran dan kecacatan perawi hadits
yang kemudian dapat dijadikan sandaran dalam sikap menerima atau menolak suatu
periwayatan hadits. Sedangkan pandangan Ahmad Amin, perbedaan madzhab atau
politiklah yang melatar belakangi ta’dil dan al-Jarh.
Menurut pandangan Musthafa al-Siba’I, Ahmad Amin telah
melakukan generasilasi perbedaan madzhab ke dalam pembahasan tentang ta’dil dan
al-Jarh. Padahal yang menjadikan sandaran dalam melakukan penilaian
keadilan dan kelemahan perawi hadits bukan semata-mata dilatar belakangi oleh
perbedaan mazdhab tersebut. Tetapi memang adanya keraguan tentang kebenaran
atau tingkat keterpercayaan perawi dari segala aspek.
D. KESIMPULAN
Dari uraian pemikiran kedua tokoh di atas tentang beberapa
persoalan dalam hadits terlihat ada dua hal yang dapat disimpulkan.Pertama, keduanya
sepakat dalam memposisikan hadits sebagai sumber ajaran agama setelah
al-Qur’an, walaupun Amin tetap dibatasi pada masa proses penurunan atau
periwayatan di sekitar masa Nabi Saw, yang memiliki nilai historisitas dan
tingkat kehujjahan yang tinggi. Kedua, Musthafa al-Siba’I dan Ahmad Amin
berbeda pandangan ketika melihat hadits dari sudut historisitas pembukuan atau tadwin
dan struktur dalam lingkup uji materi atau matn hadits yang berhubungan erat
dengan pola periwayatan dan proses transmisi hadits dari satu generasi ke
generasi sesudahnya.
Perbedaan pandangan kedua tokoh di atas, lebih didasari oleh
perbedaan dalam menginterpretasikan teks-teks hadits. Musthafa al-Siba’I dalam
mengeinterpretasikan hadits selalu berangkat dari asbab al-wurud al-hadits,
bukan semata-mata menafsirkan matn hadits yang didasarkan pada asumsi atau
dugaan. Sementara interpretasi yang dilakukan oleh Ahmad Amin tidak
memperhatikan asbab al-wurud al-hadits, bahkan terkesan sangat
mengeneralisir, tekstual dan asumtif. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
DAFTAR BACAAN
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992
Khair ad-Din az-Zirikli, al-Alam QamusTarajum, Beriut:
Dar al-‘ilm li al-Malayin, t.th. Juz VII
John L. Esposito, “al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford
Encyclopedia The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press,
1995
M. Erfan Subahar, Menguak Keabsahan as-Sunnah,
Jakarta: Prenada Media, 2003
Ahmad Amin, Hayati, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1971
Ahmad Amin, Al-Akhlak, Beirut: Dar al-Kutub, 1967
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’
al-Islami, Beirut: Maktabah al-Islami, 1978
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah
an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr,
1994, Juz IV
Imam Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Syirkah
al-Ma’arif at-Thabi’ wa an-Nasyr, t.th, Juz II
Imam Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo:
Musthafa al-Babi al-Halabi, 1973, Juz IV
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar
al-Fikr, 198, Jilid II
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa
Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997.
[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 3.
[2] Khair ad-Din
az-Zirikli, al-Alam QamusTarajum, (Beriut: Dar al-‘ilm li al-Malayin,
t.th.), Juz VII, h. 231.
[3] Ibid.
[4] John L. Esposito,
“al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford Encyclopedia The Modern Islamic World, (New
York: Oxford University Press, 1995), h. 71.
[5] M. Erfan Subahar, Menguak
Keabsahan as-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 21-22.
[6] Ahmad Amin, Hayati,
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1971), h. 3
[7] Ibid., Juz. I, h.
60-63.
[8]Ibid., h. 80.
[9] M. Erfan Subahar, Op.
Cit., h. 85-86.
[10] Ahmad Amin, Al-Akhlak,
(Beirut: Dar al-Kutub, 1967), h. 224-225.
[11] Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad bin Hambal.
[12] Musthafa
as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978), h. 238-241.
[13] Musthafa
as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978), h. 234.
[14] Musthafa
as-Siba’I, As-Sunnah, h. 238-231.
[15] Ahmad Amin Fajr
al-Islam, h. 211
[16] Ahmad Amin, Fajr
Islam, h. 210-211.
[17] Mustafa as-Siba’I,
As-Sunnah…., h. 58.
[18] Musthafa
al-Siba’I, all-Sunnah… h. 59.
[19] Dikutip oleh
Musthafa al-Siba’I dari Bin ‘Abd. Al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm, jilid
II, h. 76.
[20] Dikutip oleh
Musthafa al-Siba’I, Ibid.
[21] Ahmad Amin, Fajr
Islam, h. 208.
[22] Jalaluddin
as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 198), Jilid II, h.
208-214.
[23] Musthafa
al-Siba’I, as-Sunnah, h. 261.
[24] Ahmad Amin, fajr
al-islam, h. 216.
[25]Ahmad Amin, Fajr
Islam, 216.
[26] Para ulama
hadits memberkan kriteria-kriteria kredibilitas seorang perawi yaitu:
Beragama Islam, Baligh, Berakal, Bertaqwa, dapat memelihara personalitas yang
tinggi, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, seperti syirik, menjauhi
dosa-dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak fasiq,
berita yang disampaikan dapat dipercaya, berita yang disampaikan benar. Lihat
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), h. 130. Lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits,
Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 260.
[27] ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 260.
Lihat juga Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), h. 92.
[28] Musthafa
al-Siba’I, as-Sunnah, h. 267.
[29]Ahmad Amin, Fajr
Islam, h. 217.
No comments:
Post a Comment