PENDAHULUAN
Masyarakat
manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat, negara,
maupun sekadar kelembagaan organisasi adalah kategori dinamis, tidak statis.
Karena itu, pola kepemimpinan yang baik selamanya harus memperhatikan dinamika
masyarakat tersebut. Ungkapan seharihari bahwa seorang pemimpin harus pandai
membaca tanda-tanda zaman, atau jangan sampai digulung oleh perkembangan zaman,
adalah petunjuk populer ke arah ketentuan kepemimpinan yang dinamis itu. Di
kalangan para pemikir syariah, kesadaran akan hal ini tercermin dalam kaidah
ushûl fiqh, “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan
zaman.” Dalam Al-Quran Surat Al-Qashash, 28 : 28 yang berbunyi :
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ
فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (28)
“Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan
kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka
tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa
yang kita ucapkan".
Jika hal
tersebut kita terima sebagai hukum umum, yaitu bahwa masyarakat selamanya akan
mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Maka ungkapan “kepemimpinan pada masa
perubahan sosial” harus dipahami sebagai acuan kepada kondisi yang sangat
khusus, yaitu kondisi perubahan sosial yang besar dan fundamental. Karena kekhususannya
itu, maka pola kepemimpinan yang cocok pun memerlukan sejumlah kualifikasi tertentu
yang lebih daripada tuntutan pola kepemimpinan dalam kondisi normal.[1]
Untuk itu, mari
kita bahas bersama-sama masalah kepemimpinan berdasarkan sumber hukum pertama
(Al-Qur’an) beserta penjelasan-penjelasannya dari berbagai sumber yang ada,
menggunakan metode-metode yang sudah ada maupun yang akan muncul dengan seiring
berjalannya waktu.
PEMBAHASAN
Tafsir Ayat Tentang Kemasyarakatan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]
(Hai
orang-orang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta
pemegang-pemegang urusan) artinya para penguasa (di antaramu) yakni jika mereka
menyuruhmu agar menaati Allah dan Rasul-Nya. (Dan jika kamu berbeda pendapat)
atau bertikai paham (tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah)
maksudnya kepada kitab-Nya (dan kepada Rasul) sunah-sunahnya; artinya
selidikilah hal itu pada keduanya (yakni jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Demikian itu) artinya mengembalikan pada keduanya (lebih
baik) bagi kamu daripada bertikai paham dan mengandalkan pendapat manusia (dan
merupakan rujukan yang sebaik-baiknya). Ayat berikut ini turun tatkala terjadi
sengketa di antara seorang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini
meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka sedangkan
Yahudi meminta kepada Nabi saw. lalu kedua orang yang bersengketa itu pun
datang kepada Nabi saw. yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang
munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi
pun menceritakan persoalannya. Kata Umar kepada si munafik, "Benarkah
demikian?" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh
Umar.[3]
(Tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang mengakui diri mereka telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu; mereka hendak
bertahkim kepada tagut) artinya orang yang banyak berbuat kedurhakaan, yaitu
Kaab bin Asyraf (padahal mereka sudah dititahkan untuk mengingkarinya) dan tak
akan memuliakan serta tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. (Dan setan
bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya) yakni dari
kebenaran.[4]
Ringkasnya,
kita diharuskan mematuhi pemimpin (ulil amri), tetapi tidak boleh
sembarangan dalam menetapkan atau memutuskannya. Karena salah memilih seorang
pemimpi akan membawa kehancuran suatu masyarakat.
No comments:
Post a Comment