Tuesday, May 17, 2016

Makalah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam tentang Pluralisme



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Plulraisme adalah  Suatu Kajian terhadap  Islam dan Isu-isu Kontemporer, merupakan tajuk yang dipilih untuk menjelaskan tema “Islam dan Isu-isu  Pluralisme”.  Persoalan  yang  muncul  kemudian  bukanlah  terletak  pada  tepat atau  tidaknya  tajuk  ini  dipilih  untuk  mengangkat  tema  pluralisme  sebagai  salah  isu kontemporer. Akan  tetapi,  problem  yang  lebih  krusial sebenarnya terletak pada tepat atau tidaknya plurlisme diposisikan sebagai salah satu dari  isu-isu  kontemporer.
Karena pluralisme cenderung dimaknai negatif  sebagai  paham  menyamakan  seluruh  agama,  maka  ada  semacam kecenderungan menarik istilah tersebut pada terminologi lain yang lebih tepat, yaitu “Multikulutalisme”,  karena  memang  terminologi  pluralisme  dimaksud  tidak  dapat dimaknai  secara  parsial  sebagaimana  yang  banyak  muncul  di  tengah  masyarakat Islam.
Melihat  pluralisme  tidak  tepat  di  posisikan  sebagai  isu  kontemporer oleh karena isu ini merupakan isu yang hangat diperbincangan pada pada era 1990-an hingga  awal  tahuan  2000-an.  Sesungguhnya  masih  banyak  isu  yang  lebih  tepat dikategorikan  sebagai  isu  kontemporer,  seperti  isu  kebebasan  beragama  dan berkeyakinan yang  sebenarnya  masih  dikaitkan  juga  dengan  paham  pluralisme.[1]
Berkaitan  dengan  pemaknaan  pluralisme  itu  sendiri. Ketika  tema  Islam  dan  pluralisme  diangkat  ke  permukaan,  maka  ia  akan  menyulut perdebatan  panjang.  Istilah  “perdebatan”  tentu  menggambarkan  adanya  dua pandangan  yang  berbeda,  dan  tentu  saja  perbedaan  tersebut  memiliki  argumentasi masing-masing. Hal ini dapat berarti bahwa pluralisme bukan merupakan faham yang ditentang  oleh  seluruh  umat  Islam  dan  bukan  pula  sebaliknya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah definisi pluralisme dan penyebarannya?
2.      Bagaimana sejarah penyebaran pluralisme?
3.      Bagaimana Respon Islam Terhadap Pluralisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI PLURALISME
Tidak  ada  rumusan  yang  tunggal  tentang  makna pluralisme,  karenanya  terminologi  ini  menjadi  longgar  untuk  ditarik  ke  wilayah manapun.  Sebagian pendapat memandang bahwa pluralisme merupakan terminologi yang  terambil  dari  ranah  Sosiologis,  dan  sebagian  yang  lain  berpendapat  bahwa terminologi ini terambil dari ranah filsafat.  Terlepas dari perbedaan keduanya, satu hal  yang  tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  pluralisme  merupakan  terminologi  untuk menunjukkan paham kemajemukan.
Dalam  Wikipedia  berbahasa  Inggris  disebutkan  “In  the  social  sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance  of  each  other,  that  they  fruitfully  coexist  and  interact  without  conflict  or assimilation”.[2] Berdasarkan  pengertian  tersebut,  dapat  dipahami  bahwa  pluralisme dalam  ilmu  sosial  merupakan  konsep  pemahaman  tentang  kehidupan  majemuk (plural)  yang  harus  ditata  sedemikian  rupa  untuk  menciptakan  suasana  saling menghargai  dan  menghormati  guna  menghindari  konflik.
Dalam  wacana  yang  berkembang  berikutnya,  pluralisme  ternyata  tidak  saja menyentuh  ranah  filsafat  dan  sosiologi,  akan  tetapi  pembahasannya  juga  turut menyentuh wilayah teologi. Pluralisme  Agama  (Religious  Pluralism)  adalah  istilah  khusus  dalam  kajian agama­agama.  Sebagai  ‘terminologi  khusus’,  istilah  ini  tidak  dapat  dimaknai sembarangan,  misalnya  disamakan  dengan  makna  istilah  ‘toleransi’,  ‘saling menghormati’  (mutual  respect),  dan  sebagainya.  Sebagai  satu  paham  (isme),  yang membahas cara pandang terhadap agama­agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama­agama (religious studies).
Dan  memang, meskipun  ada  sejumlah  definisi  yang bersifat  sosiologis,  tetapi yang  menjadi  perhatian  utama  para  peneliti dan  tokoh­tokoh  agama  adalah  definisi Pluralisme  yang  meletakkan  kebenaran  agama­agama  sebagai  kebenaran  relatif  dan menempatkan  agama­agama  pada  posisi  ”setara”,  apapun  jenis  agama  itu.  Bahkan, sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
Pluralisme  Agama  yang  dibahas  dalam  buku ini  didasarkan  pada  satu  asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama­sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut  penganut  paham ini,  semua  agama  adalah jalan yang berbeda­beda menuju Tuhan  yang sama. Atau, mereka  menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[3]
B.     SEJARAH PENYEBARAN PLURALISME
Paham  ini  telah  menyerbu  semua  agama. Klaim­klaim  kebenaran  mutlak  atas masing­masing  agama  diruntuhkan,  karena  berbagai  sebab  dan  alasan.  Di  kalangan Yahudi,  misalnya,  muncul  nama  Moses  Mendelsohn  (1729­1786),  yang  menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar sama luas bukan hanya melalui agama Yahudi seperti umat manusia itu sendiri.[4] Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama  yang benar  adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi.[5]
Salah  satu  teolog  Kristen  yang  terkenal sebagai  pengusung  paham  ini,  Ernst Troeltsch,  mengemukakan tiga sikap populer terhadap agama­agama,  yaitu (1) semua agama adalah relatif. (2) Semua agama, secara esensial adalah sama. (3) Semua agama memiliki asal­usul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan “relatif”, ialah bahwa semua  agama  adalah  relatif,  terbatas,  tidak  sempurna,  dan  merupakan  satu  proses pencarian. Karena  itu,  kekristenan  adalah  agama  terbaik  untuk  orang  Kristen,  Hindu adalah  terbaik untuk  orang Hindu. Motto  kaum  Pluralis ialah: “pada intinya, semua agama  adalah sama,  jalan­jalan  yang  berbeda  yang  membawa ke  tujuan  yang  sama. (Deep down, all religions are the same – different paths leading to the same goal).”[6]
Dalam  tradisi  Kristen,  dikenal  ada  tiga  cara  pendekatan  atau  cara  pandang teologis terhadap agama lain. Pertama, eksklusivisme, yang memandang hanya orang­orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatkan. Di luar itu tidak selamat. Kedua, inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga, pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama­sama sah menuju inti dari  realitas  agama.  Dalam  pandangan  Pluralisme  Agama,  tidak  ada  agama  yang dipandang  lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama­sama sah menuju Tuhan (all the religious traditions of humanity are equally valid paths to the same core of religious reality. In pluralism, no one religion is superior to any other; the many religions are considered equally valid ways to know God).[7]
John  Hick    salah  satu  tokoh  utama  kristen paham  religious  pluralism  ­­ mengajukan  gagasan  pluralisme  sebagai  pengembangan  dari  inklusivisme.  Bahwa, agama adalah jalan yang berbeda­beda menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia mengutip Jalaluddin Rumi yang menyatakan: “The lamps are different but the light is the same;  it  comes from beyond.” Menurut  Hick,  the Real  yang  merupakan “the  final object  of religious  concern”,  adalah  merupakan  konsep  universal.  Di  Barat,  kadang digunakan istilah “ultimate reality”; dalam istilah Sansekerta dikenal dengan “sat”; dalam Islam dikenal istilah al­haqq.[8]
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen­Barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik­Protestan, (2) Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang ‘terpesona’ oleh Barat atau memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk dalam hal cara pandang terhadap agama­agama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agama­agama lain. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku­buku di perguruan tinggi.[9]
Sebagai  contoh,  tokoh  pembaruan  Islam  di  Indonesia,  Prof.  Dr.  Nurcholish Madjid, menyatakan,  bahwa  ada  tiga  sikap  dialog  agama  yang  dapat diambil.  Yaitu, pertama,  sikap eksklusif dalam melihat  agama lain (Agama­agama  lain adalah  jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama­agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam­macam rumusan, misalnya: “Agama­agama lain adalah jalan yang sama­sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “agama­agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran­kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan  bagian  penting  sebuah  Kebenaran”.  Lalu,  tulis  Nurcholish  lagi, “Sebagai  sebuah  pandangan  keagamaan,  pada  dasarnya  Islam  bersifat  inklusif  dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perennial yang  belakangan  banyak  dibicarakan  dalam  dialog  antar  agama  di  Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari­jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh  karena  itu  ada istilah  "Satu  Tuhan  Banyak  Jalan".”  Nurcholish    Madjid  juga menulis: "Jadi Pluralisme  sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat  Allah, "Sunnatullah")  yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari."[10]
C.     RESPON ISLAM TERHADAP PLURALISME
Jika pluralisme  agama pada mulanya merupakan wacana yang berkembang di dunia Kristen, pertanyaan yang cukup  akurat dikemukakan adalah: bagaimana respon Islam terhadapnya?.  Pada prinsipnya, secara sederhana pertanyaan ini telah terjawab melalui  paparan  terdahulu,  bahwa  di  dunia  Islam  ada  kelompok  yang  menolak pluralisme  tapi  ada  juga  yang  menerima,  bahkan  membelanya.  Kelompok  yang menolak  pluralisme  agama  memiliki  argumen  tersendiri  yang  secara  nyata disandarkan  kepada  Al  Qur’an.  Demikian  halnya  kelompok  yang  menerima pluralisme,  mereka juga memiliki argumentasi tersendiri yang jelas-jelas disandarkan kepada  Al  Qur’an  yang  sama.  Pertanyaan  (awam)  yang  kemudian  muncul  adalah: mana yang benar dari keduanya? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan prinsip-prinsip “pluralisme”,  maka  kemungkinan  jawaban  yang  akan  diterima  adalah:  keduanya benar, dan atau, keduanya biasa saja benar tapi bisa juga salah.
Perbedaan  pandangan  yang  terjadi  di  dunia  Islam terkait bagaimana “Islam” merespon wacana pluralisme pada dasarnya t erletak pada perbedaan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Istilah Islam yang diberikan tanda kutip ditekankan sebagai bentuk peniscayaan tentang pluralisme itu sendiri. Berbicara mengenai  Islam  dari  aspek  manapun,  biasanya  membicarakan  sesuatu  yang  banyak atau  beragam.  Ajiz  Azmeh sebagaimana  dikutip  Luthfi  Assyaukanie  menyebutkan tidak  ada  satu  Islam,  karena  Islam  selalu  tampil  dengan  wajah  yang  banyak. Berangkat  dari  pandangan  tersebut  Luthfi  kemudian  menegaskan  bahwa  apa  yang disebut  Islam  ideal  sesungguhnya  tidak  ada,  yang  ada  hanyalah  Islam  Sunni,  Islam Syiah, Islam NU dan lain-lain.[11] Bagi kalangan yang cenderung liberal, keaneragaman wajah Islam tersebut dipandang sebagai sebuah keniscayaan,  mengingat Islam telah melewati  sejarah  selama  lima  belas  abad  hingga  mengalami  perkembangan  yang demikian jauh melampaui Islam awal.[12]
Mengingat  Islam memiliki wajah  yang beragam (plural), maka tidak berpotensi mengemukakan pandangan (repon) Islam terhadap pluralisme hanya pada satu  pandangan  saja,  akan  tetapi  berupaya  mengedepankan  keduanya  (yang menentang maupun yang menerima).  Namun demikian, sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbedaan keduanya terjadi karena perbedaan dalam memaknai pluralisme itu sendiri.  Kelompok  yang  menolak  pluralisme  agama  memahami  pluralisme  agama tersebut  sebagai  pahak  yang  berupaya  menyamakan  seluruh  agama  yang  ada, sebaliknya kelompok yang menerima tidak demikian. Karenanya, dalam perdebatan tentang  pluralisme  agama  boleh  jadi  keduanya  sedang  mempersoalkan  satu terminologi dengan barang yang berbeda.
Pluralisme  merupakan  sebuah  keniscayaan  pada masyarakat yang plural  karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan. Indonesia  merupakan  sebuah  sampel  masyarakat  yang  plural,  dan  sejatinya pluralisme  merupakan  satu  hal  yang  tidak  perlu  ditolak,  termasuk  oleh  umat  Islam sebagai  masyarakat  dominan  yang  menghuni  bumi  Indonesia.  Umat  Islam  bahkan tidak  dapat  memungkiri  bahwa  pluralitas  merupakan  fakta  nyata.
Tidak  ada  pluralisme  tanpa  pluralitas,  demikian  sebaliknya,  pluralitas mustahil  dibangun  tanpa  pluralisme,  yang  akan  lahir  justur  disintegrasi  jika masyarakat yang  plural  tidak  dibungun atas  sebuah pemahaman yang sama ditengah aneka  macam  perbedaan.  Karenanya,  bagi  masyarakat  yang  plural,  pluralisme mestilah menjadi sebuah keharusan.
Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan terhadap pluralisme oleh umat Islam  yang  hidup  ditengah  masyarakat  yang  plural,  terlebih  Indonesia.  MUI misalnya, sebagai lembaga tempat berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas  sebagai  sebuah  keniscayaan,  namun  tetap  mengharamkan  pluralisme (agama)  sebagai  faham  yang  harus  dihindari  umat  Islam.[13]
                                                                    BAB III                                             
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Sepanjang  yang  pernah  pemakalah  baca  dan  coba  pahami,  beberapa  tokoh pluralis  ternyata  mengkonsentrasikan  pemikiran  dan  sikap  pluralismenya  pada beberapa  persoalan  yang  berbeda,  sungguhpun  masih  memiliki  keterkaitan  satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang lainnya. Pluralisme diyakini  lahir sebagai gejala sosiologis―seperti ditegaskan pada bagian terdahulu―dengan kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah  keniscayaan.  Karenanya,  perlu  dibangun  sebuah  kesepemahaman  guna menghindari konflik dan benturan dalam interaksi individu maupun kelompok.
Menurut hemat pemakalah, pluralisme dan relativisme – atau sejenisnya, mestilah menjadi  dua  persoalan  yang  harus  dapat  dibedakan.  Pluralisme  berangkat  dari kesadaran  bahwa  perbedaan  itu  merupakan  sebuah  keniscayaan,  kita  hanya  dapat berafilisai  dengan  komunitas  yang  berbeda  tadi  dengan  menjadikan  pluralisme sebagai  titik  tolaknya.  Akan  tetapi  relativisme  justru  sebaliknya,  menganggap semuanya  sama.  Substansi  pluralisme  sendiri  adalah  “toleransi”  dalam  melakukan interaksi satu sama lain.
B.     KRITIK SARAN
Demikianlah makalah ini pemakalah buat, kritik dan saran dari kawan-kawan merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.
Terima kasih atas segala perhatian, mohon maaf bilamana ada kesalahan, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
DAFTAR PUSAKA
Rahardjo, Dawam . “Islam dan Multikulturalisme” dalam Buletin  Kebebasan, Edisi No 2/Tahun 20007.
http://en/wikipedia.org/pluralism.htm, diakses Mei 2015
Kimball, Charles. When Religion Becomes Evil, (New York:  HarperSanFrancisco, 2002).
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi Agama­agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
(Encyclopaedia  Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd), Vol. 2.
B. Clendenin, Daniel. Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995).
Husaini, Adian. Wajah Peradaban  Barat:  Dari  Hegemoni  Kristen  ke  Dominasi  Sekular­Liberal,  (Jakarta:GIP,  2005).
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Assyaukanie, Luthfi. Wajah Liberal Islam di Indonesia. (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002).
Misrawi, Zuhairi dan Novriantoni. Doktrin  Islam  Progresif:  Memahami  Islam  Sebagai  Ajaran  Rahmat.  [cetakan kedua]. Jakarta: 2005).
Fatwa MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005.


[1] Dawam Rahardjo, “Islam dan Multikulturalisme” dalam Buletin  Kebebasan, Edisi No 2/Tahun 20007, h: 3-7
[2] http://en/wikipedia.org/pluralism.htm, diakses Mei 2015
[3] Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York:  HarperSanFrancisco, 2002).
[4] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama­agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 17
[5] Ibid hal 21-22
[6] (Encyclopaedia  Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd), Vol. 2.
[7] Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995). Hal. 12.
[8] The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, hal. 332.
[9] Adian Husaini, Wajah Peradaban  Barat:  Dari  Hegemoni  Kristen  ke  Dominasi  Sekular­Liberal,  (Jakarta:GIP,  2005).
[10] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.
[11] Luthfi Assyaukanie. 2002. Wajah Liberal Islam di Indonesia. Jakarta: Jaringan Islam Liberal, hlm:158
[12] Zuhairi Misrawi dan Novriantoni. Doktrin  Islam  Progresif:  Memahami  Islam  Sebagai  Ajaran  Rahmat.  [cetakan kedua]. Jakarta: 2005)
[13] Fatwa MUI No. 7/ Munas VII/ MUI Tahun 2005

No comments:

Post a Comment