Wednesday, November 30, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Perbedaan Hadis-Hadis Hukum dan Non Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
As-Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap al-Qur’an, implemtasi realistis, dan implementasi ideal islam. Pribadi Nabi Muhammad Saw itu sendiri adalah merupakan penafsiran al-Qur’an dan pengejawantahan Islam.
Pengertian ini telah diketahui oleh Ummul  Mukminin ‘Aisyah ra, dengan pemahaman dan pengetahuannya dan dengan pergaulannya bersama Rasulullah saw. Maka ia mengungkapkannya dengan ungkapan cemerlang mengandung kedalam arti, ketika ia ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, ia menjawab:
خلقه القرأن
Budi pekertinya adalah al-Qur’an
Maka siapa saja yang ingin mengetahui metode praktis islam dengan segala karakteristik dan rukun-rukunnya, maka hendaknya ia mengetahuinya secara rinci dan dengan pengejewantahan dalam as-sunnah an-Nabawiyyah, baik dari segi ucapan, perbuatan ataupun persetujuan.[1]
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami kaji pada pembahasan ini adalah : Bagaimana cara memahami hadits dengan membedakan antara hadis-hadis hukum dan hadis-hadis non hukum?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis-Hadis Hukum dan Non Hukum
Sunnah Rasul merupakan salah satu objek kajian para Orientalis yang hendak menghancurkan dan meluluh lantahkan literatur suci ini. Banyak dari mereka yang berusaha sekuat tenaga untuk mencipatakan keraguan dalam hati umat Islam sendiri. Bahkan modern ini banyak yang berasumsi bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah adalah dimaksudkan sebagai hukum syari’ah (tasyri’). Padahal menurut pengertian awal sunnah bukanlah seperti itu.
Dewasa ini umat Islam terbagi menjadi dua golongan yang saling bertentangan secara tajam dalam menyikapi masalah ini :
·         Satu golongan ingin menjadikan seluruh apa yang terdapat dalam sunnah sebagai tasyri’, yakni sebagai undang-undang atau hukum syari’ah yang mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat di setiap zaman, tempat, dan keadaan.
·         Golongan yang lain ingin memisahkan sunnah dari seluruh persoalan hidup yang nyata : adat istiadat, mu’amalat, politik, ekonomi, menejemen, peperangan,  dan lain sebagainya. Menurut mereka semua urusan ini mesti diserahkan kepada masyarakat.
Ada perang debat antara dua golongan tadi,mengenai sunnah makan dan cara-caranya:Golongan pertama menolak makan dimeja makan dan menggunakan sendok dan garpu. Golongan ini hanya mau makan dengan duduk di lantai,makan dengan tangan dan menjilati jari setelah makan dengan niat meneladani(secara keliru) perbuatan Nabi SAW Mereka menyangka bahwa orang yang tidak melakukan cara-cara itu adalah menyalahi sunnah.
Golongan lain menganggap bahwa makanan dan minuman adalah persoalan hidup yang selalu berkembang,berubah,dan berbeda sesuai keadaan lingkungan dan masa. Agama tidak mengajarkan kepada manusia bagaimana cara makan dan bagaimana pula cara minum. Apakah makan dengan tangan atau alat semisal sendok. Agama juga tidak memberikan perhatiannya kepada,apakah mereka makan dengan tangan kanan ataukah dengan tangan kiri.
Apabila kita memperhatikan dua golongan tadi,maka kita jumpai bahwa golongan pertama berangkat dari dasar keinginan yang sangat kuat untuk mengikuti jejak Rosul SAW dalam segala keadaan dan situasi, serta ingin sekali mengikuti seluruh hal yang pernah dilakukan Rosulullah. Sikap ini tercermin dari sifat kesederhanaanya, tawadlu’nya, dan sifat kezuhudannya ditengah-tengah gemerlap kehidupan dunia, dan beliau menjauhkan diri dari sifat orang-orang yang boros dan sewenang-wenang. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan meniru perilaku Nabi semacam itu adalah terpuji dan mendapatkan pahala karena niatnya yang besar untuk mengikuti jejak Rosul SAW. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar R.A. dan sahabat-sahabat yang lain.
Tetapi mereka itu keterlaluan dan keliru karena menganggap seluruh perbuatan tadi sebagai Sunnah dan agama.Mereka juga keliru apabila menentang orang yang tidak melakukan hal-hal seperti itu;penentangan ini tidak pada tempatnya.Sebenarnya sebagian besar yang mereka anggap sebagai Sunnah hanyalah merupakan adat-istiadat orang Arab yang sesuai dengan lingkungan dan masa ketika itu,dan Rosul yang melakukan sedemikian itu untuk menjaga adat kaumnya.
Adapun golongan lain telah mencampuradukkan antara peraturan-peraturan yang diperhatikan agama dan yang tidak. Memang agama tidak memperhatikan apkah kamu makan di lantai ataukah di meja, makan dengan tangan ataukah dengan sendok dan garpu. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama tidak memperhatikan tatacara makan; agama menganjurkan agar kita makn dan minum dengan tangan kanan, bukan tangan kiri. Ini tidak hanya karena Nabi SAW senang menggunakan tangan kanan dalam segala hal, tetapi karena anjuran beliau dalam masalah ini sangat jelas; baik dalam bentuk larangan maupun perintah.[2]
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi berkata: “Ketauhilah bahwa sunnah yang datang  dari Nabi SAW dan yang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis itu terbagi menjadi dua:
Petama, Sunnah dalam bentuk penyampaian risalah. Dalam hal ini Allah berfirman: “Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7)
Di antara Sunnah yang termasuk dalam pembagian ini adalah :
1.      Ilmu mengenai hari akhirat dan keajaiban alam malakut. Sunnah yang berhubungan dengan persoalan ini seluruhnya beliau terima berdasarkan wahyu.
2.      Syariah dan peraturan mengenai ibadah dan akad transaksi sesuai dengan peraturan yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagian masalah ini beliau tetapkan berdasarkan wahyu dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad; di mana ijtihad beliau kedudukannya sama dengan wahyu . Karena Allah SWT menjaga beliau dari menetapkan pendapat yang keliru. Tidak semestinya ijtihad beliau itu berdasarkan teks-teks Qur’an sebagaimana anggapan banyak orang. Justru ijtihad beliau itu merupakan penjelasan dari maksud dan tujuan syari’ah dan hukum-hukum lain yang telah diajarkan oleh Allah SWT kepada beliau.
3.      Kebijaksanaan dan kebaikan yang bersifat umum yang tidak beliau tetapkan waktunya dan batas-batasnya. Misalnya penjelasan tentang akhlak yang terpuji dan akhlak yang tecela. Dasar masalah tersebut biasanya adalah ijtihad, dalam pengertian bahwa Allah SWT menetapkan kaidah-kaidahnya, kemudian beliau mengeluarkan hukumnya dan menegaskannya secara global.
4.      Amal yang utama dan keutamaan orang yang beramal. Kita tahu bahwa sebagian masalah tersebut berdasarkan wahyu dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad.
Kedua, Sunnah bukan dalam bentuk penyamaian risalah. Diantara Sunnah dalam kategori ini ialah :
1.      Ilmu medis.
2.      Kebiasaan Rasulullah yang berdasarkan kebiasaan, bukan ibadah, dan perbuatan tersebut terjadi secara kebetulan, bukan disengaja.
3.      Penegasan yang bertujuan mengingatkan masyarakat.
4.      Perintah yang ditujukan untuk kemaslahatan tertentu.[3]
Sedangkan menurut Imam Abu Muhammad bin Qutaibah Sunnag itu terbagi menjadi 3, yaitu :
1.      Sunnah yang disampaikan Jibri dari Allah kepada Rasulullah.
2.      Sunnah dimana Nabi diizinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri dengan menggunakan pendapatknya sendiri.
3.      Sunnah yang menjadi pelajaran buat kita.[4] Yaitu sunnah-sunnah yang jika kita melaksanakan maka kita mendapatkan keutamaan dan nika tidak maka tidak apa-apa.
M. Rasyid Rhida mengatakan bahwa Sunnah dibagi menjadi 2 :
1. Sunnah Tasyri’ yang adakalanya berupa ibadah yang memerintahkan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik hukumnya sunnah atau wajib. adakalanya berupa mafsadah, yaitu perkara merusak yang harus kita jauhi.
2. Tidak termasuk Sunnah Tasyr’ yang harus diikuti perintahnya dan dijauhi larangannya adalah Sunnah yang tidak ada hubungannya dengan hak Allah dan hak terhadap makhluk Allah, dan tidak membawa maslahat atau menolak bahaya.
Disisi lain Syekh Mahmud Syaltut mengatakan “perlu diperhatikan bahwa semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis itu terbagi menjadi beberapa bagian :
Pertama, Sunnah yang merupakan kebutuhan manusiawi; misalnya makan, minum, tidur, berjalan, ziarah, mendamaikan orang dengan baik dan memberikan ukuran yang sama dalam jual-beli.
Kedua, Sunnah yang merupakan hasil eksperimen dan kebiasaan pribadi atau masyarakat. Contohnya hadis-hadis mengenai pertanian, kedokteran dan memanjangkan atau memendekkan baju.
Ketiga, Sunnah yang berkaitan dengan administrasi umum yang digunakan untuk menangani situasi tertentu. Seperti situasi saat peperangan.
Keempat, yaitu Sunnah yang merupakan hukum syari’ah. Sunnah ini dibagi dalam beberapa bagian :
1.      Sunnah yang bersumber dari Nabi atas dasar tablig, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai Rasul. Misalnya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
2.      Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai kepala Negara dan pemimpin masyarakat Islam. Misalnya berperang menggunakan harta baitul mal. Hal ini nerupakan syari’ah yang khusus. Jadi orang yang ingin melaksanakan hal ini harus mendapat ijin dari pemerintah terlebih dahulu.
3.      Sunnah yang bersumber dari beliau sebagai seorang al-Hakim. Hukum ini bukanlah syari’ah yang umum, karena dalam memutuskan hukum Rasul tidak menyama ratakan antara satu orang dengan yang lainnya.[5]
Dari beberapa pendapat ulama’ mengenai pembagian hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis itu terbagi menjadi dua :
1.      Sunnah, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi adalah hukum syari’ah yang wajib diikuti.
2.      Sunnah Rasul yang bukan merupakan hukum syari’ah dan tidak wajib diikuti, yaitu Sunnah yang merupakan persoalan dunia semata.

B.     Contoh Hadis-Hadis Hukum
1.      Hadis Wajibnya Wudlu bagi orang yang hendak melaksanakan Sholat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia berwudhu."[6]
2.      Hadis larangan mengumpulkan istri dengan bibinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah."[7]
3.      Larangan Jual-Bali secara mulamasah dan munabadzah
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُنَابَذَةِ وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ وَنَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُلَامَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang munaabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya sebagai bukti pembelian harus terjadi (dengan mengatakan bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya atau melihatnya dan Beliau juga melarang mulaamasah, yaitu menjual kain dengan hanya menyentuh kain tersebut tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti kamu harus membeli) ".[8]
Ketiga contoh diatas merupakan hadis-hadis hukum yang mana semuanya mengandung peraturan yang wajib diikuti oleh umat Islam. Di dalam hadis itu tidak mengandung peraturan yang dibatasi waktu maupun tempat. Jadi hadis ini berlaku bagi siapa saja maupun dimana saja.
C.    Contoh Hadis-Hadis non Hukum
1.      Hadis tentang etika makan
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنِي أَنَّهُ سَمِعَ وَهْبَ بْنَ كَيْسَانَ أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Sufyan ia berkata; Al Walid bin Katsir Telah mengabarkan kepadaku, bahwa ia mendengar Wahb bin Kaisan bahwa ia mendengar Umar bin Abu Salamah berkata; Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.”[9]
Hadis ini merupakan salah satu contoh hadis non hukum, yang mana hadis ini menjelaskan tentang bagaimana cara Rasulullah SAW makan dan hadis ini pula berkaitan dengan adat istiadat orang arab.[10]
2.      Hadis tentang tata cara memakai Sandal
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian memakai sandal, hendaknya memulai dengan yang kanan, dan apabila melepas hendaknya mulai dengan yang kiri, supaya yang kanan pertama kali mengenakan sandal dan yang terakhir melepasnya."[11]
            Seperti halnya contoh yang pertama, hadis ini pula tidak mewajibkan kita untuk mengikuti apa yang telah dijelaskan oleh hadis ini. Karena ini merupakan salah satu kebiasaan Rasulullah SAW sebagai seorang manusia.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
          Inilah salah satu kajian yang belum banyak disentuh oleh para pakar hadis dalam memahami kandungannya. Masih banyak dari mereka yang mencampuradukkan antara hadis yang mengandung hukum dan hadis non hukum. Padahal implikasi dari pemahaman ini sangatlah jauh berbeda. Maka kita harus mampu membedakan diantara kedua golongan Sunnah tersebut.
            Adakalanya sunnah itu sebagai hukum syari’ah yang harus diikuti, baik berbentuk perintah maupun larangan. Adakalanya pula sunnah berupa sesuatu yang hanya berisi etika, adat istiadat, kebiasaan Nabi SAW yang mana tidak wajib diikuti oleh umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baqi. Muhammad Fuad Abd, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012.
Al-Ghazali. Muhammad, Studi Kritis Atas Hadis Nabi : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan, 1992.
Al-Ju’fi. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Shohih al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq an-Najah, 1422 H.
Al-Qardhawi. Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar, Cet.1, 1994.
Al-Qardlawi . Yusuf, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997.




[1] Dr. Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah dengan Benar, Cet.1, 1994, H,28.
[2] Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 15-20.
[3] Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 35-39.
[4] Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 23-26.
[5] Dr. Yusuf al-Qardlawi, Fiqih Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, penj. Faizah Firdaus, Surabaya : Dunia Ilmu, 1997, h. 44-46.
[6] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h. 51.
[7] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h. 271.
[8] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, penj. Ahmad Susanto, Semarang : Pustaka Rizki Putra, h.  304.
[9] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori al-Ju’fi, Shohih al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq an-Najah, 1422 H, h. 68.
[10] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan, 1992, h. 109.
[11] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori al-Ju’fi, Shohih al-Bukhori Juz. 7, Dar Thouq an-Najah, 1422 H, h. 154.

No comments:

Post a Comment