Tuesday, May 17, 2016

Makalah Studi Kitab Tafsir Klasik tentang Tafsir Jami’ Al bayan - Karya Al-Thabary



Tafsir Jami’ Al bayan - Karya Al-Thabary
A.    Biografi Penulis Singkat
Namanya Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari. Beliau dilahirkan di Thabaristan pada tahun 224 H. Para pengkaji tafsir tentu akrab dengan kitab Tafsir Jami'ul Bayan fi Tafsiril Qur'an atau lebih dikenali sebagai Tafsir at-Thabari. Kitab ini menjadi kitab tafsir terbaik yang dikarang oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari, sang guru besar tafsir.
Kecerdasan dan kecintaan al-Thabari kepada ilmu sudah kelihatan sejak dia kecil. Dia sudah hafaz Al-Quran ketika usia 7 tahun. Pada usianya 8 tahun, dia diarah menjadi imam bagi orang dewasa di daerah kelahirannya iaitu Thabaristan, Parsi, atau sekarang dikenali dengan Iran. Di usia 9 tahun, dia sudah menulis banyak hadits.
Kemudian at-Thabari memulakan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau bermula dari Rayy, Iran. Kemudian ke Baghdad, Iraq, untuk menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Namun malangnya, Imam Mazhab Hanbali itu telah wafat sebelum al-Thabari sampai ke bandar tersebut (241 H / 855 M).
Al-Thabari meneruskan perjalanannnya ke Wasit dan Basrah untuk mengikuti beberapa kuliah. Kemudian dia ke Kufah untuk mendalami ilmu hadits. Beliau berguru pada ulama besar hadits, Muhammad bin Humaid ar-Razi. Darinya, al-Thabari mampu menulis lebih dari 100 ribu hadits. Beliau juga menuliskan sejumlah hadits yang sama dari gurunya yang lain, Abu Kuwait. Al-Thabari kembali ke Baghdad untuk belajar ilmu al-Quran dan fiqh, utamanya fiqh Imam Syafie. Di Baghdad inilah karya-karya besarnya berjaya dimunculkan.
A.    METODE PENAFSIRAN
Mengenai metodenya, kitab ini dianggap sebagai dasar bagi semua tafsir karena adanya metode khas yang memadukan antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir ra’yi yang disertai dengan pendapat yang terkuat. Imam Asy Syuyuti berkata, “Kitab Ibnu Jarir merupakan tafsir palinh agung, karena kitab ini memaparkan pilihan berbagai pendapat, I’rab dan istinbath. Dengan karakteristik inilah sehingga kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik”.
Secara umum, Ath Thabari memiliki metode dan langkah-langkah penting dalam menafsirkan, yaitu sebagai berikut:
  1. Biasanya Ath Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan dibahasnya, baik itu berupa ayat, dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits, kemudian menyimpulkan bebagai pendapat mengenai aqidah, hukum fiqih, qira’at, suatu pendapat, atau permasalahan yang diperselisihkan.
  2. Apabila tema telah ditetapkan, beliau mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang ia kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang dibahasnya.
  3. Terkadang beliau menjelaskannya secara panjang lebar yang tampak pada penguraian sanad, riwayat dan dalil, hingga ia yakin bahwa tidak ada kepincangan dalam masalah yang dikajinya.
  4. Selain metode deduktif tersebut, ia juga membandingkan antara sanad dengan dalil dan mengindikasikan kelemahan atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengambilan dalil atau argumentasi.
Di samping metode-metode umum di atas, dalam menafsirkan, Al-Thabari menempuh metode dan langkah-langkah khusus sebagai berikut:
  1. Mengawali penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah”.
  2. Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi’in.
  3. Menyimpulkan pendapat umum dari nash Al Qur’an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
  4. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah Saw, sahabat, dan tabi’in dengan menuturkan sanad-sanadnya , dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.
  5. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
  6. Kadang-kadang ia menuturkan pendapat ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat ahlussunnah wal jama’ah.
Di samping metode-metode tersebut di atas, Al-Thabari juga menggunakan metode yang sistematis, yaitu menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, dan ashalah (keautentikan). Sisi riwayat beliau peroleh dari studi terhadap sejarah, sirah Nabawiah, bahasa, syair, qira’at, dan ucapan-ucapan orang-orang terdahulu. Semua ini menjadi bekal utama baginya untuk menyususn tema-tema dan mengetahui perinciannya.
Adapun sisi dirayat, ia peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil-dalil dari masing-masing mereka dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits. Dan dari sisi keautentikan Al-Thabari, yaitu berpikir panjang untuk sesuatu yang ingin dilakukan dan mempersiapkan diri dengan matang.
B.    KARAKTERISTIK DAN CORAK PENAFSIRAN
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat paling tidak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, corak penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecederungan madzab yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Dari sisi linguistik, Al-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada sya’ir-sya’ir Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran gramatika bahasa dan penggunaan bahasa arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bil Ma’tsur). Aspek penting lainnya dalam kitab tersebut adalah pemaparan qira’at secara variatif, dan analitis dengan cara menghubungkan dengan makna-makna yang berbeda, kemudian mengambil salah satu qira’at tertentu yang dianggap paling kuat dan tepat. Di sisi yang lain, Al-Thabari sebagai seorang ilmuan, selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan Al Qur’an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. 
Kitab tafsir Jami’ Al Bayan atau dikenal dengan nama tafsir Al-Thabari ini merupakan tafsir yang boleh dikatakan tafsir terlengkap di antara tafsir-tafsir yang lain hingga saat ini. Hal ini dapat kita pahami dari lengkapnya unsur-unsur yang digunakan dalam penafsiran dengan menyebutkan riwayat dan sanad yang begitu lengkap, pendapat ulama yang begitu lengkap, penyajian I’rab, bahkan wajah qira’atnya dan segala aspek yang dapat menunjang kelengkapan tafsirnya. 
Kelengkapan yang dimiliki inilah yang menjadi ciri utama tafsir Al-Thabari. Adapun corak penafsiran yang merupakan ciri khusus tafsir Al-Thabari ini yang mungkin berbeda dengan tafsir lainnya adalah memadukan dua sisi yaitu bil ma’tsur dan bir ro’yi. Bagi orang-orang yang belum mengkaji secara mendalam, maka ia menganggap tafsir ini sebagai tafsir bil ma’tsur. Hal ini karena ia hanya melihat dhahirnya saja yang lengkap dan banyak memuat hadits-hadits dan isnad. Bahkan dalam tafsir ini terdapat sejumlah riwayat hadits yang lengkapnya melebihi tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. 
C.     CONTOH PENAFSIRAN
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
القول في تأويل قوله جل ثناؤه وتقدست أسماؤه: {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6) } .
يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: قل يا محمد أستجير (بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ) وهو ملك جميع الخلق: إنسهم وجنهم، وغير ذلك، إعلاما منه بذلك من كان يعظم الناس تعظيم المؤمنين ربهم أنه ملك من يعظمه، وأن ذلك في مُلكه وسلطانه، تجري عليه قُدرته، وأنه أولى بالتعظيم، وأحقّ بالتعبد له ممن يعظمه، ويُتعبد له، من غيره من الناس.
وقوله: (إِلَهِ النَّاسِ) يقول: معبود الناس، الذي له العبادة دون كل شيء سواه.
وقوله: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) يعني: من شرّ الشيطان (الْخَنَّاسِ) الذي يخنِس مرّة ويوسوس أخرى، وإنما يخنِس فيما ذُكر عند ذكر العبد ربه.
* ذكر من قال ذلك:
حدثنا أبو كُرَيب، قال: ثنا يحيى بن عيسى، عن سفيان، عن حكيم بن جُبير، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، قال: ما من مولود إلا على قلبه الوَسواس، فإذا عقل فذكر الله خَنَس، وإذا غَفَل وسوس، قال: فذلك قوله: (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) .
حدثنا ابن حميد، قال: ثنا جرير، عن منصور، عن سفيان، عن ابن عباس، في قوله (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) قال: الشيطان جاثم على قلب ابن آدم، فإذا سها وغفل وسوس، وإذا ذكر الله خنس.
قال: ثنا مهران، عن عثمان بن الأسود، عن مجاهد (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) قال: ينبسط فإذا ذكر الله خَنَس وانقبض، فإذا غفل انبسط.
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى؛ وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال ثنا ورقاء، جميعا عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، في قوله (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) قال: الشيطان يكون على قلب الإنسان، فإذا ذكر الله خَنَس.
حدثنا ابن عبد الأعلى، قال: ثنا ابن ثور، عن معمر، عن قتادة (الْوَسْوَاسِ) قال: قال هو الشيطان، وهو الخَنَّاس أيضا، إذا ذكر العبد ربه خنس، وهو يوسوس وَيخْنِس.
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) يعني: الشيطان، يوسوس في صدر ابن آدم، ويخنس إذا ذُكر الله.
حدثنا ابن عبد الأعلى، قال: ثنا ابن ثور، عن أبيه، قال: ذُكر لي أن الشيطان، أو قال الوسواس، ينفث في قلب الإنسان عند الحزن وعند الفرح، وإذا ذُكر الله خنس.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله: (الْخَنَّاسِ) قال: الخناس الذي يوسوس مرّة، ويخنس مرّة من الجنّ والإنس، وكان يقال: شيطان الإنس أشدّ على الناس من شيطان الجنّ، شيطان الجنّ يوسوس ولا تراه، وهذا يُعاينك معاينة.
ورُوي عن ابن عباس رضى الله عنه أنه كان يقول في ذلك (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) الذي يوسوس بالدعاء إلى طاعته في صدور الناس، حتى يُستجاب له إلى ما دعا إليه من طاعته، فإذا استجيب له إلى ذلك خَنَس.
* ذكر من قال ذلك:
حدثني محمد بن سعد، قال: ثني أبي، قال: ثني عمي، قال: ثني أبي، عن أبيه، عن ابن عباس، في قوله (الْوَسْوَاسِ) قال: هو الشيطان يأمره، فإذا أطيع خنس.
والصواب من القول في ذلك عندي أن يقال: إن الله أمر نبيه محمدا صلى الله عليه وسلم أن يستعيذ به من شرّ شيطان يوسوس مرّة ويخنس أخرى، ولم يخصَّ وسوسته على نوع من أنواعها، ولا خنوسه على وجه دون وجه، وقد يوسوس بالدعاء إلى معصية الله،
D.    KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR AL-THABARY
  • Kelebihan 
  1. Tafsir Al-Thabari mengandung banyak cabang ilmu yang menunjang kelengkapan dan kesempurnaannya, seperti ilmu Bahasa, Nahwu, Riwayat, qira’at dan sebagainya.
  2. Dengan kandungan yang begitu lengkap dapat berperan penting bagi pengkajinya dalam menambah wawasan.
  3. Disebutkannya berbagai pendapat atau atsar yang mutawatir, baik yang bersumber dari Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ at tabi’in, serta para ulama sebelumnya menujukkan kehati-hatiannya dalam menafsirkan, sehingga mengecilkan kemungkinan ia berpendapat yang salah.
  4. Kelengkapan dan kesempurnaan penjelasan menyebabkan orang yang mengkajinya dapat memahami tafsirnya dengan baik. 
  • Kelemahan atau Kekurangan 
  1. Karena banyaknya riwayat yang dimuatnya, ia pun mengomentarinya, namun terkadang ada juga riwayat yang tidak dikomentarinya, sehingga dibutuhkan lagi penelitian lebih lanjut pada riwayat yang tidak dikomentarinya tersebut.
  2. Pada umumnya ia tidak menyertakan penilaian shahih atau dho’if terhadap sanad-sanadnya.
  3. Kelengkapan penjelasan yang disajikan menyebabkan dalam mengkaji dan mendalami tafsirnya membutuhkan waktu yang sangat lama, serta membutukan kesabaran.
  4. Karena tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah, maka dalam mengkaji dan mendalaminya butuh perhatian dan kejeniusan, sehingga sedikit mempersulit bagi orang yang masih awam. Di samping itu, karena banyaknya pendapat yang termuat di dalamnya menyebabkan orang kesulitan dalam menentukan pendapat yang paling benar.

No comments:

Post a Comment