Rukhsoh
Secara etimologi , rukhshoh berarti kemudahan,
kelapangan dan kemurahan. Secara terminologis, menurut ulama ushul fiqh adalah
:
الحكم ثابت على خلاف الدليل العذر
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur.”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang
mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap)
mengandung arti bahwa rukhsah itu berdasarkan dalil yang
ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yan ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi
yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhsah, suatu yang
memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan
dalam makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang
sudah ada. Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam
defenisi ini agar mencakup rukhsah untuk melakukan perbuatan
yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka
puasa bagi orang yang musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum
sunnah, seperti meninggalkan shalat jamaah karena hujan dan lain sebagainya.[1]
Hukum rukhsah dikecualikan dari hukum azimah yang umum hanya
berlaku ketika ada udzur yang berat dan kadar yang diperlukan saja. Hukum
rukhsoh datang setelah hukum azimah.[2] Ditegaskan
dalm surat Al-Baqoroh, 2 : 173 yang berbunyi :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173)
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”[3]
Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan
yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
Hukum
Menggunakan Azimah dan Rukhsoh
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum menggunakan
azimah adalah diwajibkan atau diharuskan. Karena azimah sendiri adalah hukum
yang disyari’atkan sejak semula berupa hukum-hukum umum. Sedangkan rukhsoh pada
dasarnya adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tututan hukum
azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya boleh, baik dalam
mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang perintah.
Namun dalam hal menggunakan hukum rukhsah bagi orang yang memenuhi syarat untuk
itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhsah itu
tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya rukhsah itu. Dengan
demikian menggunakan hukum rukhsah itu dapat menjadi wajib seperti memakan
bangkai bagi orang yang tidak mendapat makanan halal, sedangkan ia khawatir
jika tidak menggunakan rukhsah akan membahayakan dirinya.[4]
Dalam menentukan pilihan yang paling
afdhol antara rukhshah dengan azimah terdapat
perbedaan pendapat ulama ushl fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
yang paling afdhal adalah memilih azimah, sedangkan sebagian ulama
lain menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.[5]
Contoh-Contoh
Hukum Azimah yang Mendapatkan Rukhsoh
1. Memperpendek
shalat lima waktu karena bepergian.
2. Membatalkan
puasa karena musyafir.
3. Mengusap
khuff lebih dari satu malam, karena menepuh perjalan yang panjang.
4. Dapat
bertayamum walaupun air melimpah ruah, dengan udzur sakit.
5. Tidak
batal puasanya karena makan dan minum pada siang hari sebab lupa.
6. Ketidaktahuan,
seperti tidak tahu bahwa berdehem itu membatalkan shalat.
7. Kesulitan
secara umum, seperti shalat dalam keadaan najis yang dibolehkan seperti darah
luka, bisul, atau kusta.
8. Minum
khamar atau hal-hal yang diharamkan karena terpaksa.
9. Memakan
daging babi atau bangkai, sebab tidak ada lagi makanan selain itu dan apabila
tidak memakan itu dapat menyebabkan kematian.
10. Kekurangan,
ini juga termasuk jenis masyaqqah, karena jiwa ini dibuat untuk mencintai
kesempurnaan, lalu disesuaikan dengan keringanan dalam taklif (pembebanan).
Contohnya adalah seperti anak kecil dan orang gila yang tidak kena taklif, juga
perempuan yang tidak kena taklif sebagian yang diwajibkan kepada lelaki seperti
shalat berjamaah, shalat Jumat, berjihad, membayar jizyah, dan yang lainnya.[6]
No comments:
Post a Comment