Friday, May 13, 2016

Makalah Islam Dan Budaya Jawa KONSEP-KONSEP IMAJINASI YANG DI LAKUKAN WALI SONGO



                  I.            PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan, meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam. Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya, dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Islam.
Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi  budaya  yang  dikembangkan  oleh  Walisongo,  yakni  aristektur  masjid  sebagai  representasi  tatanan  sosial  egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal.

B.      Rumusan Masalah
1.      Islamisasi peradaban santri di Jawa oleh walisongo
2.      Mengenai Asal usul istilah Santri

                 II.            PEMBAHASAN
A.    Islamisasi peradaban santri di Jawa oleh walisongo
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang di lakukan oleh walisongo cukup penting, lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaanSantri ini bersama dengan unsur Pesantren dan Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasiantara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di Jawa juga telah melahirkansebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi Santri dantradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
Sejak awal kehadiran Islam di Jawa para Wali telah membangun "komunitas alternatif" berupa komunitas Santri sebagai basis masyarakat baru yaitu masyarakat Islam-Jawa. Secara berturut-turut uraian berikut ini akan melacak antara lain kelahiran tokoh Wali sebagai ulama mubalig terkemuka pendiri pesantren, antara lain Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Selanjutnya akan dilacak bagaimanakah peranWali dalam politik di Keraton Islam Demak, peran "Kerajaan Santri" di Giri, perkembangan tradisi intelektual Pesantren di Pesisir Utara Jawa, tradisi Santri berkelana, tradisi berdebat dan awal munculnya tradisi Santri dan Tradisi Abangan. Kelahiran tokoh Wali pendiri tradis ibesar Santri di Pesisir Utara Jawa, Sumber Babad, banyak memberikan gambaran tentang kapan dan bagaimana Islam masuk ke tanah Jawa, termasuk tentang siapa dan bagaimana Islam disebarkan dan disemaikan di lingkungan masyarakat Jawa. Babad Demak, Babad Gersik, Babad Majapahit, Babad Cirebon dan Babad Tanah Jawa, dalam berbagai versinya, merupakan sumber historiografi Jawa yang penting dalam memberikan gambaran kesejarahan proses interaksi antara Islam dan kebudayaan Jawa. Demikian juga halnya tentang interaksi dan reaksinya. Sumber lokal yang menceriterakan tentang proses Islamisasi di Jawa itu antara lain ialah Babad Demak Babad Majapahit dan Para Wali, Babad Jaka Tingkir. Babad Pajang, Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi. Sementara beberapa serat, seperti Serat Sunan Bonang, Pitutur Seh Bari, Serat Siti Jenar, Serat Cabolek dan Serat Centhini., banyak menggambarkan tentang dialog antara Islam dan tradisi budaya lokal.[1]
H.J.Benda, menyebutkan bahwa proses Islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat dan politik. Sementara Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telahmenyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut Santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.
Tradisi Santridan kepemimpinan Kyai atau ulama merupakan unsur kebudayaan Islam-Jawa yangmemiliki pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan agama, sosial dan politik dalammasyarakat Jawa dan Indonesia. Kecenderungan ini berlangsung secara berkelanjutan darimasa tradisional sampai dengan masa kononial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain,karena tradisi Santri dan Kyahi, bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan jugamenjadi basis kekuatan sosial dan politik. Dari perspektif historis dapat ditunjukkan bahwatradisi Santri secara berkelanjutan telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masaawal pendirian kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di daerah pesisir utara Jawa danpada masa kerajaan Mataram Islam di daerah pedalaman Jawa.[2]
Selain itu, dampak dari kehadiran Tradisi Besar Santri juga tampak mewarnai kelahirandikhotomi orientasi sosiokultural masyarakat Jawa dan Indonesia Indonesia yang munculdengan apa yang disebut "Islam Mutihan" dan "Islam Abangan", aliran "Nasionalis Keagamaan" dan "Nasionalis Sekular". Berbagai studi tentang perandan kedudukan tradisi besar santri dalam proses pembaharuan atau perubahan dalamkehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan dan politik di masyarakat Jawa danIndonesia telah banyak dilakukan.
Pada hakekatnya pengkajian itu memusatkan perhatiannya pada tiga segi. Pertama, segiinternal pesantren, yaitu pengkajian yang menempatkan kyai sebagai pemegang peransentral dalam proses perubahan dan pembaharuan. Kedua, segi peningkatan jaringanantara pesantren induk dan pesantren cabang yang didirikan oleh murid dari pesantren induk. Ketiga, segi dunia pesantren dengan lingkungannya. Kajian-kajian itu di antaranya ada yang mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang dampak yang dibawa oleh pesantren terhadap struktur sosial-politik. Selain itu juga ada yang mencoba untuk mempersoalkan perubahan struktural mempengaruhi hubungan antara pesantren dengan dunia luar. Sudah tentu selain ketiga segi tersebut, ada pula yang mengkaji segi ekternal tradisi pesantren, misalnya segi doktrin teologis dan kedudukan filsafat tradisi pesantren.[3]
B.     Mengenai Asal usul istilah Santri

Perlu dicatat, bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal-usul istilah santri. Di antaranya,ada yang berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sementara pendapat lainnya menyatakan bahwa kata santri berasal dari kata shastri (bahasa Sansekerta) yang berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, ataubuku-buku agama dan buku-buku ilmu pengetahuan.[4] Sementara pihak lainnya lagi, adayang mencoba menghubungkan kata santri dengan kata "satriya" atau "kesatriya", yangberkaitan dengan hakekat keutamaan dan keluhuran kepribadian yang dimiliki oleh tokoh Pandawa dalam Epos Mahabarata yang terkenal dalam dunia pewayangan di Jawa.
Pendapat mana yang benar tidak dapat dipastikan. Namun, kemudian orang lebih mengenaladanya dua pengertian santri yang sempit dan luas. Secara sempit, santri berarti murid atausiswa yang sedang belajar ilmu keagamaan Islam di bawah asuhan Kyai atau Ulama, dengancara bermukim di sebuah tempat yang disebut Pesantren. Secara luas, Santri berarti seorangMuslim atau kaum Muslimin, yaitu golongan orang Islam yang menjalankan ibadahkeagamaannya secara kafakh sesuai dengan ajaran syariat Islam yang sesungguhnya. Istilah Pesantren berasal dari pe-santri-an (pa-santri-an, Jawa) yang berarti tempat para santri, yaitu seperti telah di sebutkan di atas, tempat para Santri menuntut pelajaran danpendidikan keagamaan Islam di bawah asuhan para Kyai atau Ulama. Biasanya para santritinggal atau bermukim di sebuah bangunan tempat tinggal bersama yang disebut pondok,yang didirikan di dekat Mesjid dan kediaman Kyai atau Ulama pengasuhnya. Pesantren,dalam pengertian ini, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam tradisioanl, dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu Santri, Kyai, Mesjid dan Pondok. Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat. Lebih-lebih hubungan antara Kyai dan Santri, yang menggambarkan hubungan "guru-murid", sangat khas dalam dunia kehidupan Pesantren. Karena itu, dalam pengertian lebih luas Pesantren tidak hanya mencakup sebagai lembaga pendidikan agama Islam tradisional, tetapi juga mencakup pengertian sebuah komunitas orang Muslim atau kaum Muslimin yang memiliki identitas, simbol dan tradisi budaya sebagai sebuah subkulturIslam di Jawa.[5]
Patut dikemukakan, bahwa dalam hubungannya sebagai lembaga pendidikan tradisional, tampaknya tradisi pesantren secara kreatif telah mengembangkan unsur-unsur tradisi pendidikan yang telah berlangsung sebelumnya, seperti sistem "padhepokan" ("asrama") pada masa Hindu-Buddha dibawah asuhan guru, pandhita atau Brahmana, kemudian dibentuk baru menjadi sistem "Pondok" (fundug, bhs. Arab,= hotel atau asrama) atau "Pondok-Pesantren"; dibawah asuhan seorang guru mengaji, Kyai atau Ulama. Demikian juga halnya, corak hubungan patronage "guru-murid" antara "Pendhita - Cantrik", atau "Resi (guru terkemuka) Cantrik (murid)" dikembangkan dalam model baru hubungan "Kyai-Santri". Unsur baru terpenting yang dimasukkan dalam lembaga pendidikan keagamaanIslam tradisional ini antara lain ialah bangunan Mesjid yang menduduki tempat sentral sebagai pusat peribadatan dan tempat pembelajaran keagamaan Islam. Sudah barang tentu di dalamnya tercakup unsur subtansi pelajaran dan kitab-kitab agama Islam yang diajarkan.
Seperti halnya istilah Santri, istilah "Kyai" juga banyak tafsiran dan pendapat, yang juga tidak dapat dipastikan mana yang sebenarnya. Akan tetapi, secara umum orang Jawa menggunakan istilah itu sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada tiga hal. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi seorang ahli agama Islam atau ulama yang mengasuh pengajaran dan pendidikan di pesatren. Kedua, gelar atau sebutan terhadap benda-bendaatau binatang yang dianggap keramat atau sakral, seperti benda-benda pusaka keraton dan binatang-binatang mitis-legendaris. Ketiga, gelar atau sebutan diberikan kepada orang-orang tua yang patut di hormati atau mereka yang berkedudukan sosial terkemuka.

Pada dasarnya istilah "kyai" di Jawa sama maknanya dengan istilah "ulama" di daerah Melayu atau dunia Islam umumnya. Dalam sumber historiografi Jawa, baik dalam bentuk Babad maupun Serat istilah "santri" "kyai" dan "ulama" atau "ngulama" telah lama dikenal, terutama dalam kaitan penggambaran proses masuknya Islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Selain itu, sumber lokal tersebut banyak memberikan gambaran tentang bagaimana orang Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja, guru atau kyai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua, sebagai bagian dari pandangan budayanya. Ada pertanda bahwa pandangan ini merupakan kecenderungan umum yang berlaku dalam kebudayaan Asia. Demikian pula kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah), mukjizat dan kemampuan memberikan barokah dari Allah SWT kepada umatnya yang dimiliki oleh para Wali, Kyai, atau Ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Tidak mengherankan, apabila orang Jawa menempatkan Kyai sebagai golongan pemimpin yang kharismatik, seperti halnya kaumUlama dan Ustad di lingkungan masyarakat Islam lainnya.[6]

              III.            KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Besar Santri yang muncul diJawa pada abad ke 16 merupakan hasil proses pertemuan antara unsur-unsur budaya Islam dan budaya Jawa pra-Islam. Santri, Kyai, Pondok, dan Masjid mernjadi inti tradisi besar Santri yang berperan dalam pembentukan kekuatan sosial, politik dan kultural masyarakat Islam di Jawa.
Tradisi Besar Santri dapat disebut pula sebagai hasil kreatifitas masyarakat Jawa dalam menyerap dan mengadaptasi unsur-unsur budaya luar dengan unsur-unusr budaya yang telah dimiliki sebelumnya. Kemampuan untuk membentuk baru dari unsur-unsur budaya yang lama dan yang baru dari luar merupakan ciri kreatifitas masyarakat Jawa dalam menghadapi dialog budaya. Apabila proses akulturasi, asimilasi, dan sinkretisme pada masa kehadiran Hinduisme di Jawa telah menghasilkan corak budaya "Hindu-Jawa", maka pada masa kehadiran Islam juga telah menghasilkan terbentuknya subkultur "Islam-Jawa" atau"Jawa-Islam" dalam lingkungan kebudayaan Jawa.
Tradisi Besar Santri di daerah Pesisiran memuat berbagai dimensi kehidupan baik dimensi keagamaan, pandangan dunia, pemikiran intelektual, sastra, bahasa, seni, maupun kelembagaan sosial budaya dan politik. Karena itu tradisi santri pada masa awal perkembangannya telah menawarkan salah satu bentuk "komunitas alternatif" kepada masyarakat Jawa dalam menghadapi proses perubahan-perubahan sosial-budaya dari masyarakat Hindu-Buddha ke masyarakat Islam di Jawa. Kelahiran gejala kepemimpinan Ulama di Pesisir Utara Jawa, seperti yang tercermin dalam kepemimpinan "Kerajaan-Ulama" Giri, merupakan keunikan Sejarah Islam di daerah pesisir Nusantara. Pergeseran pusatpolitik dari daerah pesisir (maritim) ke daerah pedalaman agraris telah membawa perubahan corak kepemimpin politik kerajaan Islam dan kepemimipinan Ulama di Jawa. Pemilahan Santri Kraton dan Santri pondok Pesantren di pedesaan mendasari perkembangan baru dalam dinamika tradisi Santri
              IV.            PENUTUP
Demikian makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

                V.            DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik, "The Pesantren in Historical Perspective", dalam Islam and Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)
Benda H.J, “Indonesian Islam under the JapaneseOccupation”, 1942-1945 (Leiden: KITLV, 1983)
Geertz Clifford, "The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker",dalam Comparative Studies in Society and History, 2 (1961)
Dhofier Zamakhsyari , Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982)
Wahid Abdurrahman, "Pesantren sebagai Subkultur", (Jakarta LP3ES, 1974)


[1] Taufik Abdullah, "The Pesantren in Historical Perspective", dalam Islam and Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)
[2] H.J.Benda, “Indonesian Islam under the JapaneseOccupation”, 1942-1945 (Leiden: KITLV, 1983)
[3] Clifford Geertz, "The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker",dalam Comparative Studies in Society and History, 2 (1961)
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982)
[5] Abdurrahman Wahid "Pesantren sebagai Subkultur", (Jakarta LP3ES, 1974)
[6] Taufik Abdullah, "The Pesantren in Historical Perspective", dalam Islam and Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)

No comments:

Post a Comment