Friday, May 13, 2016

Istishlah menurut Imam al-Ghazali

                 II.            PEMBAHASAN
A.     Sejarah Istishlah
Teori Istislah  sebagaimana  disebutkan  di  atas, pertama  kali  diperkenalkan  oleh  Imam  Malik  (W.  97  H.),  pendiri  mazhab  Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad  ketiga  hijriyah  tidak  ada  lagi  ahli  usul  fiqih  yang menisbatkan  maslahahmursalah  kepada  Imam  Malik,[1] sehingga  tidak  berlebihan  jika  ada  pendapat  yang menyatakan  bahwa  teori  maslahah-mursalah ditemukan  dan  dipopulerkan  oleh ulama-ulama  usul  fiqih  dari  kalangan  asy Syafi’iyah  yaitu  Imam  al-Haramain  alJuwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli  usul  fiqih  yang  paling  banyak  membahas  dan  mengkaji  maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.[2]
B.      Pengertian Istishlah
Sebelum  mendefinisikan  istishlah  secara  khusus,  kita  kaji  terlebih  dahulu pengertian mashlahat mursalah, dimana untuk mengetahuinya dapat kita bagi berdasarkan katanya menjadi :
Mashlahat menurut al Ghazali adalah :
فهي عبارة في الاصل عن جلب منفعة دفع مضرة
 “Adapun mashlahat adalah sebuah ibarat pada asal dari meraih manfaat dan menolak madharat”.[3]
Sementara al Syathibi dalam al I’tisham mendefiniskan mashlahat sebagai berikut :
ما فهم رعايته فى الخلق من جلب المصالح ودرء المقاسد
“Adalah apa yang dipahami pengertiannya dalam memelihara hak makhluk, atas menjaga kemaslahatan dan menolak kemadharatan”.[4]
Dari  pengertian-pengertian diatas maka pada prinsipnya mashlahat adalah suatu upaya  dalam  rangka  mencari  mashlahatan  atau  manfaat  dan  menolak  kemadharatan sesuai  dengan  kemashlahatan  yang  dikehendaki  oleh  syara’,  yaitu  apa  yang  disebut dengan maqâshid al syari’at, baik itu berkaitan dalam ibadah maupun dalam muamalah. Oleh karena itu setiap hal yang dapat menjaga  maqâshid al syari’  maka itu adalah mashlahat dan setiap hal yang merusak maqâshid al syari’at itu adalah mafsadat.[5]
Berdasarkan pengertian  mashlahat  dan  al irsâl  diatas, maka para ulama secara khusus mendefinisikan mashlahat mursalat sebagai berikut :
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul fiqih merumuskan sebagai berikut :
المصلحة المرسلة او استصلاح هي المصالح الملائمة لم قاصد الشريعة الاسلام ولايشهد لها اصل خاص بالاعتباراو الغائها.
“Al  Mashlahah  al  mursalah  atau  istishlâh,  yaitu  segala  kemaslahatan  yang  berjalan dengan tujuan-tujuan syara’ (dalam mensyari’atkan hukum), akan tetapi tidak ditunjukan yang melegitimasi atau menolaknya.[6]
Sebagian  ulama  mempersamakan  antara  mashlahat  al  mursalat  dengan  al istishlah, namun sebagian yang membedakannya. Dalam  al Madkhal ilâ ushûl al fiqh sebagaimana  dikutip  oleh  Muhammad  Taqiy  al  Hakîm  disebutkan  bahwa  pada hakikatnya  istishlah adalah corak hukum dengan mengggunakan akal yang disandarkan kepada mashlahat. Ia dilaksanakan bagi masalah yang tidak terdapat dalam nash, dan tidak dapat pula diqiyaskan kepada nash yang ada, akan tetapi didasarkan pada kaidah umum  yang  terdapat  dalam  syari’at  dimana  bertujuan  dalam  rangka  menjaga kemashlahatan.[7]
Dari pengertian diatas dapat kita definisikan istishlah dan mashlahat mursalah
sebagai berikut :
1. Istishlah merupakan suatu upaya penetapan hukum atau istinbath al ahkam terhadap hukum  suatu  perkara  dengan  didasarkan  kepada  mencari  manfaat  dan  menolak madharat.
2. Metode  istinbath  al  ahkan  dengan  mencari  kemaslahatan  dan  menolak  mafsadat adalah pengertian dari pada mashlahah.
3. Mashlahah senantiasa bertujuan untuk mewujudkan maqâshid al syari’at.
4. Pokok perkara yang menjadi objek istinbath al ahkam dalam istishlah adalah adalah perkara  yang  hukumnya  secara  khusus  tidak  ditegaskan  oleh  nash  baik  legalnya ataupun ilegalnya. Meskipun demikian dapat dicari prinsip-prinsip umumnya dalam berbagai nash.
5. Oleh karena secara tegas tidak dilegalkan atau ditolak oleh nash maka mashlahah diatas dinamai dengan maslahah mursalah. Kita tahu bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai mashlahah mursalah, dan oleh karena itu pengertian mashlahah mursalah diatas meskipun mewakili definisi mashlaha  mursalah  secara,  akan  tetapi  belum  mencakup  konsep  mashlahah  secara menyeluruh sesuai dengan konsep masing-masing ulama. Oleh karena itu akan dibahas mashlahah mursalahah menurut beberapa pandangan ulama.
C.      Pandangan Para Ulama Mengenai Istishlah
Dalam kitab al Ihkam, al Amidi mengatakan bahwa para ulama dari golongan Syafi’I, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan diapun tidak sependapat dengan pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat  untuk  tidak  memakai  istishlah  dalam  setiap  kemaslahatan,  kecuali  dalam kemaslahatan penting dan khusus secara qath’i. Mereka tidak menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
Adapun al Syathibi mengatakan bahwa pendapat tentang adanya perbedabatan dikalangan ulama perihal mashlahah mursalah dapat dibagi menjadi empat pendapat, yaitu :
1. al Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya.
2. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
3. Imam  al  Syafi’I  dan  para  pembesar  golongan  Hanafiyah  memakai  mashlahah mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang sahih.
4. Sedangkan al Ghazali dalam al Musytasyfa menolaknya namun dalam syafa’ul Ghalil menerimanya.[8]
D.     Persyaratan dan Ruang Lingkup Istishlah
Agar  maslahah-mursalah dapat  diterima  sebagai  dasar  dalam  menetapkan hukum Islam maka para ImamMujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi fan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional  maslahah-mursalah. Persyaratan  yang  mereka  buat  berbeda  satu  sama  lain,  namun  ruang  lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.
Al-Ghazali  membuat  batasan  operasional  maslalah-mursalah  untuk  dapat diterima sebagai dasar dalam  menetapkan  hukum Islam : 
Pertama,  maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam  yaitu  memelihara agama,  jiwa, akal,  harta  dan  keturunan  atau  kehormatan. 
Kedua,  maslahat  tersebut  tidak  boleh bertentangan  dengan  al-Qur’an,  as-Sunnah  dan  ijma’. 
Ketiga,  maslahat  tersebut menempati  level  daruriyah  (primer)  atau  hajiyah (sekunder)  yang  setingkat  dengan daruriyah. 
Keempat,  kemaslahatannya  harus  berstatus  qat’i  atau  zann  yang mendekati  qat’i. 
Kelima, dalam  kasus-kasus  tertentu  diperlukan  persyaratan,  harus bersifat qat’iyah, daruriyah, dan kulliyah.[9]

                V.            DAFTAR PUSTAKA
Hallag,  Weal  B,  (2002),  A  History  of  Islamic  Legal  Theories,  Alih  bahasa  E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta.
Munif  Suratmaputra,  Ahmad,  (2002),  Filsafat  Hukum  Islam  al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Disertasi Pada Program  Pascasarjana  IAIN  Syarif  Hidayatullah,  Jakarta.  Disterbitkan  oleh Pustaka Firdaus, Jakarta.
Abu Zahrah, muhammad, 1958, Ushul Fiqih, Darul-fikr Al-Aroby, Mesir.
Ghozali Muhammad, 1413, Al mustaysfa fi Ilmu Ushul, Darul-Kitab, Bairut.
Mas’ud, Muhammad Khalid, (1977), Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, Islamic Risearch Istitute, Islamabad, Pakistan.



[1] Wael  B.  Hallag,  (2000),  A  History  of  Islamic  Legal  Theories,  Alih  bahasa E. hal. 165-166.
[2] Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 63-64.
[3] Al mustaysfa al gozali, hal 416
[4] Ushul al ammah hal 381
[5] Al mustasyfa hal 417
[6] abu Zahrah hal 279
[7] al ushul al amah hal 382
[8] lihat rahmat hal 123
[9] Muhammad Khalid Mas’ud, (1977), Op. Cit, hal. 149-150.

No comments:

Post a Comment