BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Plulraisme adalah Suatu Kajian terhadap Islam dan Isu-isu Kontemporer, merupakan
tajuk yang dipilih untuk menjelaskan tema “Islam dan Isu-isu Pluralisme”.
Persoalan yang muncul
kemudian bukanlah terletak
pada tepat atau tidaknya
tajuk ini dipilih
untuk mengangkat tema
pluralisme sebagai salah
isu kontemporer. Akan
tetapi, problem yang
lebih krusial sebenarnya terletak
pada tepat atau tidaknya plurlisme diposisikan sebagai salah satu dari isu-isu
kontemporer.
Karena pluralisme cenderung dimaknai
negatif sebagai paham
menyamakan seluruh agama,
maka ada semacam kecenderungan menarik istilah
tersebut pada terminologi lain yang lebih tepat, yaitu “Multikulutalisme”, karena
memang terminologi pluralisme
dimaksud tidak dapat dimaknai secara
parsial sebagaimana yang
banyak muncul di tengah masyarakat Islam.
Melihat
pluralisme tidak tepat
di posisikan sebagai
isu kontemporer oleh karena isu
ini merupakan isu yang hangat diperbincangan pada pada era 1990-an hingga awal
tahuan 2000-an. Sesungguhnya
masih banyak isu
yang lebih tepat dikategorikan sebagai
isu kontemporer, seperti
isu kebebasan beragama
dan berkeyakinan yang
sebenarnya masih dikaitkan
juga dengan paham
pluralisme.[1]
Berkaitan
dengan pemaknaan pluralisme
itu sendiri. Ketika tema
Islam dan pluralisme
diangkat ke permukaan,
maka ia akan
menyulut perdebatan panjang. Istilah
“perdebatan” tentu menggambarkan
adanya dua pandangan yang
berbeda, dan tentu
saja perbedaan tersebut
memiliki argumentasi
masing-masing. Hal ini dapat berarti bahwa pluralisme bukan merupakan faham
yang ditentang oleh seluruh
umat Islam dan
bukan pula sebaliknya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi pluralisme dan penyebarannya?
2. Bagaimana sejarah penyebaran pluralisme?
3. Bagaimana Respon Islam Terhadap Pluralisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PLURALISME
Tidak
ada rumusan yang
tunggal tentang makna pluralisme, karenanya
terminologi ini menjadi
longgar untuk ditarik
ke wilayah manapun. Sebagian pendapat memandang bahwa pluralisme
merupakan terminologi yang terambil dari
ranah Sosiologis, dan
sebagian yang lain
berpendapat bahwa terminologi ini
terambil dari ranah filsafat. Terlepas
dari perbedaan keduanya, satu hal
yang tidak dapat
dipungkiri bahwa pluralisme
merupakan terminologi untuk menunjukkan paham kemajemukan.
Dalam
Wikipedia berbahasa Inggris
disebutkan “In the
social sciences, pluralism is a
framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of
each other, that
they fruitfully coexist
and interact without
conflict or assimilation”.[2] Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat dipahami
bahwa pluralisme dalam ilmu
sosial merupakan konsep
pemahaman tentang kehidupan
majemuk (plural) yang harus
ditata sedemikian rupa
untuk menciptakan suasana
saling menghargai dan menghormati
guna menghindari konflik.
Dalam
wacana yang berkembang
berikutnya, pluralisme ternyata
tidak saja menyentuh ranah
filsafat dan sosiologi,
akan tetapi pembahasannya
juga turut menyentuh wilayah
teologi. Pluralisme Agama (Religious
Pluralism) adalah istilah
khusus dalam kajian agamaagama. Sebagai
‘terminologi khusus’, istilah
ini tidak dapat
dimaknai sembarangan,
misalnya disamakan dengan
makna istilah ‘toleransi’,
‘saling menghormati’ (mutual respect),
dan sebagainya. Sebagai
satu paham (isme),
yang membahas cara pandang terhadap agamaagama yang ada, istilah
‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan
dalam studi agamaagama (religious studies).
Dan
memang, meskipun ada sejumlah
definisi yang bersifat sosiologis,
tetapi yang menjadi perhatian
utama para peneliti dan
tokohtokoh agama adalah
definisi Pluralisme yang meletakkan
kebenaran agamaagama sebagai
kebenaran relatif dan menempatkan agamaagama
pada posisi ”setara”,
apapun jenis agama
itu. Bahkan, sebagian pemeluk
Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
Pluralisme
Agama yang dibahas
dalam buku ini didasarkan
pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang
samasama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut
paham ini, semua agama
adalah jalan yang berbedabeda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi
manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena
kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini,
bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim
bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah
satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak
(absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[3]
B. SEJARAH PENYEBARAN PLURALISME
Paham
ini telah menyerbu
semua agama. Klaimklaim kebenaran
mutlak atas masingmasing agama
diruntuhkan, karena berbagai
sebab dan alasan.
Di kalangan Yahudi, misalnya,
muncul nama Moses
Mendelsohn (17291786), yang
menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi,
kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas keselamatan,
dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar sama luas bukan hanya
melalui agama Yahudi seperti umat manusia itu sendiri.[4] Frans
Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama yang benar
adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen
dan agama Yahudi.[5]
Salah
satu teolog Kristen
yang terkenal sebagai pengusung
paham ini, Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer terhadap
agamaagama, yaitu (1) semua agama
adalah relatif. (2) Semua agama, secara esensial adalah sama. (3) Semua agama memiliki
asalusul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan “relatif”, ialah bahwa semua agama
adalah relatif, terbatas,
tidak sempurna, dan
merupakan satu proses pencarian. Karena itu,
kekristenan adalah agama
terbaik untuk orang
Kristen, Hindu adalah terbaik untuk
orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: “pada intinya, semua agama adalah sama,
jalanjalan yang berbeda
yang membawa ke tujuan
yang sama. (Deep down, all
religions are the same – different paths leading to the same goal).”[6]
Dalam
tradisi Kristen, dikenal
ada tiga cara
pendekatan atau cara
pandang teologis terhadap agama lain. Pertama, eksklusivisme, yang
memandang hanya orangorang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan
diselamatkan. Di luar itu tidak selamat. Kedua, inklusivisme, yang
berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan
juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga, pluralisme, yang memandang semua
agama adalah jalan yang samasama sah menuju inti dari realitas
agama. Dalam pandangan
Pluralisme Agama, tidak
ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya
dianggap sebagai jalan yang samasama sah menuju Tuhan (all the religious
traditions of humanity are equally valid paths to the same core of religious
reality. In pluralism, no one religion is superior to any other; the many
religions are considered equally valid ways to know God).[7]
John
Hick – salah
satu tokoh utama kristen
paham religious pluralism
mengajukan gagasan pluralisme
sebagai pengembangan dari
inklusivisme. Bahwa, agama adalah
jalan yang berbedabeda menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia mengutip
Jalaluddin Rumi yang menyatakan: “The lamps are different but the light is
the same; it comes from beyond.” Menurut Hick,
“the Real” yang merupakan “the final object
of religious concern”, adalah
merupakan konsep universal.
Di Barat, kadang digunakan istilah “ultimate reality”;
dalam istilah Sansekerta dikenal dengan “sat”; dalam Islam dikenal
istilah alhaqq.[8]
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat
KristenBarat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah
kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik KatolikProtestan, (2)
Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa
di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan
kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap
klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen
Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang ‘terpesona’ oleh
Barat atau memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum
Muslim akan maju. Termasuk dalam hal cara pandang terhadap agamaagama lain,
banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum Iklusifis dan
Pluralis Kristen dalam memandang agamaagama lain. Di Indonesia, penyebaran
paham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun bukubuku
di perguruan tinggi.[9]
Sebagai
contoh, tokoh pembaruan
Islam di Indonesia,
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa
ada tiga sikap
dialog agama yang
dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agamaagama lain adalah
jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap
inklusif (Agamaagama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap
pluralis – yang bisa terekspresi dalam macammacam rumusan, misalnya:
“Agamaagama lain adalah jalan yang samasama sah untuk mencapai Kebenaran yang
Sama”, “agamaagama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan
Kebenarankebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian
penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish
lagi, “Sebagai sebuah pandangan
keagamaan, pada dasarnya
Islam bersifat inklusif
dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai
contoh, filsafat perennial yang
belakangan banyak dibicarakan
dalam dialog antar
agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis
dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan
jarijari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi
agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan
agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena
itu ada istilah "Satu
Tuhan Banyak Jalan".”
Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan
(Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari."[10]
C. RESPON ISLAM TERHADAP PLURALISME
Jika pluralisme agama pada mulanya merupakan wacana yang
berkembang di dunia Kristen, pertanyaan yang cukup akurat dikemukakan adalah: bagaimana respon
Islam terhadapnya?. Pada prinsipnya,
secara sederhana pertanyaan ini telah terjawab melalui paparan
terdahulu, bahwa di
dunia Islam ada
kelompok yang menolak pluralisme tapi
ada juga yang
menerima, bahkan membelanya.
Kelompok yang menolak pluralisme
agama memiliki argumen
tersendiri yang secara
nyata disandarkan kepada Al
Qur’an. Demikian halnya
kelompok yang menerima pluralisme, mereka juga memiliki argumentasi tersendiri
yang jelas-jelas disandarkan kepada
Al Qur’an yang
sama. Pertanyaan (awam)
yang kemudian muncul
adalah: mana yang benar dari keduanya? Kalau pertanyaan ini dijawab
dengan prinsip-prinsip “pluralisme”,
maka kemungkinan jawaban
yang akan diterima
adalah: keduanya benar, dan atau,
keduanya biasa saja benar tapi bisa juga salah.
Perbedaan
pandangan yang terjadi
di dunia Islam terkait bagaimana “Islam” merespon
wacana pluralisme pada dasarnya t erletak pada perbedaan dalam memahami
pluralisme itu sendiri. Istilah Islam yang diberikan tanda kutip ditekankan
sebagai bentuk peniscayaan tentang pluralisme itu sendiri. Berbicara mengenai Islam
dari aspek manapun,
biasanya membicarakan sesuatu
yang banyak atau beragam.
Ajiz Azmeh sebagaimana dikutip
Luthfi Assyaukanie menyebutkan tidak ada
satu Islam, karena
Islam selalu tampil
dengan wajah yang
banyak. Berangkat dari pandangan
tersebut Luthfi kemudian
menegaskan bahwa apa
yang disebut Islam ideal
sesungguhnya tidak ada,
yang ada hanyalah
Islam Sunni, Islam Syiah, Islam NU dan lain-lain.[11] Bagi
kalangan yang cenderung liberal, keaneragaman wajah Islam tersebut dipandang
sebagai sebuah keniscayaan, mengingat
Islam telah melewati sejarah selama
lima belas abad
hingga mengalami perkembangan
yang demikian jauh melampaui Islam awal.[12]
Mengingat
Islam memiliki wajah yang beragam
(plural), maka tidak berpotensi mengemukakan pandangan (repon) Islam terhadap
pluralisme hanya pada satu
pandangan saja, akan
tetapi berupaya mengedepankan
keduanya (yang menentang maupun
yang menerima). Namun demikian, sekali
lagi perlu ditekankan bahwa perbedaan keduanya terjadi karena perbedaan dalam
memaknai pluralisme itu sendiri.
Kelompok yang menolak
pluralisme agama memahami
pluralisme agama tersebut sebagai
pahak yang berupaya
menyamakan seluruh agama
yang ada, sebaliknya kelompok
yang menerima tidak demikian. Karenanya, dalam perdebatan tentang pluralisme
agama boleh jadi
keduanya sedang mempersoalkan
satu terminologi dengan barang yang berbeda.
Pluralisme
merupakan sebuah keniscayaan
pada masyarakat yang plural
karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan. Indonesia merupakan
sebuah sampel masyarakat
yang plural, dan
sejatinya pluralisme
merupakan satu hal
yang tidak perlu
ditolak, termasuk oleh
umat Islam sebagai masyarakat
dominan yang menghuni
bumi Indonesia. Umat
Islam bahkan tidak dapat
memungkiri bahwa pluralitas
merupakan fakta nyata.
Tidak
ada pluralisme tanpa
pluralitas, demikian sebaliknya,
pluralitas mustahil dibangun tanpa
pluralisme, yang akan
lahir justur disintegrasi
jika masyarakat yang plural tidak
dibungun atas sebuah pemahaman
yang sama ditengah aneka macam perbedaan.
Karenanya, bagi masyarakat
yang plural, pluralisme mestilah menjadi sebuah keharusan.
Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan
terhadap pluralisme oleh umat Islam
yang hidup ditengah
masyarakat yang plural,
terlebih Indonesia. MUI misalnya, sebagai lembaga tempat
berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas sebagai
sebuah keniscayaan, namun
tetap mengharamkan pluralisme (agama) sebagai
faham yang harus
dihindari umat Islam.[13]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sepanjang
yang pernah pemakalah
baca dan coba
pahami, beberapa tokoh pluralis ternyata
mengkonsentrasikan pemikiran dan
sikap pluralismenya pada beberapa
persoalan yang berbeda,
sungguhpun masih memiliki
keterkaitan satu dengan yang
lainnya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu
menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang
lainnya. Pluralisme diyakini lahir
sebagai gejala sosiologis―seperti ditegaskan pada bagian terdahulu―dengan
kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah keniscayaan.
Karenanya, perlu dibangun
sebuah kesepemahaman guna menghindari konflik dan benturan dalam
interaksi individu maupun kelompok.
Menurut hemat pemakalah, pluralisme dan
relativisme – atau sejenisnya, mestilah menjadi
dua persoalan yang
harus dapat dibedakan.
Pluralisme berangkat dari kesadaran bahwa
perbedaan itu merupakan
sebuah keniscayaan, kita
hanya dapat berafilisai dengan
komunitas yang berbeda
tadi dengan menjadikan
pluralisme sebagai titik tolaknya.
Akan tetapi relativisme
justru sebaliknya, menganggap semuanya sama.
Substansi pluralisme sendiri
adalah “toleransi” dalam
melakukan interaksi satu sama lain.
B. KRITIK SARAN
Demikianlah makalah ini pemakalah buat,
kritik dan saran dari kawan-kawan merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi
makalah ini.
Terima kasih atas segala perhatian, mohon
maaf bilamana ada kesalahan, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
DAFTAR PUSAKA
Rahardjo, Dawam . “Islam dan
Multikulturalisme” dalam Buletin
Kebebasan, Edisi No 2/Tahun 20007.
http://en/wikipedia.org/pluralism.htm,
diakses Mei 2015
Kimball, Charles. When Religion Becomes
Evil, (New York: HarperSanFrancisco,
2002).
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan
bagi Agamaagama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
(Encyclopaedia Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd),
Vol. 2.
B.
Clendenin, Daniel. Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995).
Husaini,
Adian. Wajah Peradaban Barat:
Dari Hegemoni Kristen
ke Dominasi SekularLiberal, (Jakarta:GIP, 2005).
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin dan
Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Assyaukanie, Luthfi. Wajah Liberal Islam di Indonesia. (Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2002).
Misrawi, Zuhairi
dan Novriantoni. Doktrin Islam Progresif:
Memahami Islam Sebagai
Ajaran Rahmat. [cetakan kedua]. Jakarta: 2005).
Fatwa
MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005.
[1] Dawam Rahardjo, “Islam dan Multikulturalisme” dalam
Buletin Kebebasan, Edisi No 2/Tahun
20007, h: 3-7
[3] Charles Kimball, When Religion Becomes Evil,
(New York: HarperSanFrancisco, 2002).
[4] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi
Agamaagama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 17
[5] Ibid hal 21-22
[7] Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords:
Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995). Hal. 12.
[9] Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat: Dari Hegemoni
Kristen ke Dominasi SekularLiberal,
(Jakarta:GIP, 2005).
[11] Luthfi Assyaukanie. 2002. Wajah Liberal Islam di
Indonesia. Jakarta: Jaringan Islam Liberal, hlm:158
[12]
Zuhairi Misrawi dan Novriantoni. Doktrin Islam
Progresif: Memahami Islam
Sebagai Ajaran Rahmat.
[cetakan kedua]. Jakarta: 2005)
[13]
Fatwa MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005
No comments:
Post a Comment