Wednesday, November 30, 2016

Tafsir tentang Ayat-Ayat Kemasyarakatan

PENDAHULUAN

Masyarakat manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat, negara, maupun sekadar kelembagaan organisasi adalah kategori dinamis, tidak statis. Karena itu, pola kepemimpinan yang baik selamanya harus memperhatikan dinamika masyarakat tersebut. Ungkapan seharihari bahwa seorang pemimpin harus pandai membaca tanda-tanda zaman, atau jangan sampai digulung oleh perkembangan zaman, adalah petunjuk populer ke arah ketentuan kepemimpinan yang dinamis itu. Di kalangan para pemikir syariah, kesadaran akan hal ini tercermin dalam kaidah ushûl fiqh, “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman.” Dalam Al-Quran Surat Al-Qashash, 28 : 28 yang berbunyi :
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (28) 
“Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".
Jika hal tersebut kita terima sebagai hukum umum, yaitu bahwa masyarakat selamanya akan mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Maka ungkapan “kepemimpinan pada masa perubahan sosial” harus dipahami sebagai acuan kepada kondisi yang sangat khusus, yaitu kondisi perubahan sosial yang besar dan fundamental. Karena kekhususannya itu, maka pola kepemimpinan yang cocok pun memerlukan sejumlah kualifikasi tertentu yang lebih daripada tuntutan pola kepemimpinan dalam kondisi normal.[1]
Untuk itu, mari kita bahas bersama-sama masalah kepemimpinan berdasarkan sumber hukum pertama (Al-Qur’an) beserta penjelasan-penjelasannya dari berbagai sumber yang ada, menggunakan metode-metode yang sudah ada maupun yang akan muncul dengan seiring berjalannya waktu.
PEMBAHASAN

Tafsir Ayat Tentang Kemasyarakatan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]
(Hai orang-orang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta pemegang-pemegang urusan) artinya para penguasa (di antaramu) yakni jika mereka menyuruhmu agar menaati Allah dan Rasul-Nya. (Dan jika kamu berbeda pendapat) atau bertikai paham (tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah) maksudnya kepada kitab-Nya (dan kepada Rasul) sunah-sunahnya; artinya selidikilah hal itu pada keduanya (yakni jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Demikian itu) artinya mengembalikan pada keduanya (lebih baik) bagi kamu daripada bertikai paham dan mengandalkan pendapat manusia (dan merupakan rujukan yang sebaik-baiknya). Ayat berikut ini turun tatkala terjadi sengketa di antara seorang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka sedangkan Yahudi meminta kepada Nabi saw. lalu kedua orang yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi saw. yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya. Kata Umar kepada si munafik, "Benarkah demikian?" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.[3]
(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengakui diri mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu; mereka hendak bertahkim kepada tagut) artinya orang yang banyak berbuat kedurhakaan, yaitu Kaab bin Asyraf (padahal mereka sudah dititahkan untuk mengingkarinya) dan tak akan memuliakan serta tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. (Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya) yakni dari kebenaran.[4]
Ringkasnya, kita diharuskan mematuhi pemimpin (ulil amri), tetapi tidak boleh sembarangan dalam menetapkan atau memutuskannya. Karena salah memilih seorang pemimpi akan membawa kehancuran suatu masyarakat.


[1] Budhy Munawar Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Hlm 2512-2513
[2] Q.S. An-Nisa’, 4: 59
[3] Jalaluddin as-Syuyuti & Jalaluddin M. Ibn Ahmad al-Mahally. Tafsir Jalalain. An-Nisa : 59
[4] Ibid. An-Nia’ : 60

No comments:

Post a Comment