Pada masa Rasulullah Saw., tafsir al-Qur’ân ini berupa pemberian
penjelasan kepada sahabat-sahabat beliau, tentang kandungan
al-Qur’ân, khususnya tentang ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Redaksi ayat al-Qur’ân, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan
atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh
pemilik redaksi tersebut, yaitu Allah Swt. Hal ini kemudian menimbulkan
keanekaragaman tafsir. Dalam al-Qur’ân para sahabat Nabi sekalipun yang secara
umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara
alamiah struktur bahasa serta arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat,
atau bahkan keliru dalam pemahaman.[1]
Salah satu hal terpenting ketika menelaah sebuah arus pemikiran yang
berkembang dalam Islam adalah bagaimana mengkaji dan memahami kerangka
metodologi yang digunakan. Hal ini dikatakan penting tidak lain karena kalau
diibaratkan bahwa sebuah arus pemikiran sebagai sebuah produk dari pabrikan,
maka konstruksi metodologi mencoba untuk memahami bagaimana sebuah
produk itu muncul, bagaimana sebuah produk itu dihasilkan, bagaimana
langkah-langkah yang dipakai. Demikian halnya dengan apa yang akan dibahas dalam
tulisan ini. Kami akan mencoba untuk mengkaji bagaimana sebuah arus pemikiran
teologi feminisme itu diproduksi dan dihasilkan dalam ranah pemikiran Islam
modern.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu tokoh yang
menawarkan sebuah metodologi memahami tentang feminisme yang ada dalam
al-Qur’an.
Riwayat Hidup Riffet Hasan
Ia dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang
tanpa keceriaan. Tujuh belas tahun perjalanan hidupnya digambarkan sebagai
penuh kegelapan dan tiada keindahan. Apa yang diingat dengan jelas dari
kenangan masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah rumah yang dihuni
banyak orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan kebingungan selalu
melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996). Riffat Hasan bersama
lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid
(Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup yang sangat tradisional
terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan bahwa yang terbaik bagi
gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan seseorang yang telah
dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar seorang yang baik dan suka
membantu menyelesaikan masalah orang lain. Sementara ibunya bersikap tak mau
kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional khususnya kultur yang meneguhkan
inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Penolakan ibunya
terhadap cita-cita dan praktik budaya patriarkhi serta komitmennya untuk
membebaskan anak perempuannya dari chardewari (empat dinding)
rumah tangga yang terpusat dan didominasi laki-laki menempatkannya ke dalam
kategori feminis radikal.
Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah sebagai figur penyelamat
yang selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang dikagumi dan dicintai banyak
orang adalah figur yang menakutkan, mewakili moralitas adat dalam sebuah
masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan sejak saat dilahirkan. Tiga
hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup adalah keyakinannya akan
Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaannya yang dalam
kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal tersebut, hingga akhirnya
ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang membanggakan. Di usia kesebelas
kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai seorang feminis bermula, hal itu
terutama karena peristiwa pernikahan kakak perempuannya yang berusia enam belas
tahun dengan lelaki kaya tapi berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha
menolak namun tetap saja tak kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana
penolakan perempuan untuk tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah.
Dari peristiwa inilah ia menyadarkan dirinya untuk belajar berperang,
mempertahankan hidup dari tekanan dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai
bergolak dan itu semua berpuncak tatkala Riffet Hasan di usia ketujuh belas
berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas
Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat
tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.[2]
Karir intelektual Riffat mulai menampakkan kemantapannya sejak ia
menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara ini, ia menduduki jabatan
sebagai Ketua Jurusan Religious Study Program di University of Lousville, Kentucky. Selain itu, ia juga menjadi dosen
tamu di Harvard Divinity School. Pada saat menjadi dosen tamu inilah ia berhasil
menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang didasarkan pada
risetnya selama setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai
penasehat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma,
Stillwater.[3]
Setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya Pakistan hingga ia
kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar. Namun karena kelebihan-kelebihan
yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih menonjol dibanding suaminya, dan
hidup di masyarakat yang menilai laki-laki harus lebih dari perempuan membuat
pernikahannya tidak berusia lama. Setelah gagal untuk yang pertama kali, Riffat
Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud, seorang Muslim Arab Mesir, yang berusia
tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud terbiasa memerintah untuk melakukan apa
saja yang diinginkan atas nama Tuhan dan Riffat dianggap tidak punya hak untuk
menolak, karena dalam kultur Islam menolak untuk melakukan apa yang
menyenangkan hati suami sama dengan menolak melakukan apa yang disenangi Tuhan.
Perkawinan kedua ini berlangsung singkat, tetapi melelahkan Riffat Hasan secara
fisik dan mental karena berada di tangan seorang laki-laki yang tidak saja
unggul secara berlebih-lebihan, tapi juga seorang fanatik yang bisa meminta
atas nama Tuhan untuk melakukan tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak
berperasaan terhadap manusia yang lain. Pengalaman hidup yang demikian itulah
yang membuatnya menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan
teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki
Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan muslim atas nama Tuhan.[4] part 2 part 3
[1]
Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I,
Mesir: Dâr al-Kutûb al-Haditsah, 1961, h. 59
[2]
Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan
Allah, (terj.) Tim LSPPA, Yogyakarta: LSPPA, 2000. h.25
[3] Ibid
[4] http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/articel/viewfile/15/12,
diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:29
No comments:
Post a Comment