BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dikaruniakan oleh Allah SWT
berupa akal dan pikiran. Akal digunakan manusia untuk berfikir, memikirkan
sesuatu. Sedangkan pikiran digunakan untuk menentukan sesuatu yang di pikirkan
oleh akal. Tetapi terkadang manusia sering tidak menggunakan akal dan
fikirannya dengan baik, dengan cara memikirkan sesuatu yang tidak semestinya di
pikirkan, dan juga tidak di pakai untuk mengembangkan sesuatu yang ada di alam
yang sebenarnya bisa menghasilkan ilmu dan pengetahuan yang baru apabila kita
dapat menggunakan dengan semestinya.
Manusia memang memiliki ke khilafan
dalam setiap langkah, perbuatan, maupun sifat dan tindak tanduk yang
dijalaninya, karena manusia juga mempunyai fitrah yang memiliki kekhilafan.
Suatu perbuatan yang di lakukan
manusia, apabila keluar dari jalur yang telah di tentukan oleh Allh SWT maka
itu di katakan Dosa. Perbuatan dosa sering di lakukan oleh manusia, karena
manusia sering tidak menyadari akan perbuatan yang di lakukannya karena manusia
lebih sering mengikuti hawa nafsunya dengan tidak memikirkan akibat buruk dan
apa yang di lakukannya. Dalam
pembahasan ini, penulis hanya mengetengahkan beberapa macam dari dosa-dosa
besar.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil dari latar
belakang masalah diatas, maka penulis membatasi permasalahan-permasalahan yang
akan di bahas, diantaranya:
1.
Apakah
pengertian dosa besar itu?
2.
Sebutkan
7 macam dosa besar?
3.
Sebutkan
sebab-sebab gugurnya hukuman bagi pelaku kemaksiatan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dosa Besar
Para ulama berbeda pendapat dalam
dan membedakannya dengan dosa kecil. Akan tetapi, mayoritas mereka memilih
bahwa dosa besar adalah setiap kemaksiatan yang bersekuensi hadd (hukuman),
atau ancaman neraka, atau laknat atau murka Allah. Pandangan itu di riwayatkan
dari Ibnu Abbas..semoga Allah meridoinya...dan Hasan AI- Bashri...rahimahullah.
Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan,
“setiap kemaksiatan yang di lakukan seseorang dengan tidak disertai perasaan
takut, wanti-wanti dan penyesalan, misalnya orang yang meremehkan perbuatan
dosa dan berani membiasakannya, maka sikap itu justru termasuk dosa besar.”
Sedangkan kesalahan yang terjadi karena keseleo lidah karena tidak
terkontrolnya jiwa serta karena kevakuman kesadaran akan adanya pengawasan
Allah SWT, sembari tidak terlepas dari penyesalan, maka hal itu tidaklah
menghilangkan sifat adalah (integritas) dan tidak termasuk dosa besar.[1]”
Apabila kita ingin mengetahui
perbedaan dari dosa besar dan dosa kecil, maka kita lihat dari mafsadat
(bahaya) nya suatu perbuatan dosa tersebut dan nash yang sudah ditentukan.
B.
Tujuh Macam Dosa Besar
Allah SWT dan Rasul SAW
mewanti-wanti kita agar tidak terjerumus kedalam kemaksiatan yang akhirnya menjadikan
dosa, sekecil apapun kemaksiatan tersebut, jangan kita meremehkannya karena itu
akan mengakibatkan buruk bagi kita. Maka dari itu kita harus membekali diri dan
lebih meningkatkan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Serta dapat menjauhi segala
apa yang dilarang / di haramkan-Nya. Firman Allah SWT:
“Barang siapa
melakukan keburukan maka pasti ia akan dibalasnya dengannya dan dia tidak akan
mendapatkan selain Allah SWT pembela dan penolong bagi dirinya”. (Q.S An-nisa
:123)
Rasulullah SAW telah banyak
menyebutkan beberapa kemaksiatan sebagai hal-hal yang membinasakan dalam
beberapa hadits dalam daftar dosa-dosa besar. Di antaranya hadits salah satunya
adalah:
عن أبي هريرة أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: "اجتنبوا السبع الموبقات. قالوا: يا رسول الله
وما هن؟ قال: الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم
الله قتلها إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف
المحصنات الغافلات المؤمنات. اخرجه البخارى والمسلم.
“Abu Hurairah r. a berkata: Nabi SAW bersabda:
tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan, sahabat bertanya: apakah itu
ya Rasulullah? Nabi SAW menjawab: “Syirik mempersekutukan Allah, Berbuat sihir
(tenung}, membunuh jiwa yang di haramkan Allah kecuali dengan hak, Makan harta
riba, Makan harta anak yatim, melarikan diri dari perang jihad saat berperang,
dan menuduh wanita mu‘minat yang sofat (berkeluarga) dengan zina “. (Bukhari
Muslim)[2]
Dari hadits di atas di sebutkan
bahwa ada tujuh dosa besar. Di bawah ini penulis akan menjelaskan dari ke tujuh
dosa besar tersebut:
1. Syirik
(Menyekutukan Allah)
Syirik menurut bahasa adalah
persekutuan atau bagian, sedangkan menurut istilah agama adalah mempersekutukan
Allah SWT dengan selain Allah (makhluk-Nya). Sebagian ulama berpendapat bahwa
syirik adalah kufur atau satu jenis kekufuran.
Syirik di katagorikan sebagai dosa
paling besar yang tidak akan di ampuni Allah SWT. Firman Allah:[3]
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya dan (Tuhan mengampwu) dosa
selain itu bagi orang yang di kehendaki oleh-Nya... “ (Q.S An-nisa :48)
Selain ayat di atas, banyak ayat
Al-Qur’an dan hadits lainnya yang menerangkan tentang syirik tersebut. Adapun
beberapa contoh perbuatan syirik, antara lain[4]:
a.
Dukun
yang mengaku bisa merubah nasib manusia dan menolak malapetaka,
b.
Ahli
perbintangan atau ramalan,
c.
Mempercayai
benda-benda pusaka,
d.
Jiarah
Kubur yang bertujuan meminta berkah kepada orang yang telah meninggal dunia.
2. Berbuat Sihir (Tenung)
Kemampuan orang-orang kafir atau
para penjahat-atas izin Allah SWT melakukan sesuatu yang luar biasa, dinamakan
sihir. Para Ulama menegaskan, bahwa melakukan sihir itu haram hukumnya, oleh
karena sihir itu bersifat merusak dan segala sesuatu yang merusaka dilarang
OLEH Islam. Sihir dikatakan merusak, sebab sasaran sihir antara lain[5]:
a.
Mempengaruhi
hati dan badan seseorang, untuk di sakiti atau di bunuh,
b.
Memusnahkan
harta benda seseorang,
c.
Memutuskan
ikatan kasih sayang seseorang dengan suami istri atau anak atau dengan anggota
keluarga lainnya.
Firman Allah SWT:
“Mereka mempelajari dari kedua malaikat ini, ada apa
dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan
istrinya. Dan para tukang sihir itu tidaklah memberi madarat dengan sihirnya
kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah “. (Q.SA1-Baqarah :102)
Mayoritas manusia yang mudah
terkena ilmu sihir adalah perempuan, terutama ketika mereka sedang Haid. Roh
jahat biasanya melihat kepada tabi’at tabi’at yang dapat di kalahkan (lemah)
dan jiwa-jiwa yang hina (kotor). Jika pada kaum perempuan, anak-anak, khusna,
dan manusia tidak tahan uji, dan apabila kepribadiannya dan tabi’atnya rusak,
dia akan menginginkan kepada hal-hal yang membahayakan dirinya, menikmati
bahaya itu, bahkan merindukannya. Bila telah demikian, rusaklah akalnya, agamanya,
akhlaknya, badannya dan hartanya[6].
3.
Membunuh
Jiwa Yang Di Haramkan
Membunuh ialah suatu tindakan yang di lakukan oleh
seseorang dengan cara meniadakan nyawa orang lain. Membunuh merupakan suatu
tindakan atau perbuatan yang menjurus ke dalam hal yang tidak baik, karena
menghilangkan nyawa orang lain, yang sebenarnya belum saatnya untuk di
hilangkan.
Para ahli fikih berpendapat bahwa
sifat pembunuhan yang di kenai qishas adalah pembunuhan yang di sengaja. Pembunuhan
di bagi menjadi tiga yaitu
a.
Pembunuhan
dengan di sengaja.
Seperti dalam firman Allah SWT:
“Dengan di
berlakukannya hukum qishas, namun dapat hidup, hati orang-orang yang berakal,
mudah-mudahan kamu takut dalam melakukan pembunuhan “. (Q.S Al-baqarah :179)
Dari ayat di atas, dapat di simpulakan bahwa si
pembunuh harus di hukum qishas
b.
Pembunuhan
tidak di sengaja.
Orang yang membunuh di wajibkan
membayar denda ringan. Pembunuhan tidak
di sengaja ini di lakukan oleh orang-orang yang tidak bermaksud melakukan
pembunuhan. Yaitu seperti tidak di sengajanya dia melempar suatu barang, dengan
tidak di sangka kena seseorang hingga orang tersebut mati. Firman Allah SWT
dalam Q.S An-nisa ayat 192 yang artinya:
c.
Pembunuhan
seperti sengaja.
Yaitu pembunuhan terhadap orang
yang di lindungi hukum, sengaja dalam melakukannya tetapi memakai alat ayng
tidak mematikan. Maksudnya pemukulan yang terjadi adalah orang yang di pukul
ternyata mati. Dalam jenis pembunuhan seperti ini tidak perlu di lakukan
qishas, tetapi hanya di kenakan diyat.
4.
Memakan
Harta Riba
Arti riba menurut bahasa lebih atau
bertambah. Pengertian syara’nya adalah akad yang terjadi pertukaran benda
sejenis tanpa di ketahui sama atau tidak, tambahan atau takarannya. Hal ini
sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak dan emas. Untuk
menghindari riba maka apabila mengadakan jual beli sejenis, di tetapkan syarat: Sama timbangan dan
ukurannya, dilakukan
serah terima, saat
itu juga, secara tunai
Ulama berpendapat bahwa riba ada empat macam :
a.
Riba
Fadholi, yaitu pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya
b.
Riba
Qardhi, yaitu pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat
pengembalikannya
c.
Riba
Iyadh, yaitu akad jual beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun si
penjual dan si pembeli, berpisah saat melakukan serah terima
d.
Riba
Nasha, yaitu akad jual beli dengan pengerahan barang beberapa waktu kemudian[7]
Apapun macamnya riba, hukumnya haram dan di larang
oleh agama.
Firman Allah SWT:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba “. (Q.S Al-Baqarah
.275)
5.
Memakan
Harta Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang di
tinggal mati oleh ayahnya ketika ia masih kecil atau dengan kata lain, di
tinggal mati oleh orang yang menanggung nafkahnya. Memelihara anak yatim dan menyelamatkan
hartanya, dalam syari’at Islam merupakan kewajiban. Sehingga apabila anak yatim
yang hidupnya terlantar dan tidak terarahkan maka kita selaku umat Islam yang
ada di sekitarnya apabila tidak merawatnya maka kita termasuk orang-orang yang
mendustakan agama.
Firman Allah SWT:
“Tahukah kamu orang yang
mendustakan agama?, ItuLah orang yang menghardik anak yatim “.
(Q.S Al- Maun :1-2)
Sabda Rasulullah SAW:
“santunilah anak-anak yatim, serta usaplah kepala
mereka dan berilah makanan seperti yang engkau makan, niscaya hati engkau
menjadi lembut dan hajat engkau akan terpenuhi “.
Yang di maksud anak yatim adalah
merawat dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, serta mendidiknya. Dan apabila
anak yatim tersebut memiliki harta benda peninggalan orang tuanya, orang yang memeliharanya bisa memanfaatkan
harta benda tersebut sebatas untuk memenuhi kebutuhan si anak yatim. Dan
apabila si anak telah dewasa maka sisa harta bendanya harus di serahkan
kepadanya. Tetapi apabila sebaliknya jika orang tersebut yang memelihara
memakan hartanya maka Ia telah berbuat Dzalim.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah membangkitkan suatu kaum dan kuburan mereka
dengan bara apai dan perut meraka dan mulut-mulut mereka menyemburkan api neraka.
Oleh karena itu mereka memakan harta anak yatim “. (H.R Abu Hurairab)
6.
Menuduh
Wanita Mu’minat Yang Sopan (Berkeluarga) Dengan Berzina
Melontarkan tuduhan zina kepada
seseorang adalah yang di larang oleh Islam, karena selain dapat merusak nama
baik orang yang di tuduh juga dapat menjatuhkan kehormatan keluarganya. Orang
yang menuduh berzina baik pria / wanita ditetapkan hukuman dera sebanyak 80
kali, sedangkan bagi budak di kenakan separuhnya yaitu 40 kali.
Firman Allah SWT:
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik’ (Q.SAn-nur :4)
7.
Melarikan
Diri Dari Perang (Jihad) Saat Berperang
Islam mewajibkan umatnya untuk
memelihara, menjaga, mempertahankan dan membela agamanya jika Islam di serang
dan di perangi musuh, maka umat Islam di wajibkan untuk berperang. Dan apabila
tentara Islam telah ada di medan perang, haram bagi mereka mundur dan lari dari
peperangan tersebut.
Firman Allah SWT:
“barang siapa membelakangi mereka (mundur) di waktu
itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri
dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa
kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahanam, dan amal buruklah
tempat kediaman itu “. (Q.S Al-anfal :16)
Sulaiman Rasjid, dalam bukunya
Fiqih Islam (1989 :417) menyebutkan bahwa para ulama berpendapat bahwa hukuman dan berperang
adalah fardu ‘ain bagi setiap orang islam, tetapi yang lebih berhak hukum
berperang itu ialah fardu kifayah, artinya wajib bagi setiap orang Islam. Akan
tetapi apabila sebagian dan orang Islam telah mengerjakannya serta telah cukup
bilangannya menurut hajat, maka terlepaslah kewajiban tersebut.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
memaparan di atas, dapat dismpulkan bahwa dosa besar ialah melakukan sesuatu yang
dilarang, atau meninggalkan berbuatan sesuatu yang diperintahkan Perbuatan dosa yang dapat
membinasakan diri dan orang lain harus senantiasa dihindari dan dijauhi. Manusia dilarang untuk
menyekutukan Allah Swt. Dengan sesuatu apapun, karena hal itu akan membinasakan
diri baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sihir dan tenung merupakan
perbuatan terlarang karena perbuatan tersebut adalah bersekongkol dan jin dan
syetan. Jiwa
seorang Muslim harus senantiasa dijaga dan haram hukumnya untuk mengambil nyawa
orang lain tanpa alasan yang haq. Kita dilarang untuk memakan harta riba dan harta anak
yatim yang ada dalam tanggungan kita dan berada dalam pengasuhan kita. Setiap umat Islam dicela oleh
Allah dan Rasul-Nya bagi siapapun yang melarikan diri dari peperangan atau ia
keluar dari barisan perang karena merasa takut akan kematian. Menuduh berzina kepada seorang
muslimah dan mukminah adalah perbuatan yang amat dilarang oleh baginda Nabi. Setiap perbuatan dosa dan hal-hal
yang telah jelas dilarang dalam agama akan membinasakan kehidupan kita dan akan
membawa kita pada jalan kerugian dan peneysalan.
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
A1-Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Ruhul Bayan,
Bandung: PT Diponegoro, 1995
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul, Al-Iu’lu wal Marjan,
Surabaya: PT Bina lImu, 2003
Yasin, Muhammad Nu’aim, Iman:
Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Bandung: Syamil Cipta Media, 2002
Syafe’i, Rahmat, Al-Hadits:
Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam,
Bandung: Sinar Bani, 1989
Hamid, Syamsul Rijal, Buku
Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam, 1999
Syamil Cipta Media, 2002), Hal: 251
[2] Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi, Al-Iu’lu wal Marjan, (Surabaya: PT Bina lImu, 2003)
Hal: 28-29
[3] Rahmat Syafe’i, Al-Hadits: Aqidah, Akhlak,
Sosial da Hukum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003) Hal: 94
[4]
“Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta: Penebar Salam, 1999)
Hal: 298 5lbid,hal: 137
[5] Ibid, hal: 137
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar
Bani, 1989) Hal: 417
No comments:
Post a Comment