BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam mengungkap masalah kekafiran, al Qur’an menggunakan beberapa macam
istilah. Yang terbanyak adalah term kufr dengan ishtisqaq
(kata jadian)nya yang terulang sebanyak 525 kali. Dari kurf ni’mat, kufr nifaq, kufr syirk dan banyak lainnya. Kita
ketahui juga penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar
dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat
besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang
terkandung dalam kitab suci ini.
Kata kufr yang
dalam Al Qur’an sebut dari mulai cerita orang kafir zaman dahulu, bagaimana
laknat Allah, dan banyak lagi tersebut membuat suatu pembahasan yang panjang
dari berbagai ulama’ dan mufassir. Dalam makalah yang singkat ini penulis
berusaha sedikit membahas tafsir ayat tematik tentang kufur.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu kufr?
2.
Sebutkan salah satu ayat tentang Kufr!
3.
Bagaimana penafsiran ayat tersebut menurut Tafsir Al Misbah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kufur
Salah satu esensi kufr dalam Al Qur’an adalah menutup nutupi nikmat dan
kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan(segala sumber kebenaran) maupun
kebenaran dalam arti ajaran ajaran Nya yang disampaikan melalui rasul rasulNya.[1]
Secara
semantis, term kufr mempunyai keterkaitan kuat dengan term lain dalam al Qur’an
yang mengandung etika buruk. Term term yang, selain term kufr sendiri adalah:
juhud,ilhad, inkar, dan syirk. Sedangkan term term lain yang secara tidak
langsung dan implicit, mengandung makna kekafiran adalah: fusuq, dzulm, fujur,
ijram, dalal dan ghayi, fasad, i’tida, israf, isyan, kibr(takabbur, istikbar),
kidzb, dan ghaflat. Term term ini bila muncul dalam bentuk isim fa’il, umumnya
merujuk pada orang kafir. Hal ini membuktikan bahwa kufr adalah term yang
berdimensi banyak, dapat dilihat dari segala aspek makna, dan sekalius
menempati posisi sentral dari seluruh etika jahat dalam Islam.[2]
Di dalam al Qur’an, perintah dan dorongan untuk meniliti alam semesta
beberapa kali ditujukan kepada orang kafir yang mendustakan al Qur’an disuruh
untuk melihat dan memikirkan bagaimana langit dibangun dengan sempurna tanpa
cela dan bagaimana kokohnya dan indahnya bumi yang dipasok dengan gunung gunung
dan ditanami dengan aneka macam tanaman yang elok di pandang mata. Di ayat
lain, Tuhan menjelaskan bahwa terhadap orang orang kafir tu, akan diperlihatkan
tanda tanda kebesaran dan kekuasaan Nya disegenap ufuk dan pada diri mereka
sendirri sehingga jelaslah bagi meeka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Secara tidak langsung, orang orang kafir dihimbau untuk meniliti
proses penciptaan alam semesta ini dengan harapan mereka dapat sampai pada
titik iman.[3]
B. Ayat Tentang
Kufur
1. Surat
Al-Baqarah ayat 6-7

‘’Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan atau tidak engkau beri
peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka, dan pada penglihatan ada penutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat pedih.’’
Kebiasaan
memadukan dua hal yang bertentangan dalam al Qur’an ditempuh dalam ayat ini,
salah satu tujuannya adalah untuk menghidangkan perbandingan antara keduanya
sehingga mendengarnya tertarik mengarah hal yang bersifat positif. Yakni
setelah menyebut sifat sifat orang bertakwa dijelaskannya sifat orang orang
kafir. Setelah membahas betapa petunjuk al Qur’an bermanfaat untuk orang yang
bertakwa, dijelaskan disini betapa petujuk petunjuk tidak bermanfaat untuk
orang orang kafir sehingga, baik diberi peringatan maupun tidak, tetap saja
mereka dalam kekufuran.
Dengan menggunakan makna kepastian yaitu (sesungguhnya) menegaskan bahwa
sesungguhnya orang-orang kafir yakni orang-orang yang menutupi tanda-tanda
kebesaran Allah swt dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini
adalah mereka yang dalam pengetahuan Allah tidak akan mungkin beriman seperti
Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain.
Ayat ini bukan berbicara tentang semua orang yang kafir tetapi orang kafir
yang kekufurannya telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga tidak lagi
mungkin akan berubah. Ayat ini menunjuk kepada mereka yang keadaannya telah
diketahui Allah sebelum, pada saat, dan sesudah datnagnya ajakan beriman kepada
mereka.
Penggunaan kata yang megandung makna kepastian yaitu inna/sesungguhnya
agaknya menghilangkan keraguan, yang boleh jadi timbul dari kandungan ayat ini,
akibat keinginan luar biasa yang menghiasi diri Nabi dan sahabat-sahabat beliau
menyangkut keislaman kaum musyrikin.
Al-Qur’an
menggunakan istilah kufur untuk berbagai makna. Sementara ulama’ menguraikan
lima macam kekufuran, yaitu apa yang mereka namakan kiufur juhud yang terdiri
dari dua macam kekufuran, pertama, mereka yang tidak mengakui wujud Allah
seperti: hal-haalnya orang-orang ateis dan orang-orang komunis, sedangkan kufur
juhud yang kedua, mereka yang mengetahui
kebenaran tetapi menolaknya, antara lain larena dengki dan iri hati kepada
pembawa kebenaran ini. Ketiga, kufr ni’mah dalam arti tidak mensyukuri nikmat
Allah, keempat, kufur dengan meninggalakan atau tidak mengerjakan, dan yang
kelima, kufr baa’ah dalam arti tidak merestui dan berlepas diri.
Kekufuran dapat
terjadi antara lain karena ketidaktahuan atau pengingkaran terhadap wujud Allah
Tuhan Yang
Maha Esa atau melakukan suatu tindakan, ucapan, atau perbuatan yang disepakati
oleh ulama’ berdasar pada dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an ddan sunnah
bahwa tindakan tersebut identik dengan kekufuran, seperti menginjak-injak
al-Qur’an sujud kepada berhala, dan lain-lain. Sementara ulama’ mendefinisakan
kekufuran dengan “pelanggaran khusus terhadap kesucian Tuhan akibat ketidak
tahuan tentang Allah dan sifat sifatNya atau akibat kedurhakaan kepadaNya.[4]
2.
Surat Al-Kafirun
ayat 1-6
Prinsip lain yang diterapkan al Qur’an dalam
membina hubungan keagaamaan dengan non muslim adalah tertutupnya kemungkinan
untuk bekerja sama dalam masalah masalah yang langsung menyangkut ibadah
mahdhoh dan akidah. Ketika Muhammad SAW di ajak oleh kaum musyrikin Makkah
untuk berkompromi dan bekerja sama dalam menyembah Allah dan tuhan tuhan
mereka, secara bergilir al Qur’an menolak secara tegas ajakan itu dengan
turunnya surat al Kafirun di bawah ini:[5]





‘’
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku". (Q.S al Kafirun :1-6)
Ayat 1-2
Kata Qul/katakanlah ini untuk menunjukan bahwa Rasul saw tidak
mengurangi sedikit pun dari wahyu yang beliau terima, walaupun dari segi
lahirlah kelihatannya kata itu tidak berfungsi.
Kata al-Kafirun terambil dari kata kafara yang pada mulanya berarti
menutup. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut untuk bebagai makna yang
masing-masing dapat difahami sesuai dengan kalimat dan konteksnya. Kata ini
dapat berarti:
·
Yang mengingkari keEsaan Allah dan
kerasulan Muhammad saw
·
Yang tidak mensyukuri nikmat Allah
·
Yidak mengamalkan tuntunan ilahi walau
mempercayainya
Yang dimaksud dengan orang-orang kafir pada ayat petama surat ini adalah
tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keEsaan Allah serta tidak
mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw.
Ayat 3
Ayat ketiga ini mengisyaratkan bahwa mereka itu
tidak akan mengabdi ataupun taat kepada Allah Tuhan yang sekarang dan yang akan
datang. Peryataan ayat ini tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah yaitu
berduyun-duyunya penduduk Mekkah yang tadinya kafir itu memeluk agama islam dan
menyembah apa yang disembah oleh Rasul saw karena ayat ini ditujukan kepada
orang-orang kafir Mekkah yang ketika itu datang kepada Rasul saw menawarkan kompromi
dan yang dalam kenyataan sejarah tidak memeluk agama islam bahkan sebagian dari
mereka mati terbunuh dalam kekufurannya.
Ayat 1-3 di atas berpesan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk menolak secara
tegas usul kaum musyrikin. Bahkan, lebih dari itu, tetapi juga menegaskan bahwa
tidak mungkin ada titik temu antara Nabi SAW dan tokoh tokoh tersebut karena
kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka.
Kekeraskepallaan mereka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan
atau kemungkinan, baik masa kini maupun masa datang, untuk bekerja sama dengan
mereka.
Ayat 4-5
Para mufassir berpendapat bahwa kandungan surat ini tidak berbeda dengan
kandungan ayat 2 demikian juga dengan kandungan ayat 5 dengan ayaat 3. Pendapat
ini kurang tepat karena tanpa kesulitan Anda akan dapat melihat perbedaan
redaksi ayat 2 dan ayat 4. Ayat 2 dan 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi SAW
tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada sembahan sembahan mereka,
baik yang mereka sembah hari ini dan besok maupun yang pernah mereka sembah
kemarin.
Adapun perbedaan ayat ketida dan kelima yang redaksinya persis sama.
Keduanya berbunyi: wa la antum ‘abidua ma a’bud, sementara ulama membedakannya
dengan member arti yang berbeda terhadap kata “ma” pada masing masing ayat. Menurut mereka, “ma”pada ayat ketiga, berarti “apa
yang” sehingga berarti kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan
akan saya sembah. Sedangkan “ma”pada ayat kelima adalah mashdariyah sehingga
kedua ayat ini berbicara tentang cara beribadat: “aku tidak pernah menjadi
penyembah dengan cara penyembahan kamu, kamu sekalipun tidak akan menjadi
penyembah penyembah dengan cara penyembahanku”.
Memang, ada tuntutan agama yang mulanya
bersumber dari ajaran Ibrahim a.s yang diamalkan oleh Nabi SAW dan di amalkan
pula oleh orang musyrik Makkah, tetapi dengan melakukan perubahan dalam tata
cara pelaksanaannya, salah satu di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji.
Cara kaum muslimin menymbah adalah berdasarkan petunjuk Ilahi, sedang cara
mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka. Demikianlah terlihat jelas bahwa
tidak ada pengulangan dalam ayat di atas.
Ayat 6
Kata din/agama atau balasan atau kepatuhan. Sementara ulama memahami
kata tersebut dalam arti balasan. Antara lain dengan alas an bahwa kaum
musyrikin Mekkah tidak memiliki agama. Mereka memahaminya dalam arti
masing-masing kelompok akan menerima balasan yang sesuai.
Didahulukannya kata lakum dan liya berfungsi menggambarkan kekhusyuan,
karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu
dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah sembahan kalian
setahun agar kalian menyembah pula Allah.
Ayat diatas merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik bagi kamu
agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga dengan demikian masing-masing pihak
dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakan
pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan
masing-masing. [6]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kekufuran dapat
terjadi antara lain karena ketidaktahuan atau pengingkaran terhadap wujud Allah
Tuhan Yang
Maha Esa atau melakukan suatu tindakan, ucapan, atau perbuatan yang disepakati
oleh ulama’ berdasar pada dalil-dalil yang pasti dari Al-Qur’an ddan sunnah
bahwa tindakan tersebut identik dengan kekufuran, seperti menginjak-injak
al-Qur’an sujud kepada berhala, dan lain-lain. Sementara ulama’ mendefinisakan
kekufuran dengan “pelanggaran khusus terhadap kesucian Tuhan akibat ketidak
tahuan tentang Allah dan sifat sifatNya atau akibat kedurhakaan kepadaNya.
al Qur’an menerapkan prinsip dalam membina hubungan
keagaamaan antara muslim dan non muslim dengan tertutupnya kemungkinan untuk
bekerja sama dalam masalah masalah yang langsung menyangkut ibadah mahdhoh dan
akidah. Ketika Muhammad SAW di ajak oleh kaum musyrikin Makkah untuk berkompromi
dan bekerja sama dalam menyembah Allah dan tuhan tuhan mereka, secara bergilir
al Qur’an menolak secara tegas ajakan itu dengan turunnya surat al Kafirun.
B.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini yang dapat penulis hadirkan. Semoga makalah ini dapat bermanfa’at
dan menambah pengetahuan penulis khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.
Penulis
menyadari ketidak sempurnaan dan banyaknya kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat di harapkan untuk perbaikan
makalah ini
DAFTAR ISI
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991)
Sihab, M. Quraish,
Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an) Jilid I, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002)
Sihab, M.
Quraish,
Tafsir Al-Misbah (pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an) Jilid I5, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002)
[1] Harifuddin
Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal 26
[2] Harifuddin Cawidu,
Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal
229
[3] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu
Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Dana Bhakti Prima Yasa,
Jakarta:91, Hal 114
[4] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, Dan Keserasian
Al-Qur’an) Jilid I, Jakarta: Lentera Hati, 2002., Hal, 115-118
[5] Harifuddin Cawidu,
Konsep Kufur Dalam Al Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1991, Hal
215
[6] M. Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, Dan Keserasian
Al-Qur’an) Jilid I5, Jakarta: Lentera Hati, 2002., Hal
678-685
No comments:
Post a Comment