PENDAHULUAN
Begitu banyak para Ulama’ Muhaddisin yang melakukan pensyarahan
terhadap hadis. Akan tetapi, jika dicermati, jarang sekali ulama’ yang membahas
tentang metodologi pensyarahan hadis. Padahal, guna bisa lebih memahami
penjelasan ulama’ tentang suatu hadis dalam kitab syarahnya, sangat penting
untuk mengetahui metode yang digunakan ulama’ tersebut. Sebenarnya, jika
diamati lebih dalam, metode pensyarahan hadis-hadis Nabi hampir sama dengan
metode penafsiran al-Qur’an, bahkan menurut Nizar Ali, metode-metode
pensyarahan hadis memang diadopsi dari metode penafsiran al-Qur’an sebab
kesamaan karakter keduanya. Metode yang dimaksud adalah tahlili, ijmali dan
muqarin. Tulisan ini akan dengan singkat menjelaskan tentang metode ijmali.[1]
a) Definisi Metode Ijmali
Metode ijmali adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis
sesuai dengan urutan dalam kitab yang ada dalam kutub al-sittah secara ringkas,
tapi dapat merepresentikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan gampang dipahami. Syarahannya cukup singkat dan tanpa
menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.
b) Metode Ijmali dalam Syarah Hadis
Nabi
Metode ini mempunyai kemiripan dengan metode tahlili dari segi
sistematika pensyarahan. Perbedaannya terletak pada segi uraian penjelasannya.
Metode tahlili sangat terperinci dan panjang lebar sehingga pensyarahnya lebih
banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya, sedangkan metode ijmali
penjelasannya sangat umum dan sangat ringkas. Hal ini membuat pensyarahnya
tidak mempunyai ruang untuk mengemukakan pendapat dan dan ide-idenya. Meski
demikian, dalam kitab yang menggunakan metode ijmali, juga tidak menutup
kemungkinan adanya uraian yang panjang lebar mengenai suatu hadis tertentu yang
membutuhkan penjelasan yang detail. Akan tetapi, penjelasan tersebut tidak
seluas metode tahlili.
a) Ciri-ciri metode
Ijmali (Global)
Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadits
dari awal sampai akhir tanpa penetapan judul serta perbandingan yang jelas,
dalam kitab syarah metode syarah ini tak memiliki ruang untuk menjelaskan
sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat ringkas
merupakan ciri yang dimiliki kitab syarah dengan metode ijmali.
b) Kelebihan metode ijmali
Ø Ringkas dan padat
Syarah yang menggunakan metode ini terasa
lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya.
Ø Bahasanya mudah untuk dipahami
Pemahaman terhadap kosa kata yang terdapat
dalam hadits ini lebih mudah didapatkan karena pensyarahan langsung menjelaskan
maksud hadits yang tak memikirkan kepribadian dari pensyarah tersebut sehingga
mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang singkat dan mudah.
c) Kekurangan metode
ijmali
Ø Menjadikan petunjuk hadits menjadi parsial
Terkadang hadits memiliki keterkaitan antara
hadits satu dengan yang lain, oleh karena itu ada sebuah hadits yang bersikap
umum/global (samar) dapat diperjelas dengan hadits lain yang dapat melengkapi
kekurangan hadits tersebut. Dengan menggabungkan kedua hadits tersebut akan
diperoleh suatu pemahaman yang utuh tanpa terpecah-pecah.
Ø Tidak
ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai
Syarah yang mengguankan metode ini tidak dapat memberikan sarana
yang memuaskan yang berkenaan dengan wacana pluralisme pemahaman suatu hadits.
Disamping itu memiliki sisi positif yaitu bersifat instan seperti yang sudah
disebutkan diatas.
Ø Adanya
ketidak-konsisten-an terhadap metode yang digunakan
Misalnya, kitab ‘aun al-ma’bud adalah salah satu kitab yang “dicap”
sebagai kitab yang menggunakan metode ijmali. Tetapi setelah ditelusuri, ada
beberapa hadis yang disyarahi dengan menggunakan metode lain. Hadis-hadis
tersebut antara lain.[2]
d) Kitab-Kitab
yang menggunakan Metode Ijmali
Kitab-kitab syarah yang mengikuti metode ini antara
lain Syarh al-Suyuti li Sunan al-Nasa’i karya Jalal al-Din al-Suyuti, Qut
al-Mughtazi ‘ala Jami’ al-Turmudzi karya Jalal al-Din al-Suyuti, ‘Aun al-Ma’bud
Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ‘Ali Haidar al-Siddiqi al-‘Azim
Abadi, dan lain-lain.
Sebenarnya, dalam muqaddimah kitab-kitab di atas tidak pernah
dijelaskan tentang keterangan metode yang dipakai. Hanya saja, para ulama’ yang
datang belakangan kemudian berusaha mengetahui cara atau metode yang digunakan
para penyusun kitab dengan meneliti kitab-kitab tersebut. walaupun
sebenarnya, upaya untuk menemukan metode yang digunakan oleh para
penyusun kitab-kitab syarah tersebut baru muncul akhir-akhir ini saja.
Karena tidak ada penjelasan secara pasti mengenai metode yang
digunakan dalam kitab-kitab tersebut. Hal ini menjadi maklum jika ditemukan
ke-tidak konsisten-an metode atau cara yang digunakan dalam mensyarahi hadis.
Dalam penjelasan beberapa hadis, ditemukan adanya pemakaian metode lain seperti
metode tahlili dan metode muqarin.
No comments:
Post a Comment