Saturday, May 14, 2016

Makalah Tafsif Ayat Aqidah Ayat tentang Kufur



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam mengungkap masalah kekafiran, al Qur’an menggunakan beberapa macam istilah. Yang terbanyak adalah term kufr dengan ishtisqaq (kata jadian)nya yang terulang sebanyak 525 kali. Dari kurf ni’mat, kufr nifaq, kufr syirk dan banyak lainnya. Kita ketahui juga penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini.
Kata kufr yang dalam Al Qur’an sebut dari mulai cerita orang kafir zaman dahulu, bagaimana laknat Allah, dan banyak lagi tersebut membuat suatu pembahasan yang panjang dari berbagai ulama’ dan mufassir. Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha sedikit membahas tafsir ayat tematik tentang kufur.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa itu kufr?
2.    Sebutkan salah satu ayat tentang Kufr!
3.    Bagaimana penafsiran ayat tersebut menurut Tafsir Al Misbah?












BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kufur
Salah satu esensi kufr dalam Al Qur’an adalah menutup nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan(segala sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran ajaran Nya yang disampaikan melalui rasul rasulNya.[1]
Secara semantis, term kufr mempunyai keterkaitan kuat dengan term lain dalam al Qur’an yang mengandung etika buruk. Term term yang, selain term kufr sendiri adalah: juhud,ilhad, inkar, dan syirk. Sedangkan term term lain yang secara tidak langsung dan implicit, mengandung makna kekafiran adalah: fusuq, dzulm, fujur, ijram, dalal dan ghayi, fasad, i’tida, israf, isyan, kibr(takabbur, istikbar), kidzb, dan ghaflat. Term term ini bila muncul dalam bentuk isim fa’il, umumnya merujuk pada orang kafir. Hal ini membuktikan bahwa kufr adalah term yang berdimensi banyak, dapat dilihat dari segala aspek makna, dan sekalius menempati posisi sentral dari seluruh etika jahat dalam Islam.[2]
Di dalam al Qur’an, perintah dan dorongan untuk meniliti alam semesta beberapa kali ditujukan kepada orang kafir yang mendustakan al Qur’an disuruh untuk melihat dan memikirkan bagaimana langit dibangun dengan sempurna tanpa cela dan bagaimana kokohnya dan indahnya bumi yang dipasok dengan gunung gunung dan ditanami dengan aneka macam tanaman yang elok di pandang mata. Di ayat lain, Tuhan menjelaskan bahwa terhadap orang orang kafir tu, akan diperlihatkan tanda tanda kebesaran dan kekuasaan Nya disegenap ufuk dan pada diri mereka sendirri sehingga jelaslah bagi meeka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Secara tidak langsung, orang orang kafir dihimbau untuk meniliti proses penciptaan alam semesta ini dengan harapan mereka dapat sampai pada titik iman.[3]
B.  Ayat Tentang Kufur
1. Surat Al-Baqarah ayat 6-7
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ   خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ      
‘’Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan ada penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih.’’
Kebiasaan memadukan dua hal yang bertentangan dalam al Qur’an ditempuh dalam ayat ini, salah satu tujuannya adalah untuk menghidangkan perbandingan antara keduanya sehingga mendengarnya tertarik mengarah hal yang bersifat positif. Yakni setelah menyebut sifat sifat orang bertakwa dijelaskannya sifat orang orang kafir. Setelah membahas betapa petunjuk al Qur’an bermanfaat untuk orang yang bertakwa, dijelaskan disini betapa petujuk petunjuk tidak bermanfaat untuk orang orang kafir sehingga, baik diberi peringatan maupun tidak, tetap saja mereka dalam kekufuran.
Dengan menggunakan makna kepastian yaitu (sesungguhnya) menegaskan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir yakni orang-orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran Allah swt dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini adalah mereka yang dalam pengetahuan Allah tidak akan mungkin beriman seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain.
Ayat ini bukan berbicara tentang semua orang yang kafir tetapi orang kafir yang kekufurannya telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga tidak lagi mungkin akan berubah. Ayat ini menunjuk kepada mereka yang keadaannya telah diketahui Allah sebelum, pada saat, dan sesudah datnagnya ajakan beriman kepada mereka.
Penggunaan kata yang megandung makna kepastian yaitu inna/sesungguhnya agaknya menghilangkan keraguan, yang boleh jadi timbul dari kandungan ayat ini, akibat keinginan luar biasa yang menghiasi diri Nabi dan sahabat-sahabat beliau menyangkut keislaman kaum musyrikin.
Al-Qur’an menggunakan istilah kufur untuk berbagai makna. Sementara ulama’ menguraikan lima macam kekufuran, yaitu apa yang mereka namakan kiufur juhud yang terdiri dari dua macam kekufuran, pertama, mereka yang tidak mengakui wujud Allah seperti: hal-haalnya orang-orang ateis dan orang-orang komunis, sedangkan kufur juhud yang kedua,  mereka yang mengetahui kebenaran tetapi menolaknya, antara lain larena dengki dan iri hati kepada pembawa kebenaran ini. Ketiga, kufr ni’mah dalam arti tidak mensyukuri nikmat Allah, keempat, kufur dengan meninggalakan atau tidak mengerjakan, dan yang kelima, kufr baa’ah dalam arti tidak merestui dan berlepas diri.
Kekufuran dapat terjadi antara lain karena ketidaktahuan atau pengingkaran terhadap wujud Allah Tuhan Yang Maha Esa atau melakukan suatu tindakan, ucapan, atau perbuatan yang disepakati oleh ulama’ berdasar pada dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an ddan sunnah bahwa tindakan tersebut identik dengan kekufuran, seperti menginjak-injak al-Qur’an sujud kepada berhala, dan lain-lain. Sementara ulama’ mendefinisakan kekufuran dengan “pelanggaran khusus terhadap kesucian Tuhan akibat ketidak tahuan tentang Allah dan sifat sifatNya atau akibat kedurhakaan kepadaNya.[4]
2.    Surat Al-Kafirun ayat 1-6
Prinsip lain yang diterapkan al Qur’an dalam membina hubungan keagaamaan dengan non muslim adalah tertutupnya kemungkinan untuk bekerja sama dalam masalah masalah yang langsung menyangkut ibadah mahdhoh dan akidah. Ketika Muhammad SAW di ajak oleh kaum musyrikin Makkah untuk berkompromi dan bekerja sama dalam menyembah Allah dan tuhan tuhan mereka, secara bergilir al Qur’an menolak secara tegas ajakan itu dengan turunnya surat al Kafirun di bawah ini:[5]
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ    لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ    وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ    وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ    وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ   لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
‘’ Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (Q.S al Kafirun :1-6)
Ayat 1-2
Kata Qul/katakanlah ini untuk menunjukan bahwa Rasul saw tidak mengurangi sedikit pun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi lahirlah kelihatannya kata itu tidak berfungsi.
Kata al-Kafirun terambil dari kata kafara yang pada mulanya berarti menutup. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut untuk bebagai makna yang masing-masing dapat difahami sesuai dengan kalimat dan konteksnya. Kata ini dapat berarti:
·         Yang mengingkari keEsaan Allah dan kerasulan Muhammad saw
·         Yang tidak mensyukuri nikmat Allah
·         Yidak mengamalkan tuntunan ilahi walau mempercayainya 
Yang dimaksud dengan orang-orang kafir pada ayat petama surat ini adalah tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keEsaan Allah serta tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw.
Ayat 3
Ayat ketiga ini mengisyaratkan bahwa mereka itu tidak akan mengabdi ataupun taat kepada Allah Tuhan yang sekarang dan yang akan datang. Peryataan ayat ini tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah yaitu berduyun-duyunya penduduk Mekkah yang tadinya kafir itu memeluk agama islam dan menyembah apa yang disembah oleh Rasul saw karena ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir Mekkah yang ketika itu datang kepada Rasul saw menawarkan kompromi dan yang dalam kenyataan sejarah tidak memeluk agama islam bahkan sebagian dari mereka mati terbunuh dalam kekufurannya.
Ayat 1-3 di atas berpesan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk menolak secara tegas usul kaum musyrikin. Bahkan, lebih dari itu, tetapi juga menegaskan bahwa tidak mungkin ada titik temu antara Nabi SAW dan tokoh tokoh tersebut karena kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka. Kekeraskepallaan mereka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan atau kemungkinan, baik masa kini maupun masa datang, untuk bekerja sama dengan mereka.
Ayat 4-5
Para mufassir berpendapat bahwa kandungan surat ini tidak berbeda dengan kandungan ayat 2 demikian juga dengan kandungan ayat 5 dengan ayaat 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa kesulitan Anda akan dapat melihat perbedaan redaksi ayat 2 dan ayat 4. Ayat 2 dan 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi SAW tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada sembahan sembahan mereka, baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang pernah mereka sembah kemarin.
Adapun perbedaan ayat ketida dan kelima yang redaksinya persis sama. Keduanya berbunyi: wa la antum ‘abidua ma a’bud, sementara ulama membedakannya dengan member arti yang berbeda terhadap kata “ma” pada masing masing ayat. Menurut mereka, “ma”pada ayat ketiga, berarti “apa yang” sehingga berarti kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan akan saya sembah. Sedangkan “ma”pada ayat kelima adalah mashdariyah sehingga kedua ayat ini berbicara tentang cara beribadat: “aku tidak pernah menjadi penyembah dengan cara penyembahan kamu, kamu sekalipun tidak akan menjadi penyembah penyembah dengan cara penyembahanku”.
Memang, ada tuntutan agama yang mulanya bersumber dari ajaran Ibrahim a.s yang diamalkan oleh Nabi SAW dan di amalkan pula oleh orang musyrik Makkah, tetapi dengan melakukan perubahan dalam tata cara pelaksanaannya, salah satu di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji. Cara kaum muslimin menymbah adalah berdasarkan petunjuk Ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka. Demikianlah terlihat jelas bahwa tidak ada pengulangan dalam ayat di atas.
Ayat 6
Kata din/agama atau balasan atau kepatuhan. Sementara ulama memahami kata tersebut dalam arti balasan. Antara lain dengan alas an bahwa kaum musyrikin Mekkah tidak memiliki agama. Mereka memahaminya dalam arti masing-masing kelompok akan menerima balasan yang sesuai.
Didahulukannya kata lakum dan liya berfungsi menggambarkan kekhusyuan, karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allah.
Ayat diatas merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga dengan demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakan pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. [6]
















BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Kekufuran dapat terjadi antara lain karena ketidaktahuan atau pengingkaran terhadap wujud Allah Tuhan Yang Maha Esa atau melakukan suatu tindakan, ucapan, atau perbuatan yang disepakati oleh ulama’ berdasar pada dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an ddan sunnah bahwa tindakan tersebut identik dengan kekufuran, seperti menginjak-injak al-Qur’an sujud kepada berhala, dan lain-lain. Sementara ulama’ mendefinisakan kekufuran dengan “pelanggaran khusus terhadap kesucian Tuhan akibat ketidak tahuan tentang Allah dan sifat sifatNya atau akibat kedurhakaan kepadaNya.
al Qur’an menerapkan prinsip dalam membina hubungan keagaamaan antara muslim dan non muslim dengan tertutupnya kemungkinan untuk bekerja sama dalam masalah masalah yang langsung menyangkut ibadah mahdhoh dan akidah. Ketika Muhammad SAW di ajak oleh kaum musyrikin Makkah untuk berkompromi dan bekerja sama dalam menyembah Allah dan tuhan tuhan mereka, secara bergilir al Qur’an menolak secara tegas ajakan itu dengan turunnya surat al Kafirun.
B.  PENUTUP
Demikianlah makalah ini yang dapat penulis hadirkan. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at dan menambah pengetahuan penulis khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.
Penulis menyadari ketidak sempurnaan dan banyaknya kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat di harapkan untuk perbaikan makalah ini




DAFTAR ISI
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991)
Sihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an) Jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Sihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an) Jilid I5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)


[1] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal 26
[2] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal 229
[3] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta:91, Hal 114
[4] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid I, Jakarta: Lentera Hati, 2002., Hal, 115-118 
[5] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal 215
[6] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid I5, Jakarta: Lentera Hati, 2002., Hal 678-685

No comments:

Post a Comment