Wednesday, January 11, 2017

Keterkaitan Perintah Allah dengan Hukum Kemasyarakatan (Pemimpin)‎

Dalam shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzarr:
ان رسول الله ص.م. سئل : أي الكلام أفضل ؟ قال : "ما اصطفى الله لملا ئكته سبحان الله و بحمده
"Bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya: 'Ucapan apa yang pahng baik?' Beliaumenjawab: 'Yaitu apa yang dipilih oleh Allah SWT bagi para Malaikat-Nya; Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya."
Mengenai firman-Nya قال اني اعلم ما لا تعلمون”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Qatadah mengatakan : “Allah SWT sudah mengetahui bahwa diantara khalifah itu akan ada para Nabi, Rasul, kaum yang shalih dan para penghuni surga.”
Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah ummat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dan "Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula."
Imam itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama Ahlus Sunnah terhadap kepemimpinan Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap 'Umar bin Khathab ra. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan 'Umar bin al-Khathab ra. Atau dengan kesepakatan bersama ahlulhalli wal 'aqdi untuk membai'atnya, atau dengan bai'at salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam al-Haramain merupakan ijma' (konsensus), Wallahu a'lam. Atau dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya ditaati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam asy-Syafi'i.[1]
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dam memimpin diri sendiri (Hadis : “kullukum raain wa kullukum mas uulun ‘an raiyyatih”-Mutafaqun’Alaih). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh adalah menegakkan keadilan dibidang ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat. Dalam masyarakat yang tidak menganal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektisyang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangangolongan yang didorong oleh ketidak serasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpuln kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam.bila sudah mencapai batas maksimal, pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.
Dalam masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudak oleh harta benda. Tidak lagi pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru malah dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan. Oleh karena itu, menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar saja, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan.[2]





[1] DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Isyhaq Alu Syaikh. Tafsir Ibnu Kasir Jilid 1. Hlm. 97
[2] Nurcholish Majid, dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Hlm. 15-16

No comments:

Post a Comment