I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap
kebudayaan lokal. Mereka mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal, dan
mengisinya dengan dengan nilai-nilai Islam. Sikap ini terus dipertahankan,
meskipun mereka sudah menjadi mayoritas dan mempunyai kerajaan-kerajaan Islam.
Raden Patah, Raja Demak pertama, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud,
menerbitkan kebijakan untuk melindungi kebudayaan lokal sehingga sejarah
mencatat bahwa masyarakat muslim di masa itu dapat hidup bersama secara rukun
dengan semua masyarakat lokal dengan berbagai latar belakang tradisi, budaya,
dan agama. Singkatnya, masyarakat muslim di bawah kepemimpinan Walisongo
menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada dan berkembang bersamaan dengan
kebudayaan Islam.
Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen
kebudayaan lokal tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai Islam. Dengan kata
lain, nilai-nilai Islam dipromosikan dengan instrumen budaya lokal. Di sini
perlu diungkapkan tiga contoh strategi
budaya yang dikembangkan
oleh Walisongo, yakni
aristektur masjid sebagai
representasi tatanan sosial
egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni
Islam bernuansa budaya lokal.
B.
Rumusan
Masalah
1. Islamisasi peradaban santri di Jawa oleh
walisongo
2.
Mengenai Asal usul istilah Santri
II.
PEMBAHASAN
A. Islamisasi
peradaban santri di Jawa oleh walisongo
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang di lakukan oleh walisongo
cukup penting, lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan sosio-kultural
masyarakat Jawa. Tradisi keagamaanSantri ini bersama dengan unsur Pesantren dan
Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di
Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasiantara Islam dan tradisi
pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di Jawa juga telah melahirkansebuah
tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi Santri
dantradisi Kraton, sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan Jawa.
Sejak awal kehadiran Islam di Jawa para Wali telah membangun
"komunitas alternatif" berupa komunitas Santri sebagai basis
masyarakat baru yaitu masyarakat Islam-Jawa. Secara berturut-turut uraian
berikut ini akan melacak antara lain kelahiran tokoh Wali sebagai ulama mubalig
terkemuka pendiri pesantren, antara lain Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Selanjutnya akan dilacak bagaimanakah peranWali
dalam politik di Keraton Islam Demak, peran "Kerajaan Santri" di
Giri, perkembangan tradisi intelektual Pesantren di Pesisir Utara Jawa, tradisi
Santri berkelana, tradisi berdebat dan awal munculnya tradisi Santri dan
Tradisi Abangan. Kelahiran tokoh Wali pendiri tradis ibesar Santri di Pesisir
Utara Jawa, Sumber Babad, banyak memberikan gambaran tentang kapan dan
bagaimana Islam masuk ke tanah Jawa, termasuk tentang siapa dan bagaimana Islam
disebarkan dan disemaikan di lingkungan masyarakat Jawa. Babad Demak, Babad Gersik,
Babad Majapahit, Babad Cirebon dan Babad Tanah Jawa, dalam berbagai versinya, merupakan
sumber historiografi Jawa yang penting dalam memberikan gambaran kesejarahan
proses interaksi antara Islam dan kebudayaan Jawa. Demikian juga halnya tentang
interaksi dan reaksinya. Sumber lokal yang menceriterakan tentang proses Islamisasi
di Jawa itu antara lain ialah Babad Demak Babad Majapahit dan Para Wali, Babad Jaka
Tingkir. Babad Pajang, Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi. Sementara beberapa
serat, seperti Serat Sunan Bonang, Pitutur Seh Bari, Serat Siti Jenar, Serat
Cabolek dan Serat Centhini., banyak menggambarkan tentang dialog antara Islam
dan tradisi budaya lokal.[1]
H.J.Benda, menyebutkan bahwa proses Islamisasi di Jawa telah melahirkan
peradaban santri (santri civilization),
yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat dan politik. Sementara Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa
telahmenyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa
yang disebut Santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu
Abangan dan Priyayi.
Tradisi Santridan kepemimpinan Kyai atau ulama merupakan unsur
kebudayaan Islam-Jawa yangmemiliki pengaruh besar terhadap dinamika kehidupan
agama, sosial dan politik dalammasyarakat Jawa dan Indonesia. Kecenderungan ini
berlangsung secara berkelanjutan darimasa tradisional sampai dengan masa
kononial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain,karena tradisi Santri dan
Kyahi, bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan jugamenjadi basis
kekuatan sosial dan politik. Dari perspektif historis dapat ditunjukkan
bahwatradisi Santri secara berkelanjutan telah menjadi basis kekuatan sosial
politik pada masaawal pendirian kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di
daerah pesisir utara Jawa danpada masa kerajaan Mataram Islam di daerah
pedalaman Jawa.[2]
Selain itu, dampak dari kehadiran Tradisi Besar Santri juga tampak mewarnai
kelahirandikhotomi orientasi sosiokultural masyarakat Jawa dan Indonesia
Indonesia yang munculdengan apa yang disebut "Islam Mutihan" dan
"Islam Abangan", aliran "Nasionalis Keagamaan" dan
"Nasionalis Sekular". Berbagai studi tentang perandan kedudukan
tradisi besar santri dalam proses pembaharuan atau perubahan dalamkehidupan
keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan dan politik di masyarakat Jawa
danIndonesia telah banyak dilakukan.
Pada hakekatnya pengkajian itu memusatkan perhatiannya pada tiga segi.
Pertama, segiinternal pesantren, yaitu pengkajian yang menempatkan kyai sebagai
pemegang peransentral dalam proses perubahan dan pembaharuan. Kedua, segi
peningkatan jaringanantara pesantren induk dan pesantren cabang yang didirikan
oleh murid dari pesantren induk. Ketiga, segi dunia pesantren dengan
lingkungannya. Kajian-kajian itu di antaranya ada yang mencoba untuk menjawab
pertanyaan tentang dampak yang dibawa oleh pesantren terhadap struktur
sosial-politik. Selain itu juga ada yang mencoba untuk mempersoalkan perubahan struktural
mempengaruhi hubungan antara pesantren dengan dunia luar. Sudah tentu selain
ketiga segi tersebut, ada pula yang mengkaji segi ekternal tradisi pesantren, misalnya
segi doktrin teologis dan kedudukan filsafat tradisi pesantren.[3]
B. Mengenai
Asal usul istilah Santri
Perlu dicatat,
bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal-usul istilah santri. Di antaranya,ada
yang berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji, sementara pendapat lainnya menyatakan bahwa kata santri berasal dari
kata shastri (bahasa Sansekerta) yang berarti orang yang tahu buku-buku suci
Agama Hindu, ataubuku-buku agama dan buku-buku ilmu pengetahuan.[4]
Sementara pihak lainnya lagi, adayang mencoba menghubungkan kata santri dengan
kata "satriya" atau "kesatriya", yangberkaitan dengan
hakekat keutamaan dan keluhuran kepribadian yang dimiliki oleh tokoh Pandawa
dalam Epos Mahabarata yang terkenal dalam dunia pewayangan di Jawa.
Pendapat mana yang benar tidak dapat dipastikan. Namun, kemudian
orang lebih mengenaladanya dua pengertian santri yang sempit dan luas. Secara
sempit, santri berarti murid atausiswa yang sedang belajar ilmu keagamaan Islam
di bawah asuhan Kyai atau Ulama, dengancara bermukim di sebuah tempat yang
disebut Pesantren. Secara luas, Santri berarti seorangMuslim atau kaum
Muslimin, yaitu golongan orang Islam yang menjalankan ibadahkeagamaannya secara
kafakh sesuai dengan ajaran syariat Islam yang sesungguhnya. Istilah Pesantren
berasal dari pe-santri-an (pa-santri-an, Jawa) yang berarti tempat para santri,
yaitu seperti telah di sebutkan di atas, tempat para Santri menuntut pelajaran
danpendidikan keagamaan Islam di bawah asuhan para Kyai atau Ulama. Biasanya
para santritinggal atau bermukim di sebuah bangunan tempat tinggal bersama yang
disebut pondok,yang didirikan di dekat Mesjid dan kediaman Kyai atau Ulama
pengasuhnya. Pesantren,dalam pengertian ini, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisioanl, dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu Santri, Kyai, Mesjid
dan Pondok. Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat. Lebih-lebih hubungan
antara Kyai dan Santri, yang menggambarkan hubungan "guru-murid",
sangat khas dalam dunia kehidupan Pesantren. Karena itu, dalam pengertian lebih
luas Pesantren tidak hanya mencakup sebagai lembaga pendidikan agama Islam
tradisional, tetapi juga mencakup pengertian sebuah komunitas orang Muslim atau
kaum Muslimin yang memiliki identitas, simbol dan tradisi budaya sebagai sebuah
subkulturIslam di Jawa.[5]
Patut dikemukakan, bahwa dalam hubungannya sebagai lembaga
pendidikan tradisional, tampaknya tradisi pesantren secara kreatif telah
mengembangkan unsur-unsur tradisi pendidikan yang telah berlangsung sebelumnya,
seperti sistem "padhepokan" ("asrama") pada masa
Hindu-Buddha dibawah asuhan guru, pandhita atau Brahmana, kemudian dibentuk
baru menjadi sistem "Pondok" (fundug, bhs. Arab,= hotel atau asrama)
atau "Pondok-Pesantren"; dibawah asuhan seorang guru mengaji, Kyai
atau Ulama. Demikian juga halnya, corak hubungan patronage
"guru-murid" antara "Pendhita - Cantrik", atau "Resi
(guru terkemuka) Cantrik (murid)" dikembangkan dalam model baru hubungan
"Kyai-Santri". Unsur baru terpenting yang dimasukkan dalam lembaga
pendidikan keagamaanIslam tradisional ini antara lain ialah bangunan Mesjid
yang menduduki tempat sentral sebagai pusat peribadatan dan tempat pembelajaran
keagamaan Islam. Sudah barang tentu di dalamnya tercakup unsur subtansi
pelajaran dan kitab-kitab agama Islam yang diajarkan.
Seperti halnya
istilah Santri, istilah "Kyai" juga banyak tafsiran dan pendapat,
yang juga tidak dapat dipastikan mana yang sebenarnya. Akan tetapi, secara umum
orang Jawa menggunakan istilah itu sebagai gelar kehormatan yang diberikan
kepada tiga hal. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi seorang ahli agama
Islam atau ulama yang mengasuh pengajaran dan pendidikan di pesatren. Kedua,
gelar atau sebutan terhadap benda-bendaatau binatang yang dianggap keramat atau
sakral, seperti benda-benda pusaka keraton dan binatang-binatang
mitis-legendaris. Ketiga, gelar atau sebutan diberikan kepada orang-orang tua
yang patut di hormati atau mereka yang berkedudukan sosial terkemuka.
Pada dasarnya istilah
"kyai" di Jawa sama maknanya dengan istilah "ulama" di
daerah Melayu atau dunia Islam umumnya. Dalam sumber historiografi Jawa, baik
dalam bentuk Babad maupun Serat istilah "santri" "kyai" dan
"ulama" atau "ngulama" telah lama dikenal, terutama dalam
kaitan penggambaran proses masuknya Islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa. Selain itu, sumber lokal tersebut banyak memberikan gambaran tentang
bagaimana orang Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja,
guru atau kyai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua,
sebagai bagian dari pandangan budayanya. Ada pertanda bahwa pandangan ini
merupakan kecenderungan umum yang berlaku dalam kebudayaan Asia. Demikian pula
kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah), mukjizat dan kemampuan
memberikan barokah dari Allah SWT kepada umatnya yang dimiliki oleh para Wali,
Kyai, atau Ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Tidak
mengherankan, apabila orang Jawa menempatkan Kyai sebagai golongan pemimpin
yang kharismatik, seperti halnya kaumUlama dan Ustad di lingkungan masyarakat
Islam lainnya.[6]
III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Besar Santri
yang muncul diJawa pada abad ke 16 merupakan hasil proses pertemuan antara
unsur-unsur budaya Islam dan budaya Jawa pra-Islam. Santri, Kyai, Pondok, dan
Masjid mernjadi inti tradisi besar Santri yang berperan dalam pembentukan
kekuatan sosial, politik dan kultural masyarakat Islam di Jawa.
Tradisi Besar Santri dapat disebut pula sebagai hasil kreatifitas
masyarakat Jawa dalam menyerap dan mengadaptasi unsur-unsur budaya luar dengan
unsur-unusr budaya yang telah dimiliki sebelumnya. Kemampuan untuk membentuk
baru dari unsur-unsur budaya yang lama dan yang baru dari luar merupakan ciri
kreatifitas masyarakat Jawa dalam menghadapi dialog budaya. Apabila proses
akulturasi, asimilasi, dan sinkretisme pada masa kehadiran Hinduisme di Jawa
telah menghasilkan corak budaya "Hindu-Jawa", maka pada masa
kehadiran Islam juga telah menghasilkan terbentuknya subkultur "Islam-Jawa"
atau"Jawa-Islam" dalam lingkungan kebudayaan Jawa.
Tradisi Besar Santri di daerah Pesisiran memuat berbagai dimensi
kehidupan baik dimensi keagamaan, pandangan dunia, pemikiran intelektual,
sastra, bahasa, seni, maupun kelembagaan sosial budaya dan
politik. Karena itu tradisi santri pada masa awal perkembangannya telah
menawarkan salah satu bentuk "komunitas alternatif" kepada masyarakat
Jawa dalam menghadapi proses perubahan-perubahan sosial-budaya dari masyarakat
Hindu-Buddha ke masyarakat Islam di Jawa. Kelahiran gejala kepemimpinan Ulama
di Pesisir Utara Jawa, seperti yang tercermin dalam kepemimpinan
"Kerajaan-Ulama" Giri, merupakan keunikan Sejarah Islam di daerah
pesisir Nusantara. Pergeseran pusatpolitik dari daerah pesisir (maritim) ke daerah
pedalaman agraris telah membawa perubahan corak kepemimpin politik kerajaan
Islam dan kepemimipinan Ulama di Jawa. Pemilahan Santri Kraton dan Santri
pondok Pesantren di pedesaan mendasari perkembangan baru dalam dinamika tradisi
Santri
IV.
PENUTUP
Demikian makalah ini penyusun buat,
penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.
Penyusun meminta kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Taufik,
"The Pesantren in Historical Perspective", dalam Islam and
Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)
Benda H.J, “Indonesian
Islam under the JapaneseOccupation”, 1942-1945 (Leiden: KITLV, 1983)
Geertz Clifford,
"The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker",dalam
Comparative Studies in Society and History, 2 (1961)
Dhofier
Zamakhsyari , Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1982)
Wahid Abdurrahman,
"Pesantren sebagai Subkultur", (Jakarta LP3ES, 1974)
[1] Taufik Abdullah, "The Pesantren in Historical Perspective",
dalam Islam and Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)
[2] H.J.Benda, “Indonesian Islam under the JapaneseOccupation”,
1942-1945 (Leiden: KITLV, 1983)
[3] Clifford
Geertz, "The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker",dalam
Comparative Studies in Society and History, 2 (1961)
[4] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1982)
[5] Abdurrahman
Wahid "Pesantren sebagai Subkultur", (Jakarta LP3ES, 1974)
[6] Taufik Abdullah, "The Pesantren in Historical Perspective",
dalam Islam and Society in Southeast Asia (Singapore:ISEAS, 1988)
No comments:
Post a Comment