BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam
budaya Jawa terdapat sastra Jawa yang kental dengan nuansa kesantunan ,
unggah-ungguh dan unsur religi yang terdapat didalamnya . Beberapa pesan telah
banyak ditunjukan dalam sastra Jawa itu sendiri.
Selain
itu, dalam sebuah karya sastra juga terdapat undur religi yang masih belum
dimengerti oleh beberapa orang. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai
interelasi islam dan Jawa dalam bidang sastra pada masa kerajaan Majapahit.
B. Rumusan masalah
a)
Apa pengertian sastra?
b)
Apa keterkaitan islam dengan sastra jawa?
c)
Bagaimana sastra pada kerajaan Majapahit?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sastra
Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada
suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra ( membicarakan
pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu
karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra ), sejarah
sastra ( membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan
suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan cirri-ciri dari masing-masing tahap
perkembangan suatu karya sastra).
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’, yang dalam kata kerja turunan
berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi’. Akhiran ‘tra’
menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan
‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra
berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi
hal-hal yang baik dan indah, dengan kata lain,belles-letters( tulisan yang
indah dan sopan ). [1]
B. Perkembangan Sastra Hasil Interrelasi Islam
dan Jawa
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan)
adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan
bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.Bentuk karya sastra
juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang berbentuk prosa, (2)
karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya sastra yang berbentuk
drama.Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra
lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu
terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai
keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas
(pesan moral).[2]
Maksud
keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang
bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai
karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai
untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan
petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.Hal ini terjadi karena para
pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat
ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca
seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum
sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat
para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan
ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan
dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang
hindu.[3]
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya
sastra para pujangga keraton Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu
berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat.
Istilah
‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa
di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya,
yaitu :
1. Unsur
ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2. Unsur
kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk agar
berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
Maksud
dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan
yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna
keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya
sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada
zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad,
masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.[4]
C. Sastra Pada Zaman Mataram
Nama pujangga pada periode ini misalnya Sultan Agung
dengan karyanya Sastra Gending, Pangeran Adilangu dengan karyanya Babad
Majapahit, Sunan Pakubuwan V dengan karyanya Serat Centhini, dan R. Ng
Renggawarsita dengan karyanya Sabdajati.
Sastra
pada masa Kerajaan Pajang memiliki identitas yang khas, yakni budaya yang
bercorak ortodoks jika dibandingkan dengan budaya yang ada di dalam pedalaman,
yang dalam banyak hal masih kental bercampur dengan elemen-elemen Hinduisme.
Hal ini tampak dari karya sastra yang dihasilkan oleh ulama yang di samping
posisinya sebagai juru dakwah juga membuat karya tulis. Sastra ini juga
memiliki kaitan erat dengan proses perkembangan kehidupan keagamaan karena pada
dasarnya kehidupan sehari-hari masyarakat tak dapat dilepaskan dari kerangka agama.[5]
Nah,
kemudian proses islamisasi yang mulai masuk kepedalaman, maka terjadi pula
proses islamisasi sastra pedalaman yang semula bercorak hindu sentries menjadi
berbau keisalaman, meskipun pada akhirnya coraknya merupakan perpaduan antara
ajasan Islam dengan elemen-elemen mistik yang juga berlaku dikalangan Hindu.
Ajaran-ajaran budi luhur yang terdapat dalam sastra Jawa
kemudian mengkristal menjadi suatu pandangan hidup kejawen yang bercorak
sinkretis, dengan penampilan yang lebih menekankan pada substansi ajaran
mistik, tetapi dalam banyak hal kurang suka pada unsur yang legalistik semacam
syari’at.
Jadi
sastra pada masa hindu budha kita kenal dengan yang namanya mantra. Mantra
tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki
daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi
sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada
saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
Keterkaitan
antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya
imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak
yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.Paham kejawen yang memiliki
kesejajaran dengan tasawuf mistik merupakan realitas masyarakat Jawa yang
memiliki pengikut dan perkembangannya amat tergantung kepada seberapa jauh
apresiasi generasi penerus terhadap nilai-nilai masa lalu yang ada dalam ajaran
sastra pedalaman sebagaimana adanya.Periodisasi Sastra jawa karya Padmosiekotjo:
a) Pada zaman hindu
( Sebelum zaman Majapahit )
b) Pada Zaman
Majapahit
c) Pada Zaman
Islam ( Zaman Demak Dan Pajang )
d) Pada Zaman
Mataram
e) Pada Zaman
Sekarang ( Mulai Abad XX )
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nama pujangga pada periode ini misalnya Sultan Agung
dengan karyanya Sastra Gending, Pangeran Adilangu dengan karyanya Babad
Majapahit, Sunan Pakubuwan V dengan karyanya Serat Centhini, dan R. Ng
Renggawarsita dengan karyanya Sabdajati.
Sebagai
bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang
digunakan sehari-hari
Sastra pada masa Kerajaan Pajang
memiliki identitas yang khas, yakni budaya yang bercorak ortodoks jika
dibandingkan dengan budaya yang ada di dalam pedalaman, yang dalam banyak hal
masih kental bercampur dengan elemen-elemen Hinduisme. Hal ini tampak dari
karya sastra yang dihasilkan oleh ulama yang di samping posisinya sebagai juru
dakwah juga membuat karya tulis
Keterkaitan antara Islam dengan
karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral.
Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi
karya-karya sastra terseb
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000. Islam dan kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama
Media.
Tjadrasasmita,Uka. 2006. Kajian Naskah-Naskah Klasik dan
Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam. Jakarta : Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI.
[2] Uka Tjadrasasmita, Kajian
Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam, Puslitbang
Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, Jakarta, 2006, hlm. 61
[3] M.
Darori Amin, op cit, hlm. 144
[4] Ditulis
dalam buku “ Ngengrengan
Kasusastraan Djawa II” ( 1956 : 115 – 117 ) yang berjudul “ Asmane Para
Pejuang Lan Buku Buku Reriptane “ nama para pujanggga dan buku bukunya seperti
yang terdapat dalam kesoessastraan Djawi I terbitan Departement PP dan K .
[5] M. Darori Amin, Op, Cit, hlm 162.
No comments:
Post a Comment