Tahun Berkabung atau Tahun Duka Cita
Beberapa bulan kemudian
sesudah penghapusan piagam
itu, secara tiba-tiba sekali dalam
satu tahun saja
Muhammad mengalami duka-cita
yang sangat menekan
perasaan, yakni kematian
Abu Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu
itu Abu Talib
sudah berusia delapan puluh
tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui
ia dalam keadaan
sakit yang akan
merupakan akhir hayatnya, mereka merasa
kuatir apa yang
akan terjadi nanti antara
mereka dengan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada
Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka
Quraisy segera mendatangi Abu Talib, untuk kemudian
mengatakan: “Abu Talib, seperti
kau ketahui, kau
adalah dari keluarga
kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri,
sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah
mengetahui keadaan kami
dengan kemenakanmu itu.
Panggillah dia. Kami akan saling
memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kamipun akan
demikian. Biarlah kami
dengan agama kami dan dia
dengan agamanya sendiri pula.”
Muhammad datang tatkala
mereka masih berada
di tempat pamannya
itu. Setelah diketahuinya maksud
kedatangan mereka, iapun
berkata: “Sepatah kata saja
saya minta, yang
akan membuat mereka
merajai semua orang Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu!” jawab
Abu Jahl. “Sepuluh
kata sekalipun silakan!” Kata Muhammad:
“Katakan, tak ada
tuhan selain Allah,
dan tinggalkan segala penyembahan yang
selain Allah.” “Muhammad, maksudmu
supaya tuhan-tuhan itu
dijadikan satu Tuhan
saja?” kata mereka. Kemudian mereka
berkata satu sama
lain: “Orang ini
tidak akan memberikan apa-apa seperti
yang kamu kehendaki.
Pergilah kalian!” Ketika Abu
Talib meninggal hubungan Muhammad dengan
pihak Quraisy lebih buruk
lagi dari yang
sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah.
Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad,
Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan
kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan
kekuatan iman yang
ada padanya. Khadijah,
yang dulu menghiburnya bila
ia mendapat kesedihan,
mendapat tekanan dan
yang menghilangkan rasa takut
dalam hatinya. Ia
adalah bidadari yang
penuh kasih sayang. Pada
kedua mata dan
bibirnya Muhammad melihat
arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia
sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang
menjadi pelindung danperisai terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah
yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad ? Yang pasti, dua
peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa orang (yang bagaimanapun
kuatnya), akan menusukkan racun putus
asa kedalam hatinya.
Ia akan dikuasai
perasaan sedih dan
duka, akan dirundung kepiluan
dan akan membuatnya
jadi lemah, tak
dapat berpikir lain diluar
dua peristiwa yang
sangat mengharukan itu.[1]
Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad
melihat Quraisy makin keras
mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika
seorang pandir Quraisy
mencegatnya di tengah
jalan lalu menyiramkan tanah ke
atas kepalanya. Tahukah
orang apa yang
dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih
diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang
mencucikan tanah yang
di kepala itu.
Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya
dalam hati seorang ayah dari pada mendengar
tangis anaknya, lebih-lebih
anak perempuan. Setitik
air mata kesedihan yang mengalir
dari kelopak mata seorang puteri adalah
sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena
pilunya ia akan menangis kesakitan.
Juga secercah duka
yang menyelinap kedalam
hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan
hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah
seorang ayah yang
sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada puteri-puterinya. Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap
tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis
hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia
hanya menghadapkan hatinya
kepada Allah dengan
penuh iman akan
segala pertolongan-Nya. “Jangan menangis anakku!” katanya kepada
puterinya yang sedang berlinang air mata
itu. “Tuhan akan
melindungi ayahmu.” Kemudian
diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak
seberapa mengganggu saya.” Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy
kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia
merasa tertekan sekali.[2]
Muhammad Pergi ke Ta’if dan Penolakan Thaqif
Terasing seorang diri,
ia pergi ke Ta’if,[3]
dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi
ingin mendapatkan dukungan
dari Bani Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri,
dengan harapan merekapun
akan dapat menerima Islam. Tetapi
ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia
masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan
itu, supaya jangan
ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun
tidak didengar. Bahkan mereka menghasut
orang-orang pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya. Ia
pergi lagi dari
sana, berlindung pada
sebuah kebun kepunyaan
‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a.
Orang-orang yang pandir
itu kembali pulang.
Ia lalu duduk di
bawah naungan pohon
anggur. Ketika itu
keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan
melihat pula kemalangan
yang dideritanya. Sesudah agak
reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu
doa yang
berisi pengaduan yang
sangat mengharukan: “Allahumma yang
Allah, kepadaMu juga
aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. Engkaulah Yang Maha Pengasih,
Yang Maha Penyayang. Engkaulah
yang melindungi si
lemah, dan Engkaulah pelindungku.
Kepada siapa hendak
Kau serahkan daku? Kepada orang yang memusuhiku dan berwajah
muram kepadaku, atau kepada teman dekat yang Engkau menguasai perkaraku ?
Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Bukannya aku tidak berhati-hati, tapi jika
aku tidak berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyinari langit dan menghapus
segala kegelapan, dan menguasai segala perkara di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga aku tidak
membuat kesulitan bagi-Mu, atau Engkau murka kepadaku. Tak ada kekuatan selain pertolongan-Mu.”[4]
Dalam memperhatikan keadaan
itu hati kedua
orang anak Rabi’a
itu merasa tersentak. Mereka
merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak
mereka, seorang beragama
Nasrani bernama Eddas,
diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil
meletakkan tangan di atas buah-buahan
itu Muhammad berkata:
“Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya. Eddas memandangnya
keheranan. “Kata-kata ini tak
pernah diucapkan oleh
penduduk negeri ini,”
kata Eddas. Lalu Muhammad
menanyakan negeri asal
dan agama orang
itu. Setelah diketahui bahwa
orang tersebut beragama
Nasrani dari Nineveh,
katanya: “Dari negeri orang
baik-baik, Yunus anak
Matta.” “Dari mana tuan
kenal nama Yunus
anak Matta!” tanya
Eddas. “Dia saudaraku. Dia
seorang nabi, dan
aku juga Nabi,”
jawab Muhammad. Saat itu Eddas
lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu
kejadian ini menimbulkan
keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun
begitu mereka tidak
sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka.
Dan tatkala ‘Addas
sudah kembali mereka
berkata: “Eddas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik dari pada
agamanya.”[5]
Gangguan orang yang
pernah dialami Muhammad
seolah dapat meringankan perbuatan buruk
yang dilakukan Bani Thaqif
itu, meskipun mereka tetap
kaku tidak mau mengikutinya.
Keadaan itu sudah
diketahui pula oleh
Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad makin
menjadi-jadi. Tetapi hal
ini tidak mengurangi kemauan
Muhammad menyampaikan dakwah
Islam. Kepada kabilah-kabilah
Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan diri, mengajak mereka mengenal
arti kebenaran. Diberitahukannya kepada
mereka, bahwa ia adalah
Nabi yang diutus,
dan dimintanya mereka
mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya,
bahkan dibuntutinya ke mana
ia pergi. Dihasutnya
orang supaya jangan mau mendengarkan. Muhammad sendiri
tidak cukup hanya
memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada
musim ziarah di
Mekah saja, bahkan
ia mendatangi Bani Kinda ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Bani Kalb, juga ke rumah-rumah mereka, Bani Hanifa dan Bani ‘Amir bin
Sha’sha’a. Tapi tak seorangpun dari mereka
yang mau mendengarkan. Bani Hanifa bahkan
menolak dengan cara yang
buruk sekali. Sedang
Banu ‘Amir menunjukkan
ambisinya, bahwa kalau
Muhammad mendapat kemenangan,
maka sebagai penggantinya,
segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah
dijawab, bahwa masalah itu berada
di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang
muka dan menolaknya seperti
yang lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang
mengadakan oposisi terhadap Muhammad itu
karena sebab-sebab yang
sama seperti yang
dilakukan oleh Quraisy? Kita
sudah melihat, bahwa
Bani ‘Amir ini
mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan
bila bersama-sama mereka
nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah
Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai tempat
musim panas bagi
penduduk Mekah karena
udaranya yang sejuk dan
buah anggurnya yang
manis-manis, juga kota
ini merupakan pusat tempat
penyembahan al-Lat.[6] Ke
tempat itu orang
berziarah dan menyembah berhala.
Kalau Bani Thaqif ini sampai menjadi
pengikut Muhammad, maka kedudukan al-Lat
akan hilang. Permusuhan
mereka dengan Quraisypun
akan timbul, yang sudah tentu
akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga
halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang
disebabkan oleh keadaan
perekonomian setempat. Dalam menentang Islam
itu, pengaruh ini
lebih besar terhadap
mereka daripada pengaruh kepercayaan
mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala. part 1 part 3
[1] Muhammad
Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas, 1972,
hlm. 194
[2]
M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh al-Sirah 1, terjemah Mohd.
Darus Sanawi, Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar, 1983, hlm. 74
[3]
Sebuah kota di Selatan Mekkah. Lihat di : Robert Spancer, The
Truth about Muhammad, New York : Regnery Publishing, Inc. 1947, hlm. 8
[4]
Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha,
Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 99
[5] M.
Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh Op.cit., hlm. 77-80
[6]
Dewi yang disembah kaum pagan Quraysh (kedudukannya sama dengan al-‘Uzza).
Lihat di : Robert Spancer, The Truth Op.cit., hlm. 78
No comments:
Post a Comment