Wednesday, November 30, 2016

Makalah Tasawuf: Macam Macam Maqomat



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan yang mendasar dari perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar peserta didik (mahasiswa) dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf tersebut, dan dapat mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu hingga sekarang, serta mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari mempelajari Tasawuf itu sendiri.
Dan tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini diharapkan agar peserta didik (mahasiswa ) tersebut mampu dan mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan Ahwal , Maqamat dan Ahwal dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan Tasawuf.[1]
Di dalam makalah-makalah sebelumnya telah dibahas masalah pengertian dari maqomat dan kedudukannya dalam ilmu tasawuf. Pengertian maqomat itu sendiri ialah suatu tempat atau tingkatan dalam ilmu tasawuf. Yang berkedudukan penting dalam pelaksanaannya. Karena maqomat sendiri berhubungan erat dengan semua amal perbuatan manusia.
Selain itu, beberapa macam jenis maqomatpun telah dikubas pada makalah yang sebelumnya. Namun, macam-macam maqomat yang telah dibahas pada makalah yang sebelumnya belumlah lengkap. Nah, di sini kami akan mencoba membahas tentang macam-macam maqomat yang pada makalah sebelumnya belum dibahas.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja yang termasuk dalam macam-macam maqomat ?
2.      Apa saja pengertian dan keutamaan dari macam-macam tersebut ?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Macam-Macam Maqomat
Dalam makalah sebelumnya telah disinggung tentang macam-macam maqomat. Di mana yang membahas tentang zuhud, wiro’i, tawakal, sabar, dan ridha. Maka di sini kami akan membahas tentang apa saja yang belum di bahas pada makalah yang sebelumnya.
Yang akan kami bahas di sini adalah macam-macam maqomat yang belum disinggung pada makalah yang sebalumnya. Yaitu : khouf, roja’, mahabbah, fana’, dan ma’rifat. Yang mana macam-macam tersebut dan yang sebelumnya saling berkaitan, serta sulit dipisahkan dalam hal pelaksanaannya. Yang apabila dipisahkan, tidak akan mencapai hasil yang sempurna.

2. Pengertian dan Keutamaan dari Macam-Macam Maqomat di Atas
a. Khouf (takut)
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia takut berarti gelisah, khawatir (kalau....)[2]. Pada hakikatnya, bahwa takut itu ibarat dari kepedihan dan kebakaran hati, disebabkan terjadinya yang tidak disukai pada masa depan.
Al-Wasithi mengatakan pula : “apabila lahirlah kebenaran kepada rahasia, niscaya tidak ada lagi padanya keutamaan bagi harap dan takut”. Kesimpulannya, bahwa orang yang mencintai, apabila hatinya sibuk menyaksikan yang dicintai, dengan takut berpisah, niscaya adalah yang demikian itu kekurangan pada penyaksian kepada Allah. Dan sesungguhnya keterus-menerusan penyaksian itu maqom (tingkat) yang pehabisan.[3]
Keutamaan takut itu, menurut kadar yang membakar nafsu-syahwat. Dan menurut kadar yang mencegah perbuatan-perbuatan maksiat dan yang menggerakkan kepada perbuatan tha’at, menurut tingkatannya. Allah SWT berfirman :
رضى الله عنهم و رضوا عنه ذالك لمن خشى ربه _البينه_8
“Allah ridla (senang) kepada mereka dan mereka ridla kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.(QS. Al-Bayyinah : 8)
Setiap apa yang menunjukkan kepada keutamaan ilmu itu menunjukkan kepada keutamaan takut. Karena takut itu buah dari ilmu.[4]
b. Roja’ (harap)
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä z`ƒÉ©9$#ur (#rãy_$yd (#rßyg»y_ur Îû È@Î6y «!$# y7Í´¯»s9'ré& tbqã_ötƒ |MyJômu «!$# 4 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ (البقرة: 218)  
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).

Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.[5] Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.[6]
Ketahuilah kiranya, bahwa amal atas harap itu lebih tinggi daripada takut. Karena hamba yang paling dekat kepada Allah Ta’alaitu yang paling mencintai-Nya. Dan cinta itu dikerasi dengan harap.[7]
c. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.[8]

d. Fana’
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’ ‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Pada maqam fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari ma’rifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… Sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana’ yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.
Realitas fana’ ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.
Fana’ ditanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah (Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah (Salik).[9] Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah”[10]
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan yaitu:
·         Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
·         Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya memfanakan diri.[11]

e. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi.
Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya. Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman:
¬!ur ßàfó¡o `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $YãöqsÛ $\döx.ur Nßgè=»n=Ïßur Íirßäóø9$$Î ÉA$|¹Fy$#ur (الرعد: 15) 
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari”. (QS Ar-Ra’d:15)
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[12]


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia
Yakub, Ismail. Ihya’ Al-Ghazali Jilid VII. Jakarta : CV. Faizan. 1994


[2] Aplikasi KBBI
[3] Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH. MA, Ihya’ Al-Ghazali, hal.42
[4] Ibid, hal.55-56
[7] Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH. MA, Ihya’ Al-Ghazali, hal.11
[10] Q.S. Al-Kahfi :

No comments:

Post a Comment