Wednesday, November 30, 2016

Studi Qur'an: Feminimisme Riffet Hasan

PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Saw., tafsir al-Qur’ân ini berupa pemberian penjelasan kepada sahabat-sahabat  beliau, tentang kandungan al-Qur’ân, khususnya tentang ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Redaksi ayat al-Qur’ân, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut, yaitu Allah Swt. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman tafsir. Dalam al-Qur’ân para sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa serta arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman.[1]
Salah  satu  hal  terpenting  ketika  menelaah  sebuah  arus  pemikiran  yang berkembang  dalam  Islam  adalah  bagaimana  mengkaji  dan  memahami  kerangka metodologi  yang  digunakan.  Hal  ini  dikatakan  penting  tidak  lain  karena  kalau diibaratkan  bahwa  sebuah  arus  pemikiran  sebagai  sebuah  produk  dari  pabrikan, maka  konstruksi  metodologi  mencoba  untuk  memahami  bagaimana  sebuah produk itu muncul, bagaimana sebuah produk itu dihasilkan, bagaimana langkah-langkah  yang dipakai.  Demikian  halnya  dengan  apa  yang  akan  dibahas  dalam tulisan ini. Kami akan mencoba untuk mengkaji bagaimana sebuah arus  pemikiran teologi  feminisme itu  diproduksi  dan  dihasilkan  dalam  ranah  pemikiran  Islam modern.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu tokoh yang menawarkan sebuah metodologi memahami tentang feminisme yang ada dalam al-Qur’an.

Riwayat Hidup Riffet Hasan
Ia dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Tujuh belas tahun perjalanan hidupnya digambarkan sebagai penuh kegelapan dan tiada keindahan. Apa yang diingat dengan jelas dari kenangan masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah rumah yang dihuni banyak orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996). Riffat Hasan bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup yang sangat tradisional terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan seseorang yang telah dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar seorang yang baik dan suka membantu menyelesaikan masalah orang lain. Sementara ibunya bersikap tak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional khususnya kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Penolakan ibunya terhadap cita-cita dan praktik budaya patriarkhi serta komitmennya untuk membebaskan anak perempuannya dari chardewari (empat dinding) rumah tangga yang terpusat dan didominasi laki-laki menempatkannya ke dalam kategori feminis radikal.
Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah sebagai figur penyelamat yang selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang dikagumi dan dicintai banyak orang adalah figur yang menakutkan, mewakili moralitas adat dalam sebuah masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan sejak saat dilahirkan. Tiga hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup adalah keyakinannya akan Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaannya yang dalam kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal tersebut, hingga akhirnya ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang membanggakan. Di usia kesebelas kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai seorang feminis bermula, hal itu terutama karena peristiwa pernikahan kakak perempuannya yang berusia enam belas tahun dengan lelaki kaya tapi berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha menolak namun tetap saja tak kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana penolakan perempuan untuk tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah. Dari peristiwa inilah ia menyadarkan dirinya untuk belajar berperang, mempertahankan hidup dari tekanan dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai bergolak dan itu semua berpuncak tatkala Riffet Hasan di usia ketujuh belas berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.[2]
Karir intelektual Riffat mulai menampakkan kemantapannya sejak ia menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara ini, ia menduduki jabatan sebagai Ketua Jurusan Religious Study Program di University of  Lousville,  Kentucky.  Selain  itu,  ia juga  menjadi  dosen tamu di Harvard  Divinity School. Pada saat  menjadi  dosen  tamu inilah  ia  berhasil menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang didasarkan  pada risetnya selama  setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai penasehat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma, Stillwater.[3]
Setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya Pakistan hingga ia kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar. Namun karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih menonjol dibanding suaminya, dan hidup di masyarakat yang menilai laki-laki harus lebih dari perempuan membuat pernikahannya tidak berusia lama. Setelah gagal untuk yang pertama kali, Riffat Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud, seorang Muslim Arab Mesir, yang berusia tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud terbiasa memerintah untuk melakukan apa saja yang diinginkan atas nama Tuhan dan Riffat dianggap tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam menolak untuk melakukan apa yang menyenangkan hati suami sama dengan menolak melakukan apa yang disenangi Tuhan. Perkawinan kedua ini berlangsung singkat, tetapi melelahkan Riffat Hasan secara fisik dan mental karena berada di tangan seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebih-lebihan, tapi juga seorang fanatik yang bisa meminta atas nama Tuhan untuk melakukan tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak berperasaan terhadap manusia yang lain. Pengalaman hidup yang demikian itulah yang membuatnya menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan muslim atas nama Tuhan.[4] part 2  part 3




[1] Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, Mesir: Dâr al-Kutûb al-Haditsah, 1961, h. 59
[2] Fatima Mernisi dan Riffat  Hassan,  Setara di Hadapan Allah, (terj.) Tim LSPPA, Yogyakarta: LSPPA, 2000. h.25
[3] Ibid

No comments:

Post a Comment