Pengertian Lafazh khash merupakan lawan dari lafazh ‘am.
Yaitu :
الخاص هو الذي لا يستغرق الصالح له من غير حصر
“Lafazh khash adalah yang tidak mencakup semua apa yang
pantas baginya tampa adanya pembatasan”.[1]
Definisi senada juga dikemukakan oleh Musthafa Said Al Khin, bahwa
yang di maksud lafazh khash adalah :
الخاص فكل لفظ وضع لمعنى واحدا معلوم على الافراد وهو ان يكون خصوص
الجنس اوحصوص النوع او حصوص العين
“Al-khash adalah setiap lafazh
yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang di
ketahui. Adakalanya dapat berbentuk jenis (pribadi), macam sesuatu, atau
hakikat sesuatu”.[2]
الخاص هو لفظ وضع للدلالة على فرد واحد.
“Al-Khash adalah
lafazh yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu”.
Dari denifisi diatas dapat di pahami bahwa yang di maksud lafazh khash
adalah lafazh yang di gunakan untuk memberi pengertian tertentu, baik
menunjukkan pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, macam sesuatu,seperti
lafazh insanun (manusia), rojulun (seorang laki-laki) atau menunjukkan jenis
sesuatu, seperti lafazh hayawanun (hewan).[3]
Metode
mengetahui lafazh khash
Berdasarkan definisi lafazh khash sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, maka lafazh khash dapat di ketahui dengan
beberapa karakteristik, di antaranya :
Pertama, lafazh
tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan, atau nama
sesuatu. Seperti firman Allah SWT :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ
اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم
“Muhammad
itu adalah rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih bersama mereka...” (QS. Al-Fath/48:29).
Lafazh Muhammad
pada ayat dia atas adalah lafazh khash, karena hanya menunjukkan satu
pengertian, yaitu nabi muhammad saw.
Kedua, lafazh
tersebut menyebutkan tentang jumlah atau bilangan tertentu dalam satu kalimat.
Seperti firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan
wanita-wanita yang di talak (oleh suaminya) hendaklah ia menahan diri
(menunggu) selama tiga kali quru’. (QS. Al-baqarah/2: 228).
Ayat di atas
menjelaskan bahwa iddah (masa menununggu) bagi seorang wanita yang ditalak
suaminya adalah tiga kali quru’ (suci). Lafazh tsalatsah pada ayat
tersebut merupakan lafazh khash, karena secara eksplesit ayat tersebut
menyebutkan tentang jumlah atau bilangan tertentu, yaitu tsalatsah.
Ketiga, lafazh
tersebut dibatasi dengan suatu sifat tertentu atau di idhofahkan. Seperti
firman Allah SWT :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena tersalah maka ia
hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS. An-Nisa’/4:
92).
Lafazh raqabah mu’minah (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat
dalam ayat tersebut adalah lafazh khash,karena ia menunjukkan pada suatu
jenis tertentu.[4]
Macam-macam Takhshish
Menurut manna al qaththan bahwa mukhashish itu dapat di bagi
menjadi dua macam :
Pertama, mukhashish muttashil, yaitu Takhshish yang tidak berdiri sendiri, dimana di antara ‘am
dengan mukhashish tidak dipisah oleh suatu hal. Untuk jenis pertama
dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu :
Pertama, istisna’ (pengecualian).
Seperti firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ
وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.(QS. An-Nur/24: 4-5)
Ayat ke 5 dari
surat an-nur di atas tidak dapat berdiri sendiri jika tidak dikaitkan dengan
ayat sebelumnya (ayat 4).
Kedua, Shifat,
sebagaimana firman Allah dalam surat QS an-nur/24:27 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى
تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ (27)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”.(QS. An-Nur/24: 27).
Lafazh buyutan
dalam (rumah) pada ayat di atas berisifat umum yaitu baik rumah orang mukmin yang
dilarang memasukinya maupun rumah-rumah orang lain. Tetapi karena disifati
lafazh ghoira buyutikum (selain rumahmu), maka keumuman makna rumah
tersebut di persempit pengertiannya.
Ketiga, syarat, seperti
firman Allah SWT :
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ(180)
Diwajibkan atas mu, apabila
seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika meninggal harta
yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf. (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-baqarah/2: 180).
Lafazh in
taraka khairan pada ayat di atas berfungsi untuk mempersempit keumuman
makna kalimat tersebut. Di mana lafazh in taraka khairan adalah syarat
dari wasiat. Dengan demikian jika seseorang yang akan meninggal dunia sementara
ia tidak meninggalkan harta ia pun tidak di wasiatkan.
Keempat, ghayah (pembatasan),
seperti firman Allah SWT:
وَمَا كُنَّا
مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (15)
“... dan kami akan mengazhab,
sampai Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Isra’/17: 15).
Lafazh wa ma kunna mu’adzibina
pada ayat di atas bersifat umum, yaitu berlaku bagi siapa saja. Akan tetapi
keumuman tersebut di persempit pengertiannya dengan adanya ghayah, yaitu
dengan lafazh hatta nab’atsa rasulan.
Kelima badal ba’da min kull
(mengganti sebagian dari keseluruhannya) seperti firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“...
mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia terhadap allah swt, yakni orang yang
sanggup melakukan perjalanan.” (QS. Ali Imran/3:97).
Bahwa
mengerjakan ibadah hajji bagi seluruh manusia adalah wajib, hal ini sebagaimana
di lukiskan oleh lafazh walillahi ‘alan nas hijj al-baiti, sebab lafazh
ini adalah bersfat umum. Akan tetapi keuman itu di persempit pengertiannya
dengan rangkaian kata man istatha’a ilaihi sabila. Di mana lafazh itu
berfungsi sebagai badal ba’da min kull.
Kedua,
mukhakhshish munfasil, yaitu kebalikan dari bentuk pertama, di mana antara ‘am
dengan makhakhshish disebut dalam satu kalimat. Takhshish untuk katagori yang
di sebutkan ini dapat berupa nash al-Qur’an, hadits nabi, Ijms’ maupun qiyas.
Pertama,
mentakhshish al-Kitab dengan al-Kitab; diantara lain firman
Allah swt :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan
wanita-wanita yang di talak (oleh suaminya) hendaklah ia menahan diri
(menunggu) selama tiga kali quru’. (QS. Al-baqarah/2: 228).
Lafazh al-muthallaqatu
yang terdapat dalam ayat di atas adalah ‘am, yaitu ia harus beriddah
tiga kali suci. Akan tetapi keumuman kalimat tersebut di takhshish oleh ayat yang
lain dalam QS. Al-thalaq/65:4, sebagai berikut :
وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“... dan perempuan yang hamil iddah mereka
adalah sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Al-thalaq/65:4)
Ayat ini menjelaskan bahwa wanita-wanita yang di cerai oleh suaminya,
sementara ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah sampai anak yang di
kandunganya lahir.
Kedua, mentakhshish al-Kitab dengan al-sunnah.
Para ulama’ sepakat tentang kebolehan mentakhshish al-Kitab dengan al-sunnah, sebab keduanya sama-sama qath’iyah tsubut. Sehingga
masing-masing keduanya dapat menthakhshish. Sebagaimana firman allah swt :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah swt telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah/2:275).
Ayat ini di takhshish oleh hadis
hadis tentang jual beli yang fasid sebagaimana hadis rasullullah saw yang di
riwayatkan oleh bukhari dari ibnu umar ia berkata :
نهى رسول الله
صلى الله عليه وسلم عن عسب الفحل
Rasullullah saw melarang jual beli dari
air mani kuda jantang. (HR. Bukhari).
Contoh mengenai hal ini banyak
sekali di jumpai dalam hadits rasullullah saw.
Ketiga, mentakhshish al-Kitab dengan Ijma’. Para
ulama’ sepakat tentang kebolehan mentakhshish jenis ini. Seperti firman Allah:
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah swt mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian waris) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Ayat diatas di takhshish oleh
adanya ijma’ shahabat bahwa budak tidak mendapat warisan karena sifat buda’
merupakan faktor penghalang hak waris.
[1] Manna’ Al-Qaththan,
Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Riyadh: Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits, t th.),
h. 221
[2] Musthafa
Said Al-Khan, ‘Asr Al-Ikhtilaf Fi Al-Qowaid Al-Ushuliyyah Fi Ikhtilaf
Al-Fuqaha’, (Kairo : Muassasah Al-Risalah, 1969).
[3] Abdul
Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul Al-Fiqh (Kairo: Maktabah Al-Da’wah
Al-Islamiyyah, 1990), h. 192
[4] Nor
ichwan, memahami bahasa al-qur’an (semarang, walisongo press,2002), h. 186-187
No comments:
Post a Comment