Wednesday, November 30, 2016

Tahun Berkabung dan Muhammad Pergi ke Ta’if

Tahun Berkabung atau Tahun Duka Cita
Beberapa  bulan  kemudian  sesudah  penghapusan  piagam  itu, secara  tiba-tiba sekali  dalam  satu  tahun  saja  Muhammad  mengalami  duka-cita  yang sangat menekan  perasaan,  yakni  kematian  Abu Talib dan Khadijah  secara  berturut-turut.  Waktu  itu  Abu  Talib  sudah  berusia  delapan puluh  tahun  lebih.  Setelah Quraisy  mengetahui  ia  dalam  keadaan  sakit  yang  akan  merupakan akhir hayatnya,  mereka  merasa  kuatir  apa  yang  akan  terjadi  nanti antara  mereka dengan  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya.  Apalagi  sesudah ada  Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera  mendatangi  Abu Talib, untuk  kemudian  mengatakan: “Abu Talib, seperti  kau  ketahui,  kau  adalah  dari  keluarga  kami  juga.  Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah  mengetahui  keadaan  kami  dengan  kemenakanmu  itu.  Panggillah  dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kamipun  akan  demikian.  Biarlah  kami  dengan  agama  kami dan dia  dengan agamanya  sendiri  pula.”
Muhammad  datang  tatkala  mereka  masih  berada  di  tempat  pamannya  itu. Setelah  diketahuinya  maksud  kedatangan  mereka,  iapun  berkata: “Sepatah  kata  saja  saya  minta,  yang  akan  membuat  mereka  merajai  semua orang  Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu!”  jawab  Abu  Jahl.  “Sepuluh  kata  sekalipun  silakan!” Kata  Muhammad:  “Katakan,  tak  ada  tuhan  selain  Allah,  dan  tinggalkan  segala penyembahan  yang  selain  Allah.” “Muhammad,  maksudmu  supaya  tuhan-tuhan  itu  dijadikan  satu  Tuhan  saja?” kata  mereka. Kemudian  mereka  berkata  satu  sama  lain:  “Orang  ini  tidak  akan  memberikan apa-apa  seperti  yang  kamu  kehendaki.  Pergilah  kalian!” Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan  pihak Quraisy lebih buruk  lagi  dari  yang  sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah. Khadijah yang menjadi  sandaran  Muhammad,  Khadijah  yang  telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih,  dengan  kekuatan  iman  yang  ada  padanya.  Khadijah,  yang dulu menghiburnya bila  ia  mendapat  kesedihan,  mendapat  tekanan  dan  yang menghilangkan  rasa  takut  dalam  hatinya.  Ia  adalah  bidadari  yang  penuh  kasih sayang.  Pada  kedua  mata  dan  bibirnya  Muhammad  melihat  arti  yang  penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang menjadi pelindung danperisai terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad ? Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa orang (yang bagaimanapun kuatnya), akan menusukkan racun putus  asa  kedalam  hatinya.  Ia  akan  dikuasai  perasaan  sedih  dan  duka,  akan dirundung  kepiluan  dan  akan  membuatnya  jadi  lemah,  tak  dapat  berpikir  lain diluar  dua  peristiwa  yang  sangat  mengharukan  itu.[1]
Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy  makin  keras  mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya  ialah ketika  seorang  pandir  Quraisy  mencegatnya  di  tengah  jalan  lalu  menyiramkan tanah  ke  atas  kepalanya.  Tahukah  orang  apa  yang  dilakukan  Muhammad?  Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang  mencucikan  tanah  yang  di  kepala  itu.  Ia  membersihkannya  sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar  tangis  anaknya,  lebih-lebih  anak  perempuan.  Setitik  air  mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri  adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena pilunya ia akan  menangis  kesakitan.  Juga  secercah  duka  yang  menyelinap  kedalam  hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi  mata.
Sebenarnya  Muhammad  adalah  seorang  ayah  yang  sungguh  bijaksana  dan penuh kasih kepada puteri-puterinya.  Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia hanya  menghadapkan  hatinya  kepada  Allah  dengan  penuh  iman  akan  segala pertolongan-Nya. “Jangan menangis anakku!” katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata  itu.  “Tuhan  akan  melindungi  ayahmu.” Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa  mengganggu  saya.” Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia  merasa  tertekan  sekali.[2]

Muhammad Pergi ke Ta’if dan Penolakan Thaqif
Terasing  seorang  diri,  ia  pergi  ke Ta’if,[3] dengan  tiada  orang  yang mengetahuinya.  Ia  pergi  ingin  mendapatkan  dukungan  dari Bani Thaqif terhadap  masyarakatnya  sendiri,  dengan  harapan  merekapun  akan  dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan  kedatangannya  minta  pertolongan  itu,  supaya  jangan  ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan  mereka  menghasut  orang-orang  pandir  agar  bersorak-sorai dan memakinya. Ia  pergi  lagi  dari  sana,  berlindung  pada  sebuah  kebun  kepunyaan  ‘Utba dan Syaiba  anak-anak  Rabi’a.  Orang-orang  yang  pandir  itu  kembali  pulang.  Ia  lalu duduk  di  bawah  naungan  pohon  anggur.  Ketika  itu  keluarga  Rabi’a  sedang memperhatikannya  dan  melihat  pula  kemalangan  yang  dideritanya.  Sesudah agak  reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa  yang  berisi  pengaduan  yang  sangat  mengharukan: “Allahumma  yang  Allah,  kepadaMu  juga  aku  mengadukan  kelemahanku, kurangnya  kemampuanku serta  kehinaan diriku di  hadapan manusia. Engkaulah Yang Maha  Pengasih,  Yang Maha  Penyayang.  Engkaulah  yang  melindungi  si  lemah,  dan Engkaulah  pelindungku.  Kepada  siapa  hendak  Kau serahkan  daku?  Kepada orang yang memusuhiku dan berwajah muram kepadaku, atau kepada teman dekat yang Engkau menguasai perkaraku ? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Bukannya aku tidak berhati-hati, tapi jika aku tidak berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyinari langit dan menghapus segala kegelapan, dan menguasai segala perkara di dunia  maupun di akhirat kelak. Semoga aku tidak membuat kesulitan bagi-Mu, atau Engkau murka kepadaku.  Tak ada kekuatan selain pertolongan-Mu.”[4]
Dalam  memperhatikan  keadaan  itu  hati  kedua  orang  anak  Rabi’a  itu  merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu.  Budak  mereka,  seorang  beragama  Nasrani  bernama  Eddas,  diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan  itu  Muhammad  berkata:  “Bismillah!” Lalu  buah  itu dimakannya. Eddas  memandangnya  keheranan. “Kata-kata  ini  tak  pernah  diucapkan  oleh  penduduk  negeri  ini,”  kata  Eddas. Lalu  Muhammad  menanyakan  negeri  asal  dan  agama  orang  itu.  Setelah diketahui  bahwa  orang  tersebut  beragama  Nasrani  dari  Nineveh,  katanya: “Dari  negeri  orang  baik-baik,  Yunus  anak  Matta.” “Dari  mana  tuan  kenal  nama  Yunus  anak  Matta!”  tanya  Eddas. “Dia  saudaraku.  Dia  seorang  nabi,  dan  aku  juga  Nabi,”  jawab  Muhammad. Saat itu Eddas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah  tentu  kejadian  ini  menimbulkan  keheranan  keluarga Rabi’a  yang melihatnya.  Sungguhpun  begitu  mereka  tidak  sampai  akan  meninggalkan kepercayaan  mereka.  Dan  tatkala  ‘Addas  sudah  kembali  mereka  berkata: “Eddas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu, yang masih lebih  baik  dari pada  agamanya.”[5]
Gangguan  orang  yang  pernah  dialami  Muhammad  seolah  dapat  meringankan perbuatan  buruk  yang  dilakukan  Bani Thaqif  itu,  meskipun  mereka tetap  kaku  tidak mau  mengikutinya.  Keadaan  itu  sudah  diketahui  pula  oleh  Quraisy  sehingga gangguan  mereka  kepada  Muhammad  makin  menjadi-jadi.  Tetapi  hal  ini  tidak mengurangi  kemauan  Muhammad  menyampaikan  dakwah  Islam.  Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan diri, mengajak mereka  mengenal  arti  kebenaran.  Diberitahukannya  kepada  mereka,  bahwa  ia adalah  Nabi  yang  diutus,  dan  dimintanya  mereka  mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya, bahkan dibuntutinya  ke  mana  ia  pergi.  Dihasutnya  orang  supaya jangan  mau mendengarkan. Muhammad  sendiri  tidak  cukup  hanya  memperkenalkan  diri  kepada  kabilah-kabilah  Arab  pada  musim  ziarah  di  Mekah  saja,  bahkan  ia  mendatangi  Bani Kinda ke rumah-rumah mereka, mendatangi Bani Kalb, juga ke rumah-rumah mereka, Bani Hanifa dan Bani ‘Amir bin Sha’sha’a. Tapi tak seorangpun dari mereka  yang  mau  mendengarkan. Bani Hanifa  bahkan  menolak  dengan  cara yang  buruk  sekali.  Sedang  Banu  ‘Amir  menunjukkan  ambisinya, bahwa  kalau Muhammad  mendapat  kemenangan,  maka  sebagai  penggantinya,  segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah  itu  berada  di  tangan  Tuhan,  merekapun  lalu  membuang  muka  dan menolaknya  seperti  yang  lain-lain.
Adakah  kegigihan  kabilah-kabilah  yang  mengadakan  oposisi  terhadap Muhammad  itu  karena  sebab-sebab  yang  sama  seperti  yang  dilakukan  oleh Quraisy?  Kita  sudah  melihat,  bahwa  Bani  ‘Amir  ini  mempunyai  ambisi  ingin memegang  kekuasaan  bila  bersama-sama  mereka  nanti  ia  mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai  tempat  musim  panas  bagi  penduduk  Mekah  karena  udaranya  yang sejuk  dan  buah  anggurnya  yang  manis-manis,  juga  kota  ini  merupakan  pusat tempat  penyembahan  al-Lat.[6]  Ke  tempat  itu  orang  berziarah dan  menyembah berhala. Kalau Bani Thaqif  ini sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan al-Lat  akan  hilang.  Permusuhan  mereka  dengan  Quraisypun  akan timbul,  yang sudah tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri  yang  disebabkan  oleh  keadaan  perekonomian  setempat.  Dalam menentang  Islam  itu,  pengaruh  ini  lebih  besar  terhadap  mereka  daripada pengaruh  kepercayaan  mereka  dan  kepercayaan  nenek-moyang  mereka, termasuk  penyembahan  berhala-berhala. part 1  part 3




[1] Muhammad Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas, 1972, hlm. 194
[2] M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh al-Sirah 1, terjemah Mohd. Darus Sanawi, Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar, 1983, hlm. 74
[3] Sebuah kota di Selatan Mekkah. Lihat di : Robert  Spancer, The Truth about Muhammad, New York : Regnery Publishing, Inc. 1947, hlm. 8
[4] Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha, Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 99
[5] M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh Op.cit., hlm. 77-80
[6] Dewi yang disembah kaum pagan Quraysh (kedudukannya sama dengan al-‘Uzza). Lihat di : Robert  Spancer, The Truth Op.cit., hlm. 78

No comments:

Post a Comment