Monday, May 30, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Pendekatan Doktrinal dalam Memahami Hadits

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di zaman yang serba modern ini, mayoritas manusia tidak suka terhadap kevakuman. Kapanpun ada pertanyaan dan masalah penting. Tradisi muncul untuk menyembataninya sehingga tercapai sebuah pemahaman.
Namun banyak kita jumpai tradisi yang palsu. Ada banyak ketidak cocokan dan pertentangan diantara tradisi. Masalah sangat serius muncul pada saat orang muslim harus menentukan tradisi mana yang asli.
Islam adalah agama yang sangat multidimensial, oleh karena itu masing-masing orang sangat mungkin memandang memahami Islam secara berbeda-beda. Islam sebagai gejala budaya dan sosial, dalam konteks ini Islam lebih dilihat dari praktik atau pengamalan orang muslim tersebut atau dengan kata lain Islam dilihat dari aspek kehidupan bermasyarakat.
Apabila Islam dipandang dari gejala budaya dan sosial maka yang terlihat adalah corak keberagamaan suatu masyarakat, salah satu contoh kehidupan keberagamaan orang muslim di kota dengan kehidupan keberagamaan orang muslim di desa sangatlah berebeda. Perbedaan tersebut timbul dari pengaruh yang sangat melekat pada kehidupan bermasyarakat yang biasa kita kenal dengan lingkungan. Lingkungan inilah yang membuat masing-masing orang menjadi berbeda antara yang satu dengan yang lain, walaupun masih dalam satu wilayah agama yakni Islam.
Lain halnya dengan Islam dipandang sebagai doktrin. Islam adalah agama yang ajarannya tidak bisa diotak-atik lagi dalam artian tidak boleh dipertanyakann lagi akan tetapi harus diterima apa adanya sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu Islam dipandang final (absolute) yang tidak perlu dibahas lagi dan harus diterima apa adanya.
Banyak orang Kristen berfokus pada pratik- praktik islam dan tidak mengenali bahwa tugas seorang muslim didasarkan pada sistem doktrin yang jelas. Muslim percaya bahwa Allah menyatakan pesan-nya kepada umat manusia. Pesan itu mengatur pemikiran dan tingkah laku, dan seringkali dirangkum dalam lima atau enam kategori kepercayaan.
Maka setelah kita mengamati secara empiris fenomena yang ada, maka dirasa perlu bagi kami untuk menjelaskan secara terperinci tentang “ Doktrin Kepercayaan Islam ’’. Agar orang islam dapat memahami dan dapat memakai hakikat islam sesungguhnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud pengertian doktrinal?
2.      Bagaimana Contoh Pemahaman Doktrinal Hadits?
3.      Bagaiman Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits?


II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.[1]
Selain kata doctrine sebagaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: "al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.[3]
B.     Contoh Pemahaman Doktrinal Hadits
Contoh Pertama, Pemahaman Doktrinal Hadits dalam teologi yang dibangun oleh orang-orang Syi`Ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Hururiyyah, Ahli Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan dalam pemahaman hadits.

Contohnya Kedua, pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah saw :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية  فاقدروا له ثلاثين
"Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah saw:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
"Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata.[4]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.
Lalu beliau rahimahullah berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
C.     Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits
Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits adalah harus bisa membedakan metode penelitian ilmiah dengan akal sehat (common sense) terutama dalam proses penelitiannya. Karlinger membedakan metode ilmiah dengan metode akal sehat dalam 5 hal, yaitu :
1.      Pertama-tama pada penggunaan pola konseptual dan struktur teoritis dalam menjelaskan gejala. Pendekatan dengan  akal sehat menggunakan teori dan konsep secara longgar, sedangkan pendekatan ilmiah menggunakan teori dan konsep secara ketat dan terkendali. Pada pendekatan akal sehat, penjelasan tentang gejala atau fenomena tertentu sering diterima begitu saja tampa mempertanyakan lebih mendalam.
2.      Dalam pendekatan ilmiah, dan hipotesis di uji secara sistematis dan empiris. Pada pendekatan akal sehat, teori dan hipotesis di uji juga, tetapi secara selektif, dan tidak obyektif.
3.      Pendekatan ilmiah, pengetahuan terhadap fenomena dilakukan secara terkendali. Cara seperti ini tidak terdapat pada pendekatan akal sehat. Untuk mengetahui sebab-sebab dari suatu peristiwa melalui pendekatan ilmiah, dikumpulkan seperangkat variabel kontrol terhadap peristiwa yang dipelajari. Semua variabel yang tidak termasuk variabel kontrol ini akan dikesampingkan. Cara seperti ini tidak dilakukan dalam pendekatan akal sehat.
4.      Pada pendekatan akal sehat, dua fenomena yang muncul sering langsung dihubungkan dalam satu hubungan sebab akibat tampa melalui penelitian yang di lakukan secara sistematis.
5.      Pendekatan ilmiah selalu bersifat empiris, dalam arti harus ada penjelasan tentang hubungan di antara fenomena-fenomena, yang dilakukan berdasarkan kenyataan-kenyataan realistis dan mengesampingkan semua hal yang bersifat metafisik.[8]

III.             PENUTUP
Pemakalah sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua disebabkan kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman pemakalah. Untuk itu, apabila ada kritikan maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat pemakalah harapkan, agar di penulisan berikutnya pemakalah dapat memperbaikinya.
IV.             DAFTAR PUSAKA
M. Echols. John dan Shadily. Hasan, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta.
Atho Mudzhar, M. Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA.
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA.
Gulo, W.  Metode Penelitian, grasindo pdf



[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta, hal. 192
[2] Ibid
[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta) hal.19.
[4] Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[5] Fathul Bari,  hal 4/127.
[6] Opcit Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram
[7] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8] W. Gulo metode penelitian, grasindo pdf

No comments:

Post a Comment