Tuesday, May 17, 2016

Makalah Ulumul Qur'an Lafadz-lafadz Khos



Pengertian Lafazh khash merupakan lawan dari lafazh ‘am. Yaitu :
الخاص هو الذي لا يستغرق الصالح له من غير حصر
“Lafazh khash adalah yang tidak mencakup semua apa yang pantas baginya tampa adanya pembatasan”.[1]
Definisi senada juga dikemukakan oleh Musthafa Said Al Khin, bahwa yang di maksud lafazh khash adalah :
الخاص فكل لفظ وضع لمعنى واحدا معلوم على الافراد وهو ان يكون خصوص الجنس اوحصوص النوع او حصوص العين
“Al-khash adalah setiap lafazh yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang di ketahui. Adakalanya dapat berbentuk jenis (pribadi), macam sesuatu, atau hakikat sesuatu”.[2]
الخاص هو لفظ وضع للدلالة على فرد واحد.
Al-Khash adalah lafazh yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu”.
Dari denifisi diatas dapat di pahami bahwa yang di maksud lafazh khash adalah lafazh yang di gunakan untuk memberi pengertian tertentu, baik menunjukkan pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, macam sesuatu,seperti lafazh insanun (manusia), rojulun (seorang laki-laki) atau menunjukkan jenis sesuatu, seperti lafazh hayawanun (hewan).[3]
Metode mengetahui lafazh khash
Berdasarkan definisi lafazh khash sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maka lafazh khash dapat di ketahui dengan beberapa karakteristik, di antaranya :
Pertama, lafazh tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan, atau nama sesuatu. Seperti firman Allah SWT :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم
Muhammad itu adalah rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih bersama mereka...” (QS. Al-Fath/48:29).
Lafazh Muhammad pada ayat dia atas adalah lafazh khash, karena hanya menunjukkan satu pengertian, yaitu nabi muhammad saw.
Kedua, lafazh tersebut menyebutkan tentang jumlah atau bilangan tertentu dalam satu kalimat. Seperti firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan wanita-wanita yang di talak (oleh suaminya) hendaklah ia menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’. (QS. Al-baqarah/2: 228).
Ayat di atas menjelaskan bahwa iddah (masa menununggu) bagi seorang wanita yang ditalak suaminya adalah tiga kali quru’ (suci). Lafazh tsalatsah pada ayat tersebut merupakan lafazh khash, karena secara eksplesit ayat tersebut menyebutkan tentang jumlah atau bilangan tertentu, yaitu tsalatsah.
Ketiga, lafazh tersebut dibatasi dengan suatu sifat tertentu atau di idhofahkan. Seperti firman Allah SWT :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena tersalah maka ia hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS. An-Nisa’/4: 92).
Lafazh raqabah mu’minah (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam ayat tersebut adalah lafazh khash,karena ia menunjukkan pada suatu jenis tertentu.[4]
Macam-macam Takhshish
Menurut manna al qaththan bahwa mukhashish itu dapat di bagi menjadi dua macam :
Pertama, mukhashish muttashil, yaitu Takhshish yang tidak berdiri sendiri, dimana di antara ‘am dengan mukhashish tidak dipisah oleh suatu hal. Untuk jenis pertama dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu :
Pertama, istisna’ (pengecualian). Seperti firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.(QS. An-Nur/24: 4-5)
Ayat ke 5 dari surat an-nur di atas tidak dapat berdiri sendiri jika tidak dikaitkan dengan ayat sebelumnya (ayat 4).
Kedua, Shifat, sebagaimana firman Allah dalam surat QS an-nur/24:27 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”.(QS. An-Nur/24: 27).
Lafazh buyutan dalam (rumah) pada ayat di atas berisifat umum yaitu baik rumah orang mukmin yang dilarang memasukinya maupun rumah-rumah orang lain. Tetapi karena disifati lafazh ghoira buyutikum (selain rumahmu), maka keumuman makna rumah tersebut di persempit pengertiannya.
Ketiga, syarat, seperti firman Allah SWT :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ(180)
Diwajibkan atas mu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika meninggal harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-baqarah/2: 180).
Lafazh in taraka khairan pada ayat di atas berfungsi untuk mempersempit keumuman makna kalimat tersebut. Di mana lafazh in taraka khairan adalah syarat dari wasiat. Dengan demikian jika seseorang yang akan meninggal dunia sementara ia tidak meninggalkan harta ia pun tidak di wasiatkan.
Keempat, ghayah (pembatasan), seperti firman Allah SWT:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (15)
“... dan kami akan mengazhab, sampai Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Isra’/17: 15).
Lafazh wa ma kunna mu’adzibina pada ayat di atas bersifat umum, yaitu berlaku bagi siapa saja. Akan tetapi keumuman tersebut di persempit pengertiannya dengan adanya ghayah, yaitu dengan lafazh hatta nab’atsa rasulan.
Kelima badal ba’da min kull (mengganti sebagian dari keseluruhannya) seperti firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“... mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia terhadap allah swt, yakni orang yang sanggup melakukan perjalanan.” (QS. Ali Imran/3:97).
Bahwa mengerjakan ibadah hajji bagi seluruh manusia adalah wajib, hal ini sebagaimana di lukiskan oleh lafazh walillahi ‘alan nas hijj al-baiti, sebab lafazh ini adalah bersfat umum. Akan tetapi keuman itu di persempit pengertiannya dengan rangkaian kata man istatha’a ilaihi sabila. Di mana lafazh itu berfungsi sebagai badal ba’da min kull.
Kedua, mukhakhshish munfasil, yaitu kebalikan dari bentuk pertama, di mana antara ‘am dengan makhakhshish disebut dalam satu kalimat. Takhshish untuk katagori yang di sebutkan ini dapat berupa nash al-Qur’an, hadits nabi, Ijms’ maupun qiyas.
Pertama, mentakhshish al-Kitab dengan al-Kitab; diantara lain firman Allah swt :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan wanita-wanita yang di talak (oleh suaminya) hendaklah ia menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’. (QS. Al-baqarah/2: 228).
Lafazh al-muthallaqatu yang terdapat dalam ayat di atas adalah ‘am, yaitu ia harus beriddah tiga kali suci. Akan tetapi keumuman kalimat tersebut di takhshish oleh ayat yang lain dalam QS. Al-thalaq/65:4, sebagai berikut :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
... dan perempuan yang hamil iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya. (QS. Al-thalaq/65:4)
Ayat ini menjelaskan bahwa wanita-wanita yang di cerai oleh suaminya, sementara ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah sampai anak yang di kandunganya lahir.
Kedua, mentakhshish al-Kitab dengan al-sunnah. Para ulama’ sepakat tentang kebolehan mentakhshish al-Kitab dengan al-sunnah, sebab keduanya sama-sama qath’iyah tsubut. Sehingga masing-masing keduanya dapat menthakhshish. Sebagaimana firman allah swt :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah/2:275).
Ayat ini di takhshish oleh hadis hadis tentang jual beli yang fasid sebagaimana hadis rasullullah saw yang di riwayatkan oleh bukhari dari ibnu umar ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عسب الفحل
Rasullullah saw melarang jual beli dari air mani kuda jantang. (HR. Bukhari).
Contoh mengenai hal ini banyak sekali di jumpai dalam hadits rasullullah saw.
Ketiga, mentakhshish al-Kitab dengan Ijma’. Para ulama’ sepakat tentang kebolehan mentakhshish jenis ini. Seperti firman Allah:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah swt mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian waris) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Ayat diatas di takhshish oleh adanya ijma’ shahabat bahwa budak tidak mendapat warisan karena sifat buda’ merupakan faktor penghalang hak waris.


[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits, t th.), h. 221
[2] Musthafa Said Al-Khan, ‘Asr Al-Ikhtilaf Fi Al-Qowaid Al-Ushuliyyah Fi Ikhtilaf Al-Fuqaha’, (Kairo : Muassasah Al-Risalah, 1969).
[3] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul Al-Fiqh (Kairo: Maktabah Al-Da’wah Al-Islamiyyah, 1990), h. 192
[4] Nor ichwan, memahami bahasa al-qur’an (semarang, walisongo press,2002), h. 186-187

No comments:

Post a Comment