I.
PENDAHULUAN
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat
kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada
Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan
Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari
perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai
kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada
perkataan sahabat.
Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya
dari waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam
Al-Qur’an, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad
sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum islam). Sehingga
seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab dan
pemikiran-pemikiran madzhab.
PERMASALAHAN
1.
Biografi
Abu Hanifah
2.
Pemikiran
Hukum Rasional (Madzhab Imam Hanafi)
II.
PEMBAHASAN
Pada
suatu hari, Imam Abu Hanifah bertemu dengan seorang murid sahabat Nabi
terkemuka, asy-Sya’bi.
“Engkau hendak pergi kemana?”, tanya
asy-Sya’bi.
“Saya hendak pergi ke pasar”.
“Saya tidak ingin engkau pergi ke pasar,
akan tetapi saya ingin engkau pergi ke ulama”.
“Jangan lakukan itu, engkau harus mengkaji
ilmu-ilmu dan beljar kepada ulama, sebab saya menyaksikan di dalam dirimu suatu
kesadaran (yaqadhah) dan kedinamisan
(harakah)”.
Kemudian
Imam Abu Hanifah bergumam di dalam dirinya: “Ucapan asy-Sya’bi sangat menyentuh hatiku, maka sejak itu aku
tidak lagi ke pasar, dan sebaliknya, saya memperdalam ilmu. Allah SWT telah
memberi manfaat kepadaku melalui ucapan asy-Sya’bi.
a.
Biografi Imam Hanafi
Abu hanifah dilahirkan pada tahun 80 hijriyah bersamaan(659
masehi). Sebagai para ahli sejarah mengatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 61
hijriyah; pendapat ini sangat tidak berdasarkan, karena yang sebenarnya ialah
pada tahun 80 hijriyah ( 659 M) menurut
pendapat yang pertama. Dan beliau meninggal pada tahun 150 Hijriyah.
Abu Hanifah hidup di zaman pemerintahan
kerajaan Umawiyah dan pemerintahan Abbasiyah. Imam Abu Hanifah adalah seorang
imam yang empat dalam islam. Ia lahir dan meninggal lebih dahulu dari para
imam-imam yang lain, karena dialah yang kita bicarakan lebih dahulu dari
imam-imam yang lainnya. Imam Abu Hanifah seorang yang berjiwa besar dalam
artikata seorang yang berhasil dalam hidupnya, dia seorang yang bijak dalam
bidang ilmu pengetahuan tepat dalam
memberikan suatu keputusan bagi suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.[1]
b.
Corak Pemikiran Hukum:
Rasional
Metode Fiqh Madzhab Hanafi
Adapun
metodenya dalam Fiqh sebagaimana perkataan beliaunya sendiri: “Saya mengambil
dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah
Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak
saya temukan dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan
Sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang saya tidak
butuhkan, kemudian saya tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika
permasalahan berujung pada Ibrahim, Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin
Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah Mujtahid) maka saya akan
berijtihad sebagaimana mereka ijtihad”.
Metode yang dipakainya itu jika tidak
dirincikan maka ada 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah:
1.
Al-Qur’an,
Abu Hanifah memandang Al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum
sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka
dalam menjelaskan maksud (dilalah) Al-Qur’an tersebut, seperti dalam
masalah-masalah mafhum mukhalafah.
2.
Sunnah/hadist,
Imam Abu Hanifah juga memandang sunnah sebagai sumber hukum al-qur’an
sebagaimana imam-imam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapakan
syarat-syarat khusus dalam penerimaan sebuah hadist (mungkin bisa dilihat dari
Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah
hadist dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi)
hadist dengan membandingkannya dengan hadist lain dan kaidah-kaidah umum yang
telah baku dan disepakati.
3.
Perkataan
Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka
beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari
perkataan Shahabah yang ada itu, dan jka ada beberapa pendapat dari kalangan
Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
4.
Qiyas,
5.
Istihsan
6.
Ijma’
7.
Urf[2]
Rasionalitas
keputusan fiqihnya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut:
Abu
Hanifah pernah ditanya “apa pendapatmu hukum minum dengan wadah gelas yang
sebagian sisinya terdapat perak? Ia menjawab “tidak mengapa” ditanya lagi
“bukanlah minum dengan wadah emas dan perak dilarang oleh nabi?” ia menjawab,
“Apa pendapat anda melintas saluran air, dalam keadaan haus kemudian air itu
dengan mnciduknya dengan tanganmu yang disalah satunya terdapat cincin emas?”
penanya menjawab, “tidak mengapa”, “begitulah” kata Abu Hanifah”.
Karena
pendirianya itu banyak ulama’ hadist dan fiqh menilainya dengan sebagai orang
yang mendahulukan akal/ra’y dan qiyas atas hadist Nabi, sikap mana digolongkan
mengikuti hawa nafsu. Kendati Abu Hanifah dikenal sebagai imam madzhab fiqh
tetapi tidak ada kitabnya satupun yang sampai kepada kita.
Pandangan-pandanganya seperti kitab al-a’lim wa al-mutaalim, kitab al radd’
al-qadariyah, dan lain-lain, tidak ditulis dalam kitab fiqh. Tetapi
murid-muridnya telah berusaha menjaganya dan meriwayatkannya dalam bab-bab
fiqh.[3]
III.
PENUTUP
Bahwasanya Imam
Abu Hanifah lahir pada tahun 80 Hijriyah bersamaan (659 Masehi) dan meninggal
pada tahun 150 Hijriyah. Dalam pemikirannya Imam Abu Hanifah menggunakan
pemikiran secara Rasional, karena ia beda dalam pemikiran para imam-imam
lainnya.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Asy-Syurbasi , Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Semarang:
Amzah 1991.
http//nananghariyono.blogspot.com. diakses pada tanggal 2 mei 2016
jam 11.56 WIB.
http//catatanilmukomunikasi.blogspot.com.diakses pada tanggal 2 mei
2016 jam 11.54 WIB.
No comments:
Post a Comment