TAFSIR (JAWAHIRUL
QUR’AN)
Pengarang Imam al-Ghozali
Pentahqiq dr. syekh
Muhammad rasyid rido al qobbani
Cetakan ke-3 (1411 h
/ 199 m)
Percetakan darul
ihya’ ulum Beirut Lebanon
Jumlah Halaman (215
H)
1. Biografi dan
Pendidikannya
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin
Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah
Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali
adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli
tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya
yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali.
Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya
hidup dan belajar Imam Ghazali[1].
Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat
kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun. Pada
masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad
bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh
al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke
Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai
beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika),
falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain
mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi[2].
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali
meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar[3].
ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al
Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu
yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali
pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi
Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di
perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang
serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang
jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian[4].
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan
tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli
hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak
berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa,
baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di
antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah
pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik
Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang
sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib
al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand,
Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah
Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah. Ketiga orang tersebut di atas,
bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak
memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang
terkenal[5].
Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang
ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang
pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang
ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah
(dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk
menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror
aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap
Perdana Menteri Nidham Al-Muluk[6].
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di
minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam
dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan,
kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan
karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah
(tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir)
yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah
masyarakat umum, sehingga simpati masyarakat terhadap
pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah
gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah
ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan[7].
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa
besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup
berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami
pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan,
mengenai daerah yang pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan
antara lain:
a. Ketika ia di Baghdad, ia
pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b. Ia meninggalkan kota
Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk
berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan
hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia menuju ke
Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para
Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d. tidak lama kemudian ia
meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib,
terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun
berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran
Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo),
iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat
ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart
(1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum
Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia
mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal
di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam
rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan
Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia
kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus
untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih
Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya[8].
2.
metodologi tafsir imam al ghozali
Menurut Dr. Abd al-Majid Abd al-Salam
al-Muhtasib, Imam al-Ghazali merupakan salah seorang yang paling gigih menyebarluaskan
ide tafsir ilmi ditengah-tengah perkembangan ilmu pemgetahuan Islam[9].
Beliau menguraikan secara panjang lebar argumentasinya ini dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Dengan mengutip pendapat Ibnu Mas’ud ia
mengatakan: “Siapa yang ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian
renungkanlah al-Qur’an”. Menurutnya “Bagaimana mungkin kita memperolehnya
dengan hanya tafsir zahirnya saja”. Lebih lanjut ia mengatakan :
“Seluruh ilmu tercakup dalam af’al Allah, dan
sifat-sifat-Nya. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya,
af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya dan di dalam
al-Qur;an terdapat petunjuk pada keseluruhannya. Upaya untuk mendalami
perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap al-Qur’an. Semata-mata
tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan tentang semua yang
menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan
pemikiran, di dalam al-Qur’an terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya
di fahami oleh orang yang mengerti… Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman
terhadap makna al-Qur’an terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan
bahwa membatasi al-Qur’an pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir
pengetahuan”[10].
Dalam kutipan di atas, dapat di pahami bahwa
al-Ghazali berusaha menunjukkan kepada kita (baca: umat Islam), bahwa al-Qur’an
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya
diungkapkan af’al dan sifat-sifat-Nya, yang hanya dapat ditemukan oleh
orang-orang yang memahaminya.
Lebih lanjut al-Ghazali membahas tentang
pengertian menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Menurutnya yang di maksud bukanlah membatasi tafsir al-Qur’an pada apa yang
manqul dan masmu’, ia mengemukakan beberapa alasan mengenai hal ini; pertama,
kalau yang manqul memang dari Rosulullah saw, kita harus menerimanya, tapi
kalau hanya sekedar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud misalnya, kita boleh saja
menolak, karena tafsir mereka juga tafsir bi al-Ra’y; kedua, para sahabat
mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat-ayat
al-Qur’an, semuanya tidaklah mungkin dari Nabi saw; ketiga, sesungguhnya
Rosulullah saw berdo’a agar Ibnu Abbas r.a difakihkan dalam agama dan diajari
ta’wil, kalau ta’wil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan
dengan do’a itu, keempat, Allah SWT berfirman : tentulah mengetahuinya,
orang-orang yang menarik istinbath dari mereka (QS. 4 : 83), ini berarti bahwa
ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath itu tidak mungkin
masmu’; maka bolehlah orang melakukan penyimpulan al-Qur’an sesuai dengan kadar
kemampuan pemahamannya dan batas akalnya[11].
Dengan demikian apa yang dimaksudkan dengan
menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, menurut al-Ghazali adalah berlaku pada
orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian
mena’wilkan al-Qur’an sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada
hujjah untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku
bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan al-Qur’an, tanpa sama sekali
memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab,
maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam al-Qur’an tanpa memahami
kandungan maknanya dalam bahasa Arab. Tak ubahnya seperti orang yang mengaku
dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang turki tetapi tidak memahami
bahasa Turki[12].
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung
oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih
al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala ilmu
pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan
al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung
sesuatu kecuali tafsir[13].
3. contoh penafsiran
imam ghozali
Dan apabila aku
sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,(QS. Asy-Syu’araa: 80).
“Obat” dan “penyakit”
menurut al-Ghozali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung
dibidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang
ilmu kedokteran[14].
4. komentar ulama terhadap tafsir ilmiy/imam ghozali
Dalam kaitanya dengan pembahasan tafsir ilmi,
dikalangan para ulama tafsir - baik ulama-ulama dahulu maupun sekarang -
terdapat dua kubu yang saling kontroversial. Di satu pihak mengakui akan
keberadaan tafsir ilmi dan di lain pihak menolaknya. Mereka yang mengakui
tafsir ilmi berpendapat bahwa dalam al-Qur’an mencakup seluruh bentuk
pengetahuan dan unsur-unsur dasar seluruh ilmu-ilmu kealaman. Sementara yang
menolak tafsir ilmi berpendapat bahwa al-Qur’an adalah semata-mata kitab
hidayah dan didalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Untuk lebih jauhnya
di bawah ini akan dibahas argumen dari dari masing-masing kelompok.
A. Kelompok Yang Menerima Tafsir Ilmi
Corak tafsir ‘ilmy adalah cara menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern,
dimana seorang mufassir ingin menggali hubungan ayat-ayat kauniyah yang
terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa
sekarang ini. Sejauhmana paradigma-paradigma ilmiyah itu memberikan dukungan
dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu
pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa
turunnya al-Qur’an. Corak penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an bukanlah
merupakan sesuatu yang baru. Benihnya bermula pada Dinasti Abbasiyah[15], khususnya pada masa pemerintahan kholifah al-Ma’mun.
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung
oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya
Mafatih al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala
ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi,
kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan
al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung
sesuatu kecuali tafsir[16].
Penilaian yang sama juga di berikan oleh Muhammad
Rasyid Ridha dalam kitabnya al-Manar, dimana ia, menurut penilaian Ignaz
Galziher, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an mencakup segala hakekat ilmiyah
yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khususnya di
bidang filsafat dan sosiologi[17].
Di samping itu, hal semacam ini juga
telah dilakukan oleh mufasir ilmi seperti Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah
az-Zarkasyi[18],
Jalaluddin as-Suyuthi[19], Al-Baidawi[20],
dan mufasir-mufasir ilmi lainnya, baik yang tergolong dalam mufasir klasik
maupun kontemporer.
B. Kelompok Yang Menolak Tafsir Ilmi
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa
mereka yang menolak tafsir ilmi, oleh karena kitab suci al-Qur’an diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad saw yang selanjutkan untuk disampaikan kepada umatnya
bukanlah untuk menerangkan tentang teori-teori ilmiyah, problem-problem seni
serta aneka warna ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur’an diturunkan kepada umat
manusia berfungsi sebagai kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Di antara salah seorang yang sangat gigih
menetang terhadap keberadaan tafsir ilmi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa
as-Syatibi al-Andalusi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Dia
mengatakan bahwa “anna al-Qur’an lam Yasqud fih” (al-Qur’an tidak diturunkan
dengan maksud tersebut)[21].
Karena ulama’ salaf tentu lebih mengetahui tentang kandungan al-Qur’an, tetapi
kenyataan tidak seorangpun di antara mereka yang berpendapat seperti tersebut
di atas, kita –menurut as-Syatibi lebih lanjut- tidak boleh memahami al-Qur’an
kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan
mereka.
C. Kelompok Yang Moderat Terhadap Tafsir Ilmi
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa ulasan
atau argumen yang di kemukakan oleh al-Ghazali tentang kandungan al-Qur’an yang
mencakup segala ilmu pengetahuan, sangatlah berlebih-lebihan dan agaknya sukar
untuk difahami, karena meskipun diyakini ilmu tuhan tidak terbatas, namun
apakah seluruh ilmu-ilmu-Nya telah dituangkan dalam al-Qur’an?. Dan apakah
setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok
disiplin ilmu tersebut di dalamnya?. Hal ini tentulah berbeda antara ilmu dan
kalam, karena tidak semua yang di ketahui itu diucapkan.
Syekh Mustafa al-Maraghi dalam pengantar kitab
“Al-Islam wa At-Tib al-Hadis” karya Abd al-Azis Ismail Pasya, ia mengatakan:
“Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa
kitab suci ini mencakup seluruh ilmu pengetahuan (sains) baik secara rinci atau
ringkas, dengan gaya buku teks-teks. Hanya saja saya mengatakan bahwa al-Qur’an
mengandung prinsip-prinsip ilmu, dalam artian seorang dapat menurunkan seluruh
pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin
diketahuinya dengan bantuan-bantuan prinsip-prinsip terserbut, adalah kewajiban
para ilmuwan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan rincian
yang diketahui pada masanya kepada masyarakatnya… Adalah penting untuk tidak
memperluas makna ayat sejauh itu agar kita dapat menafsirkannya dalam sorotan
sains, juga seorang tidak boleh melebih-lebihkan penafsiran fakta-fakta
ilmiyah, sehingga dapat cocok dengan ayat al-Qur’an. Bagaimanapun, jika makna
lahiriyah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiyah yang telah mantap,
kita menafsirkannya dengan bantuan fakta itu”[22].
Tidak ada salahnya bagi kita untuk mengakui
cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita tentang hikmah-hikmah dan
rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kawniyah, mengingat ayat-ayat itu tidak
hanya dapat dipahami seperti pemahaman bangsa Arab, karena al-Qur’an diturunkan
untuk seluruh manusia kapan dan dimanapun dia berada. Masing-masing orang dapat
menggali sesuatu dari al-Qur’an, sebatas kemampuan dan kebutuhannya, sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai
tuntunan. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji akan jelaslah
rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia
kemu’jizatannya.
[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata
Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii
[3]Mu’askar adalah suatu lapangan luas di
dekat Kota Naishabur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer oleh Nizam
al-Muluk
[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep,
Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal.148
[9] Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib,
Ittijahat al-tafsir fi ‘Ashr al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1393 H, hlm. 247
[10]
Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut,
1989, hlm. 341
[11]
Ibid., hlm. 342-343
[12]
http://ichwanzt.blogspot.com/
[13] Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 251-252
[17] Ignaz Golziher, Madzahib al-Tafsir
al-Islamiy, as-Sunnah al-Muhammadiyah, Cairo, 1995, hlm. 375
[18]Imam Badr al-Din Muhammad Bin Abd Allah
al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. II, Dar Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyyah, Cairo, 1957, hlm. 153-155
[19]jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Damaskus, 1979, hlm.
125-126
[20]
Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 252-253
[22]
Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1991,
hlm. 143
No comments:
Post a Comment