Tuesday, May 17, 2016

Makalah Studi Kitab Tafsir Klasik tentang Metode Penafsiran Kitab Ruh Al-Ma’ani Karya Imam Al-Alusi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an pada hakikatnya adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk manusia sebagai hudan li al nas dan sebagai kitab penerang agar manusia bisa keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang. Walaupun ditunrunkan di tengah-tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, akan tetapi al-Qur’an ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Dengan keberadaan al-Qur’an ditengah-tengah umat Islam, maka al-Qur’an dijadikan sebagai tolak ukur dan pembeda antara yang hak dan yang bathil. Kemudian, bermunculan karya-karya tafsir yang mana bertujuan untuk memahami isi kandungan yang ada di dalam al-Qur’an agar dapat menjawab permasalahan umat manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa,  semakin luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir maka, para mufasir pun mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda pula.  Terlepas itu semua, maka tidak etis apabila kajian-kajianya terhadap kitab-kitab tafsirnya terlewatkan. Dan perlu diketahui bahwa, sesungguhnya kajian tersebut sangat bermanfaat untuk dikaji, di teliti maupun di kritik. Karena kitab tafsir adalah salah satu produk pemikiran manusia untuk itu banyak kesalahan. Seperti contoh kitab tafsir Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an ‘Adzim wa al-sab’i al Matsani karya Al-alusi yang pantas diperhitungkan.
Sebenarnya kitab tafsir karya Al-Alusi merupakan kitab tafsir yang komprehensif, sebab beliau dalam menafsirkan kitab tersebut banyak mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya dan memilih pandapat yang kuat diantara pendapat-pendapat yang ada. Lebih komprehensifnya maka, akan dijelaskan dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Al-alusi?
2.      Bagaimana latar belakang penulisan kitab Ruh al-Ma’ani?
3.      Bagaimana deskripsi kitab Ruh al-Ma’ani?
4.      Apa Metode yang digunakan penafsiran kitab Ruhul al-Ma’ani?
5.      Bagaimana contoh penafsiran kitab Ruh al-Ma’ani?
6.      Bagaimana komentar ulama terhadap Ruh al-Ma’ani?

BAB II
PEMABAHASAN
A.    Biografi Al-alusi
Nama lengkap Al-alusi adalah Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan di dekapt daerah Kurh,Bagdad, Irak pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217 H/180 M. Al-alusi merupakan  seorang ulama Irak yang pernah menjabat mufti Baghdad, maha guru, pemikir, ahli ilmu agama dan ahli berpolemik. Keluarga al-Alusi, merupakan keluarga terpelajar di Baghdad pada abad ke-19.
Al-Alusi sendiri berasal dari kata Alus, yaitu suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat, yaitu antara Bagdad dan Syam (Syiria). Ayahnya bernama Syaikh al-Suwaidi, ia sejak muda dibimbing oleh ayahnya, namun selain itu ia juga berguru pada Syaikh Ali Suwandi dan Syaikh al-Naqsabandi. Semangatnya dalam menuntut ilmu dan karunia yang di berikan Allah dari kuatnya hafalan (dabit) yang ia punyai, kemampuan demikian juga menjadikan tambahnya ilmu termasuk dari perangkat yang menjadikan sepertri bumi yang subur yang layak untuk dipertumbuhan. Dengan demikian, dia menumbuhkan semangat bagi ilmuan yang ada di Irak. Salah satunya yaitu syeh bagian dari ulam Irak dan pemilik tafsir jami’al kabir.  Berawal ketika ia berumur sekitar 13 tahun. Ia belajar di beberapa madrasah, ia juga memberi spirit kepada penuntut ilmu lainaya.
Al-alusi banyak berhubungan dengan kedudukan keilmuan dan pekerjaan yang ada kaitanya dengan bidang keagamaan. Sehingga ia menjadi seorang mufti madzhab hanafi di tahun 1248 H. Sebelum dia memegang bidang wakaf di sekolah marjaniah lalu di bulan syawal ia menyusun tafsirnya hingga senpurna. Pada tahun 1263 H Al-Alusi mengembara ke kota konstatinopel untuk mengajukan tafsirnya kepada raja Abdul Majid Khan yang mana raja tersebut merupakan raja yang amat dikaguminya.

Al-alusi memiliki keistimewaan mampu memahami dengan cepat dan kuat dalam hafalanya sehingga ia mengutarakan rasa sukurnya dengan berkata: “aku tidak
berjanji apapun pada hatiku lalu aku menghianatinya dan aku tidak pernah mengajak fikiranku kepermasalahan yang sulit kecualia aku menaggapinya. “Begadangku untuk menghasilkan ilmu ilmu ringan bagiku, untuk bertemu dengan yang maha kaya dan indahya peluka-Nya” ini mereupakan motto hidup beliau yang amat populer. [1]
  Al-alusi banyak meninggalkan banyak Karya yang diantaranya
a.       Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika
b.      al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah Iraniyyah
c.       Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass
d.      al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan lain-lain.
Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.[2]
B.     Latar Belakang penyusunan tafsir Ruhul Ma’ani
Penyusunan kitab Ruhul Ma’ani ini, dilatar belakangi ketika al-Alusi pada suatu malam. Tepatnya malam jum’at bulan rajab tahun 1252 H. Beliau bermimpim bahwa ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi dan kemudian beliau disuruh memperbaiki bekas-bekas kerusakan tersebut. Saat itu pula beliau mengangkat salah satu tangannya ke langit dan tangan yang satunya di taruhlah di atas air. Kemudian terbangulah dari mimpi tidurnya. Setelah itu, merenunglah beliau dan ditemukanya sebuah ta’wil dari mimpinya tersebut. Dalam beberapa kitab dijelaskan bahwa mimpinya tersebut merupakan sebuah isyarat yang mana beliau disuruh untuk menyusun sebuah kitab tafsir.
Tepatnya pada malam jum’at bulan Rajab tahun 1252 H, al-Alusi mulai menyusun kitab tafsir tersebut. Kemudian al-Alusi menyelesaikannya pada malam selasa bulan rabi’ul akhir tahun 1267 H atau disusun kurang lebih hampir 15 tahun. Waktu yang cukup lama, setelah menyelesaikan menyusun kitab tafsir tersebut al-Alusi meninggal dunia.[3]
Sedangkan yang menamakan kitab tafsir ini adalah seorang perdana menteri yang bernama Ridho Pasha. Yaitu dengan nama Ruh al Ma’ani fi Tafsiril Qur’an Adzim was Sab’il Matsani yang artinya semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul matsani/ al fathihah.[4]

C.    Deskripsi kitab Ruh al-Ma’ani
Tafsir ini merupakan tafsir yang sangat luas penafsirannya, beliau mengumpulkan pendapat pendapat para mufassir terdahulu, seperti Al-Kasyaf (Zamakh Syari). Di sisi lain beliau tidak hanya mengutip dari satu pendapat akan tetapi banyak mengutip dari ilmuan-ilmuan istimewa yang pemikirannya sangat cemerlang dan banyak mengambil dari Abu Su’ud wa Baidhawi, Abi Hayan dan Al-Kasyaf. Selain itu, beliau juga mengutip balaghoh dan sastra. Seperti yang kutip Fakhur Razi berbagai banyak masalah kemudian. Al-Alusi ini juga menunjuk pada kitabnya Fakhrur Razi khusus bagian masalah Fiqi’ah yang mana masalah itu telah teringkas di madhzab Abu Hanifah.
Ada yang mengatakan bahwa tafsir ini merupakan tafsir yang besar ke 2 yang ditulis secara jelas setelah Ar-Razi. Al-Alusi ini juga merupakan penulis ke-2 yang mengikutsertakan kurang dan lebihnya dari kitab ar-Razi. Jadi setiap orang yang membaca kitab al-Alusi itu akan menetapkan bahwasanya kitab ini rujukannya sama dengan ar-Razi.
Tafsir Ruh al-Ma’ani ini terdiri dari 15 jilid, kitab ini berbahasa Arab. Tafsir ini dikarang pada tahun 1263 dan diterbitkan di Tahinah, Bulaq (cetakan I 1300 H), sedangkan untuk cetakan ke II di Baghdad, Mesir. Dalam penafsirannya tafsir ini memulai dari surat al-fatihah hingga sampai surat an-Nas. Penafsiranya lengkap 30 juz, akan tetapi yang 10 jilid tahun 1354H.
Menurut Dr. Mukhsin Abdul  bahwasanya  dalam satu sisi kitab  ini cara mengumpulkanya terdapat  bentuk-bentuk teori kepemimpinan atau politik yang penting. Dari semua tafsir-tafsir yang terdahulu, bahwasanya al-Alusi ini tidak hanya mengambil pendapat-pendapat saja. Tetapi membagi kebijaakan-kebijakan hukum yang adil di antara pendapat-pendapat yang telah di uji dan di revisi dan telah diteliti.
D.    Metodologi penafsiran kitab Tafsir Ruhul Ma’ani
Dalam metode penafsiran tafsir Ruhul ma’ani al-Alusi menggunakan metode tahlili. Yang mana metode ini adalah Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Sedangkan Mashadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi yaitu dengan cara berusaha memadukan sumber al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran Alquran dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal ini, tafsir al-Alusi digolongkankan kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ra’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah kitabnya (pada faedah yang kedua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya tersebut.[5]
Sistematika dalam menafsirkan tafsir ini, al-Alusi biasanya dengan mengunakan :
1.    menyebutkan nama surat
2.    menggolongkang ke dalam makiyah dan madaniyah
3.    juga menyebutkan pendapat-pendapat mengenai surat tersebut. Dengan menjelaskan satu penjelasan yang shahih.
4.    Kemudian menjelaskan keutamaan surat-surat tersebut dan rahasia-rahasia surat tersebut.
5.    Kemudian baru menjelaskan ayat per ayat atau kalimat per-kalimat
6.    kemudian menjelaskan Munasabah antar Ayat,
7.    dan menjelaskan azbabun nuzul ayat.[6]
E.     Contoh penafsiran tafsir Ruh al-Ma’ani


F.      Komentar Ulama terhadap Tafsir Ruh al- Ma’ani
Tafsir Ruh al- Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama yaitu tafsir yang bercorak isyari ( tafsir yang menguak dimensi makna batin yang berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil sufi) seperti tafsir al- Naisaburi. Akan tetapi, anggapan ini di bantah oleh al- Zahabi. Karena tafsir Ruh al- Ma’ani bukan tafsir yang berbentuk isyari, melaikan tafsir yang berbentuk bi al- ra’yi al- mahmud ( tafsir yng berdasar ijtihad yang terpuji).14
Meski tidak dapat diingkari, bahwa ia menafsirkan secara isyari, tetapi porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan bukan isyari.
Imam Ali al- Sabuni juga menyatakan bahwa penafsiran al- Alusi memberi pemahaman kepada tafsir isyari. Sehingga, beliau mengatakan bahwasanya tafsir al- Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang pling mulia untuk dikaji secara konferhensif dan dapat dijadikan rujukan kajian tafsir bi al- riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Kitab Ruh al- Ma’ani menurut al- Zahabi dan Abu Syuhbah merupakan kitab yang dapat menghimpun dari berbagai pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat yang beliau kutip. M. Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al- Alusi senagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan pengetahuannya. Akan tetapi, al- Alusi tidak luput dari kritikan, ada yang mengatakan bahwa ia menjiplak pendapat ulama – ulama sebelumnya, bahkan tanp merubah pendpat dari para ulama sebelumnya. [7]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut, dapat di ambil kesimpulan bahwa al- Alusi merupakan seorang ilmuan Irak, yang mana karyanya di hargai oleh Sultan Abdul Majid Khan. Sehingga, ia menjadikan para ilmuan Irak untuk bangkit dalam mengembangkan ilmunya. Ia juga mempunyai moto yang berbunyi “aku tidak berjanji apapun pada hatiku lalu aku menghianatinya dan aku tidak pernah mengajak fikiranku kepermasalahan yang sulit kecualia aku menaggapinya. “Begadangku untuk menghasilkan ilmu ilmu ringan bagiku, untuk bertemu dengan yang maha kaya dan indahya peluka-Nya”
Tafsiran yang di karang oleh al- Alusi termasuk tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bil ra’yi al-mahmudi dengan metode tahlili, meskipun ada ulamak yang menganggap bahwa itu menggunakan corak tafsir sufi. Akan tetapi, jika itu dilihat dari perspektif min bab al- taglib. Padahal anggapan itu hanya sebagai pandangan yang berlebihan terkait penafsiran al- Alusi, sebab porsi sufistiknya hanya sedikit.
 Banyak tafsir-tafsir lain, seperti tafsir al- Khanzim atau al- Tabari contohnya, tafsir al- Alusi relatif lebih selektif dalam pengutipan riwayat dan pendapat orang lain. Selain al- Qur’an dan Hadis yang di gunakan sebagai sumber hukum, al- Alusi juga menggunakan analisis linguistik dan informasi sejarawan yang dianggap akurat.
Al- Alusi merupakan seorang yang sangat selektif terhadap riwayat-riwayat israiliyat, karena beliau ingin menekuni ilmu hadis. Sehingga, idealnya seorang mufassir juga merupakan seorang muhaddis. Menurtnya, al- Qur’an dan Hadis merupakan taw’amani ( dua saudara kembar) yang tidak dapat dipisah-pisahkan ( inseparable). Sehingga keduanya perlu di pelajari dan dikaji secara seimbang.


[1] Prof.Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, Meodologi Tafsir kajian komperhensif Metode Para Ahli Tafsir. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2006) hlm 204-205                             
[2] Ibid, Hlm. 205
[3] Adz-Dzahabi , at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadis, 2005), hlm 303
[4] Al-Alusi, Ruhul Ma’ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971), hlm 4
5  Al-Alusi, Ruh al- Ma’ani, Juz 1 ( Beirut: Dar al-Fkr, 1978), h.4.
                       6 Al-Alusi, Ruhul Ma’ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971), hlm 6
               
7 Adz-Dzahabi , at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadis, 2005), hlm              
8 Ibid
9 Ali al- Shabuni, al- Tibyan fi Ulum al- Qur’an, h. 199
10 Al-Zahabi, al- Tafsir wal mufassirun, juz 1, 362-363. Lihat pula Abu Syuhba, al- Israiliyyat...,h.164

No comments:

Post a Comment