Monday, May 30, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Pendekatan Doktrinal dalam Memahami Hadits

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di zaman yang serba modern ini, mayoritas manusia tidak suka terhadap kevakuman. Kapanpun ada pertanyaan dan masalah penting. Tradisi muncul untuk menyembataninya sehingga tercapai sebuah pemahaman.
Namun banyak kita jumpai tradisi yang palsu. Ada banyak ketidak cocokan dan pertentangan diantara tradisi. Masalah sangat serius muncul pada saat orang muslim harus menentukan tradisi mana yang asli.
Islam adalah agama yang sangat multidimensial, oleh karena itu masing-masing orang sangat mungkin memandang memahami Islam secara berbeda-beda. Islam sebagai gejala budaya dan sosial, dalam konteks ini Islam lebih dilihat dari praktik atau pengamalan orang muslim tersebut atau dengan kata lain Islam dilihat dari aspek kehidupan bermasyarakat.
Apabila Islam dipandang dari gejala budaya dan sosial maka yang terlihat adalah corak keberagamaan suatu masyarakat, salah satu contoh kehidupan keberagamaan orang muslim di kota dengan kehidupan keberagamaan orang muslim di desa sangatlah berebeda. Perbedaan tersebut timbul dari pengaruh yang sangat melekat pada kehidupan bermasyarakat yang biasa kita kenal dengan lingkungan. Lingkungan inilah yang membuat masing-masing orang menjadi berbeda antara yang satu dengan yang lain, walaupun masih dalam satu wilayah agama yakni Islam.
Lain halnya dengan Islam dipandang sebagai doktrin. Islam adalah agama yang ajarannya tidak bisa diotak-atik lagi dalam artian tidak boleh dipertanyakann lagi akan tetapi harus diterima apa adanya sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu Islam dipandang final (absolute) yang tidak perlu dibahas lagi dan harus diterima apa adanya.
Banyak orang Kristen berfokus pada pratik- praktik islam dan tidak mengenali bahwa tugas seorang muslim didasarkan pada sistem doktrin yang jelas. Muslim percaya bahwa Allah menyatakan pesan-nya kepada umat manusia. Pesan itu mengatur pemikiran dan tingkah laku, dan seringkali dirangkum dalam lima atau enam kategori kepercayaan.
Maka setelah kita mengamati secara empiris fenomena yang ada, maka dirasa perlu bagi kami untuk menjelaskan secara terperinci tentang “ Doktrin Kepercayaan Islam ’’. Agar orang islam dapat memahami dan dapat memakai hakikat islam sesungguhnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud pengertian doktrinal?
2.      Bagaimana Contoh Pemahaman Doktrinal Hadits?
3.      Bagaiman Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits?


II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.[1]
Selain kata doctrine sebagaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: "al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.[3]
B.     Contoh Pemahaman Doktrinal Hadits
Contoh Pertama, Pemahaman Doktrinal Hadits dalam teologi yang dibangun oleh orang-orang Syi`Ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Hururiyyah, Ahli Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan dalam pemahaman hadits.

Contohnya Kedua, pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah saw :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية  فاقدروا له ثلاثين
"Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah saw:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
"Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata.[4]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.
Lalu beliau rahimahullah berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
C.     Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits
Solusi Obyektif Dalam Memahami Hadits adalah harus bisa membedakan metode penelitian ilmiah dengan akal sehat (common sense) terutama dalam proses penelitiannya. Karlinger membedakan metode ilmiah dengan metode akal sehat dalam 5 hal, yaitu :
1.      Pertama-tama pada penggunaan pola konseptual dan struktur teoritis dalam menjelaskan gejala. Pendekatan dengan  akal sehat menggunakan teori dan konsep secara longgar, sedangkan pendekatan ilmiah menggunakan teori dan konsep secara ketat dan terkendali. Pada pendekatan akal sehat, penjelasan tentang gejala atau fenomena tertentu sering diterima begitu saja tampa mempertanyakan lebih mendalam.
2.      Dalam pendekatan ilmiah, dan hipotesis di uji secara sistematis dan empiris. Pada pendekatan akal sehat, teori dan hipotesis di uji juga, tetapi secara selektif, dan tidak obyektif.
3.      Pendekatan ilmiah, pengetahuan terhadap fenomena dilakukan secara terkendali. Cara seperti ini tidak terdapat pada pendekatan akal sehat. Untuk mengetahui sebab-sebab dari suatu peristiwa melalui pendekatan ilmiah, dikumpulkan seperangkat variabel kontrol terhadap peristiwa yang dipelajari. Semua variabel yang tidak termasuk variabel kontrol ini akan dikesampingkan. Cara seperti ini tidak dilakukan dalam pendekatan akal sehat.
4.      Pada pendekatan akal sehat, dua fenomena yang muncul sering langsung dihubungkan dalam satu hubungan sebab akibat tampa melalui penelitian yang di lakukan secara sistematis.
5.      Pendekatan ilmiah selalu bersifat empiris, dalam arti harus ada penjelasan tentang hubungan di antara fenomena-fenomena, yang dilakukan berdasarkan kenyataan-kenyataan realistis dan mengesampingkan semua hal yang bersifat metafisik.[8]

III.             PENUTUP
Pemakalah sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua disebabkan kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman pemakalah. Untuk itu, apabila ada kritikan maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat pemakalah harapkan, agar di penulisan berikutnya pemakalah dapat memperbaikinya.
IV.             DAFTAR PUSAKA
M. Echols. John dan Shadily. Hasan, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta.
Atho Mudzhar, M. Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA.
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA.
Gulo, W.  Metode Penelitian, grasindo pdf



[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta, hal. 192
[2] Ibid
[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek.1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta) hal.19.
[4] Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[5] Fathul Bari,  hal 4/127.
[6] Opcit Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram
[7] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8] W. Gulo metode penelitian, grasindo pdf

Wednesday, May 25, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Ashbabul Wurud Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
الحمد لله الذي أنعم علينا بأنواع النعم التي لا تحصى والصلاة و السلام على سيدنا و مولانا محمد وعلى اله و صحبه الذين أذهب عنهم الرجس وطهّرهم تطهيرا و سلّم تسليما كثيرا .
Hadits merupakan berita yang berupa ucapan, pekerjaan maupun ketetapan yang disandarakan kepada Nabi Muhammad SAW.[1] Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya hadits merupakan salah satu sumber hukum umat islam yang kedua setelah al-Qur’an al-Karim. Hadits mempunyai peranan penting dalam menentukan sebuah hukum, yaitu meguatkan suatu hukum yang telah ada dalam al-Qur’an, menjelaskan dengan detail hukum tersebut dan menerangkan cara pelaksanaan suatu hukum.
Hadits termasuk salah satu diantara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan dunia. Begitu besar perhatian ulama’ terhadap kajian dan studi untuk mempelajari dan memahami hadits. Para ulama’ telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusuun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hadits. Salah satunya yaitu dengan adanya ilmu asbabul wurud.
فإن من أنواع علوم الحديث معرفة أسبابه كأسباب نزول القرآن، وقد صنف فيه الأئمة كتبا في أسباب نزول القرآن، واشتهر منها كتاب الواحدي ولي فيه تأليف جامع يسمى " لباب النقول في أسباب النزول ".
وأما أسباب الحديث فألف فيه بعض المتقدمين ولم نقف عليه، وإنما ذكروه في ترجمته، وذكره الحافظ أبو الفضل ابن حجر في " شرح النخبة ".
وقد أحببت أن أجمع فيه كتابا، فتتبعت جوامع الحديث، والتقطت منها نبذا، وجمعتها في هذا الكتاب، والله الموفق والهادي للصواب.
فصل قال شيخ الأسلام سراج الدين البلقيني في كتابه " محاسن الاصطلاح "،: النوع التاسع والستون معرفة أسباب الحديث.
قال الشيخ أبو الفتح القشيري المشهور بابن دقيق العيد رحمه الله في " شرح العمدة " في الكلام على حديث: " إنما الأعمال بالنيات " في البحث التاسع: شرع بعض المتأخرين من أهل الحديث في تصنيف أسباب الحديث، كما صنف في أسباب النزول للكتاب العزيز فوقفت من ذلك على شئ يسير له.[2]
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud. Sebagian hadits ada yang mempunhyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak memiliki. Untuk kategori pertama, mengerahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman(misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadits. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau dalam memahami hadits.[3]
Teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah. Sebab, dibalik sebuah teks atau matan tersebut terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadits.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin sedikit mengurai menganai ilmu asbabul wurud al-hadits yang sangat penting fungsinya dalam memahami sebuah teks hadits.
KAJIAN TEORI
          Secara etimologis ”asbabul wurud” merupakan susunan idlofah, yang berasal dari kata asbab dan wurud. Kata ”asbab adalah bentuk jama’ dari kata “sabab”, yang berarti segala sesuatu yang dapat mehubungkan pada sesuatu yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari waroda, yaridu, wuruudan yang berarti datang atau sampai .
عرف أهل اللغة السبب بفتح السين والموحودة بأنّه الحبل. جاء في اللسان : أنّ ذلك في لغة هذيل. واختار له : أنّه كلّ شيئ يتوصل به إلى غيره.
الورود والموارد بمعنى المناهل أو الماء الذى يورد. [4]
Secara terminologi menurut As-suyuti, asbabul wurud diartikan sebagai berikut:
أنّه مايكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أوخصوص أوإطلاق أوتقييد أو نسخ أو نحو ذلك.
Artinya : “sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits”.
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqie, asbabul wurud adalah :
علم يعرف به السبب الذى ورد لأجله الحديث والزمان الذى جاء به.
            Artinya : ilmu yang menerangkan sebab-sebab dan masa-masa Nabi Muhammad SAW menuturkan sabdanya.
          Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa asbabul wurud merupakan konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau atau pertanyaan atau yang lainnya yang terjadi pada saat hadits tersebut disampaikan oleh Rasulullah SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits tersebut bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, naskh atau mansukh, dan lain sebagainya.[5]
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami kaji pada pembahasan ini adalah : Bagaimana cara memahami hadits dengan menggunakan asbabul wurud ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penyebab Munculnya Hadits dan Cara Mengetahuinya
Ada beberapa penyebab hadirnya hadits, diantaranya adalah :
1.      Berupa ayat al-Qur’an, artinya ayat al-Qur’an menjadi penyebab Rasulullah SAW menyampaikan hadits.
2.      Berupa Hadits, artinya pada saat itu Nabi menyampaikan suatu hadits, akan tetapi ada sebagian sahabat yang merasa kesulitandalam memahami apa yang dikehendaki Nabi sehingga hadits lain pun muncul.
3.      Berupa kasus yang terjadi atau sesuatu yang dikonsultasikan kepada Nabi atau jawaban yang diberikan oleh Nabi untuk merespon pertanyaan maupun pernyataan sahabat.
Adapun cara untuk mengidentifikasi hadits-hadits yang mempunyai asbabul wurud diantaranhya adalah :
1.      Diketahui dalam satu rangkaian hadits itu sendiri. Untuk kasus hadits seperti ini, maka akan lebih mudah bagi kita memahami konteks pada saat hadits tersebut disampaikan Nabi.
2.      Sebab hadirnya hadits yang tidak tertuang dala satu rangkaian redaksi hadits, namun diketahui melalui hadits lain dengan sanad yang berbeda. Untuk kasusu seperti ini, maka perlu adanya usaha yang lebih komprehensif dalam melakukan ekksplorasi hadits lain yang mengandung relevansi dan pesan yang serupa.[6]
B.     Urgensi mempelajari Asbabul Wurud
Menurut Imam As-Suyuthi, adapun urgensi mempelajari asbabul wurud adalah :
1.      Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak
2.      Mentafshil hadits yang masih nersifat global
3.      Menentukan ada atau tidak adanya naskh dalam hadits
4.      Menjelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hadits
5.      Menjelaskan maksud suatu hadits yang masih musykil.[7]
C.    Memahami kandungan Hadits dengan menggunakan Asbabul Wurud
1.      Al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi umum al-Lafdzi dan penerapannya
Seperti diketahui setiap asbabul wurud pasti didalamnya mencakup peristiwa, pelaku, waktu. Tidak mungkin mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.[8] Sedangkan dalam kaitannya dengan asbab wurud sebagian ulama’ berpegang pada kaidah “al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la Bi umum al-Lafdzi” yaitu patokan dalam memahami ayat atau hadits adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum.
Ulama’ telah membahas telah membahas hubungan antara sebab yang terjadi dengan ayat yang turun. Hal ini dianggap penting, karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum, sebagai akibat darinya, berdasarkan bunyi lafadznya, atau terkait dengan sebab berhadapan, yang masing-masing berbunyi :  
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب                                                
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sabab”
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”
            Al-Zarqani dalam mengawali pembahasan tentang hubungan antara sebab dengan jawaban sebagai akibat atas sebab itu menyatakan, bahwa jawaban atas suatu sebab ada dua kemungkinan;
  1. Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang bebas, dalam arti berdiri sendiri atau terlepas dari sebab yang ada.
  2. Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang tidak bebas, dalam arti tetap terkait secara langsung dengan sebab yang ada.[9]
Sebagian ulama’ lain berpendapat, bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafadz yang umum, karena lafadz yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehinggan pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya. [10]

Penerapan kaidah al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafdzi dalam Hadits
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(BUKHARI - 4073) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Perlu diketahui bahwa asbab wurud  hadits ini adalah pernyataan Rasulullah terkait gaya kepemimpinan anak perempuan kaisar persia yang mengantikan Kisra ayahnya. Ia dibunuh oleh anak laki-lakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh ayahnya sendiri, Syairuwiyah, maka ia memerintahkan kepada pembantunya yang setia untuk membunuh ayahnya setelah ia mati. Berselang enam bulan sejak kematian ayahnya, Syairuwiyah mati dengan cara diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja, karena disamping membunuh ayahnya, Syairuwiyah juga membunuh saudaranta yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran binti Syairuwiyah bin Kisra bin Barwis. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta kerajaan. Ia dikenal otoriter dan tidak meredam konflik antar suku di wilayah Persia. Tidak lama kemudian kerajaannya hancur berantakan, karena kepemimpinannya dianggap gagal.
Dalam konteks ini Nabi Muhammad bersabda; “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka”. Hadits ini diungkapkan Nabi dalam rangka pemberitahuan, hanyab sebuah informasi yang disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimate hukum dan tidak memiliki relevansi hukum.[11]
Dengan demikian hadits diatas harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak dapat digeneralisasikan, akan tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu. Bukan merupakan larangan semua kaum sesudahnya agar tidak menyerahkan pemerintahan kepada perempuan.
2.      Al-Ibrah bi ‘Umumil Lafdzi la bil Khusus al-Sabab dan penerapannya
“yang menjadi ibrah (pegangan) ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sabab”.
            Diatas merupakan kaidah ushuliyyah yang menemukan momentumnya. Suatu saat Nabi Muhammad sebagai penyampai syari’at dari Allah memilih untuk menggumakan redaksi kata umum, sementara pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sesuatu yang lebih spesifik, maka bisa difahami bahwa yang dikehendaki memang keumumannya, disamping para sahabat dan tabi’in setelahnya juga sepakat untuk menjadikan keumuman sebuah teks sebagai pertimbangan dan hal utama yang mereka jadikan sebagai pegangan, walaupun penyebab munculnya teks-teks tersebut khusus. [12]
            Ayat yang memiliki sebab tertentu, apabila ayat itu berupa perintah atau larangan, maka ayat itu mencakup person yang bersangkutan dan person lainnya yang memiliki kesamaan khusus, atau yang sama kedudukan dan keadaannya. [13]
            Jumhur ulama’ berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus pada hal-hal yang serupa dengan itu. [14]
Penerapan kaidah al-Ibrah bi ‘Umumil Lafdzi la bil Khusus al-sabab dalam Hadits
            Dalam persoalan mandi pada hari jum’at, imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Abdullah Ibnu Umar sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Apabila salah seorang di antara kalian datang untuk sholat jum’at, maka hendaklah mandi”.
            Hadits ini disabdakan Nabi karena sebab khusus. Pada masa itu, kebanyakan dari para sahabat masih hidup dalam keadaan ekonomi yang sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma dan memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja, kebanyakan dari mereka langsung ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Sehingga, bau keringat menganggu ketenangan dan kekhususan para jamaah. Kemudian, kemudian, ketika Nabi berkhutbah bersabda; “Wahai sekalian manusia, jika kalian melksanakan shalat jum’at. Hendaklah mandi terlebih dahulu, dan pakailah minyak wangi terbaik yang ada padanya”.
            Jumhur ulama’ mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit, dan lain-lain. Namun, apabila kondisinya telah berubah, kondisi umat Islam sudah makmur, masjid-masjid yang luas, pakaian mereka terbuat dari kain yang bagus, maka ada kelonggaran untuk tidak mandi ketika  hendak menunaikan shalat jum’at.
            Apabila kita amati dengan baik, pendapat yang disampaikan oleh jumhur ulama’ berdasarkan kaidah “al-Ibratu bi Umum al-Lafdzi la bi Khusus al-Sabab” (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman teks bukan kekhususan sebabnya). Dengan memaparkan kaidah ini, maka hadits ini berlaku bagi siapa saja yang menyebabkan munculnya hadits tersebut. Isi hadits tersebut tidak mengikat kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan perilaku peristiwa dan dalam kondisi yang berbeda.
            Jika memahami hadits tersebut dilepaskan dengan asbabul wurudnya, maka bisa disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib, sebagaima pendapat Daud al-Dzahiri yang cenderung memahami teks-teks agama secara harfiyah. Pendapat seperti ini muncul akibat pemahaman yang tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks sebab yang melatar belakangi. [15]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
          Dalam memahami suatu literatur, baik al-Qur’an maupun al-Hadits kita harus memahami historisitas bagaimana literatur tersebut dapat muncul. Karena kita ketahui bahwasanya kedua sumber hukum tersebut datang tidak dalam ruang yang hampa. Akan tetapi keduanya datang untuk memberikan suatu pembelajaran bagi kehidupan manusia agar lebih terarah.
            Di dalam penafsiran al-Qur’an ilmu yang membahas sejarah datangnya wahyu tersebut dinamakan asbabun nuzul, sedangkan dalam al-hadits dinamakan asbabul wurud. Ilmu ini sangat berguna dalam memahami literatur yang ada dengan meninjau kembali sejarah dimasa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qadhi. Samir bin Sami, Nailus Suul fi Syarhi Luma’il Ushul, Beirut: Syarikah Darul Masyari’, 2012,  vol. 1.
Al-Qattan. Manna’ Khalil, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H.
As-Shalih. Subhi Ibrahim, Ulum al-Hadits wa Mustholahuhu, Beirut : Dar al-Ilmi lil Malayin, 1984.
As-Suyuthi. Jalaluddin, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M.
Baidan. Nasruddin, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011,
Fudhaili. Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadits-Hadits, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012
Munawwar. Said Agil Husin, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Sattar. Abdul, Konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya terhadap Tampilan Redaksi Hadis (Studi Tentang Asbabul Wurud), Semarang : IAIN Walisongo.
Shihab. M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001.


[1] Subhi Ibrahim as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mustholahuhu, Beirut : Dar al-Ilmi lil Malayin, 1984, h. 3.
[2] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h. 65.
[3] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 6.
[4] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h. 10.
[5] Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud : Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, h. 8-9.
[6] Abdul Sattar, Konsiderasi Rasional Sabda Nabi dan Pengaruhnya terhadap Tampilan Redaksi Hadis (Studi Tentang Asbabul Wurud), Semarang : IAIN Walisongo, h. 21-28.
[7] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadits, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H/1984 M, h.11-17.
[8] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2007, hal.89
[9] Nasruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal.147
[10] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H, hal. 85
[11] Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadits-Hadits, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012 hal.279-280
[12] Samir bin Sami al-Qadhi, Nailus Suul fi Syarhi Luma’il Ushul, Beirut: Syarikah Darul Masyari’, 2012,  vol1, hal. 351
[13] Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asb al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001, hal.190-191
[14] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ulum al-Qur’an, Mansyuratul ‘Ashr al-Hadits, 1990 M/1411 H, hal. 84.
[15] Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab al-Wurud, Semarang: Rasail Media Group, 2001, hal.191-194