NADZM AD-DURAR FI TANASUB AL-AYAT
WA AS-SUWAR
KARYA AL-BIQA’I
A. Pengenalan
Kitab
1.
Nama Kitab:
Nadzm ad-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa
as-Suwar. Dikenal dengan nama Tafsir
al-Biqa’i. Ditulis pada tahun 865-875H.
2.
Nama Penulis:
Nama lengkap (Burhan ad-Din Abu
Hasan) Ibrahim bin Umar bin Hasan ar-Rubat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafi’i
al-Biqa’i. Lebih dikenal dengan nama al-Biqa’i. (809 H/1406 M - 885 H/1480 M).
4.
Kota Penerbit: Beirut,
Lebanon
5.
Tahun Terbit: Tahun 1415H./1995M.
6.
Jumlah Juz/Jilid: 8 Juz/Jilid
No
|
Juz/Jilid
|
Surat
|
Hlm
|
1
|
I
|
al-Fatihah - al-Baqarah
|
568.
|
2
|
II
|
Ali Imran - al-An’am
|
760
|
3
|
III
|
al-A’raf – Hud
|
598.
|
4
|
IV
|
Yusuf - Maryam
|
567.
|
5
|
V
|
Taha - ar-Rum
|
655.
|
6
|
VI
|
Luqman - asy-Syura
|
663
|
7
|
VII
|
al-Zuhruf - al-Munafiqun
|
624.
|
8
|
VIII
|
al-Taghabun - an-Nas
|
632
|
B.
Biografi Penulis
Nama lengkap penulis adalah (Abu al-Hasan) Ibrahim bin Umar bin
Hasan ar-Ribat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafi’i al-Biqa’i, lebih dikenal
dengan nama al-Biqa’i. Beliau lahir di Biqa’, Damaskus, Suriah 809 H/1406 M dan
meninggal pada tahun 885 H/1480 M.[2]
Beliau dikenal sebagai ahli tafsir yang menemukan metode keserasian al-Qur’an,
di samping sebagai ahli sejarah, ahli hadis dan sastrawan.[3]
Al-Biqa’i mengawali pendidikannya dengan belajar ilmu Qira’ah
dibawah bimbingan Ibnu Jazari ahli Qira’ah dari Suriah, selanjutnya mendalami
berbagai ilmu agama dari berbagai ulama ahli pada masanya. Diantara gurunya
adalah at-Taj bin Bahadir ahli sejarah (w. 877 H/1473 M), at-Taqi al-Hushani
ahli hadist dan fikih (w. 835 H/1426 M), at-Taj al-Garabili ahli hadist
sekaligus sejarawan (w. 835 H/ 1434 M), Abu al-Fadil al-Magrabi ahli fikih (w.
866 H/1465 M), dan al-Qayati sastrawan dan ahli ushul fikih, lahir 782 H/1380
M. Dari al-Qayatu inilah beliau banyak belajar tentang keserasian ayat-ayat dan
surah dalam al-Qur’an.[4]
Dari pengalamannya belajar berbagai ilmu kepada beberapa ulama di
masanya, Al-Biqa’i selain terkenal sebagai ahli tafsir juga dikenal sebagai ahli
dalam berbagai bidang keilmuan, seperti bahasa dan sastra, fikih dan ushul
fikih, akidah dan tasawuf, dan ilmu sejarah serta biografi. Di dalam karier
akademiknya, beliau pernah menjadi guru
besar dalam bidang hadis pada masjid Qal’at di Mesir. Banyak ulama yang
mengakui keilmuan dan keahliannya, seperti Imam asy-Syaukani yang menilai bahwa
al-Biqa’i sebagai pakar dalam berbagai disiplin ilmu agama, bukan hanya tafsir.
Ibnu al-Imad, seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa al-Biqa’i adalah ilmuan
yang senang berdiskusi, gemar mengkritik, dan penulis yang produktif.
Selain menulis Nadzm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar,
beliau juga telah menulis berbagai kitab, seperti:
1.
‘Unwan
az-Zaman fi Tarajum as-Syuyukh wa al-Aqran.
2.
Aswaq
al-Asywaq
3.
Akhbar
al-Jilad fi Fatkh al-Bilad
4.
Shawab
al-Jawab li as-Sa’il al-Murtab
5.
Al-Qaridl li
Takfir Ibn al-Farid
6.
Badl al-Nushh
wa ats-Tasqafah li at-Ta’rif bi Shuhabah Waraqah
7.
Al-Qoul
al-Mufid fi Ushul at-Tajwid
8.
Masha’id
an-Nadhr li al-Isyraf ‘ala Maqasid as-Suwar
9.
La’b al-‘Arab
bi al-Maisir fi al-Jahiliyyah al-Ula.[5]
C.
Tafsir Nadzm
ad-Durar
1.
Latar Belakang
Penulisan
Tafsir ini dipandang sebagai tafsir
yang lengkap di dalam menjelaskan keserasian hubungan (munasabah) tertib
susunan surat dan ayat di dalam al-Qur’an, yang belum pernah dijumpai pada
generasi sebelumnya. Tafsir ini ditulis pada tahun 865-875H dalam 22 jilid.
Tafsir ini diawali dengan
pendahuluan yang menjelaskan tujuan penulisan kitab ini, manfaat dan metodenya,
cara yang ditempuh oleh para mufassir sebelumnya dalam bidang ini, seperti
Ahmad bin Ibrahim al-Andalusi dalam kitab al-Ilmu bi al-Burhan fi Tartib Suwar
al-Qur’an, Badr ad-Din az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an
dll.
Al-Biqa’i di dalam menyusun
tafsirnya ini mengatakan bahwa: “Ini adalah kitab yang mengagumkan, memiliki
tingkatan yang tinggi di dalam bidang yang digeluti orang-orang sebelumku,…,
aku jelaskan di dalamnya keserasian hubungan tertib susunan surat dan ayat
al-Qur’an, lama aku bertadabur dan bertafakur mengenai ayat-ayat al-Qur’an.[6]
2. Format Tafsir
a. Sistematika Penafsiran
Di dalam menyusun kitab tafsir Nadzm
ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar ini, al-Biqa’i mengawali dengan
menyebutkan surat atau ayat yang selanjutnya menjelaskan hubungan nama surat
dengan kandungannya, menjelaskan tema-tema di dalamnya. Beliau dalam hal ini
banyak mengutip kitab Miftah Albab al-Muqfal karya al-Harraliy
al-Maghrabiy.
Beberapa keserasian yang dijelaskan
oleh al-Biqa’I di dalam tafsirnya antara lain meliputi keserasian antara kata
demi kata dalam satu ayat, keserasian antara kandungan satu ayat dan penutup
ayat, keserasian antara satu ayat dan ayat sebelumnya, keserasian antara awal
uraian satu surah dan akhir uraianya, keserasian antara akhir uraian satu surah
dengan uraian surah berikutnya, keserasian antara tema sentral setiap surah dan
nama surah tersebut, keserasian antara satu surah dan surah sebelumnya.
Dalam menjelaskan hubungan antar
ayat dan surah dalam al-qur’an, al-Biqa’i tidak sekedar menghubungkan antara
ayat yang satu dan ayat yang lainnya. Seperti biasa dilakukan oleh mufassir
lain, tetapi juga memberikan penjelasan tentang hubungan kata demi kata dalam
satu ayat.[7]
b. Metode Tafsir
Al-Biqai menafsirkan al-Qur’an
secara keseluruhan yang diawali dari surat al-Fatihah sampai dengan surat
an-Nas. Meski beliau lebih fokus kepada keserasian hubungan ayat dan surat
dalam al-Qur’an, namun tidak mengesampingkan penjelasan lain yang terkait,
seperti bidang fiqh dll. Melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa
secara metodologis, al-Biqa’I menggunakan metode Tahlili di dalam menyusun
tafsirnya.
Dalam mencermati munasabah al-Qur’an,
al-Biqa’i melihat adanya unsur-unsur di dalam ayat atau surah untuk menjadikan
tema sentral. Munasabah semacam ini hampir mendekati kepada tafsir maudhu’iy, karena
untuk mencari munasabah surah mufassir juga mencari ayat yang berkaitan dengan
surah yang dijelaskan. Dengan demikian, ada kesan kesamaan dengan kerangka
operasional penyusunan tafsir maudhu’i dalam satu surah, dan surat-surat dalam
al-Qur’an adalah satu kesatuan tema (wihdat al-maudhu’iy).
Jadi, jika dilihat dari penafsiran
dan penjelasan kata demi kata dalam al-Qur’an secara runtut, metode tafsirnya adalah
tahlily, tetapi jika dilihat dari munasabah ayat dengan ayat lain akan lebih
cenderung kepada tafsir maudhu’i, karena di dalam munasabah ini berarti mencari
keserasian ayat yang mempunyai kesamaan makna (maudhu’i surat).
c. Corak Tafsir
Al-Biqa’i di dalam menafsirkan
al-Qur’an lebih condong kepada pendekatan bahasa dalam arti sastra.Kata demi
kata di dalam al-Qur’an dijelaskan dengan begitu rinci maksud dari kata-kata
dalam satu ayat, serta ditambah dengan penjelasan ayat-ayat lain yang
berkaitan. Model penafsiran semacam itu tampak jelas mengunakan pendekatan akal
(ra’yu) dibanding sumber-sumber riwayat, karena lebih banyak berdasarkan
pendapat mufassir pribadi di dalam memahami keserasian al-Qur’an.
Operasional tafsir al-Biqa’i ini ada
kesamaan dengan tafsir maudhu’i surat di dalam menjelaskan hubungan
masing-masing ayat di dalam satu surat. Hanya saja, beliau lebih luas dan lebih
rinci di dalam menjelaskan hubungan tersebut, tidak hanya sebatas hubungan
ayat-ayat dalam satu surat, tetapi hubungan kata-kata dalam ayat, hubungan
ayat-ayat dalam satu surat dan hubungan surat yang satu dengan surat yang lain
dalam al-Qur’an secara keseluruhan yang diyakini merupakan satu kesatuan tema.
3. Komentar Ulama’
Al-Biqa’i dinilai oleh banyak pakar
sebagai ahli yang berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah
korelasi antar ayat dan surat dalam al-Qur’an.
sementara ahli bahkan menilai bahwa kitab tafsirnya itu merupakan ensiklopedia
dalam bidang keserasian ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an.
Jika pada umumnya para ahli tafsir dalam munasabah
menempuh satu di antara 3 cara berikut dalam menjelaskan hubungan antara ayat: pertama, mengelompokkan sekian banyak ayat dalam
satu kelompok tema-tema, kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok
ayat-ayat berikutnya, seperti tafsir al-Manar dan al-Maraghi; kedua,
menemukan tema sentral dari satu surat lalu mengembalikan uraian kelompok
ayat-ayat kepada tema sentral itu, seperti Tafsir Mahmud Syaltut; ketiga, menghubungkan ayat dengan ayat
sebelumnya dengan menjelaskan keserasiannya; maka al-Biqa’iy menempuh pola
ketiga dengan cara yang amat menarik serta jangkauan pembahasan yang amat luas,
tidak sekedar menjelaskan dan menghubungkan ayat dengan ayat, tapi menjelaskan
hubungan kata demi kata dalam satu ayat. Ada tujuh keserasian dalam materi
al-Qur’an:
- Keserasian antara kata demi kata dalam satu ayat
- Keserasian antara kandungan satu ayat dengan fashilat (penutup ayat tersebut).
- Keserasian antara ayat dengan ayat sebelumnya.
- Keserasian antara awal uraian satu surat dengan akhir uraiannya.
- Keserasian antara akhir uraian satu surat dengan awal uraian surat berikutnya.
- Keserasian antara tema sentral setiap surat dengan nama surat tersebut.
- Keserasian antara surat dengan surat sebelumnya.
Al-Biqa’i sebagai pakar tafsir yang
telah berhasil melakukan sebuah pekerjaan besar yang belum pernah dilakukan
oleh ulama sebelumnya, bahkan oleh ulama-ulama sesudahnya. Usahanya layak
mendapatkan perhatian serius. [8]
[1]Kitab
ini pernah dicetak di India: Da’irah al-Ma’arif al-Utsmaniyah, cet. I tahun
1396H/1976M. lalu Dicetak di Kairo: Dar al-Kitab al-Islami tahun 1413H/1992M.
Lihat: Muhammad ‘Ali Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum
(Teheran: Muassasah at-Thaba’ah wa an-Nasyr Wazarah ats-Tasaqafah wa al-Irsyad
al-Islamiy, 1373), hlm. 712.
[2]Burhanudin Ibarahim Al-Biqa’i. Nadzm
ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, (Lebanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. 2006), juz, hlm. 3.
[4]Taufiq Abdullah (dkk.), Ensiklopedi
Islam, Jilid 2 (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hlm. 78.
[8]M.Qurash Shihab. Sejarah
dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta; Pustaka Firdaus. 1999). 75.
No comments:
Post a Comment