I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di zaman yang serba modern ini, mayoritas manusia tidak suka
terhadap kevakuman. Kapanpun ada pertanyaan dan masalah penting. Tradisi muncul
untuk menyembataninya sehingga tercapai sebuah pemahaman.
Namun banyak kita jumpai tradisi yang palsu. Ada banyak ketidak
cocokan dan pertentangan diantara tradisi. Masalah sangat serius muncul pada
saat orang muslim harus menentukan tradisi mana yang asli.
Islam adalah agama yang sangat multidimensial, oleh karena itu
masing-masing orang sangat mungkin memandang memahami Islam secara
berbeda-beda. Islam sebagai gejala budaya dan sosial, dalam konteks ini Islam
lebih dilihat dari praktik atau pengamalan orang muslim tersebut atau dengan
kata lain Islam dilihat dari aspek kehidupan bermasyarakat.
Apabila Islam dipandang dari gejala budaya dan sosial maka yang
terlihat adalah corak keberagamaan suatu masyarakat, salah satu contoh
kehidupan keberagamaan orang muslim di kota dengan kehidupan keberagamaan orang
muslim di desa sangatlah berebeda. Perbedaan tersebut timbul dari pengaruh yang
sangat melekat pada kehidupan bermasyarakat yang biasa kita kenal dengan
lingkungan. Lingkungan inilah yang membuat masing-masing orang menjadi berbeda
antara yang satu dengan yang lain, walaupun masih dalam satu wilayah agama
yakni Islam.
Lain halnya dengan Islam dipandang sebagai doktrin. Islam adalah
agama yang ajarannya tidak bisa diotak-atik lagi dalam artian tidak boleh
dipertanyakann lagi akan tetapi harus diterima apa adanya sesuai dengan apa
yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu Islam dipandang final
(absolute) yang tidak perlu dibahas lagi dan harus diterima apa adanya.
Banyak orang Kristen berfokus pada pratik- praktik islam dan tidak
mengenali bahwa tugas seorang muslim didasarkan pada sistem doktrin yang jelas.
Muslim percaya bahwa Allah menyatakan pesan-nya kepada umat manusia. Pesan itu
mengatur pemikiran dan tingkah laku, dan seringkali dirangkum dalam lima atau
enam kategori kepercayaan.
Maka setelah kita mengamati secara empiris fenomena yang ada, maka
dirasa perlu bagi kami untuk menjelaskan secara terperinci tentang “ Doktrin
Kepercayaan Islam ’’. Agar orang islam dapat memahami dan dapat memakai hakikat
islam sesungguhnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
di maksud pengertian doktrinal?
2.
Bagaimana
Contoh Pemahaman Doktrinal Hadits?
3.
Bagaiman
Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti
ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina, yang berarti
yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.[1]
Selain kata doctrine sebagaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire
yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini
misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau
studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa
tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi
seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi
doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud
adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang
dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: "al-Islamu
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam
lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat).
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas,
maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah
al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang
terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah
al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus
hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita
dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun
oleh Imam Muslim, kitab hadist Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan
lain-lain.[3]
B.
Contoh
Pemahaman Doktrinal Hadits
Contoh Pertama, Pemahaman Doktrinal Hadits dalam teologi
yang dibangun oleh orang-orang Syi`Ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah,
Hururiyyah, Ahli Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun
oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran
perkembangan dalam pemahaman hadits.
Contohnya Kedua, pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf,
termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan
Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah saw :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم
فاقدروا له. و في رواية فاقدروا له ثلاثين
"Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan
jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka
sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah
ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah saw:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
"Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan
jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan
Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan
melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung
dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat
memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata.[4]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis
dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit
sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan
perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga
hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan
mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun
setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits
dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam
hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada
Ahli Hisab!”.
Lalu beliau rahimahullah berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat
merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari
sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’
Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata:
‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu
perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada
kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi
seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan,
karena yang mengetahuinya sedikit sekali.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini
telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat,
sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab
telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah
salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui
bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan
lainnya.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib
berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam
ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa.
Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera
yaitu rukyat hilal.[7]
Hisab yang
dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal
bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah
terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu
terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada
di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab,
bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama,
semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar
menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti
sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk
menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan
bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika
spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut
Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah
ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw
adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan
hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan
Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan
tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni
kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam
kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada
ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka
berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab),
maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa
rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir,
ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni,
menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib
dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui
hisab.
Ketiga,
dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat
meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1.
Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini
tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun
lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik.
Keempat,
rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya,
rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk
bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak
mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat
merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad
dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana
tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan
lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada
musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima,
jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh
10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah
barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat
menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan
jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi
rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun,
jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang
saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini
tidak dapat dipertahankan.
Keenam,
rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah
belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah
sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi
kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan
Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak
dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan
Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka,
ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen
di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu
yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu
pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa
dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia
internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi
menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam
(Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di
Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah)
menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa
pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak
mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam
menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk
menentukan waktu-waktu shalat”.
C.
Solusi
Obyektif Dalam Memahami Hadits
Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits adalah harus bisa membedakan
metode penelitian ilmiah dengan akal sehat (common sense) terutama dalam proses
penelitiannya. Karlinger membedakan metode ilmiah dengan metode akal sehat
dalam 5 hal, yaitu :
1.
Pertama-tama
pada penggunaan pola konseptual dan struktur teoritis dalam menjelaskan gejala.
Pendekatan dengan akal sehat menggunakan
teori dan konsep secara longgar, sedangkan pendekatan ilmiah menggunakan teori
dan konsep secara ketat dan terkendali. Pada pendekatan akal sehat, penjelasan
tentang gejala atau fenomena tertentu sering diterima begitu saja tampa
mempertanyakan lebih mendalam.
2.
Dalam
pendekatan ilmiah, dan hipotesis di uji secara sistematis dan empiris. Pada
pendekatan akal sehat, teori dan hipotesis di uji juga, tetapi secara selektif,
dan tidak obyektif.
3.
Pendekatan
ilmiah, pengetahuan terhadap fenomena dilakukan secara terkendali. Cara seperti
ini tidak terdapat pada pendekatan akal sehat. Untuk mengetahui sebab-sebab
dari suatu peristiwa melalui pendekatan ilmiah, dikumpulkan seperangkat
variabel kontrol terhadap peristiwa yang dipelajari. Semua variabel yang tidak
termasuk variabel kontrol ini akan dikesampingkan. Cara seperti ini tidak
dilakukan dalam pendekatan akal sehat.
4.
Pada
pendekatan akal sehat, dua fenomena yang muncul sering langsung dihubungkan
dalam satu hubungan sebab akibat tampa melalui penelitian yang di lakukan
secara sistematis.
5.
Pendekatan
ilmiah selalu bersifat empiris, dalam arti harus ada penjelasan tentang
hubungan di antara fenomena-fenomena, yang dilakukan berdasarkan
kenyataan-kenyataan realistis dan mengesampingkan semua hal yang bersifat
metafisik.[8]
III.
PENUTUP
Pemakalah sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada
makalah ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua
disebabkan kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman
pemakalah. Untuk itu, apabila ada kritikan maupun saran dari pembaca yang
bersifat membangun sangat pemakalah harapkan, agar di penulisan berikutnya
pemakalah dapat memperbaikinya.
IV.
DAFTAR
PUSAKA
M.
Echols. John dan Shadily. Hasan, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia,
Jakarta.
Atho
Mudzhar, M. Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta).
Abdullah
bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima
tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA.
Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr.
Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416,
Muassasah Aasaam, KSA.
Gulo,
W. Metode Penelitian, grasindo pdf
[1] John M.
Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta,
hal. 192
[2] Ibid
[3] M. Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta) hal.19.
[4] Abdullah
bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima
tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[5] Fathul
Bari, hal 4/127.
[6] Opcit Taudhih
Al Ahkam Min Bulughul Maram
[7] Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr.
Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416,
Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8] W. Gulo
metode penelitian, grasindo pdf
No comments:
Post a Comment