Sosok seorang pedoman atau panutan yang ideal yang hidup dimasa
lampau, yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam perubahan dunia. Sosok
yang diagungkan, sosok yang dimuliakan, sosok yang dihormati,dan
disanjung-sanjung oleh seluruh umat islam di dunia. Banyak orang yang
mengaplikasikannya dengan bershalawat kepadanya. Tapi, apakah hal itu cukup ?
Banyak dari kalangan cendikiawan berpendapat bahwa menghormati, mengagungkan,
memuliakan, dan menyanjung Rasulullah SAW tidak cukup hanya dengan bershalawat
kepadanya. Selain itu diperlukan untuk mengetahui sejarah hidup beliau.
Untuk itu, sebagai kaum akademisi islam, kita perlu membahas
tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam
studi “Sirah Nabawi”, yang telah menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW
mulai dari Arab pra-isalam sampai kepada masa pemboikotan kaum Quraysh terhadap
Rasullah SAW. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang umat Rasulullah SAW
dari Mekkah sampai pembatalan piagam, tahun berkabung, hijrah ke Ta’if, dan
isra’ mi’raj. Pada referensi dari buku karangan Muhammad Husain Haykal yang
berjudul “Hayat Muhammad” yang ditranslit menjadi “The Life of Muhammad” dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sejarah Hidup Muhammad”.
PEMBAHASAN
Lari dari
Mekkah sampai Pembatalan Piagam
Selama tiga tahun
berturut-turut piagam yang
dibuat pihak Quraisy
untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam
pada itu Muhammad dan keluarga serta
sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekkah, dengan
mengalami pelbagai macam
penderitaan, sehingga untuk
mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa
laparpun tidak ada.
Baik kepada Muhammad
atau kaum Muslimin
tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang,
kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada
waktu itu orang-orang
Arab berdatangan ke
Mekkah berziarah, segala permusuhan
dihentikan, tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada
permusuhan, tak ada balas dendam.[1]
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu
kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa.
Segala penderitaan yang dialami Muhammad
demi dakwah itu justru telah menjadi
penolongnya dari kalangan orang banyak.
Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya,
lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan
hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang
banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu
Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami
kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy (padahal mereka masih sekeluarga:
saudara, ipar, sepupu) banyak
diantara mereka itu
yang merasakan betapa
beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Sekiranya tidak
ada dari penduduk yang
merasa simpati kepada
kaum Muslimin, membawakan makanan ke celah-celah gunung
tempat mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini
Hisyam ibn ‘Amr termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy
yang paling simpati
kepada Muslimin. Tengah malam
ia datang membawa
unta yang sudah
dimuati makanan atau gandum.
Bilamana ia sudah
sampai di depan
celah gunung itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya
supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu. Merasa kesal
melihat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair bin
Abi Umayya (Bani Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika
binti Abdul Muttalib (Bani
Hasyim).
“Zuhair” kata Hisyam, “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan
wanita-wanita, padahal, seperti kau
ketahui, keluarga ibumu
tidak boleh berhubungan dengan
orang, berjual-beli, tidak boleh saling
mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu,
keluarga Abul Hakam ibn Hisyam,
lalu aku diajak
seperti mengajak kau,
tentu akan kutolak.” Keduanya kemudian sepakat akan
sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi
meskipun begitu harus
mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus
diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im bin ‘Adi (Naufal), Abul Bakhtari
bin Hisyam dan Zamia bin al-Aswad
(keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan
piagam itu dan akan membatalkannya.[2]
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokan paginya Zuhair bin
Umayya berseru kepada orang banyak : “Hai penduduk Mekkah! Kamu sekalian
enak-enak makan dan berpakaian, padahal
Bani Hasyim binasa
tidak dapat mengadakan hubungan dagang!
Demi Allah saya
tidak akan duduk
sebelum piagam yang kejam
ini dirobek!” Tetapi Abu
Jahl, begitu mendengar
ucapan itu, iapun berteriak: “Bohong! Tidak akan kita robek!”
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abul Bakhtari, Mut’im dan ‘Amr ibn
Hisyam mendustakan Abu Jahl dan
mendukung Zuhair. Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan
terselesaikan juga malam itu dan orangpun
sudah menyetujui. Kalau
dia menentang mereka
juga, tentu akan timbul bencana.
Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan
merobek piagam tersebut, dilihatnya
sudah mulai dimakan rayap,
kecuali pada bagian
pembukaannya yang berbunyi:
“Atas namaMu ya Allah...”
Demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan sahabat-sahabat pergi meninggalkan
celah bukit yang
curam itu dan kembali ke Mekah.
Kesempatan berjual-beli dengan
Quraisy juga terbuka,
sekalipun hubungan antara
keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi
dalam hal ini berpendapat, bahwa
diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang
yang masih menyembah berhala. Untuk
menghindarkan timbulnya bencana,
mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling
mengulurkan tangan dengan Quraisy
dengan misalnya memberi
hormat kepada dewa-dewa mereka sekalipun
cukup hanya dengan
jari-jarinya saja dikelilingkan. Agak cenderung juga
hatinya atas usul
itu, sebagai pengharapan
atas kebaikan hati mereka.
Dalam hatinya seolah
ia berkata: “Tidak
apa kalau saya lakukan
itu. Allah mengetahui bahwa
saya tetap taat.” Atau
karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi
itu, pada suatu
malam mengadakan pertemuan
dengan Muhammad sampai pagi. Perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya,
menempatkannya sebagai yang dipertuan
atas mereka, mengajaknya
kompromi, seraya kata mereka:
“Tuan adalah pemimpin kami...”[3]
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir
saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Iniadalah dua
sumber hadis, yang pertama
sebagian diceritakan oleh
Sa’id bin Jubair,
sedang yang kedua oleh
Qatada. Kata mereka
kemudian Allah melindungi
Muhammad dari kesalahan, dengan
firman-Nya yang berarti :
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا
أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا
لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ
عَلَيْنَا نَصِيرًا (75)
“Dan hampir-hampir saja
mereka itu menggoda
kau tentang yang sudah Kami
wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang
lain. Ketika itulah mereka
mengambil engkau menjadi
kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu,
niscaya engkau hampircenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal
ini, akan Kami timpakan
kepadamu hukuman berlipat
ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai
penolong menghadapi Kami.”
(Q.S. al-Isra’, 17 : 73-75)
Apabila wahyu turun
kepadanya memberi peringatan
atas perbuatannya terhadap orang
buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan
wahyu itu kepada orang sama pula
seperti ketika menyampaikan
amanat Tuhan itu. Tak
ada sesuatu yang akan
menghalanginya ia menyatakan
apa yang sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap
sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.[4]
Jadi kebenaranlah, dan
hanya kebenaran semata
yang ada dalam risalahnya itu. Apabila dalam
menanggung siksaan orang lain demi idea
yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka
pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi
kebiasaan, sekalipun oleh
orang-orang besar sendiri.
Hal-hal semacam itu
biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan
hanya harga dirinya, meskipun dengan susah
payah. Inilah kebesaran
yang tak ada
taranya, lebih besar
dari orang besar. Itulah sebenarnya
kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah
yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar dari
segala yang besar,
yakni sifat kenabian
yang menyertai Rasul
itu dengan segala keikhlasan
dan kejujurannya meneruskan
Risalah Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun keluar
dari lembah bukit-bukit itu.
Seruannya dikumandangkan lagi
kepada penduduk Mekah dan
kepada kabilah-kabilah yang
pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan
Muhammad sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka
yang sudah menjadi
pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan
Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya. part 2 part 3
[1] Maulana
M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha, Jakarta
: Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 94-95
[2] Muhammad
Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas, 1972,
hlm. 153-154
[3] Muhammad
Husayn Haykal, The Life of Muhammad, translated by Ismail Razi A.
Al-Faruqi, Chicago : The University of Chicago Press, 1968,hlm. 190-192
[4] M.
Husain Haykal, Sejarah Ibid hlm. 155-156
No comments:
Post a Comment