
A.
Sejarah
Istishlah
Teori Istislah sebagaimana
disebutkan di atas, pertama
kali diperkenalkan oleh
Imam Malik (W. 97 H.),
pendiri mazhab Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih
akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah abad ketiga
hijriyah tidak ada
lagi ahli usul
fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada
Imam Malik,[1]
sehingga tidak berlebihan
jika ada pendapat
yang menyatakan bahwa teori
maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan
oleh ulama-ulama usul fiqih
dari kalangan asy Syafi’iyah yaitu
Imam al-Haramain alJuwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali.
Dan menurut beberapa hasil penelitian, ahli
usul fiqih yang
paling banyak membahas
dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang
dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.[2]
B.
Pengertian
Istishlah
Sebelum mendefinisikan istishlah
secara khusus, kita
kaji terlebih dahulu pengertian
mashlahat mursalah, dimana untuk mengetahuinya dapat kita bagi berdasarkan katanya
menjadi :
Mashlahat menurut al Ghazali adalah :
فهي عبارة في
الاصل عن جلب منفعة دفع مضرة
Sementara al Syathibi dalam al I’tisham mendefiniskan
mashlahat sebagai berikut :
ما فهم رعايته فى الخلق من جلب المصالح ودرء
المقاسد
“Adalah apa yang dipahami pengertiannya dalam
memelihara hak makhluk, atas menjaga kemaslahatan
dan menolak kemadharatan”.[4]
Dari pengertian-pengertian diatas maka pada
prinsipnya mashlahat adalah suatu upaya
dalam rangka mencari
mashlahatan atau manfaat
dan menolak kemadharatan sesuai dengan
kemashlahatan yang dikehendaki
oleh syara’, yaitu
apa yang disebut dengan maqâshid al syari’at, baik itu
berkaitan dalam ibadah maupun dalam muamalah. Oleh karena itu setiap hal yang
dapat menjaga maqâshid al syari’ maka itu adalah mashlahat dan setiap hal yang
merusak maqâshid al syari’at itu adalah mafsadat.[5]
Berdasarkan pengertian
mashlahat dan al irsâl
diatas, maka para ulama secara khusus mendefinisikan mashlahat mursalat
sebagai berikut :
Muhammad Abu
Zahrah dalam bukunya Ushul fiqih merumuskan sebagai berikut :
المصلحة المرسلة او استصلاح هي المصالح
الملائمة لم قاصد الشريعة الاسلام ولايشهد لها اصل خاص بالاعتباراو الغائها.
“Al
Mashlahah al mursalah
atau istishlâh, yaitu
segala kemaslahatan yang
berjalan dengan tujuan-tujuan syara’ (dalam mensyari’atkan
hukum), akan tetapi tidak ditunjukan yang melegitimasi atau menolaknya.[6]
Sebagian ulama mempersamakan
antara mashlahat al
mursalat dengan al istishlah, namun sebagian yang
membedakannya. Dalam al Madkhal ilâ
ushûl al fiqh sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Taqiy al
Hakîm disebutkan bahwa
pada hakikatnya istishlah adalah
corak hukum dengan mengggunakan akal yang disandarkan kepada mashlahat. Ia
dilaksanakan bagi masalah yang tidak terdapat dalam nash, dan tidak dapat pula
diqiyaskan kepada nash yang ada, akan tetapi didasarkan pada kaidah umum yang
terdapat dalam syari’at
dimana bertujuan dalam
rangka menjaga kemashlahatan.[7]
Dari
pengertian diatas dapat kita definisikan istishlah dan mashlahat mursalah
sebagai
berikut :
1. Istishlah
merupakan suatu upaya penetapan hukum atau istinbath al ahkam terhadap hukum suatu
perkara dengan didasarkan
kepada mencari manfaat
dan menolak madharat.
2.
Metode istinbath al ahkan dengan
mencari kemaslahatan dan
menolak mafsadat adalah
pengertian dari pada mashlahah.
3. Mashlahah
senantiasa bertujuan untuk mewujudkan maqâshid al syari’at.
4. Pokok
perkara yang menjadi objek istinbath al ahkam dalam istishlah adalah adalah perkara yang
hukumnya secara khusus
tidak ditegaskan oleh
nash baik legalnya ataupun ilegalnya. Meskipun demikian
dapat dicari prinsip-prinsip umumnya dalam berbagai nash.
5. Oleh
karena secara tegas tidak dilegalkan atau ditolak oleh nash maka mashlahah diatas
dinamai dengan maslahah mursalah. Kita tahu bahwa para ulama berbeda pendapat
mengenai mashlahah mursalah, dan oleh karena itu pengertian mashlahah mursalah
diatas meskipun mewakili definisi mashlaha
mursalah secara, akan
tetapi belum mencakup
konsep mashlahah secara menyeluruh sesuai dengan konsep
masing-masing ulama. Oleh karena itu akan dibahas mashlahah mursalahah menurut
beberapa pandangan ulama.
C.
Pandangan
Para Ulama Mengenai Istishlah
Dalam kitab al Ihkam, al Amidi mengatakan bahwa para ulama
dari golongan Syafi’I, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang
kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan diapun tidak sependapat dengan
pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat
untuk tidak memakai
istishlah dalam setiap
kemaslahatan, kecuali dalam kemaslahatan penting dan khusus secara
qath’i. Mereka tidak menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
Adapun al
Syathibi mengatakan bahwa pendapat tentang adanya perbedabatan dikalangan ulama
perihal mashlahah mursalah dapat dibagi menjadi empat pendapat, yaitu :
1. al Qadhi
dan beberapa ahli menolaknya dan menganggap sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya.
2. Imam
Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
3. Imam al
Syafi’I dan para
pembesar golongan Hanafiyah
memakai mashlahah mursalah dalam
permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang sahih.
4. Sedangkan
al Ghazali dalam al Musytasyfa menolaknya namun dalam syafa’ul Ghalil menerimanya.[8]
D.
Persyaratan
dan Ruang Lingkup Istishlah
Agar maslahah-mursalah
dapat diterima sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para
ImamMujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi fan at-Tufi membuat
rersyaratan dan ruang lingkup operasional
maslahah-mursalah. Persyaratan
yang mereka buat
berbeda satu sama
lain, namun ruang
lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana
terlihat dalam bahasan di bawah ini.
Al-Ghazali
membuat batasan operasional
maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam :
Pertama, maslahat
tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu
memelihara agama, jiwa,
akal, harta dan
keturunan atau kehormatan.
Kedua, maslahat tersebut
tidak boleh bertentangan dengan
al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijma’.
Ketiga, maslahat tersebut menempati level
daruriyah (primer) atau
hajiyah (sekunder) yang setingkat
dengan daruriyah.
Keempat,
kemaslahatannya harus berstatus
qat’i atau zann
yang mendekati qat’i.
Kelima, dalam
kasus-kasus tertentu diperlukan
persyaratan, harus bersifat
qat’iyah, daruriyah, dan kulliyah.[9]
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Hallag,
Weal B, (2002),
A History of
Islamic Legal Theories,
Alih bahasa E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta.
Munif
Suratmaputra, Ahmad, (2002),
Filsafat Hukum Islam
al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum
Islam, Disertasi Pada Program
Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Disterbitkan
oleh Pustaka Firdaus, Jakarta.
Abu Zahrah,
muhammad, 1958, Ushul Fiqih, Darul-fikr Al-Aroby, Mesir.
Ghozali
Muhammad, 1413, Al mustaysfa fi Ilmu Ushul, Darul-Kitab, Bairut.
Mas’ud,
Muhammad Khalid, (1977), Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq
al-Shatibi’s Life and Thought, Islamic Risearch Istitute, Islamabad, Pakistan.
No comments:
Post a Comment