Pengertian syarah hadis Nabi SAW
Secara khusus, term syarah berasal dari Bahasa arab “syaraha, yashrahu,
syarhan yang berarti menjalaskan menafsirkan, menerangkan, memperluas,
mengembangkan, membuka, menguraikan, dan mengulas. Term ini sering disebut pula
sebagai keterangan tambahan (hasyisyah), atau ta’liq (catatan
tepi). Berdasarkan keterangan diatas, maka antara syarah dan tafsir mempunyai
satu pengertian dan fungsi yang sama yaitu memberikan keterangan penjelas. Term syarah
hadis merupakan hasil dari sebuah proses transformative dari istilah
yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh al hadis.[1]
Syarah hadis dari embrionya hingga masa
syurukh
1. Masa nabi SAW
Pada dasarnya embrio syarah muncul sejak zaman
rasulullah, meski pada saat itu istilah syarah belum begitu dikenal dan lebih
dikenal dengan istilah fiqh al hadis atau fahm al hadis. Praktek yang terjadi
pada masa itu adalah rasulullah menjadi tempat bersandar seluruh sahabat dalam
segala urusan, baik itu mengenai bidang keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
Di masa rasulullah hidup, hampir seluruh permasalahan ummat dapat diselesaikan
dihadapan rasulullah, karena syarah hadis pada masa rasulullah merupakan satu
kesatuan rangkaian hadis itu sendiri mengingat seluruh rekaman sahabat dari
ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan rasulullah merupakan hadis. sehingga
rasullah merupakan al syarih al awwal.
Sebagaimana contoh berikut :
a) Hadis dalam bentuk perbuatan yang diriwayatkan
oleh malik bin al huwairis bahwa nabi SAW bersabda صلوا كمارأيتموني أصلى pada hadis tersebut rasulullah
memberikan penjelasan atau syarah dalam bentuk perbuatan dan pernyataan.
b) Hadis dalambentuk pernyataan yang diriwayatkan
oleh anas bin malik bahwa rasulullah SAW bersabda أنصر أخاك ظالما أو
مظلوما [2]
2. Periode sahabat
Pada masa ini, syarah hadis belum mempunyai
bentuk sendiri, artinya apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis nabi
belum dinamai syarah melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah para
sahabat dan tabi’in adalah apa yang disandarkan kepada rasulullah.[3] Setelah rasulullah wafat,
semangat mencari hadis mengalami masa “taqlil al riwayat” hal
ini dilakukan untuk menghindari hadis-hadis yang tidak jelas sumbernya dari
rasulullah. Pada masa itu istilah syarah juga belum muncul, namun demikian
aktifitas mereka dalam memahami hadis tercermin dalam kepekaan mereka untuk
metode kritik matan dari riwayat-riwayat yang ada. Disamping itu mereka selalu
bersandar terhadap sahabat senior, seperti abu bakar, umar, usman, ali, ibnu
abbas dan lain sebagainya untuk menanyakan persoalan agama sehingga para
sahabat besar sudah mulai menginterpretasikan beberapa hadis yang dimilikinya
sesuai dengan konteks munculnya hadis tersebut.[4]
3. Periode tabi’in
Pada periode ini mereka masih belum disibukkan dengan aktifitas mensyarahi
hadis secara formal, karena disamping mareka masih mengetahui asbabul wurud
dari hadis-hadis nabi, syarah masih belum terlalu dibutuhkan pada saat itu.
Mengingat masih banyaknya para ahli hadis yang dapat dijadikan sandaran dalam
setiap persoalan yang muncul.[5]
4. Perkembangan syarah selanjutnya
1) Masa pembukuan hadis (abad II - abad III)
Sejarah berkata bahwa sejak masa pembukuan
hadis, syarah hadis meski belum marak dan resmi, namun sudah mulai nampak.
Terbukti disela-sela kesibukan ulama dalam pemilahan dan penyusunan kitab hadis
nabi kedalam bentuk yang lebih sistematis, pada periode ini ternyata sudah
mulai ditemukan kitab syarah hadis nabi (101-399H). diantaranya : ‘alam as
sunan syarah terhadap al jami’ as shahih karya abu sulaiman ahmad bin Ibrahim
bin al khaththabi al busti (w. 388H).
2) Masa penelitian hadis dan pengumpulan hadis
yang memiliki karakteristik dan kulitas husus (400- 656H an)
Pada dekade ini penulisan syarah masih dalam
kategori biasa dan belum sesemarak mungkin. Hal ini dikarenakan para ulama
masih disibukkan dengan katifitas penelitian dan pengumpulan hadis yang memilki
karakteristik dan kualitas husus. Pada masa ini ditandai dengan munculnya kitab al-Muktabis karya imam
al-Bathalyusi (444-521 H).
3) ‘Ashr al-Syurukh
Dalam sejarah ilmu hadis, pada periode inilah disebut sebagai periode
gencar-gencarnya syarah hadis, karena pada masa ini syarah hadis banyak
bermunculan dan tak terbilang jumlahnya. Fakta ini berangkat dari dua hal, pertama,
ulama sudah tidak disibukkan lagi dengan urusan hadisnya itu sendiri, karena
mereka sudah merasa cukup dengan hasil kodifikasi ulama sebelumnya. Kedua,
tradisi syarah muncul seiring dengan semakin mundurnya kaum muslimin.
Era pensyarahan ini sudah dimulai sejak tahun
656 H. Pada masa inilah para Ulama’ mengalihkan perhatiannya dari menyusun
kitab-kitab hadits menjadi menyusun kitab-kitab syarah mukhtasar, mentakhrij,
menyusun kitab athraf, dan jawa’id serta menyusun kitab hadits untuk
topik-topik tertentu. Diantara Ulama’ yang masih melakukan penyusunan kitab
hadits yang memuat hadits-hadits shahih ialah Ibnu Hibban al-Bisri,
Ibnu Huzaimah, dan al-Hakim an-Naisaburi.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih
mengarah kepada usaha mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan
terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Diantara kitab syarah hadis pada abad ke 7
hingga masa berikutnya ini antara lain:
§ Kasf
al githa’ fi syarh mukhashar al muwaththa’ karya Abu Muhammad bin Abil Qasim al-Farhuni, al-Ya’muri
at-Tunisi (w. 763H)
§ Syarhul
muwaththa’ karya Abul Majdi
Uqaili bin Athiyyah al-Qudla’I (w. 608H)
Kitab-kitab syarah hadits yang tumbuh pada
masa inihingga sekarang antara lain :
§ Fath
al ‘allam bi syarh al I’lam bi ahadis al ahkam karya Abu Yahya Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi’I al-Khazraji (825-925H)
§ Ibanah
al ahkam bi syarh bulug al maram karya Alwi Abbas al-Maliki wa Hasan Sulaiman an-Nawawi.
§ Nail
al authar min ahadis sayyid al akhyar syarh muntaqa al akbar karya Muhammmad bin Ali ibn Muhammad
asy-Syaukani (1172-1255 H)
Masa perkembangan hadits yang disebut terakhir
ini terbentang cukup ppanjang, dari mulai abad keempat hijriah dan terus
berlangsung beberapa abad kemudian sampai abad kontemporer. Dengan demikian
masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase
pertengahan dan fase modern.[8]
KESIMPULAN
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya hadis pun mampu diselamatkan
seperti halnya al-Qur’an al-Karim melewati beberapa fase untuk menuju
pelestarian literatur yang sesungguhnya. Keresahan para ulama’ terhadap
penyelewengan hadits menjadi pendorong utama untuk membukukan teks-teks hadis
dari berbagai sumber.
Seiring dengan perkembangan tersebut, pensyarahan pun dilakukan untuk
mengembangkan teks-teks tersebut agar masyarakat lebih mudah untuk memahami dan
mengetahu segala sesuatu yang dikehendakinya. Usaha yang sangat melelahkan dan
begitu panjang untuk menuju kesempurnaan ilmu pengetahuan.
Setiap perjuangan pasti menghasilkan sebuah hasil, begitu pula usaha
pensyarahan ini. Banyak karya yang muncul pada masa perkembangan ini, seperti
halnya kitab-kitab yang mensyarahi kitab-kitab hadits shahih pada masa
sebelumnya.
[1] Hasan
asy’ari ulama’I, metode tematik memahami hadis Nabi, semarang :UIN
Walisongo, 2010, hlm. 34
[2]Ibid
hlm. 37-39
[4] Al
fatih suryadilaga, metodologi syarah hadis, Yogyakarta : UIN SUKA Pers ,
2012, hlm. 6
[5] Ibid
[7] Hasan
asy’ari ulama’I, metode tematik memahami hadis Nabi, semarang :UIN
Walisongo, 2010, hlm. 49
[8] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, h.
79.
No comments:
Post a Comment