Wednesday, November 30, 2016

Study Kitab Syarah Hadits tentang Sejarah Perkembangan Syarah Hadis

Pengertian syarah hadis Nabi SAW

            Secara khusus, term syarah berasal dari Bahasa arab “syaraha, yashrahu, syarhan yang berarti menjalaskan menafsirkan, menerangkan, memperluas, mengembangkan, membuka, menguraikan, dan mengulas. Term ini sering disebut pula sebagai keterangan tambahan (hasyisyah), atau ta’liq (catatan tepi). Berdasarkan keterangan diatas, maka antara syarah dan tafsir mempunyai satu pengertian dan fungsi yang sama yaitu memberikan keterangan penjelas. Term syarah hadis merupakan hasil dari sebuah proses transformative dari istilah yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh al hadis.[1]
Syarah hadis dari embrionya hingga masa syurukh

1.      Masa nabi SAW
Pada dasarnya embrio syarah muncul sejak zaman rasulullah, meski pada saat itu istilah syarah belum begitu dikenal dan lebih dikenal dengan istilah fiqh al hadis atau fahm al hadis. Praktek yang terjadi pada masa itu adalah rasulullah menjadi tempat bersandar seluruh sahabat dalam segala urusan, baik itu mengenai bidang keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Di masa rasulullah hidup, hampir seluruh permasalahan ummat dapat diselesaikan dihadapan rasulullah, karena syarah hadis pada masa rasulullah merupakan satu kesatuan rangkaian hadis itu sendiri mengingat seluruh rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan rasulullah merupakan hadis. sehingga rasullah merupakan al syarih al awwal.
Sebagaimana contoh berikut :
a)              Hadis dalam bentuk perbuatan yang diriwayatkan oleh malik bin al huwairis bahwa nabi SAW bersabda صلوا كمارأيتموني أصلى    pada hadis tersebut rasulullah memberikan penjelasan atau syarah dalam bentuk perbuatan dan pernyataan.
b)        Hadis dalambentuk pernyataan yang diriwayatkan oleh anas bin malik bahwa rasulullah SAW bersabda أنصر أخاك ظالما أو مظلوما    [2]
2.      Periode sahabat
Pada masa ini, syarah hadis belum mempunyai bentuk sendiri, artinya apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis nabi belum dinamai syarah melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah para sahabat dan tabi’in adalah apa yang disandarkan kepada rasulullah.[3] Setelah rasulullah wafat, semangat mencari hadis mengalami masa “taqlil al riwayat” hal ini dilakukan untuk menghindari hadis-hadis yang tidak jelas sumbernya dari rasulullah. Pada masa itu istilah syarah juga belum muncul, namun demikian aktifitas mereka dalam memahami hadis tercermin dalam kepekaan mereka untuk metode kritik matan dari riwayat-riwayat yang ada. Disamping itu mereka selalu bersandar terhadap sahabat senior, seperti abu bakar, umar, usman, ali, ibnu abbas dan lain sebagainya untuk menanyakan persoalan agama sehingga para sahabat besar sudah mulai menginterpretasikan beberapa hadis yang dimilikinya sesuai dengan konteks munculnya hadis tersebut.[4]
3.      Periode tabi’in
            Pada periode ini mereka masih belum disibukkan dengan aktifitas mensyarahi hadis secara formal, karena disamping mareka masih mengetahui asbabul wurud dari hadis-hadis nabi, syarah masih belum terlalu dibutuhkan pada saat itu. Mengingat masih banyaknya para ahli hadis yang dapat dijadikan sandaran dalam setiap persoalan yang muncul.[5]
4.      Perkembangan syarah selanjutnya
1)      Masa pembukuan hadis (abad II - abad III)
Sejarah berkata bahwa sejak masa pembukuan hadis, syarah hadis meski belum marak dan resmi, namun sudah mulai nampak. Terbukti disela-sela kesibukan ulama dalam pemilahan dan penyusunan kitab hadis nabi kedalam bentuk yang lebih sistematis, pada periode ini ternyata sudah mulai ditemukan kitab syarah hadis nabi (101-399H). diantaranya : ‘alam as sunan syarah terhadap al jami’ as shahih karya abu sulaiman ahmad bin Ibrahim bin al khaththabi al busti (w. 388H).
2)      Masa penelitian hadis dan pengumpulan hadis yang memiliki karakteristik dan kulitas husus (400- 656H an)
Pada dekade ini penulisan syarah masih dalam kategori biasa dan belum sesemarak mungkin. Hal ini dikarenakan para ulama masih disibukkan dengan katifitas penelitian dan pengumpulan hadis yang memilki karakteristik dan kualitas husus. Pada masa ini ditandai dengan munculnya kitab al-Muktabis karya imam al-Bathalyusi (444-521 H).
3)      ‘Ashr al-Syurukh
            Dalam sejarah ilmu hadis, pada periode inilah disebut sebagai periode gencar-gencarnya syarah hadis, karena pada masa ini syarah hadis banyak bermunculan dan tak terbilang jumlahnya. Fakta ini berangkat dari dua hal, pertama, ulama sudah tidak disibukkan lagi dengan urusan hadisnya itu sendiri, karena mereka sudah merasa cukup dengan hasil kodifikasi ulama sebelumnya. Kedua, tradisi syarah muncul seiring dengan semakin mundurnya kaum muslimin.
Era pensyarahan ini sudah dimulai sejak tahun 656 H. Pada masa inilah para Ulama’ mengalihkan perhatiannya dari menyusun kitab-kitab hadits menjadi menyusun kitab-kitab syarah mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab athraf, dan jawa’id serta menyusun kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Diantara Ulama’ yang masih melakukan penyusunan kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih ialah Ibnu Hibban al-Bisri, Ibnu Huzaimah, dan al-Hakim an-Naisaburi.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Diantara kitab syarah hadis pada abad ke 7 hingga masa berikutnya ini antara lain:
§  Kasf al githa’ fi syarh mukhashar al muwaththa’ karya Abu Muhammad bin Abil Qasim al-Farhuni, al-Ya’muri at-Tunisi (w. 763H)
§  Syarhul muwaththa’ karya Abul Majdi Uqaili bin Athiyyah al-Qudla’I (w. 608H)
§  Al muhalla bi asrar al muwaththa’ karya Salamullah al-Hanafi (w. 1229H) [6]
Kitab-kitab syarah hadits yang tumbuh pada masa inihingga sekarang antara lain :
§  Fath al ‘allam bi syarh al I’lam bi ahadis al ahkam karya Abu Yahya Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’I al-Khazraji (825-925H)
§  Ibanah al ahkam bi syarh bulug al maram karya Alwi Abbas al-Maliki wa Hasan Sulaiman an-Nawawi.
§  Nail al authar min ahadis sayyid al akhyar syarh muntaqa al akbar karya Muhammmad bin Ali ibn Muhammad asy-Syaukani (1172-1255 H)
§  Subul al salam syarh bulug al maram karya al-Amir al-Shan’ani (1099-1182 H).[7]
Masa perkembangan hadits yang disebut terakhir ini terbentang cukup ppanjang, dari mulai abad keempat hijriah dan terus berlangsung beberapa abad kemudian sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.[8]

KESIMPULAN
            Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya hadis pun mampu diselamatkan seperti halnya al-Qur’an al-Karim melewati beberapa fase untuk menuju pelestarian literatur yang sesungguhnya. Keresahan para ulama’ terhadap penyelewengan hadits menjadi pendorong utama untuk membukukan teks-teks hadis dari berbagai sumber.
            Seiring dengan perkembangan tersebut, pensyarahan pun dilakukan untuk mengembangkan teks-teks tersebut agar masyarakat lebih mudah untuk memahami dan mengetahu segala sesuatu yang dikehendakinya. Usaha yang sangat melelahkan dan begitu panjang untuk menuju kesempurnaan ilmu pengetahuan.
            Setiap perjuangan pasti menghasilkan sebuah hasil, begitu pula usaha pensyarahan ini. Banyak karya yang muncul pada masa perkembangan ini, seperti halnya kitab-kitab yang mensyarahi kitab-kitab hadits shahih pada masa sebelumnya.


[1] Hasan asy’ari ulama’I, metode tematik memahami hadis Nabi, semarang :UIN Walisongo, 2010, hlm. 34
[2]Ibid hlm. 37-39
[3] Ibid hlm. 40
[4] Al fatih suryadilaga, metodologi syarah hadis, Yogyakarta : UIN SUKA Pers , 2012, hlm. 6
[5] Ibid
[6] Ibid  hlm. 7-11
[7] Hasan asy’ari ulama’I, metode tematik memahami hadis Nabi, semarang :UIN Walisongo, 2010, hlm. 49
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993, h. 79.

No comments:

Post a Comment