JAMI AL-BAYAN
AN TAWIL AYI AL-QUR'AN
KARYA AL-THABARI
A. Gambaran
Kitab
1.
Nama Kitab:
Terdapat dua
nama: Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur'an, dan Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Lebih dikenal dengan
nama Tafsir ath-Thabari. Ditulis pada tahun 306 H. [1]
2.
Nama Penulis:
Nama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Katsir bin Khalid (Ghalib) ath-Thabari. Lebih dikenal dengan nama Ath-Thabari
(224H./839M.- 310H./925M.)
3.
Penerbit: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah
4.
Kota Penerbit: Beirut,
Lebanon
5.
Tahun Terbit: t.th.
NO.
|
JILID
|
MATERI
|
HLM.
|
1
|
I
|
Juz 1
|
576
|
2
|
II
|
Juz 2
|
635
|
3
|
III
|
Juz 3
Juz 4
|
348
323
|
4
|
IV
|
Juz 5
Juz 6
|
340
360
|
5
|
V
|
Juz 7
Juz 8
|
315
240
|
6
|
VI
|
Juz 9
Juz 10
|
250
213
|
7
|
VII
|
Juz 11
Juz 12
|
187
238
|
8
|
VIII
|
Juz 13
Juz 14
|
258
199
|
9
|
IX
|
Juz 15
Juz 16
|
292
238
|
10
|
X
|
Juz 17
Juz 18
|
209
195
|
11
|
XI
|
Juz 19
Juz 20
Juz 21
|
178
85
159
|
12
|
XII
|
Juz 22
Juz 23
Juz 24
|
162
215
130
|
13
|
XIII
|
Juz 25
Juz 26
Juz 27
|
162
210
247
|
14
|
XIV
|
Juz 28
Juz 29
|
172
245
|
15
|
XV
|
Juz 30
|
356
|
B. Biografi
Mufassir,
Nama lengkap ath-Thabari adalah
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid[3]
al-Thabari. Beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan,
Iran, pada akhir tahun 224H./839M.[4]
dan meninggal dunia pada tahun 310 H./923M.. dalam usia 86 tahun. Beliau adalah ilmuan yang mengagumkan. Di usianya
yang masih belia, yaitu tujuh tahun, beliau sudah hafal al-Qur’an, telah mendapatkan
kepercayaan untuk menjadi imam salat pada usia delapan tahun, dan menulis hadis
pada umur sembilan tahun. Beliau mengetahui berbagai macam qira’at al-Qur’an,
memahami makna yang terkandung di dalamnya serta memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang hukum-hukum di dalam Alquran.[5]
Beliau tumbuh dan berkembang di
lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap pendidikan,
terutama bidang keagamaan. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
Hal itu tampak pada saat beliau pada usia 12 tahun mulai mencari ilmu dari
ulama-ulama terkemuka di tempat kelahirannnya sampai berkeliling tiap kota
untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.[6]
Pada masanya, yaitu abad III H.
sampai dengan awal abad IV H., Islam berada pada masa-masa keemasan ilmu
pengetahuan. Para penguasa mendorong dan memberikan penghargaan yang tinggi
kepada para ilmuan. Banyak pemikir dan sarjana muslim melibatkan diri di dalam
studi dan penelitian berbagai disiplin ilmu.
Beliau melakukan perjalanan untuk
mencari ilmu ke berbagai kota, seperti Ray, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria. Di
Ray beliau berguru pada Muhammad bin Humaid ar-Razi, dll. dalam bidang hadis.
Di Basrah, beliau belajar kepada Muhammad bin al-Ma’la dan Muhammad bin Bashar,
di Kufah belajar kepada Hana’ bin as-Sary dan Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala’
al-Hamdani. Sampai kahirnya, beliau ke Baghdad untuk mempelajari berbagai macam
ilmu dan kebudayaan. Dari Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Syam untuk
mempelajari qira’at al-Qur’an kepada ‘Abbas bin al-Walid al-Biruniy.[7]
Kemudian ia berangkat ke Mesir dan di sana ia bertemu dengan
ulama-ulama terkemuka seperti Muhammad bin Abdillah bin Hakam dan al-Muzani,
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah seorang pengarang kitab al-Sirah. Diriwayatkan
bahwa Ibn Jarir ath-Thabari dalam menulis kitab "Tarikh al-Umam Wa
al-Mulk" yang sangat terkenal banyak berdasarkan kitab al-Sirah ini.
Dari Mesir beliau kembali ke tempat kelahirannya, kemudian pergi ke Bagdad
sampai akhir hayatnya.[8]
Beliau menghabiskan waktunya untuk
mempelajari ilmu-ilmu ke-Islaman dan tradisi-tradisi Arab, sehingga terkenal
sebagai ahli fiqh, sejarah, tafsir, sastra, tata bahasa, logika, matematika dan
kedokteran. Beliau merupakan salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar
berbagai disiplin ilmu, beliau meninggalkan warisan cukup besar yang
mendapatkan sambutan besar di setiap masa dan generasi. Karya beliau yang
masyhur adalah Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya
tersebut merupakan rujukan utama bagi para mufasir yang menaruh perhatian
terhadap tafsir bi al-ma’tsur.
Selain tafsir tersebut, beliau juga terkenal sebagai ahli di bidang
sejarah. Tarikh al- Umam wa al-Mulk adalah salah satu buktinya. Beliau
juga menulis al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, sehingga berhasil mengangkat
popularitas beliau pada saat itu dan masih dikenal oleh banyak kalangan sampai
sekarang.[9]
Karya-karya ath-Thabari yang lainnya adalah:
1.
Ikhtilaf
al-Fuqaha
2.
Tahdzib
al-Atsar
3.
Kitab
al-Qira’at (18 Jilid).[10]
C.
Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
1.
Latar Belakang
Penulisan Tafsir
Tafsir ini lebih dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan Fi
Tafsir al-Qur’an, padahal nama yang diberikan oleh
ath-Thabari sendiri, sebagaimana dijelaskan di dalam tafsirnya, adalah Jami
al-Bayan an Tawil Ayi al-Qur'an.[11] Tafsir tersebut ditulis pada akhir
abad ketiga Hijriah.[12]
Mulanya tafsir at-Thabari
ini hilang, tetapi kemudian ditemukan kembali di dalam perpustakan dan di
simpan oleh Amir Mahmud ibn Abd al-Rasyid seorang Amir Nejed.
Dari manuskrip ini kemudian diterbitkan dan beredar luas serta menjadi sebuah
ensiklopedi tafsir bi al-Ma’tsur.[13]
At-Thabari ketika menulis kitab ini mengatakan: “Ketika
aku berusaha menjelaskan Tafsir al-Qur’an dan menerangkan makna-makna yang
Insya-Allah menjadi kitab yang mencakupi setiap perkara yang perlu diketahui
oleh manusia melebihi kitab-kitab lain yang ada sebelumnya. Aku berusaha
menyebutkan dalil-dalil yang disepakati oleh seluruh ummat dan yang diperselisihkannya,
menjelaskan alasan setiap mazhab yang ada dan menerangkan alasan yang benar
berdasarkan pendapatku dalam setiap permasalahan yang berkaitan secara
ringkas.”[14]
2.
Format Tafsir
a.
Sistematika
Tafsir
Di dalam menyusun tafsirnya, ath-Thabari mengacu pada tartib mushafi. Dalam sistematika ini, beliau menguraikan
penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah di dalam mushaf al-Qur’an. Beliau
menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan dari awal surat al-Fatihah sampai
akhir surat an-Nas.
Dalam menyusun tafsirnya, terlebih dulu beliau menyebutkan nama surat
dengan riwayat yang menjelaskan tentang nama-nama tersebut. Selanjutnya beliau menyebutkan ayat atau beberapa ayat yang akan
ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada asbab nuzul, tentang
takwil (tafsir) ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditafsirkan dengan dasar
riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya
hingga sampai Nabi Saw. Selanjutnya beliau melakukan analisis terhadap ayat
dengan nalar kritisnya (ra’yu) yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting
lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk bahasa. Beliau
memberikan respon kepada sejumlah penafsiran yang ada dan mengambil sikap untuk
menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat berdasarkan pertimbangan
beliau.[15]
Secara runtut, yang pertama-tama dilakukan oleh
hath-Thabari adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab
disertai struktur linguistiknya, dan (i’rab) kalau diperlukan. Pada saat
tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan
terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang
berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan
pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (ta’wil) pun
terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah)
beliau menggunakan logika.
Terkait dengan riwayat-riwayat yang bertentangan
(muta'aridah), beliau memberikan penjelasan dengan memberikan penekanan
terhadap pendapatnya dan mengajukan alternatif pandangannya sendiri disertai
argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap
konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, tabi'in
dan tabi' at-tabi'in, kemudian mengambil hukum (istinbat). Terkait
dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan aspek sejarah, beliau menguraikan secara
panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat) dengan
keyakinan yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh
masyarakat Arab dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama.[16]
b.
Metode Tafsir
Tafsir ini menggunakan metode tafsir analisis (tahliliy),
sebab penafsirannya berdasar pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam
urutan mushaf al-Qur’an.[17]
Berikut merupakan metode yang digunakan oleh ath-Thabari dalam tafsirnya: [18]
1. Menempuh
jalan tafsir dan atau ta’wil.
Ketika akan menafsirkan suatu ayat, at-Thabari selalu mengawali
dengan kalimat القول فى تأويل قوله تعالى.
Kemudian, barulah menafsirkan ayat tersebut.
3. Menafsirkan
al-Qur’an dengan sunah/hadis.
Ath-Thabari dalam menafsirkan suatu ayat selalu menyebutkan
riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
3. Melakukan
kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari
berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.
4. Pemaparan
ragam qira’at dalam rangka mengungkap makna ayat.
Ath-Thabari juga menyebutkan berbagai macam qira’at dan
menjelaskan penafsiran dari masing-masing qira’at tersebut serta
menjelaskan hujjah dari ulama qira’at tersebut.
5. Menggunakan
cerita-cerita Israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya yang berkenaan
dengan sejarah.
Ath-Thabari dalam penafsiran al-Qur’an yang berkenaan dengan
sejarah menggunakan cerita-cerita Israiliyat yang diriwayatkan dari
Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Munabbih, Ibn Juraij dan lain-lain.
6.
Mengeksplorasi syair dan prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat.
7. Berdasarkan
pada analisis bahasa bagi kata
yang riwayatnya diperselisihkan.
Ketika ath-Thabari mendapati kata dalam suatu ayat ada perselisihan
antar ulama nahwu, beliau menjelaskan kedudukan kata tersebut menurut tiap-tiap
mazhab dengan memperhatikan aspek i’râb dengan proses pemikiran analogis
untuk ditashîh dan ditarjîh serta menjelaskan penafsirannya.
8. Menjelaskan
perdebatan di bidang fiqh dan ushul fiqh untuk kepentingan
analisis dan istinbath hukum.
Ath-Thabari selalu menjelaskan perbedaan pendapat antar mazhab fiqh
tanpa mentarjih salah satu pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.
9. Menjelaskan
perdebatan di bidang akidah.
Terkait dengan ayat-ayat yang
berhubungan dengan masalah akidah, ath-Thabari
menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.
c.
Corak Tafsir
Tafsir ath-Thabari
dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur, yang mendasarkan penafsirannya pada
riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabatnya, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in. Dalam mengutip riwayat biasanya beliau tidak memeriksa rantai
periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil
dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri. Namun demikian, di dalam menentukan
makna yang paling tepat terhadap satu kata, beliau juga menggunakan ra'yu. Jadi
boleh dikata, corak tafsirnya adalah gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan bi
ar-ra’yi. Beliau di dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan
dirayat.[19]
3. Komentar
Terhadap Tafsir
Tidak sedikit komentar para ulama yang menunjukkan keunggulan
tafsir at-Thabari, di antaranya adalah
adz-Dzahabi yang mengatakan bahwa Tafsir at-Thabari adalah
tafsir yang paling awal di antara kitab-kitab tafsir yang ada. Awal dalam hal waktu, karena ia merupakan kitab tafsir
paling awal yang sampai kepada generasi sekarang; dan awal dalam hal disiplin
dan pembuatan. Hal ini merujuk kepada metode yang akurat yang ditempuh oleh
al-Thabari, sehingga menghasilkan karya tafsir yang berkualitas dan memiliki
tempat yang tinggi.”[20]
Muhammad Ali al-Sabuni menyebutkan bahwa kitab Tafsir Ibn Jarir
termasuk tafsir bi al-ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling
banyak mencakup pendapat sahabat dan tabiin serta dianggap sebagai pedoman
pertama bagi para mufasir.[21]
As-Suyuthi, seperti dikutip al-Qattan dan Mahmud, bahwa kitab Tafsir
ath-Thabari merupakan tafsir paling besar dan utama, mengungkap berbagai
macam pendapat, merajih sebagian atas yang lain, mengungkap tentang i’rab,
istinbath. Tafsir ini mengungguli tafsir klasik yang lain. Demikian juga
an-Nawawi mengatakan, bahwa umat sepakat bahwa tidak ada tafsir yang seperti Tafsir
ath-Thabari, sebagaimana dikutip al-Qaththan.[22]
[5]M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir
Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 147.
[11]Abu Ja'far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami al-Bayan An Ta'wil Ayi al-Qur'an (Beirut:
Dar al-Fikr.t.th.), hlm. 3
[13]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…,
hlm. 149. al-Qaththan, Mabahits…hlm. 353
[17]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…,
hlm. 149.
[18]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…,
hlm. 151-161. Lihat al-Qaththan, Mabahits…, hlm. 353-354.
[20]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…,
hlm. 150-151.
[21]Muhammad Ali
As-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Iftikar, 1990),
hlm. 57.
[22]al-Qaththan, Mabahits…,
hlm. 353. Mahmud, Manahij…, hlm. 46.
No comments:
Post a Comment