Thursday, May 19, 2016

Makalah Study Kitab Tafsir Klasik Jami Al-Bayan An Tawil Ayi Al-Qur'an Karya Al-Thabari




JAMI AL-BAYAN AN TAWIL AYI AL-QUR'AN
KARYA AL-THABARI

A.     Gambaran Kitab
1.      Nama Kitab:
Terdapat dua nama: Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur'an, dan  Jami’ al-Bayan  fi Tafsir al-Qur'an. Lebih dikenal dengan nama Tafsir ath-Thabari. Ditulis pada tahun 306 H. [1]
2.      Nama Penulis:
Nama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid (Ghalib) ath-Thabari. Lebih dikenal dengan nama Ath-Thabari (224H./839M.- 310H./925M.)
3.      Penerbit: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
4.      Kota Penerbit: Beirut, Lebanon
5.      Tahun Terbit: t.th.
6.      Jumlah Jilid/Juz: 15 Jilid/30Juz.[2]

NO.
JILID
MATERI
HLM.
1
I
Juz 1
576
2
II
Juz 2
635
3
III
Juz 3
Juz 4
348
323
4
IV
Juz 5
Juz 6
340
360
5
V
Juz 7
Juz 8
315
240
6
VI
Juz 9
Juz 10
250
213
7
VII
Juz 11
Juz 12
187
238
8
VIII
Juz 13
Juz 14
258
199
9
IX
Juz 15
Juz 16
292
238
10
X
Juz 17
Juz 18
209
195
11
XI
Juz 19
Juz 20
Juz 21
178
85
159
12
XII
Juz 22
Juz 23
Juz 24
162
215
130
13
XIII
Juz 25
Juz 26
Juz 27
162
210
247
14
XIV
Juz 28
Juz 29
172
245
15
XV
Juz 30
356

B.     Biografi Mufassir,
Nama lengkap ath-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid[3] al-Thabari. Beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, Iran, pada akhir tahun 224H./839M.[4] dan meninggal dunia pada tahun 310 H./923M.. dalam usia 86 tahun.  Beliau adalah ilmuan yang mengagumkan. Di usianya yang masih belia, yaitu tujuh tahun, beliau sudah hafal al-Qur’an, telah mendapatkan kepercayaan untuk menjadi imam salat pada usia delapan tahun, dan menulis hadis pada umur sembilan tahun. Beliau mengetahui berbagai macam qira’at al-Qur’an, memahami makna yang terkandung di dalamnya serta memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum-hukum di dalam Alquran.[5]
Beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap pendidikan, terutama bidang keagamaan. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Hal itu tampak pada saat beliau pada usia 12 tahun mulai mencari ilmu dari ulama-ulama terkemuka di tempat kelahirannnya sampai berkeliling tiap kota untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.[6]
Pada masanya, yaitu abad III H. sampai dengan awal abad IV H., Islam berada pada masa-masa keemasan ilmu pengetahuan. Para penguasa mendorong dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuan. Banyak pemikir dan sarjana muslim melibatkan diri di dalam studi dan penelitian berbagai disiplin ilmu.
Beliau melakukan perjalanan untuk mencari ilmu ke berbagai kota, seperti Ray, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria. Di Ray beliau berguru pada Muhammad bin Humaid ar-Razi, dll. dalam bidang hadis. Di Basrah, beliau belajar kepada Muhammad bin al-Ma’la dan Muhammad bin Bashar, di Kufah belajar kepada Hana’ bin as-Sary dan Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala’ al-Hamdani. Sampai kahirnya, beliau ke Baghdad untuk mempelajari berbagai macam ilmu dan kebudayaan. Dari Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Syam untuk mempelajari qira’at al-Qur’an kepada ‘Abbas bin al-Walid al-Biruniy.[7]
Kemudian ia berangkat ke Mesir dan di sana ia bertemu dengan ulama-ulama terkemuka seperti Muhammad bin Abdillah bin Hakam dan al-Muzani, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah seorang pengarang kitab al-Sirah. Diriwayatkan bahwa Ibn Jarir ath-Thabari dalam menulis kitab "Tarikh al-Umam Wa al-Mulk" yang sangat terkenal banyak berdasarkan kitab al-Sirah ini. Dari Mesir beliau kembali ke tempat kelahirannya, kemudian pergi ke Bagdad sampai akhir hayatnya.[8]
            Beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu-ilmu ke-Islaman dan tradisi-tradisi Arab, sehingga terkenal sebagai ahli fiqh, sejarah, tafsir, sastra, tata bahasa, logika, matematika dan kedokteran. Beliau merupakan salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu, beliau meninggalkan warisan cukup besar yang mendapatkan sambutan besar di setiap masa dan generasi. Karya beliau yang masyhur adalah Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya tersebut merupakan rujukan utama bagi para mufasir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-ma’tsur.
Selain tafsir tersebut, beliau juga terkenal sebagai ahli di bidang sejarah. Tarikh al- Umam wa al-Mulk adalah salah satu buktinya. Beliau juga menulis al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, sehingga berhasil mengangkat popularitas beliau pada saat itu dan masih dikenal oleh banyak kalangan sampai sekarang.[9]
Karya-karya ath-Thabari yang lainnya adalah:
1.      Ikhtilaf al-Fuqaha
2.      Tahdzib al-Atsar
3.      Kitab al-Qira’at (18 Jilid).[10]


C.     Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
1.      Latar Belakang Penulisan Tafsir
Tafsir ini lebih dikenal dengan nama Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, padahal nama yang diberikan oleh ath-Thabari sendiri, sebagaimana dijelaskan di dalam tafsirnya, adalah Jami al-Bayan an Tawil Ayi al-Qur'an.[11] Tafsir tersebut ditulis pada akhir abad ketiga Hijriah.[12]
Mulanya  tafsir at-Thabari ini hilang, tetapi kemudian ditemukan kembali di dalam perpustakan dan di simpan oleh Amir Mahmud ibn Abd al-Rasyid seorang Amir Nejed. Dari manuskrip ini kemudian diterbitkan dan beredar luas serta menjadi sebuah ensiklopedi tafsir bi al-Ma’tsur.[13]
At-Thabari ketika menulis kitab ini mengatakan: “Ketika aku berusaha menjelaskan Tafsir al-Qur’an dan menerangkan makna-makna yang Insya-Allah menjadi kitab yang mencakupi setiap perkara yang perlu diketahui oleh manusia melebihi kitab-kitab lain yang ada sebelumnya. Aku berusaha menyebutkan dalil-dalil yang disepakati oleh seluruh ummat dan yang diperselisihkannya, menjelaskan alasan setiap mazhab yang ada dan menerangkan alasan yang benar berdasarkan pendapatku dalam setiap permasalahan yang berkaitan secara ringkas.”[14]

2.      Format Tafsir
a.      Sistematika Tafsir
Di dalam menyusun tafsirnya, ath-Thabari mengacu pada tartib mushafi. Dalam sistematika ini, beliau menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah di dalam mushaf al-Qur’an. Beliau menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.­
Dalam menyusun tafsirnya,  terlebih dulu beliau menyebutkan nama surat dengan riwayat yang menjelaskan tentang nama-nama tersebut. Selanjutnya beliau  menyebutkan ayat atau beberapa ayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada asbab nuzul, tentang takwil (tafsir) ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditafsirkan dengan dasar riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya hingga sampai Nabi Saw. Selanjutnya beliau melakukan analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya (ra’yu) yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk bahasa. Beliau memberikan respon kepada sejumlah penafsiran yang ada dan mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat berdasarkan pertimbangan beliau.[15]
Secara runtut, yang pertama-tama dilakukan oleh hath-Thabari adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (i’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi kete­patan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (ta’wil) pun terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) beliau meng­gunakan logika.
Terkait dengan riwayat-riwayat yang bertentangan (muta'aridah), beliau memberikan penjelasan dengan memberikan penekanan terhadap pendapatnya dan mengajukan alternatif pan­dangannya sendiri disertai argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, tabi'in dan tabi' at-tabi'in, kemudian mengambil hukum (istinbat). Terkait dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan aspek sejarah, beliau menguraikan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat) dengan keyakinan yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbul­kan kerugian dan bahaya bagi agama.[16]
b.      Metode Tafsir
Tafsir ini menggunakan metode tafsir analisis (tahliliy), sebab penafsirannya berdasar pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam urutan mushaf al-Qur’an.[17] Berikut merupakan metode yang digunakan oleh ath-Thabari dalam tafsirnya: [18]
1. Menempuh jalan tafsir dan atau ta’wil.
Ketika akan menafsirkan suatu ayat, at-Thabari selalu mengawali dengan kalimat القول فى تأويل قوله تعالى. Kemudian, barulah menafsirkan ayat tersebut.
3. Menafsirkan al-Qur’an dengan sunah/hadis.
Ath-Thabari dalam menafsirkan suatu ayat selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
3. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.
4. Pemaparan ragam qira’at dalam rangka mengungkap makna ayat.
Ath-Thabari juga menyebutkan berbagai macam qira’at dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qira’at tersebut serta menjelaskan hujjah dari ulama qira’at tersebut.
5. Menggunakan cerita-cerita Israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya yang berkenaan dengan sejarah.
Ath-Thabari dalam penafsiran al-Qur’an yang berkenaan dengan sejarah menggunakan cerita-cerita Israiliyat yang diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Munabbih, Ibn Juraij dan lain-lain.
6. Mengeksplorasi syair dan prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat.
7. Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan.
Ketika ath-Thabari mendapati kata dalam suatu ayat ada perselisihan antar ulama nahwu, beliau menjelaskan kedudukan kata tersebut menurut tiap-tiap mazhab dengan memperhatikan aspek i’râb dengan proses pemikiran analogis untuk ditashîh dan ditarjîh serta menjelaskan penafsirannya.
8. Menjelaskan perdebatan di bidang fiqh dan ushul fiqh untuk kepentingan analisis dan istinbath hukum.
Ath-Thabari selalu menjelaskan perbedaan pendapat antar mazhab fiqh tanpa mentarjih salah satu pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.
9. Menjelaskan perdebatan di bidang akidah.
            Terkait dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah  akidah, ath-Thabari menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.

c.       Corak Tafsir
            Tafsir ath-Thabari dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur, yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dalam mengutip riwayat biasanya beliau tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri. Namun demikian, di dalam menentukan makna yang paling tepat terhadap satu kata, beliau juga menggunakan ra'yu. Jadi boleh dikata, corak tafsirnya adalah gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’yi. Beliau di dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat.[19]
 
3.      Komentar Terhadap Tafsir
Tidak sedikit komentar para ulama yang menunjukkan keunggulan tafsir at-Thabari, di antaranya adalah adz-Dzahabi yang mengatakan bahwa Tafsir at-Thabari adalah tafsir yang paling awal di antara kitab-kitab tafsir yang ada. Awal dalam  hal waktu, karena ia merupakan kitab tafsir paling awal yang sampai kepada generasi sekarang; dan awal dalam hal disiplin dan pembuatan. Hal ini merujuk kepada metode yang akurat yang ditempuh oleh al-Thabari, sehingga menghasilkan karya tafsir yang berkualitas dan memiliki tempat yang tinggi.”[20]
Muhammad Ali al-Sabuni menyebutkan bahwa kitab Tafsir Ibn Jarir termasuk tafsir bi al-ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabiin serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mufasir.[21]
As-Suyuthi, seperti dikutip al-Qattan dan Mahmud, bahwa kitab Tafsir ath-Thabari merupakan tafsir paling besar dan utama, mengungkap berbagai macam pendapat, merajih sebagian atas yang lain, mengungkap tentang i’rab, istinbath. Tafsir ini mengungguli tafsir klasik yang lain. Demikian juga an-Nawawi mengatakan, bahwa umat sepakat bahwa tidak ada tafsir yang seperti Tafsir ath-Thabari, sebagaimana dikutip al-Qaththan.[22]
















                [1]Muhammad ‘Ali Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Muassasah at-Thaba’ah wa an-Nasyr Wazarah ats-Tasaqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373), hlm. 399.
                [2]Tafsir ath-Thabari dicetak di berbagai percetakan, di antaranya:  1. Kairo: Matba’ah Bulaq, 1323H. 12 jilid, 30 Juz., 2. Mesir: Maktabah Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1373H. 12 Jilid, 30 Juz. 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412/1992, 12 Jilid, 30 Juz.
                [3]Iyaziy menyebut dengan Ghalib. Lihat Iyaziy, Al-Mufassirun…, hlm. 400.
                [4]Menurut Mani’ Abd Halim Mahmud, at-Thabari lahir tahun 225 H. Lihat Mani’ Abd Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin  (Kairo: Dar al-Kitab al-Misriy, 1978), h. 39,  atau awal tahun 225H. menurut: Iyazi, Al-Mufassirun…, hlm. 40 
[5]M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 147.
                [6]Abu Ja'far Muhammad  bin Jarir at-Thabari, Jami al-Bayan An Ta'wil Ayi al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.),  hlm. 3.  
                [7]Mahmud, Manahij…, hlm. 40
                [8]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 362
                [9]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…, hlm. 147-148. Lihat: Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.), hlm 352-353. Lihat pula Mahmud, Manahij…, hlm. 39
                [10]Iyaziy, Al-Mufassirun…, hlm. 400.
[11]Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami al-Bayan An Ta'wil Ayi al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr.t.th.), hlm. 3
                [12]Menurut Muhammad ‘Ali Iyaziy, tafsir at-Thabari ditulis tahun 306 H. Lihat Iyaziy, Al-Mufassirun…, hlm. 399.
[13]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…, hlm. 149. al-Qaththan, Mabahits…hlm. 353
[14]Iyaziy, Al-Mufassirun…, hlm. 401-402. Lihat Ath-Thabari, Jami…, jilid I, hlm. 51
                [15]Al-Qaththan, Mabahits…, hlm. 353-354. Iyaziy, Al-Mufassirun…, hlm. 402-403.
                [16]Mahmud, Manahij …, hlm. 42-44. Lihat: At-Thabari, Jami…Jilid I - XV.
[17]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…, hlm. 149.
[18]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…, hlm. 151-161. Lihat al-Qaththan, Mabahits…, hlm. 353-354.
                [19]At-Thabari,  Jami…hlm. 3
[20]Adz-Dzahabi, at-Tafsir…, hlm. 150-151.
[21]Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Iftikar, 1990), hlm. 57.
[22]al-Qaththan, Mabahits…, hlm. 353. Mahmud, Manahij…, hlm. 46.

No comments:

Post a Comment