BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an pada hakikatnya adalah
kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk manusia sebagai hudan
li al nas dan sebagai kitab penerang agar manusia bisa keluar dari
kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang. Walaupun ditunrunkan di
tengah-tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, akan tetapi al-Qur’an
ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Dengan keberadaan al-Qur’an
ditengah-tengah umat Islam, maka al-Qur’an dijadikan sebagai tolak ukur dan
pembeda antara yang hak dan yang bathil. Kemudian, bermunculan karya-karya
tafsir yang mana bertujuan untuk memahami isi kandungan yang ada di dalam
al-Qur’an agar dapat menjawab permasalahan umat manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, semakin luasnya keanekaragaman karya-karya
tafsir maka, para mufasir pun mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda
pula. Terlepas itu semua, maka tidak
etis apabila kajian-kajianya terhadap kitab-kitab tafsirnya terlewatkan. Dan
perlu diketahui bahwa, sesungguhnya kajian tersebut sangat bermanfaat untuk
dikaji, di teliti maupun di kritik. Karena kitab tafsir adalah salah satu
produk pemikiran manusia untuk itu banyak kesalahan. Seperti contoh kitab
tafsir Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an ‘Adzim wa al-sab’i al Matsani karya
Al-alusi yang pantas diperhitungkan.
Sebenarnya kitab tafsir karya Al-Alusi
merupakan kitab tafsir yang komprehensif, sebab beliau dalam menafsirkan kitab
tersebut banyak mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya dan memilih
pandapat yang kuat diantara pendapat-pendapat yang ada. Lebih komprehensifnya
maka, akan dijelaskan dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi Al-alusi?
2.
Bagaimana
latar belakang penulisan kitab Ruh al-Ma’ani?
3.
Bagaimana
deskripsi kitab Ruh al-Ma’ani?
4.
Apa
Metode yang digunakan penafsiran kitab Ruhul al-Ma’ani?
5.
Bagaimana
contoh penafsiran kitab Ruh al-Ma’ani?
6.
Bagaimana
komentar ulama terhadap Ruh al-Ma’ani?
BAB II
PEMABAHASAN
A.
Biografi Al-alusi
Nama lengkap Al-alusi adalah Abu Sana’
Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan di
dekapt daerah Kurh,Bagdad, Irak pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217
H/180 M. Al-alusi merupakan seorang
ulama Irak yang pernah menjabat mufti Baghdad, maha guru, pemikir, ahli ilmu
agama dan ahli berpolemik. Keluarga al-Alusi, merupakan keluarga terpelajar di
Baghdad pada abad ke-19.
Al-Alusi sendiri berasal dari kata Alus, yaitu
suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat, yaitu antara Bagdad dan Syam (Syiria).
Ayahnya bernama Syaikh al-Suwaidi, ia sejak muda dibimbing oleh ayahnya, namun
selain itu ia juga berguru pada Syaikh Ali Suwandi dan Syaikh al-Naqsabandi.
Semangatnya dalam menuntut ilmu dan karunia yang di berikan Allah dari kuatnya
hafalan (dabit) yang ia punyai, kemampuan demikian juga menjadikan tambahnya
ilmu termasuk dari perangkat yang menjadikan sepertri bumi yang subur yang
layak untuk dipertumbuhan. Dengan demikian, dia menumbuhkan semangat bagi ilmuan
yang ada di Irak. Salah satunya yaitu syeh bagian dari ulam Irak dan pemilik
tafsir jami’al kabir. Berawal ketika ia
berumur sekitar 13 tahun. Ia belajar di beberapa madrasah, ia juga memberi
spirit kepada penuntut ilmu lainaya.
Al-alusi banyak berhubungan dengan
kedudukan keilmuan dan pekerjaan yang ada kaitanya dengan bidang keagamaan.
Sehingga ia menjadi seorang mufti madzhab hanafi di tahun 1248 H. Sebelum dia
memegang bidang wakaf di sekolah marjaniah lalu di bulan syawal ia menyusun
tafsirnya hingga senpurna. Pada tahun 1263 H Al-Alusi mengembara ke kota
konstatinopel untuk mengajukan tafsirnya kepada raja Abdul Majid Khan yang mana
raja tersebut merupakan raja yang amat dikaguminya.
Al-alusi memiliki keistimewaan mampu
memahami dengan cepat dan kuat dalam hafalanya sehingga ia mengutarakan rasa
sukurnya dengan berkata: “aku tidak
berjanji apapun pada hatiku lalu aku
menghianatinya dan aku tidak pernah mengajak fikiranku kepermasalahan yang
sulit kecualia aku menaggapinya. “Begadangku untuk menghasilkan ilmu ilmu
ringan bagiku, untuk bertemu dengan yang maha kaya dan indahya peluka-Nya” ini
mereupakan motto hidup beliau yang amat populer. [1]
Al-alusi banyak meninggalkan banyak Karya yang
diantaranya
a. Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika
b. al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah Iraniyyah
c. Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass
d. al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani
fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan lain-lain.
Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah
1270 H, dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh
sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.[2]
B. Latar Belakang penyusunan tafsir Ruhul
Ma’ani
Penyusunan kitab Ruhul Ma’ani ini, dilatar
belakangi ketika al-Alusi pada suatu malam. Tepatnya malam jum’at bulan rajab
tahun 1252 H. Beliau bermimpim bahwa ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit
dan bumi dan kemudian beliau disuruh memperbaiki bekas-bekas kerusakan
tersebut. Saat itu pula beliau mengangkat salah satu tangannya ke langit dan
tangan yang satunya di taruhlah di atas air. Kemudian terbangulah dari mimpi
tidurnya. Setelah itu, merenunglah beliau dan ditemukanya sebuah ta’wil dari
mimpinya tersebut. Dalam beberapa kitab dijelaskan bahwa mimpinya tersebut
merupakan sebuah isyarat yang mana beliau disuruh untuk menyusun sebuah kitab
tafsir.
Tepatnya pada malam jum’at bulan Rajab
tahun 1252 H, al-Alusi mulai menyusun kitab tafsir tersebut. Kemudian al-Alusi
menyelesaikannya pada malam selasa bulan rabi’ul akhir tahun 1267 H atau
disusun kurang lebih hampir 15 tahun. Waktu yang cukup lama, setelah
menyelesaikan menyusun kitab tafsir tersebut al-Alusi meninggal dunia.[3]
Sedangkan yang menamakan kitab tafsir ini
adalah seorang perdana menteri yang bernama Ridho Pasha. Yaitu dengan nama Ruh
al Ma’ani fi Tafsiril Qur’an Adzim was Sab’il Matsani yang artinya semangat
makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul matsani/ al fathihah.[4]
C. Deskripsi kitab Ruh al-Ma’ani
Tafsir ini merupakan tafsir yang sangat luas
penafsirannya, beliau mengumpulkan pendapat pendapat para mufassir terdahulu,
seperti Al-Kasyaf (Zamakh Syari). Di sisi lain beliau tidak hanya mengutip dari
satu pendapat akan tetapi banyak mengutip dari ilmuan-ilmuan istimewa yang
pemikirannya sangat cemerlang dan banyak mengambil dari Abu Su’ud wa Baidhawi,
Abi Hayan dan Al-Kasyaf. Selain itu, beliau juga mengutip balaghoh dan sastra.
Seperti yang kutip Fakhur Razi berbagai banyak masalah kemudian. Al-Alusi ini
juga menunjuk pada kitabnya Fakhrur Razi khusus bagian masalah Fiqi’ah yang
mana masalah itu telah teringkas di madhzab Abu Hanifah.
Ada yang mengatakan bahwa tafsir ini
merupakan tafsir yang besar ke 2 yang ditulis secara jelas setelah Ar-Razi.
Al-Alusi ini juga merupakan penulis ke-2 yang mengikutsertakan kurang dan
lebihnya dari kitab ar-Razi. Jadi setiap orang yang membaca kitab al-Alusi itu
akan menetapkan bahwasanya kitab ini rujukannya sama dengan ar-Razi.
Tafsir Ruh al-Ma’ani ini terdiri dari 15
jilid, kitab ini berbahasa Arab. Tafsir ini dikarang pada tahun 1263 dan
diterbitkan di Tahinah, Bulaq (cetakan I 1300 H), sedangkan untuk cetakan ke II
di Baghdad, Mesir. Dalam penafsirannya tafsir ini memulai dari surat al-fatihah
hingga sampai surat an-Nas. Penafsiranya lengkap 30 juz, akan tetapi yang 10
jilid tahun 1354H.
Menurut Dr. Mukhsin Abdul bahwasanya
dalam satu sisi kitab ini cara mengumpulkanya
terdapat bentuk-bentuk teori
kepemimpinan atau politik yang penting. Dari semua tafsir-tafsir yang
terdahulu, bahwasanya al-Alusi ini tidak hanya mengambil pendapat-pendapat
saja. Tetapi membagi kebijaakan-kebijakan hukum yang adil di antara
pendapat-pendapat yang telah di uji dan di revisi dan telah diteliti.
D. Metodologi penafsiran kitab Tafsir Ruhul
Ma’ani
Dalam metode penafsiran tafsir Ruhul
ma’ani al-Alusi menggunakan metode tahlili. Yang mana
metode ini adalah Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah
bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat
dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi
bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Sedangkan Mashadir
(sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi yaitu dengan cara berusaha
memadukan sumber al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa
riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran Alquran
dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu
dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal ini, tafsir al-Alusi
digolongkankan kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam tafsirnya lebih
mendominasi ijtihadnya atau ra’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi
muqaddimah kitabnya (pada faedah yang kedua), ia menyebutkan beberapa
penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi,
termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya tersebut.[5]
Sistematika dalam
menafsirkan tafsir ini, al-Alusi biasanya dengan mengunakan :
1. menyebutkan
nama surat
2. menggolongkang
ke dalam makiyah dan madaniyah
3. juga
menyebutkan pendapat-pendapat mengenai surat tersebut. Dengan menjelaskan satu
penjelasan yang shahih.
4. Kemudian
menjelaskan keutamaan surat-surat tersebut dan rahasia-rahasia surat tersebut.
5. Kemudian
baru menjelaskan ayat per ayat atau kalimat per-kalimat
6. kemudian
menjelaskan Munasabah antar Ayat,
E. Contoh
penafsiran tafsir Ruh al-Ma’ani
F. Komentar
Ulama terhadap Tafsir Ruh al- Ma’ani
Tafsir
Ruh al- Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama yaitu tafsir yang bercorak isyari ( tafsir yang menguak dimensi
makna batin yang berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil sufi) seperti tafsir
al- Naisaburi. Akan tetapi, anggapan ini di bantah oleh al- Zahabi. Karena
tafsir Ruh al- Ma’ani bukan tafsir yang berbentuk isyari, melaikan tafsir yang berbentuk bi al- ra’yi al- mahmud ( tafsir yng berdasar ijtihad yang
terpuji).14
Meski
tidak dapat diingkari, bahwa ia menafsirkan secara isyari, tetapi porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan bukan isyari.
Imam
Ali al- Sabuni juga menyatakan bahwa penafsiran al- Alusi memberi pemahaman kepada tafsir isyari. Sehingga, beliau mengatakan bahwasanya tafsir al- Alusi
dapat dianggap sebagai tafsir yang pling mulia untuk dikaji secara konferhensif
dan dapat dijadikan rujukan kajian tafsir bi
al- riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Kitab
Ruh al- Ma’ani menurut al- Zahabi dan Abu Syuhbah merupakan kitab yang dapat
menghimpun dari berbagai pendapat para mufassir
dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat yang
beliau kutip. M. Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al- Alusi
senagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan
pengetahuannya. Akan tetapi, al- Alusi tidak luput dari kritikan, ada yang
mengatakan bahwa ia menjiplak pendapat ulama – ulama sebelumnya, bahkan tanp
merubah pendpat dari para ulama sebelumnya. [7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut, dapat di ambil kesimpulan bahwa al- Alusi
merupakan seorang ilmuan Irak, yang mana karyanya di hargai oleh Sultan Abdul
Majid Khan. Sehingga, ia menjadikan para ilmuan Irak untuk bangkit dalam
mengembangkan ilmunya. Ia juga mempunyai moto yang berbunyi “aku tidak berjanji
apapun pada hatiku lalu aku menghianatinya dan aku tidak pernah mengajak
fikiranku kepermasalahan yang sulit kecualia aku menaggapinya. “Begadangku
untuk menghasilkan ilmu ilmu ringan bagiku, untuk bertemu dengan yang maha kaya
dan indahya peluka-Nya”
Tafsiran yang di karang oleh al- Alusi termasuk tafsir yang
menggunakan bentuk tafsir bil ra’yi
al-mahmudi dengan metode tahlili,
meskipun ada ulamak yang menganggap bahwa itu menggunakan corak tafsir sufi.
Akan tetapi, jika itu dilihat dari perspektif min bab al- taglib. Padahal anggapan itu hanya sebagai pandangan
yang berlebihan terkait penafsiran al- Alusi, sebab porsi sufistiknya hanya
sedikit.
Banyak tafsir-tafsir lain,
seperti tafsir al- Khanzim atau al- Tabari contohnya, tafsir al- Alusi relatif
lebih selektif dalam pengutipan riwayat dan pendapat orang lain. Selain al-
Qur’an dan Hadis yang di gunakan sebagai sumber hukum, al- Alusi juga
menggunakan analisis linguistik dan informasi sejarawan yang dianggap akurat.
Al- Alusi merupakan seorang yang sangat selektif terhadap
riwayat-riwayat israiliyat, karena beliau ingin menekuni ilmu hadis. Sehingga,
idealnya seorang mufassir juga merupakan seorang muhaddis. Menurtnya, al-
Qur’an dan Hadis merupakan taw’amani (
dua saudara kembar) yang tidak dapat dipisah-pisahkan ( inseparable). Sehingga
keduanya perlu di pelajari dan dikaji secara seimbang.
[1]
Prof.Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, Meodologi Tafsir kajian komperhensif Metode
Para Ahli Tafsir. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2006) hlm 204-205
[2]
Ibid, Hlm. 205
[3]
Adz-Dzahabi
, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadis, 2005), hlm 303
[4]
Al-Alusi,
Ruhul Ma’ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971), hlm 4
5 Al-Alusi, Ruh al- Ma’ani, Juz 1 ( Beirut:
Dar al-Fkr, 1978), h.4.
No comments:
Post a Comment