Thursday, January 12, 2017

Faktor Penyebab Enggannya Seseorang Bertilawatil Qur’an

Seseorang yang enggan bertilaawatil qur’an tentu memiliki beberapa faktor penyebabnya. Diantaranya adalah sebagai berikut.
1.      Karena Citra yang Kurang Baik dari Nenek Moyang Kita tentang Al-Qur’an.
Kita ditunjukkan bahkan juga mungkin dilibatkan dalam kegiatan mereka dengan Al-Qur’an. Misalnya kita melihat Al-Qur’an sering dibaca di sisi orang yang merenggang nyawa (hampir meninggal), atau ketika berziarah kubur, dan memohon berkah untuk kesembuhan orang sakit. Kitab yang disucikan kertas-kertasnya itu, dicium, dijadikan pembukaan berbagai acara, ditulis sebagai kaligrafi lalu digantung atau dicetak sebagai hiasan di ruang emas atau perak. Semua itu kita terima begitu saja seakan-akan memang begitulah semestinya ia diperlakukan, dan itu sudah sejak dulu, sejak ia diturunkan. Sehingga dalam benak kita ketika mendengar kata “membaca Al-Qur’an”, maknanya bukan membaca dalam arti memahami yang manfaatnya dapat kita petik sendiri, melainkan membacakan untuk orang lain. Atau yang tercetus dalam pikiran adalah mengeja deretan huruf dengan benar serta melagukannya dengan indah. Apa yang dimaksud dengan membaca adalah “mengeja kata”. Mungkin kita pernah menyadari hal itu. Namun, kemudian kesadaran itu tenggelam karena kita tidak bisa berbuat apa-apa sementara dorongan dari lingkungan kita begitu kuat. Kebiasaan yang mengakar kuat mengalahkan daya kritis kita. Kita larut dan ikut dalam kenikmatan itu. Kita pun akhirnya ikut merasa cukup membaca Al-Qur’an dengan tartil sambil melagukannya dengan lagu-lagu tertentu. Dan lagu itu menjadi terbiasa di telinga kita hingga kita lupa memperhatikan maknanya. Kita pun merasa tergugah oleh Al-Qur’an dan merasa terpengaruh olehnya, tanpa menyadari bahwa kita terpengaruh oleh karena lagu Al-Qur’annya, bukan (kandungan) Al-Qur’an.
2.      Karena Melupakan Tujuan Al-Qur’an
Banyak orang membaca Al-Qur’an (Tilaawatil qur’an) hanya dengan membaca lafalnya saja dan melupakan tujuan Al-Qur’an sehingga tidak memahami isi dan kandungannya. Tujuan Al-Qur’an, bukan untuk dibaca saja, tetapi juga untuk diamalkan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk diamalkan. Siapa yang mengamalkan Al-Qur’an maka ia pantas disebut ahli Al-Qur’an. Orang yang membacanya dituntut untuk memahaminya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kita membacanya secara tartil dan tidak tergesa-gesa, sehingga pemahamannya memancar dalam lubuk dan jejak-jejak keimanan akan muncul dalam perilaku”
Tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk (hidayah)  jalan kebaikan bagi diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana pernyataan Al-Qur’an sendiri dalam surat Yunus ayat 57 yang artinya:“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
3.      Karena Minder Memahami Hikmah Al-Qur’an dengan Pikirannya
Sebagian orang, minder untuk berusaha memahami hikmah Al-Qur’an dengan pikirannya. Kita segan memahaminya secara langsung tanpa bantuan kitab tafsir, untuk mengetahui makna kata dan ayat. Tapi justru sikap seperti itu menurut Ibn Taimiyah menghambat orang untuk memahami Al-Qur’an. Salah satu penyebab rasa minder itu adalah kita terlalu percaya pada sebuah anggapan bahwa memahami Al-Qur’an harus mendalam dan mendetail. Beberapa orang yang bermaksud memetik Al-Qur’an merasa harus berhenti pada setiap kata untuk memahami maknanya dan mendalami isinya. Sehingga mereka mampu membaca beberapa ayat saja, kemudian lelah, lalu berhenti. Cara membaca seperti ini memang memperkaya pemahaman dan menambah keimanan. Tapi juga bisa membuat jenuh dan bosan. Tidak ada keharusan untuk tahu secara mendetail dalam memahami Al-Qur’an. Memahami secara garis besarnya, yakni mengetahui pesan moral dari ayat-ayat yang kita baca sudah cukup. Ibn Masud pernah berkata “Jangan berbuat bid’ah, jangan memaksa diri membaca Al-Qur’an secara fasih, jangan memaksa diri memahami Al-Qur’an secara mendalam. Jangan memaksa diri. Lakukan semampu kalian.”
4.      Karena Memburu Pahala
Anggapan bahwa Al-Qur’an hanyalah sumber pahala dan keberkahan, harus diluruskan. Sudah umum dipahami bahwa membaca satu huruf Al-Qur’an bernilai sepuluh kebaikan. Dari pemahaman seperti itu banyak orang yang enggan merenungkan Al-Qur’an. Mereka lebih memilih berlomba-lomba mengkhatamkan sebanyak dan secepat mungkin. Khususnya pada bulan Ramadhan. Jadi membaca bukan lagi menjadi sarana untuk memahami Al-Qur’an melainkan telah menjadi tujuan sendiri. Itulah kesalahan kita selama ini.
5.      Karena Menghafal Al-Qur’an
Akibat ambisi seorang penghafal yang ingin cepat mendapatkan hafalannya dan menjaganya, mereka menjadi lupa dan enggan akan Tilaawatil Qur’an (membaca Al-Qur’an)Seolah-olah menghafal adalah tujuan Al-Qur’an diturunkan. Padahal menghafal adalah satu cara untuk memudahkan mereka memetik manfaat Al-Qur’an, selain berdoa dengannya di manapun tanpa tergantung mushaf. Imam M. Ghazali, seperti yang dikutip Majdi Al-Hilali, berkata “Aku sudah menghafal Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Namun hafalan itu membuatku tidak memedulikan maknanya. Sampai aku dewasa, menghafal Al-Qur’an tanpa memahami maknanya, aku pun tumbuh tanpa memahami apa-apa. Proses menghafal membuang waktuku untuk merenungi Al-Qur’an. Dan aku tidak ingin mengulanginya lagi.”
6.      Karena Mempunyai Penyakit Hati, Merasa Berdosa, Kotor dan Tak Pantas Membaca  Al-Qur’an yang Suci
 Anggapan ini keliru, mereka yang beranggapan demikian merasa harus membersihkan diri lebih dulu sebelum mendekati Al-Qur’an. Setelah berusaha mendekatkan diri, mereka ragu-ragu apakah sudah bersih belum. Mereka terombang-ambing. Sesungguhnya tidak perlu demikian. Sebab hal seperti itulah yang menjadi penghalang seseorang memetik manfaat dari Al-Qur’an. Majdi Al-Hilali menegaskan bahwa beliau tidak bermaksud mengecilkan pengaruh maksiat dan penyakit hati dalam upaya memahami Al-Qur’an dan menyerap nilai-nilai Al-Qur’an. Dengan pendapat di atas, sebenarnya beliau ingin mengatakan bahwa jiwa yang sakit pun, bisa diobati dengan Al-Qur’an. Karena seharusnya, jiwa yang sakit sudah sepantasnya kembali ke Al-Qur’an yaitu dengan bertilaawatil qur’an.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, Acep Iim. 1995. Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap. Bandung: Diponegoro.
Al-Balady, Athiq bin Ghaits. Terjemah Fadhail al-Qur’an Menurut Hadits-Hadits Rasulullah SAW. Semarang: CV. Toha Putra.
Al-Jamzuri, Sulaiman. 1992. tth. Fathu al-Aqfal. Semarang: Maktabah ‘Alawiyah.
Al-Qaradhawi, Yusuf . 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an ; penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta : Gema Insani Press.
Ash-Shabunniy, M.Ali. 1999. At-Tibyan Fi Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia.
Djalal, Abdul. 2008. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: GAMA MEDIA.


Khon, Abdul Majid. 2011. Praktikum Qira’at. Jakarta : AMZAH.

Munir, M. Misbachul. 1997. Pedoman Lagu-lagu Tilaawatil Qur’an dilengkapi dengan Tajwid dan Qasidah. Surabaya: Apollo.

No comments:

Post a Comment