BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan yang mendasar dari
perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar peserta didik
(mahasiswa) dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf tersebut, dan dapat
mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu hingga sekarang, serta
mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari mempelajari Tasawuf itu
sendiri.
Dan tujuan khusus dalam pembuatan
makalah ini diharapkan agar peserta didik (mahasiswa ) tersebut mampu dan
mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan Ahwal , Maqamat dan Ahwal
dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan Tasawuf.[1]
Di dalam
makalah-makalah sebelumnya telah dibahas masalah pengertian dari maqomat dan
kedudukannya dalam ilmu tasawuf. Pengertian maqomat itu sendiri ialah suatu
tempat atau tingkatan dalam ilmu tasawuf. Yang berkedudukan penting dalam
pelaksanaannya. Karena maqomat sendiri berhubungan erat dengan semua amal
perbuatan manusia.
Selain itu,
beberapa macam jenis maqomatpun telah dikubas pada makalah yang sebelumnya.
Namun, macam-macam maqomat yang telah dibahas pada makalah yang sebelumnya
belumlah lengkap. Nah, di sini kami akan mencoba membahas tentang macam-macam
maqomat yang pada makalah sebelumnya belum dibahas.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja yang
termasuk dalam macam-macam maqomat ?
2.
Apa saja
pengertian dan keutamaan dari macam-macam tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Macam-Macam Maqomat
Dalam makalah sebelumnya telah disinggung tentang macam-macam
maqomat. Di mana yang membahas tentang zuhud, wiro’i, tawakal, sabar, dan
ridha. Maka di sini kami akan membahas tentang apa saja yang belum di bahas
pada makalah yang sebelumnya.
Yang
akan kami bahas di sini adalah macam-macam maqomat yang belum disinggung pada makalah
yang sebalumnya. Yaitu : khouf, roja’, mahabbah, fana’, dan ma’rifat. Yang mana
macam-macam tersebut dan yang sebelumnya saling berkaitan, serta sulit
dipisahkan dalam hal pelaksanaannya. Yang apabila dipisahkan, tidak akan
mencapai hasil yang sempurna.
2. Pengertian dan Keutamaan dari
Macam-Macam Maqomat di Atas
a. Khouf
(takut)
Khauf
adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut
Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu
yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia takut berarti gelisah, khawatir (kalau....)[2].
Pada hakikatnya, bahwa takut itu ibarat dari kepedihan dan kebakaran hati,
disebabkan terjadinya yang tidak disukai pada masa depan.
Al-Wasithi
mengatakan pula : “apabila lahirlah kebenaran kepada rahasia, niscaya tidak ada
lagi padanya keutamaan bagi harap dan takut”. Kesimpulannya, bahwa orang yang
mencintai, apabila hatinya sibuk menyaksikan yang dicintai, dengan takut
berpisah, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada penyaksian kepada
Allah. Dan sesungguhnya keterus-menerusan penyaksian itu maqom (tingkat) yang
pehabisan.[3]
Keutamaan takut
itu, menurut kadar yang membakar nafsu-syahwat. Dan menurut kadar yang mencegah
perbuatan-perbuatan maksiat dan yang menggerakkan kepada perbuatan tha’at,
menurut tingkatannya. Allah SWT berfirman :
رضى
الله عنهم و رضوا عنه ذالك لمن خشى ربه _البينه_8
“Allah ridla (senang) kepada mereka dan mereka ridla kepada
Allah. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.(QS. Al-Bayyinah : 8)
Setiap apa yang
menunjukkan kepada keutamaan ilmu itu menunjukkan kepada keutamaan takut.
Karena takut itu buah dari ilmu.[4]
b. Roja’ (harap)
Raja’ dapat berarti berharap atau
optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan
dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam
al-Qur’an:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä z`ƒÉ‹©9$#ur (#rãy_$yd (#r߉yg»y_ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# y7Í´¯»s9'ré& tbqã_ötƒ |MyJômu‘ «!$# 4 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ (البقرة:
218)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Menurut
kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi.
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati
sesuatu yang diinginkan dan disenangi.[5] Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.[6]
Ketahuilah kiranya, bahwa amal atas harap itu lebih tinggi
daripada takut. Karena hamba yang paling dekat kepada Allah Ta’alaitu yang
paling mencintai-Nya. Dan cinta itu dikerasi dengan harap.[7]
c. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan
yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan
selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah.
Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak
dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta
abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi
yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam
syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan
Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani,
Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah
adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam
pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi
harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena
keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada
Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus
merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan;
“Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku
menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu
menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu
membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena
Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku
dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian
untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada
cinta pertama dan cinta kedua.[8]
d. Fana’
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’
‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah
hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan
alam sekitarnya.
Pada maqam fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri
sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan
dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan
jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq,
apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari ma’rifat terkadang perantara itu
adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya
ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan
penyaksian kepada-Mu… Sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab
cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana’ yang setelah itu manusia
berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan
"menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah
dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan
berbicara dengan lisan Tuhan.
Realitas fana’ ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat
Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun
makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.
Fana’ ditanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana
itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah (Liqa Allah)
bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu
dengan Allah (Salik).[9]
Firman Allah yang bermaksud:
"Maka
barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia
mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam
beribadat kepada Allah”[10]
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua
kewajiban yang mesti dilaksanakan yaitu:
·
Pertamanya
mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela
dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
·
Keduanya
meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar
wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya memfanakan
diri.[11]
e. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat
yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti
pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu
yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal
yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai
rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Dengan demikian, ma’rifat
berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali
adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’
‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang
awam, ulama dan sufi.
Bagi orang awam, keyakinan akan
pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti
perkataan orang lain tanpa menyelidikinya. Bagi ulama, keyakinan akan Allah
dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas
dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu
Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan
menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan
nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap
zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di
alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman:
¬!ur ߉àfó¡o„ `tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $YãöqsÛ $\döx.ur Nßgè=»n=Ïßur Íir߉äóø9$$Î ÉA$|¹Fy$#ur (الرعد:
15)
“Hanya kepada Allah-lah sujud
(patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau
pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari”. (QS Ar-Ra’d:15)
Jadi, semua makhluk mentauhidkan
Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan
bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid
mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat
bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman
hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam
lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang
Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih
dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan
kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara
berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam
silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan
pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam
kebaqaan-Nya.[12]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/fana-dan-baqa.html, diakses 14/11/2013 pukul 20:30
http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html, diakses 14/11/2013 pukul 20:29
http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.com/2013/05/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf.html, diakses 14/11/2013 pukul 20:28
Yakub, Ismail. Ihya’ Al-Ghazali Jilid VII.
Jakarta : CV. Faizan. 1994
No comments:
Post a Comment