Wednesday, November 30, 2016

Pemboikotan Nabi Muhammad SAW dan Pengepungan Kaum Muslimin di Mekkah

PENDAHULUAN
Sosok seorang pedoman atau panutan yang ideal yang hidup dimasa lampau, yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam perubahan dunia. Sosok yang diagungkan, sosok yang dimuliakan, sosok yang dihormati,dan disanjung-sanjung oleh seluruh umat islam di dunia. Banyak orang yang mengaplikasikannya dengan bershalawat kepadanya. Tapi, apakah hal itu cukup ? Banyak dari kalangan cendikiawan berpendapat bahwa menghormati, mengagungkan, memuliakan, dan menyanjung Rasulullah SAW tidak cukup hanya dengan bershalawat kepadanya. Selain itu diperlukan untuk mengetahui sejarah hidup beliau.
Untuk itu, sebagai kaum akademisi islam, kita perlu membahas tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam studi “Sirah Nabawi”, yang telah menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW mulai dari Arab pra-isalam sampai kepada masa pemboikotan kaum Quraysh terhadap Rasullah SAW. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang umat Rasulullah SAW dari Mekkah sampai pembatalan piagam, tahun berkabung, hijrah ke Ta’if, dan isra’ mi’raj. Pada referensi dari buku karangan Muhammad Husain Haykal yang berjudul “Hayat Muhammad” yang ditranslit menjadi “The Life of Muhammad” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sejarah Hidup Muhammad”.
PEMBAHASAN
Lari dari Mekkah sampai Pembatalan Piagam
Selama tiga tahun  berturut-turut  piagam  yang  dibuat  pihak  Quraisy  untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu  Muhammad dan keluarga  serta  sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekkah,  dengan  mengalami pelbagai  macam penderitaan,  sehingga  untuk  mendapatkan  bahan  makanan sekadar  menahan rasa  laparpun  tidak  ada.  Baik  kepada  Muhammad  atau  kaum  Muslimin  tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan  suci.  Pada  waktu  itu  orang-orang  Arab  berdatangan  ke  Mekkah berziarah,  segala  permusuhan  dihentikan, tak  ada  pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.[1]
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami  Muhammad demi dakwah itu justru telah  menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak.  Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy (padahal mereka masih sekeluarga: saudara, ipar, sepupu) banyak  diantara  mereka  itu  yang  merasakan  betapa  beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Sekiranya  tidak  ada dari  penduduk  yang  merasa  simpati  kepada  kaum  Muslimin,  membawakan makanan ke celah-celah gunung tempat mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn ‘Amr termasuk salah seorang dari kalangan  Quraisy  yang  paling  simpati  kepada  Muslimin. Tengah  malam  ia  datang  membawa  unta  yang  sudah  dimuati  makanan  atau gandum.  Bilamana  ia  sudah  sampai  di  depan  celah  gunung itu,  dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu. Merasa  kesal  melihat  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  dianiaya  demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair bin Abi Umayya (Bani Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah  Atika  binti  Abdul Muttalib (Bani Hasyim).
“Zuhair” kata Hisyam, “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal,  seperti  kau  ketahui,  keluarga  ibumu  tidak  boleh berhubungan dengan orang, berjual-beli, tidak boleh  saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abul Hakam  ibn  Hisyam,  lalu  aku  diajak  seperti  mengajak  kau,  tentu  akan  kutolak.” Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan  piagam itu. Tapi meskipun  begitu  harus  mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh  Mut’im bin ‘Adi (Naufal),  Abul Bakhtari  bin Hisyam dan Zamia  bin al-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan piagam  itu dan akan membatalkannya.[2]
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokan paginya Zuhair bin Umayya berseru kepada orang banyak : “Hai penduduk Mekkah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian, padahal  Bani  Hasyim  binasa  tidak  dapat  mengadakan hubungan  dagang!  Demi  Allah  saya  tidak  akan  duduk  sebelum  piagam  yang kejam  ini  dirobek!” Tetapi  Abu  Jahl,  begitu  mendengar  ucapan  itu, iapun  berteriak: “Bohong! Tidak akan kita robek!” Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abul Bakhtari, Mut’im dan ‘Amr ibn Hisyam  mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair. Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu  dan  orangpun  sudah  menyetujui.  Kalau  dia  menentang  mereka  juga,  tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya  sudah mulai dimakan rayap,  kecuali  pada  bagian  pembukaannya  yang  berbunyi:  “Atas  namaMu ya Allah...”
Demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan  sahabat-sahabat pergi  meninggalkan  celah  bukit  yang  curam  itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan  berjual-beli  dengan  Quraisy  juga  terbuka,  sekalipun  hubungan antara keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu  kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa  penulis  biografi  dalam  hal ini berpendapat, bahwa diantara mereka yang  bertindak  menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk  menghindarkan  timbulnya  bencana,  mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan  dengan  Quraisy  dengan  misalnya  memberi  hormat  kepada  dewa-dewa mereka  sekalipun  cukup  hanya  dengan  jari-jarinya  saja  dikelilingkan.  Agak cenderung  juga  hatinya  atas  usul  itu,  sebagai  pengharapan  atas  kebaikan  hati mereka.  Dalam  hatinya  seolah  ia  berkata:  “Tidak  apa  kalau saya  lakukan  itu. Allah  mengetahui  bahwa  saya  tetap  taat.” Atau  karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu,  pada  suatu  malam  mengadakan  pertemuan  dengan Muhammad sampai pagi. Perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai  yang  dipertuan  atas  mereka,  mengajaknya  kompromi, seraya  kata mereka: “Tuan adalah pemimpin kami...”[3]
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Iniadalah dua sumber hadis,  yang  pertama  sebagian  diceritakan  oleh  Sa’id  bin  Jubair,  sedang  yang kedua  oleh  Qatada.  Kata  mereka  kemudian  Allah  melindungi  Muhammad  dari kesalahan,  dengan  firman-Nya yang berarti :
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75)
“Dan  hampir-hampir  saja  mereka  itu  menggoda  kau  tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka  mengambil  engkau  menjadi  kawan  mereka.  Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampircenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan  Kami  timpakan  kepadamu  hukuman  berlipat  ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong  menghadapi  Kami.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 73-75)
Apabila  wahyu  turun  kepadanya  memberi  peringatan  atas  perbuatannya terhadap  orang  buta  itu, dan terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang  sama  pula  seperti  ketika  menyampaikan  amanat  Tuhan itu.  Tak  ada sesuatu  yang  akan  menghalanginya  ia  menyatakan  apa  yang  sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.[4]
Jadi  kebenaranlah,  dan  hanya  kebenaran  semata  yang  ada  dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi  idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh  orang-orang  besar  sendiri.  Hal-hal  semacam  itu  biasanya  oleh  mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah  payah.  Inilah  kebesaran  yang  tak  ada  taranya,  lebih  besar  dari  orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar  dari  segala  yang  besar,  yakni  sifat  kenabian  yang  menyertai  Rasul  itu dengan  segala  keikhlasan  dan  kejujurannya  meneruskan  Risalah  Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah  bukit-bukit  itu.  Seruannya  dikumandangkan  lagi  kepada  penduduk Mekah  dan  kepada  kabilah-kabilah  yang  pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang  sudah  menjadi  pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya. part 2  part 3




[1] Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha, Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 94-95
[2] Muhammad Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas, 1972, hlm. 153-154
[3] Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad, translated by Ismail Razi A. Al-Faruqi, Chicago : The University of Chicago Press, 1968,hlm. 190-192
[4] M. Husain Haykal, Sejarah Ibid hlm. 155-156

No comments:

Post a Comment