Friday, May 13, 2016

Makalah Tafsir Klasik TAFSIR (JAWAHIRUL QUR’AN) Imam al-Ghozali




TAFSIR (JAWAHIRUL QUR’AN) 



Pengarang Imam al-Ghozali
Pentahqiq dr. syekh Muhammad rasyid rido al qobbani
Cetakan ke-3 (1411 h / 199 m)
Percetakan darul ihya’ ulum Beirut Lebanon
Jumlah Halaman (215 H)

1.      Biografi dan Pendidikannya
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali[1].
Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun. Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi[2]. 
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar[3]. ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian[4].  
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah. Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal[5].
Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk[6].
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, sehingga simpati masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan[7].
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
a.    Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b.    Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c.    kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d.   tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e.    Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f.     Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya[8].
 2. metodologi tafsir imam al ghozali
Menurut Dr. Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Imam al-Ghazali merupakan salah seorang yang paling gigih menyebarluaskan ide tafsir ilmi ditengah-tengah perkembangan ilmu pemgetahuan Islam[9]. Beliau menguraikan secara panjang lebar argumentasinya ini dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Dengan mengutip pendapat Ibnu Mas’ud ia mengatakan: “Siapa yang ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian renungkanlah al-Qur’an”. Menurutnya “Bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir zahirnya saja”. Lebih lanjut ia mengatakan :
“Seluruh ilmu tercakup dalam af’al Allah, dan sifat-sifat-Nya. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya dan di dalam al-Qur;an terdapat petunjuk pada keseluruhannya. Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap al-Qur’an. Semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan tentang semua yang menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan pemikiran, di dalam al-Qur’an terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya di fahami oleh orang yang mengerti… Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna al-Qur’an terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi al-Qur’an pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan”[10].
Dalam kutipan di atas, dapat di pahami bahwa al-Ghazali berusaha menunjukkan kepada kita (baca: umat Islam), bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al dan sifat-sifat-Nya, yang hanya dapat ditemukan oleh orang-orang yang memahaminya.
Lebih lanjut al-Ghazali membahas tentang pengertian menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Menurutnya yang di maksud bukanlah membatasi tafsir al-Qur’an pada apa yang manqul dan masmu’, ia mengemukakan beberapa alasan mengenai hal ini; pertama, kalau yang manqul memang dari Rosulullah saw, kita harus menerimanya, tapi kalau hanya sekedar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud misalnya, kita boleh saja menolak, karena tafsir mereka juga tafsir bi al-Ra’y; kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an, semuanya tidaklah mungkin dari Nabi saw; ketiga, sesungguhnya Rosulullah saw berdo’a agar Ibnu Abbas r.a difakihkan dalam agama dan diajari ta’wil, kalau ta’wil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan do’a itu, keempat, Allah SWT berfirman : tentulah mengetahuinya, orang-orang yang menarik istinbath dari mereka (QS. 4 : 83), ini berarti bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath itu tidak mungkin masmu’; maka bolehlah orang melakukan penyimpulan al-Qur’an sesuai dengan kadar kemampuan pemahamannya dan batas akalnya[11].
Dengan demikian apa yang dimaksudkan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, menurut al-Ghazali adalah berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian mena’wilkan al-Qur’an sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujjah untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan al-Qur’an, tanpa sama sekali memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam al-Qur’an tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang turki tetapi tidak memahami bahasa Turki[12].
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung sesuatu kecuali tafsir[13].
3. contoh penafsiran imam ghozali
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,(QS. Asy-Syu’araa: 80).
“Obat” dan “penyakit” menurut al-Ghozali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung dibidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran[14].
 4. komentar ulama terhadap tafsir ilmiy/imam ghozali
Dalam kaitanya dengan pembahasan tafsir ilmi, dikalangan para ulama tafsir - baik ulama-ulama dahulu maupun sekarang - terdapat dua kubu yang saling kontroversial. Di satu pihak mengakui akan keberadaan tafsir ilmi dan di lain pihak menolaknya. Mereka yang mengakui tafsir ilmi berpendapat bahwa dalam al-Qur’an mencakup seluruh bentuk pengetahuan dan unsur-unsur dasar seluruh ilmu-ilmu kealaman. Sementara yang menolak tafsir ilmi berpendapat bahwa al-Qur’an adalah semata-mata kitab hidayah dan didalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Untuk lebih jauhnya di bawah ini akan dibahas argumen dari dari masing-masing kelompok.
A. Kelompok Yang Menerima Tafsir Ilmi
Corak tafsir ‘ilmy adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern, dimana seorang mufassir ingin menggali hubungan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang ini. Sejauhmana paradigma-paradigma ilmiyah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur’an. Corak penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Benihnya bermula pada Dinasti Abbasiyah[15], khususnya pada masa pemerintahan kholifah al-Ma’mun.
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung sesuatu kecuali tafsir[16].
Penilaian yang sama juga di berikan oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam kitabnya al-Manar, dimana ia, menurut penilaian Ignaz Galziher, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an mencakup segala hakekat ilmiyah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khususnya di bidang filsafat dan sosiologi[17].  Di samping itu, hal semacam ini juga telah dilakukan oleh mufasir ilmi seperti Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi[18], Jalaluddin as-Suyuthi[19],  Al-Baidawi[20], dan mufasir-mufasir ilmi lainnya, baik yang tergolong dalam mufasir klasik maupun kontemporer.
B. Kelompok Yang Menolak Tafsir Ilmi
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa mereka yang menolak tafsir ilmi, oleh karena kitab suci al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw yang selanjutkan untuk disampaikan kepada umatnya bukanlah untuk menerangkan tentang teori-teori ilmiyah, problem-problem seni serta aneka warna ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia berfungsi sebagai kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Di antara salah seorang yang sangat gigih menetang terhadap keberadaan tafsir ilmi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Dia mengatakan bahwa “anna al-Qur’an lam Yasqud fih” (al-Qur’an tidak diturunkan dengan maksud tersebut)[21]. Karena ulama’ salaf tentu lebih mengetahui tentang kandungan al-Qur’an, tetapi kenyataan tidak seorangpun di antara mereka yang berpendapat seperti tersebut di atas, kita –menurut as-Syatibi lebih lanjut- tidak boleh memahami al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka.
C. Kelompok Yang Moderat Terhadap Tafsir Ilmi
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa ulasan atau argumen yang di kemukakan oleh al-Ghazali tentang kandungan al-Qur’an yang mencakup segala ilmu pengetahuan, sangatlah berlebih-lebihan dan agaknya sukar untuk difahami, karena meskipun diyakini ilmu tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-ilmu-Nya telah dituangkan dalam al-Qur’an?. Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya?. Hal ini tentulah berbeda antara ilmu dan kalam, karena tidak semua yang di ketahui itu diucapkan.
Syekh Mustafa al-Maraghi dalam pengantar kitab “Al-Islam wa At-Tib al-Hadis” karya Abd al-Azis Ismail Pasya, ia mengatakan:
“Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kitab suci ini mencakup seluruh ilmu pengetahuan (sains) baik secara rinci atau ringkas, dengan gaya buku teks-teks. Hanya saja saya mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip ilmu, dalam artian seorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan-bantuan prinsip-prinsip terserbut, adalah kewajiban para ilmuwan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakatnya… Adalah penting untuk tidak memperluas makna ayat sejauh itu agar kita dapat menafsirkannya dalam sorotan sains, juga seorang tidak boleh melebih-lebihkan penafsiran fakta-fakta ilmiyah, sehingga dapat cocok dengan ayat al-Qur’an. Bagaimanapun, jika makna lahiriyah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiyah yang telah mantap, kita menafsirkannya dengan bantuan fakta itu”[22].
Tidak ada salahnya bagi kita untuk mengakui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita tentang hikmah-hikmah dan rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kawniyah, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti pemahaman bangsa Arab, karena al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia kapan dan dimanapun dia berada. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari al-Qur’an, sebatas kemampuan dan kebutuhannya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai tuntunan. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu’jizatannya.






[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii
[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  hal. 215
[3]Mu’askar adalah suatu lapangan luas di dekat Kota Naishabur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer oleh Nizam al-Muluk
[4] Ibid.
[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 40.
[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal.148

[7] Ibid.
[8] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali…,  hal.10
[9] Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-tafsir fi ‘Ashr al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1393 H, hlm. 247
[10] Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 341
[11] Ibid., hlm. 342-343
[12] http://ichwanzt.blogspot.com/
[13] Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 251-252
[14] Al-Ghozali. Jawahir Al-Qur’an Cet. 1. (Mesir: Percetakan Kordistan, 1329 H) hlm. 31-32

[15] Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 245.
[16] ibid., hlm. 251-252
[17] Ignaz Golziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamiy, as-Sunnah al-Muhammadiyah, Cairo, 1995, hlm. 375
[18]Imam Badr al-Din Muhammad Bin Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. II, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, Cairo, 1957, hlm. 153-155
[19]jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Damaskus, 1979, hlm. 125-126
[20] Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 252-253
[21] ibid., hlm. 300
[22] Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 143

No comments:

Post a Comment