BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
As-Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap al-Qur’an, implemtasi
realistis, dan implementasi ideal islam. Pribadi Nabi Muhammad Saw itu sendiri
adalah merupakan penafsiran al-Qur’an dan pengejawantahan Islam.
Pengertian ini telah diketahui oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, dengan pemahaman dan
pengetahuannya dan dengan pergaulannya bersama Rasulullah saw. Maka ia
mengungkapkannya dengan ungkapan cemerlang mengandung kedalam arti, ketika ia
ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, ia menjawab:
خلقه القرأن
“Budi pekertinya adalah al-Qur’an”
Maka siapa saja yang ingin mengetahui metode praktis islam dengan
segala karakteristik dan rukun-rukunnya, maka hendaknya ia mengetahuinya secara
rinci dan dengan pengejewantahan dalam as-sunnah an-Nabawiyyah, baik dari segi
ucapan, perbuatan ataupun persetujuan.[1]
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami kaji pada
pembahasan ini adalah : Bagaimana cara memahami hadits dengan
membedakan antara hadis-hadis hukum dan hadis-hadis non hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis-Hadis Hukum dan Non Hukum
Sunnah Rasul merupakan salah satu objek kajian para Orientalis yang
hendak menghancurkan dan meluluh lantahkan literatur suci ini. Banyak dari
mereka yang berusaha sekuat tenaga untuk mencipatakan keraguan dalam hati umat
Islam sendiri. Bahkan modern ini banyak yang berasumsi bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah adalah dimaksudkan sebagai hukum
syari’ah (tasyri’). Padahal menurut pengertian awal sunnah bukanlah
seperti itu.
Dewasa ini umat Islam terbagi menjadi dua golongan yang saling
bertentangan secara tajam dalam menyikapi masalah ini :
·
Satu golongan ingin menjadikan seluruh apa
yang terdapat dalam sunnah sebagai tasyri’, yakni sebagai undang-undang
atau hukum syari’ah yang mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat di setiap zaman, tempat, dan keadaan.
·
Golongan yang lain ingin memisahkan sunnah
dari seluruh persoalan hidup yang nyata : adat istiadat, mu’amalat, politik,
ekonomi, menejemen, peperangan, dan lain
sebagainya. Menurut mereka semua urusan ini mesti diserahkan kepada masyarakat.
Ada perang debat antara dua golongan tadi,mengenai sunnah makan dan
cara-caranya:Golongan pertama menolak makan dimeja makan dan menggunakan sendok
dan garpu. Golongan ini hanya mau makan dengan duduk di lantai,makan dengan
tangan dan menjilati jari setelah makan dengan niat meneladani(secara keliru)
perbuatan Nabi SAW Mereka menyangka bahwa orang yang tidak melakukan cara-cara
itu adalah menyalahi sunnah.
Golongan lain menganggap bahwa makanan dan minuman adalah persoalan
hidup yang selalu berkembang,berubah,dan berbeda sesuai keadaan lingkungan dan
masa. Agama tidak mengajarkan kepada manusia bagaimana cara makan dan bagaimana
pula cara minum. Apakah makan dengan tangan atau alat semisal sendok. Agama
juga tidak memberikan perhatiannya kepada,apakah mereka makan dengan tangan
kanan ataukah dengan tangan kiri.
Apabila kita memperhatikan dua golongan tadi,maka kita jumpai bahwa
golongan pertama berangkat dari dasar keinginan yang sangat kuat untuk
mengikuti jejak Rosul SAW dalam segala keadaan dan situasi, serta ingin sekali
mengikuti seluruh hal yang pernah dilakukan Rosulullah. Sikap ini tercermin
dari sifat kesederhanaanya, tawadlu’nya, dan sifat kezuhudannya ditengah-tengah
gemerlap kehidupan dunia, dan beliau menjauhkan diri dari sifat orang-orang
yang boros dan sewenang-wenang. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan meniru
perilaku Nabi semacam itu adalah terpuji dan mendapatkan pahala karena niatnya
yang besar untuk mengikuti jejak Rosul SAW. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Ibnu Umar R.A. dan sahabat-sahabat yang lain.
Tetapi mereka itu keterlaluan dan keliru karena menganggap seluruh
perbuatan tadi sebagai Sunnah dan agama.Mereka juga keliru apabila menentang
orang yang tidak melakukan hal-hal seperti itu;penentangan ini tidak pada
tempatnya.Sebenarnya sebagian besar yang mereka anggap sebagai Sunnah hanyalah
merupakan adat-istiadat orang Arab yang sesuai dengan lingkungan dan masa
ketika itu,dan Rosul yang melakukan sedemikian itu untuk menjaga adat kaumnya.
Adapun golongan lain telah mencampuradukkan antara peraturan-peraturan
yang diperhatikan agama dan yang tidak. Memang agama tidak memperhatikan apkah
kamu makan di lantai ataukah di meja, makan dengan tangan ataukah dengan sendok
dan garpu. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama tidak memperhatikan tatacara
makan; agama menganjurkan agar kita makn dan minum dengan tangan kanan, bukan
tangan kiri. Ini tidak hanya karena Nabi SAW senang menggunakan tangan kanan
dalam segala hal, tetapi karena anjuran beliau dalam masalah ini sangat jelas;
baik dalam bentuk larangan maupun perintah.[2]
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi berkata: “Ketauhilah bahwa sunnah yang
datang dari Nabi SAW dan yang telah
dibukukan dalam kitab-kitab hadis itu terbagi menjadi dua:
Petama, Sunnah dalam bentuk penyampaian risalah. Dalam hal
ini Allah berfirman: “Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7)
Di antara Sunnah yang termasuk dalam pembagian ini adalah :
1. Ilmu mengenai hari akhirat dan keajaiban alam malakut. Sunnah yang
berhubungan dengan persoalan ini seluruhnya beliau terima berdasarkan wahyu.
2. Syariah dan peraturan mengenai ibadah dan akad transaksi sesuai dengan
peraturan yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagian masalah ini beliau
tetapkan berdasarkan wahyu dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad; di mana
ijtihad beliau kedudukannya sama dengan wahyu . Karena Allah SWT menjaga beliau
dari menetapkan pendapat yang keliru. Tidak semestinya ijtihad beliau itu
berdasarkan teks-teks Qur’an sebagaimana anggapan banyak orang. Justru ijtihad
beliau itu merupakan penjelasan dari maksud dan tujuan syari’ah dan hukum-hukum
lain yang telah diajarkan oleh Allah SWT kepada beliau.
3. Kebijaksanaan dan kebaikan yang bersifat umum yang tidak beliau tetapkan
waktunya dan batas-batasnya. Misalnya penjelasan tentang akhlak yang terpuji
dan akhlak yang tecela. Dasar masalah tersebut biasanya adalah ijtihad, dalam
pengertian bahwa Allah SWT menetapkan kaidah-kaidahnya, kemudian beliau
mengeluarkan hukumnya dan menegaskannya secara global.
4. Amal yang utama dan keutamaan orang yang beramal. Kita tahu bahwa
sebagian masalah tersebut berdasarkan wahyu dan sebagian yang lain berdasarkan
ijtihad.
Kedua, Sunnah bukan dalam bentuk penyamaian risalah. Diantara
Sunnah dalam kategori ini ialah :
1. Ilmu medis.
2. Kebiasaan Rasulullah yang berdasarkan kebiasaan, bukan ibadah, dan
perbuatan tersebut terjadi secara kebetulan, bukan disengaja.
3. Penegasan yang bertujuan mengingatkan masyarakat.
4. Perintah yang ditujukan untuk kemaslahatan tertentu.[3]
Sedangkan menurut Imam Abu Muhammad bin Qutaibah Sunnag itu terbagi
menjadi 3, yaitu :
1. Sunnah yang disampaikan Jibri dari Allah kepada Rasulullah.
2. Sunnah dimana Nabi diizinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri
dengan menggunakan pendapatknya sendiri.
3. Sunnah yang menjadi pelajaran buat kita.[4] Yaitu sunnah-sunnah yang
jika kita melaksanakan maka kita mendapatkan keutamaan dan nika tidak maka
tidak apa-apa.
M. Rasyid Rhida mengatakan bahwa Sunnah dibagi menjadi 2 :
1. Sunnah Tasyri’ yang adakalanya berupa ibadah yang memerintahkan kita
untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik hukumnya sunnah atau wajib.
adakalanya berupa mafsadah, yaitu perkara merusak yang harus kita jauhi.
2. Tidak termasuk Sunnah Tasyr’ yang harus diikuti perintahnya dan
dijauhi larangannya adalah Sunnah yang tidak ada hubungannya dengan hak Allah
dan hak terhadap makhluk Allah, dan tidak membawa maslahat atau menolak bahaya.
Disisi lain
Syekh Mahmud Syaltut mengatakan “perlu diperhatikan bahwa semua perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang telah dibukukan dalam kitab-kitab
hadis itu terbagi menjadi beberapa bagian :
Pertama, Sunnah yang merupakan kebutuhan manusiawi;
misalnya makan, minum, tidur, berjalan, ziarah, mendamaikan orang dengan baik
dan memberikan ukuran yang sama dalam jual-beli.
Kedua, Sunnah yang merupakan hasil eksperimen dan
kebiasaan pribadi atau masyarakat. Contohnya hadis-hadis mengenai pertanian,
kedokteran dan memanjangkan atau memendekkan baju.
Ketiga, Sunnah yang berkaitan dengan administrasi
umum yang digunakan untuk menangani situasi tertentu. Seperti situasi saat
peperangan.
Keempat, yaitu Sunnah yang merupakan hukum syari’ah.
Sunnah ini dibagi dalam beberapa bagian :
1. Sunnah yang bersumber dari Nabi atas dasar tablig, yaitu dalam kedudukan
beliau sebagai Rasul. Misalnya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
2. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai kepala Negara dan pemimpin
masyarakat Islam. Misalnya berperang menggunakan harta baitul mal. Hal ini
nerupakan syari’ah yang khusus. Jadi orang yang ingin melaksanakan hal ini
harus mendapat ijin dari pemerintah terlebih dahulu.
3. Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai seorang al-Hakim. Hukum ini
bukanlah syari’ah yang umum, karena dalam memutuskan hukum Rasul tidak menyama
ratakan antara satu orang dengan yang lainnya.[5]
Dari
beberapa pendapat ulama’ mengenai pembagian hadis diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa hadis itu terbagi menjadi dua :
1. Sunnah, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi adalah hukum
syari’ah yang wajib diikuti.
2. Sunnah Rasul yang bukan merupakan hukum syari’ah dan tidak wajib
diikuti, yaitu Sunnah yang merupakan persoalan dunia semata.
B. Contoh Hadis-Hadis Hukum
1. Hadis Wajibnya Wudlu bagi orang yang hendak melaksanakan Sholat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak
menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia
berwudhu."[6]
2. Hadis larangan mengumpulkan istri dengan bibinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا
بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari
jalur ibu atau ayah."[7]
3. Larangan Jual-Bali secara mulamasah dan munabadzah
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
الْمُنَابَذَةِ وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ
قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ وَنَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ
وَالْمُلَامَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ
“Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang munaabadzah, yaitu seseorang
melempar pakaiannya sebagai bukti pembelian harus terjadi (dengan mengatakan
bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya
atau melihatnya dan Beliau juga melarang mulaamasah, yaitu menjual kain dengan
hanya menyentuh kain tersebut tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu syarat
misalnya kalau kamu sentuh berarti kamu harus membeli) ".[8]
Ketiga
contoh diatas merupakan hadis-hadis hukum yang mana semuanya mengandung
peraturan yang wajib diikuti oleh umat Islam. Di dalam hadis itu tidak
mengandung peraturan yang dibatasi waktu maupun tempat. Jadi hadis ini berlaku
bagi siapa saja maupun dimana saja.
C. Contoh Hadis-Hadis non Hukum
1. Hadis tentang etika makan
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنِي أَنَّهُ سَمِعَ
وَهْبَ بْنَ كَيْسَانَ أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ
فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ
اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي
بَعْدُ
“Telah
menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Sufyan
ia berkata; Al Walid bin Katsir Telah mengabarkan kepadaku, bahwa ia mendengar
Wahb bin Kaisan bahwa ia mendengar Umar bin Abu Salamah berkata; Waktu aku
masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan
tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti
itulah gaya makanku setelah itu.”[9]
Hadis ini
merupakan salah satu contoh hadis non hukum, yang mana hadis ini menjelaskan
tentang bagaimana cara Rasulullah SAW makan dan hadis ini pula berkaitan dengan
adat istiadat orang arab.[10]
2. Hadis tentang tata cara memakai Sandal
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ
وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا
تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ
“Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abu Az Zinnad
dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian memakai
sandal, hendaknya memulai dengan yang kanan, dan apabila melepas hendaknya
mulai dengan yang kiri, supaya yang kanan pertama kali mengenakan sandal dan
yang terakhir melepasnya."[11]
Seperti
halnya contoh yang pertama, hadis ini pula tidak mewajibkan kita untuk
mengikuti apa yang telah dijelaskan oleh hadis ini. Karena ini merupakan salah
satu kebiasaan Rasulullah SAW sebagai seorang manusia.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Inilah salah satu kajian yang belum banyak disentuh
oleh para pakar hadis dalam memahami kandungannya. Masih banyak dari mereka
yang mencampuradukkan antara hadis yang mengandung hukum dan hadis non hukum.
Padahal implikasi dari pemahaman ini sangatlah jauh berbeda. Maka kita harus
mampu membedakan diantara kedua golongan Sunnah tersebut.
Adakalanya
sunnah itu sebagai hukum syari’ah yang harus diikuti, baik berbentuk perintah
maupun larangan. Adakalanya pula sunnah berupa sesuatu yang hanya berisi etika,
adat istiadat, kebiasaan Nabi SAW yang mana tidak wajib diikuti oleh umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baqi. Muhammad Fuad Abd, al-Lu’lu’ wa al-Marjan,
penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012.
Al-Ghazali. Muhammad, Studi Kritis Atas Hadis Nabi
: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan, 1992.
Al-Ju’fi. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Shohih
al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq an-Najah, 1422 H.
Al-Qardhawi. Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar, Cet.1, 1994.
Al-Qardlawi . Yusuf, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu
Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997.
[1]
Dr. Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar, Cet.1, 1994,
H,28.
[2]
Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah
Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 15-20.
[3]
Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah
Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 35-39.
[4]
Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus,
Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 23-26.
[5]
Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah
Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 44-46.
[6]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h. 51.
[7]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h. 271.
[8]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h. 304.
[9]
Muhammad bin Ismail Abu
Abdillah al-Bukhori al-Ju’fi, Shohih al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq
an-Najah, 1422 H, h. 68.
[10]
Muhammad al-Ghazali, Studi
Kritis Atas Hadis Nabi : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung
: Mizan, 1992, h. 109.
[11]
Muhammad bin Ismail Abu
Abdillah al-Bukhori al-Ju’fi, Shohih al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq
an-Najah, 1422 H, h. 154.
No comments:
Post a Comment