Tuesday, December 27, 2016

Hadis dengan Syarah Hadits


A.    Langkah-langkah
1.      Uji validitas hadis yang akan disyarahi.
2.      Mengumpulkan hadis yang setema. Mengumpulkan matan-matan yang semakna dengan yang disyarahi.
3.      Jika hadis-hadis tersebut bertentangan. Maka diteliti mana yang lebih kuat dari segi sanadnya.
4.      Jika hadis-hadis yang bertentangan tersebut memiliki kualitas yang sama, maka dilakukan proses seperti:
a.       Al-Jam’u wa At-Taufiq
Kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai dengan konteksnya.
Contoh Larangan dan Kebolehan Buang Hajat Menghadap Kiblat
أن النبي قال إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة ولا تستدبروها ببول ولاغائط ولكن شرقوا أو غربوا قال أبو أيوب فقدمنا الشام فوجدنا مراحيض قد بنيت قبل القبلة فننحرف عنها ونستغفرالله قال نعم[1]
“Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar...”
فقال عبدالله بن عمر لقد ارتقيت يوما على ظهربيت لنافرأيت رسول الله على لبنتين مستقبلا بين المقدس لحاجته[2]
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis diatas tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat dilapangan terbuka, sedangkan yang melakukan buang hajat ditempat tertutup, misalnya di WC, Larangan tidak berlaku. Penyesuaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam’u[3]
b.      Tarjih
Contoh :  أنه كان يصبح جنبا وهوصائم(Hadis riwayat ‘Aisyah),  من أصبح جنبا فلا صوم له (Hadis riwayat Abi Hurairoh)
Diantara dua hadis diatas, yang paling Rajih adalah hadis riwayat Aisyah hal ini dikarenakan ‘Aisyah adalah istri Nabi yang otomatis lebih mengetahui keadaan Rasul dibanding Abu Hurairoh.
c.       Nasikh
Larangan dan Kebolehan Nikah Muth’ah
Kebolehan nikah muth’ah
 “sesungguhnya beliau (Rasulullah) telah mengizinkan kamu sekalian untuk melakukan nikah muth’ah, maka lakukanlah nikah muth’ah tersebut”
Larangan nikah muth’ah
 “barang siapa yang (saat ini) ada dari kalangan istrinya yang dikawini secara muth’ah, maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan pada mereka itu
Secara tekstual hadis diatas tampak saling bertentangan, hadis pertama membolehkan praktik nikah mut’ah sedangkan hadis kedua melarang. Berdasarkan petunjuk dari berbagai hadis nabi tentang nikah muth’ah maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya, secara universal nikah muth’ah itu dilarang. Pada waktu itu, secara temporal nikah muth’ah pernah diperbolehkan, yang kemudian diikuti larangan, dan larangan itu menasakh hadis hukum dalam hadis sebelumnya dan berlaku untuk selamanya.
Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan sesuatu yang bersifat dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu problem solving atas sesuatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun sunnah, kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama.
Oleh karena itu, ijtihad dalam syarah hadits yaitu suatu cara berfikir sungguh-sungguh para ulama dengan segenap kemampuannya untuk menginterpretasikan atau mensyarahi suatu hadits agar diperoleh suatu pemahaman baru yang mungkin biasanya memunculkan suatu hukum-hukum yang berkembang.
Dari hadits masyhur tentang yang diriwayatklan dari muadz bin jabal ketika dia diutus nabi Muhammad ke Yaman dapat diperoleh kesimpulan bahwa sumber-sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Oleh karena itu, sejauh perkembanganya dalam ruang lingkup pensyarahan terhadap suatu hadits, ijtihad juga dilakukan setelah melalui seperti tahap mensyarahi hadits yang dikompromikan dengan al-Qur’an, hadits dengan hadits kemudian hadits dengan ijtihad yang mana hal itu dimaksudkan agar memperoleh pemahaman hadits secara sempurna dan komprehensif.[4]


Part 1

[1]  Imam Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 2 hal.72.
[2] Imam Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 1 hal.252.
[3] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal.75.
[4] M alfatih suryadilaga, meodologi syarah hadis, SUKA-PRESS Sunan kalijaga,Yogyakarta 2014. h 133

Monday, December 26, 2016

Pemikiran A. J. Wensick

Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadis, kami akan mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadis terletak pada fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah. Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah Islam, fungsi hadis sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
Persoalan pertama tentang hadis yang menarik perhatian Wensinck adalah persoalan yang menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam. Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk tidak menyebutkan semua) tidak otentik karena ia berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen. Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar besaran kedalam perkataan Nabi Muhammad saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya The Importance of Tradition for Study of Islam :
“Moslem tradition is however a term wich in Arabic is expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes a communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the saying or actions mentioned; the latter means "use" and "tradition", in our case the exemplar way in which  Mohammed used to act and to speak. So hadith is the form, sunna the matter. Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewishconception the Law was revealed ....”[1]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadis terkontaminasi dari budaya sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke dalam hadis. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke dalam hadis.
Jadi, menurut Wensinck hadis merupakan komposisi campur-aduk antara ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi yang dihisap dari Kristen, Yahudi, Yunani (Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di muka, boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah agama-agama Semit, Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check otentisitas sebuah matan hadis dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadis, dalam arti sejauh mana orisinalitas dan genuinitas matan sebuah hadis sebagai produk ajaran Islam, Wensinck melakukan ‘kritik’ terhadap sebuah matan hadis dengan kenyataan dan fakta-fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga riwayat hadis tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni: tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadis juga menyangkut persoalan apakah sebuah hadis benar-benar berasal dari ucapan Nabi atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadis, yang dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya adalah cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama Hijriyah. Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadis sebagai hasil pergulatan teologis generasi sahabat.[2]
Wensinck menyatakan bahwa hadis adalah sumber utama untuk apa yang disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena hampir tidak ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadis. Dengan demikian, bagi Wensinck, hadis merupakan sumber informasi utama bagi perkembangan awal teologi Islam.

C. Metode Kajian Hadis Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik sejarah’ (historical criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticismtertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author), waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical method), yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’ ditambah dengan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam.[3]
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara menghadapkan hadis dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.



[1] A.J.Wensinck, The Importance of Tradition for Study of Islam, The Moslem World, 1921, hal.239
[2] M. Anwar Syariffuddin, Op.Cit,  hlm. 125
[3] Ibid, hlm 125

Pemikiran-Pemikiran Rene Descartes


1. Rasionalisme
Rasonalisme adalah paham filsafat yang menekankan bahwa akal adalah alat untuk memperoleh dan mengetes pengetahuan, dengan kata lain akal sebagai sumber dari pengetahuan. Yang berarti mendahului atau lebih tinggi dan terlepas dari persepsi-persepsi indera.[1] Berlatar belakang seorang matematikus yang merupakan ilmu pasti dan sangat mengandalkan akalnya, Cartesius berpendapat bahwa akal adalah sumber pengetahuan, bukan bersumber pada doktrin-doktrin agama yang bersifat spekulatif, yang pada saat itu merupakan paham yang paling berpengaruh.[2] Pada masa itu lebih kita kenal dengan zaman skolastik.
Tujuan Descartes adalah untuk mendapat kejelasan tentang segala sesuatu. Dan hal itu hanya bisa dicapai menggunakan akal untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk, bukan yang lainnya.[3]
Dalam aliran rasionalisme pikiran bersifat pasti dan tidak seluruhnya ditentukan oleh apa yang ada di luar akal. Karena apa yang ada di luar akal dapat berubah-ubah. Seperti halnya pandangan Galilei tentang gerak benda pada ruang kosong tidak terpengaruhi oleh berat benda. Pandangan itu jauh melampaui Aristoteles dan itu bukan disebabkan oleh kualitas mata yang lebih baik atau kecepatan benda itu yang berubah akan tetapi disebabkan pengetahuan yang berbeda.[4]

2. Keraguan (Cogito)
Metode ini adalah metode yangg ia gunakan untuk berfilsafat. Descartes memulai dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia meragukan segala sesuatu yang dapat diindera. Ia meragukan badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena adanya pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan pengalaman roh halus.
Pada langkah awal ia dapat meragukan semua yang dapat diindera. Dari semua yang dapat diindera, ada sesuatu yang muncul. Yang selalu muncul itu adalah gerak, jumlah, dan besaran (volume). Setelah ia mengujinya, iapun dapat meragukannya.[5]
Hanya ada satu yang tak bisa diragukan lagi. Tak seorangpun bahkan iblispun tak bisa menipu kita. Apa itu ? yaitu: bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Aku ragu-ragu atau aku berfikir, dan oleh karena aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Aku berada karena aku berfikir. Jadi aku ada adalah sesuatu yang berfikir, suatu subtansi yang seluruh tabiat dan hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau suatu bersifat bendawi. Cogito (aku berfikir) adalah pasti, sebab cogito adalah jelas dan terpilah-pilah. Ciri khas kebenaran yang dapat dipastikan adalah “jelas dan terpilah-pilah”.[6]

3. Ketuhanan
Dalam pemikirannya tentang Tuhan, Descrates memulai dengan pertanyaan benarkah ada Tuhan? Siapakah Tuhan yang ada itu?. Dari pertanyaan itu dia mulai mencari tahu sendiri tanpa berpegang pada yang lain dan menjatuhkan pertanyaan itu padam dirinya sendiri sehingga mendapatkan jawaban:
a.       Waktu saya merasa diri saya sendiriberada dalam kekurangan, saya merasa ada zat yang benar-benar sempurna. Dan ketika itu juga saya mau tidak mau harus mengakui bahwa perasaan itu ditanamkan oleh zat yang sempurna itu, yang tidak ada kekurangan sedikitpun, dan zat itu adalah Tuhan.
b.      Saya tidak dapat menjadikan diri saya sendiri. Sebab jika saya menjadikan diri saya sendiri, pastilah saya akan memberikan segala kesempurnaan pada diri saya. Karena saya tidak bisa memberi kesempurnaan itu, maka itu adalah tanda bahwa bukan saya yang menjadikan diri saya.[7]
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan segala sesuatu yang sudah jelas dan terang (terpilah-pilah) adalah benar pula. Hal ini sudah menjamin tentang adanya Tuhan, sebab mustahil bahwa gambaran-gambaran yang jelas dan terang benerang sebagaimana telah ditanamkan ke dalam jiwa kita oleh Tuhan (Tuhan sendiri merupakan kebenarannya) adalah gambaran-gambaran yang tidak jelas. Jadi adanya Tuhan itu merupakan suatu hal yang pasti.[8]

Kesimpulan
Rene Descartes adalah filosof dari`Prancis. Ia adalah seorang filosof yang bercorak renaissance. Ia juga dijuluki sebagai bapak filsafat modern dan juga filosof beraliran rasionalisme.
Rasonalisme adalah paham filsafat yang menekankan bahwa akal adalah alat untuk memperoleh dan mengetes pengetahuan, dengan kata lain akal sebagai sumber dari pengetahuan.
Inti pemikiran Rene Descartes adalah aku ragu-ragu, atau aku berfikir, oleh karena aku berfikir maka aku ada. Hal ini lebih terkenal ddengan metode cogito.
Descartes menjamin tentang adanya Tuhan, sebab mustahil bahwa gambaran-gambaran yang jelas dan terang benerang sebagaimana telah ditanamkan ke dalam jiwa kita oleh Tuhan (Tuhan sendiri merupakan kebenarannya) adalah gambaran-gambaran yang tidak jelas. Jadi keberadaan Tuhan itu hal yang pasti.
Mungkin hanya ini makalah tentang Rene Descartes yang dapat kami persembahkan. Makalah jauhlah dari kata sempurna. Karena kurangnya pengetahuan kami. Untuk itu kami mohon kritik dan saran dari para pembaca.


[1] Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hlm.277-278
[2] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. 2003. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hlm.128
[3] Ibid. Hlm.129
[4] Drs. M.A.W. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, B. Ph. 1986. Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman. Bandung: Alumni.  hlm.53
[5] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Op.Cit. hlm.129-131
[6]  Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.21
[7] Dr. Hamzah Ya’kub. 1984. Filsafat Ketuhanan.  Bandung:  Alma’arif. hlm.58
[8] Dr. A. Epping O. F. M. Dkk. 1983. Filsafat Ensie. Bandung: Jemmars. Hlm.210

Sanggahan Ibn Rusyd Terhadap al-Ghazali

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filosof dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Dari 20 persoalan yang dilontarkan al-Ghazali ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan kebangkitan jasmani.[1]
1. Qadimnya alam
Menurut Al-Ghazali, pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran. Ibn Rusyd, begitu juga para filosof  lainnya, berpendapat bahwacreatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, atau cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[2]
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.
Dalam Fashl al-Maqal..., Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
a.       Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
b.      Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
c.       Jenis Ketiga, Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang buka dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.[3]
2. Pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat)
Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal kecil.  Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) rincian, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juz’iyyah) yang materi itu.[4]
3. Kebangkitan jasmani
Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna. Menurut Ibnu Rusyd, filosof mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filosof hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn Rusyd  dengan al-Ghazali  berkisar sekitar interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam diciptakan. Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini sesuai sabda Nabi “Jika seorang benar dalam ijtihadnya ia mendapat dua pahala, dan jika salah, mendapat satu”. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijma’, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma’ ulama secara pasti.[5]




[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 83-84
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,  Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2012, hlm. 226-228
[3] Zakiah Daradjat,dkk. Pengantar Filsafat Islam. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jam'ah Ar-Raniry Banda Aceh.1983. hlm. 100
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam...op.cit., hlm. 229-230
[5]  Ibid,

Metodologi Riffat Hasan

Metodologi Riffat Hasan
Sebelum membahas metodologis  teologi feminisme  Riffat  Hassan, ada baiknya terlebih  dahulu dijelaskan bagaimana pendekatan (approach) yang digunakan Riffat dalam  konstruksi  pemikirannya. Sebagaimana dijelaskan dalam  salah  satu  artikel  yang  dimuat  jurnal  Ulumul Qur’an, Feminisme dan al-Qur’an -- artikel ini merupakan hasil wawancara Wardah Hafidz dengan Riffat Hassan -- dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat menggunakan pendekatan dua level yaitu: Pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk melihat bagaimana al-Qur’an  menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif  tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an, tingkah lakunya, relasinya  dengan Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri.  Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka untuk melihat secara empirik realitas sosiologis yang terjadi dan dialami perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang perempuan dalam  masyarakat  Islam.[1] Dua  pendekatan  ini  dalam  realitasnya merupakan  intertwine. Dalam pengertian  bahwa di antara kedua pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia adalah satu kesatuan. Melalui dua pendekatan ini, Riffat berupaya mendapatkan realitas empirik sekaligus gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan  evaluasi,  penilaian  dan  kritik  terhadap realitas yang dialami kaumnya. Berdasarkan pendekatan ini Riffat mampu  membaca adanya kesenjangan antara idealitas-normatif  dan  realitas  empiris  yang  dialami  kaum perempuan.
Hal inilah yang  kemudian  mendorongnya  untuk  melakukan pelacakan  dan  sekaligus pengkajian secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan yang telah  membentuk  sedimen  dalam  realitas  sosio-historis masyarakat Muslim. Selain pendekatan di atas, Riffat juga menggunakan pendekatan historis di dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Hal ini adalah sesuatu yang secara niscaya mesti dilakukan dalam  rangka  untuk  mencermati  secara  kritis realitas Islam yang telah berdiri kokoh  dalam  bangunan  sejarah.  Sebagaimana dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam  Islamic Religious Tradition  bahwa untuk dapat  memberikan  pemaknaan  yang  benar  terhadap  Islam,  pendekatan  historis adalah  sebuah  keniscayaan.  Hal  ini  tidak  lain  karena  Islam  sebagai  sebuah  visi hidup dalam realitasnya tidak sepi dari dialektikanya dengan realitas sejarah yang selalu berubah dan berkembang.[2]
Melalui pendekatan yang dipilihnya ini memungkinkan Riffat untuk secara leluasa  melakukan pengkajian-pengkajian berkenaan dengan teks-teks yang terhampar dalam  realitas  empiris  sosiologis  maupun yang  telah terekam  dalam  sejarah  peradaban  manusia  melalui warisan tertulisnya. Pendekatan  ini  kemudian  dikombinasikan  dengan  serangkaian  kerangka metodologi. Dalam hal ini ia memang tidak secara eksplisit-holistik menjelaskan kerangka metodologi  yang gunakan. Namun demikian, berdasarkan sebaran  pemikiran  yang  dikedepankannya,  kita  setidaknya  bisa  melacak  dan membuat  konstruksi  berkenaan  dengan  hal  tersebut.  Berikut  akan  dijelaskan konstruksi metodologi teologi feminisme Riffat Hassan.
Pertama,  metode  dekonstruksi.  Metode  ini  digunakan  Riffat  sebagai sebuah  keniscayaan  tidak  lain  karena  hakekat  dicetuskannya  ide  tentang  teologi feminisme tidak lain adalah untuk membongkar dan melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai konsep keagamaan yang bias patriakhi. Menurut Riffat, adanya diskriminasi  dan  segala  bentuk  ketidakadilan  yang  menimpa  kaum  perempuan dalam  lingkungan  umat  Islam  bersumber  dari  adanya  pemahaman  yang  bias  dimana  orientasi  patriarkhi  sangat  kental  mewarnai  wajah-wajah  pemahaman  alQur’an.  Al-Qur’an adalah sumber utama dan paling otoritatif dalam tradisi Islam. “Of  all  the  sources  of  Islamic  tradition,  undoubtedly,  the  most  important  is  the Qur’an  which  is  regarded  by  Muslims  in  general,  as  primary  and  most authoritative  sources  of  normative  Islam” demikian Riffat Hasan menjelaskan.[3]
Kedua, metode hermeneutik. Salah  satu  upaya  signifikan  yang  mesti dilakukan  berkaitan  dengan adanya realitas ketidak adilan terhadap perempuan adalah dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an yang selama ini  dijadikan  instrumen  legitimasi  bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini metode hermeneutik menjadi sebuah keniscayaan. Hermeneutik, sebagaimana asal katanya  ‘hermeneutikos’ yang berarti ‘upaya menjelaskan dan menelusuri’ adalah sebuah upaya menghadirkan, membaca, dan  memaknai  kembali  sebuah teks masa  lalu  sehingga  sesuai  dengan  realitas kekinian. Carl Braaten dalam “History and Hermeneutics” secara lebih  detail menjelaskan bahwa hermeneutik adalah “sebuah ilmu  yang  mencoba menggambarkan  bagaimana  sebuah  kata   atau  suatu  kejadian  dalam  waktu  dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang”.[4] Hermeneutik,  dengan  demikian,  dapat  kita  fahami  akan senantiasa melibatkan tiga hal mendasar yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi. Melalui metode hermeneutik ini Riffat melakukan pengkajian kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dalam relasinya dengan teologi  feminisme  yang dikonstruksinya.
Dalam kinerja hermeneutiknya, sebagaimana dijelaskan dalam Women’s Interpretation of Islam, Riffat menggunakan tiga prinsip utama dalam interpretasi, yaitu:  Pertama,  akurasi  linguistik.  Prinsip  ini  pada  dasarnya  berupaya  untuk mendapatkan  makna  sebuah  terma  atau  konsep  secara  tepat  dengan  melihat  dan merujuk kepada semua leksikon klasik dan lain-lain apa  yang dimaksud  dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan.  Kedua, kriteria konsistensi filosofis (criterion of philosophical consistency). Prinsip ini adalah untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata (dalam al-Qur’an) itu secara  filosofis konsisten dan tidak bertentangan.  Ketiga, kriteria etis  (ethical criterion). Prinsip ini digunakan sebagai acuan dan bingkai (frame) utama dalam melakukan kritik, evaluasi dan sekaligus langkah progresif dalam membaca al-Qur’an. “Apabila Tuhan  adil,  keadilan  itu  haruslah  terefleksikan di dalam al-Qur’an. Tuhan tidak dapat melakukan ketidakadilan. Apabila tampak ketidakadilan di dalam al-Qur’an,  meskipun dari sudut pandang manusia, penafsir haruslah berupaya mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya”.[5]


Kesimpulan
Riffat Hasan dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Ia bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas. Diusia ketujuh belas ia berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.
Menurutnya, perempuan juga mempunyai hak. Diantaranya adalah hak dalam politik, hak dalam memilih pekerjaan, serta hak dan kewajiban belajar. Refleksi pemikirannya terkait hal-hal tentang problem perempuan dalam islam, dekontruksi tradisi islam, feminisme, dan transformasi sosial islam.
Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat  menggunakan pendekatan dua level yaitu: pendekatan ideal-normatif dan pendekatan empiris. Melalui pendekatan-pendekatan terseut, ia merumuskan metodologinya. Metode dekonstruksi dan metode hermeneutik.
Aplikasi  metodologis  ini  dapat  dengan  jelas  kita  lihat misalnya ketika Riffat menjelaskan dan melakukan reinterpretasi kata adam. Reinterpretasi ini menjadi keniscayaan dalam konteks teologi feminismenya tidak lain karena sebagaimana diketahui  bahwa  terdapat  asumsi teologis mendasar yang menjadikan  perasaan superioritas  laki-laki  atas  perempuan,  dari  sisi  penciptaan,  adam  adalah  sosok mahluk  pertama  maskulin  dan  berasal  dari  padanya  penciptaan Hawwa  berasal. Riffat  pun  mempertanyakan,  benarkah  adam  sebagai  mahluk  yang  pertama kali diciptakan  tersebut  sosok  laki-laki  sebagaimana  yang  menjadi  maistream pemikiran  umat  Islam  selama  ini?   Dalam  upaya  pembacaan  ulang  tersebut, Riffat  melakukan  pelacakan  terminologis  untuk  mendapatkan  maknanya  yang akurat.
Kata  adam adalah  istilah  Ibrani  berasal  dari  kata  adamah yang  artinya tanah.  Kata  yang  muncul  di  dalam  al-Qur‟an  sebanyak  dua  puluh  lima  kali  ini dalam relasinya dengan fenomena penciptaan manusia hanya muncul sekali, Surat Ali Imran, 3: 59 dan itu pun hanya berbicara dalam konteks bahwa  adam  adalah sosok  mahluk  yang  diciptakan  dari  tanah  dan  sama sekali tidak menjelaskan secara  eksplisit  tentang  jenis  kelaminnya.[6] Pemaknaan  bahwa  adam  berjenis kelamin maskulin, menurut Riffat, tidak lain berasal dari “analisis” linguistik yang selama  ini  dilakukan  oleh  para interpretator.  Secara  linguistik  kata  benda   itu memang maskulin namun bukan menyangkut jenis kelamin, bahkan berdasarkan pemahaman  terhadap  ayat-ayat  lainnya  seperti  surat  al-A’raf,  7:  26,  27,  31,  35, 172; dan al-Isra’, 17: 70, istilah “adam” berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu kepada seluruh manusia.[7]
Berdasarkan analisis tersebut sebuah kesimpulan meyakinkan yang dapat ditarik, adalah tidak bisa langsung diartikan bahwa adam itu laki-laki. “Al-Qur’an tidak pernah menyatakan  bahwa  adam  adalah  manusia  pertama  dan  tidak  pula menyatakan  bahwa  ia  laki-laki”, demikian  kata  Riffat.  Hal  ini  berarti  bahwa pemahaman  secara  kontekstual  terhadap  term  adam  dan  zauj  sebagaimana  yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 35, al-A’raf, 7: 19 dan Taha, 20: 117 menjadi sebuah  kemestian.  Kata  zauj  yang  biasa  ditafsirkan  sebagai  “Hawwa”, bagi Riffat,  menjadi  tidak  relevan  lagi.[8] Hal  ini  tidak  lain  karena  kalau  term  adam tidak lagi dimaknai sebagai sosok manusia maskulin, maka berarti kata  zauj  tidak dapat  dimaknai  sebagai  ‘Hawwa’  yang  feminim. Itulah  sebabnya  Riffat memaknainya  secara  kontekstual sebagai sesuatu yang menunjukkan terhadap pengalaman  hidup  manusia  secara  kolektif,  laki-laki  dan  perempuan  secara bersama-sama. Melalui  pembacaan  ulang  sebagaimana di atas, secara  jelas Riffat telah melakukan kontekstualisasi terhadap teks al-Qur’an. part 1  part 2




[1] Taufik  Abdullah  dan  M.  Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.87
[2] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (ed.),  The Study of the Middle East, (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1976), h.31
[3] Riffat  Hassan,  Are  Human  Right  Compatible  with  Islam?  The  Issue  of  the Right  of Women in Muslim Communities, dalam Jurnal Profetika, Vol 3, No. 1, Jauarri 2001, h.26
[4] Carl Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: Forterrs, 1966, h.131
[5] Riffat  Hassan,  Women’s  Interprretation  of  Islam,  dalam  Hans  Thijsen  (ed.), Women and Islam in Muslim Society, (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h.116
[6] Ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”.(Q.S. Ali Imran, 3: 59.
[7] Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Op.Cit., h.58
[8] Ibid, h.59-60