Saturday, January 14, 2017

Kemajuan di Bidang Ilmu-ilmu Umum Pada Masa Bani Abbasiyah

Kemajuan ilmu-ilmu umum
a. filsafat
Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara islam dengan kebudayaan klasik Yunani yang terdapat di Mesir, Suria dan Persia. Perkembangan ilmu ini pada masa khalifah Harun ar-Rosyid dan Al-Ma’mun. Diantara tokoh-tokohnya ialah Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd.
b. kedokteran
Pada masa ini ilmu kedokteran telah mencapai puncak tertinggi. Salah satu tokohnya adalah Ibnu Shina yang dijuluki sebagai bapak kedokteran dunia.
c. astronomi
Astronomi islam yang terkenal pada masa ini adalah al-Fazzari yang pertama menyusun atrolaber (alat yang dpakai sebagai pengukur tinggi bintang) dan al-Fargani yang telah mengarang ringkasan ilmu astronomi.
d. matematika
Tokohnya adalah al-Fazzari, yang memperkenalkan sistem angka Arab dan dikembangkan oleh al-Khawarizmi. Yang menemukan angka nol, dan yang menyusun buku tentang aljabar (Hisab Aljabar wa al-Mukabalah).[1]

3. Kemajuan dibidang kesenian
Kemajuan dibidang ini meliputi: seni budaya, seni bahasa, kisah dan riwayat, drama, seni suara, musik, seni tari, seni rupa, seni pahat, seni ukir, seni sulam, seni lukis, seni tulis, dan seni bangunan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan megah dengan nilai arsitetur yang tinggi, berbagai jenis kaligrafi dan berbagai kesenian lainya. Salah satu tokoh yang ternama adalah Muhammad Iqbal yang menerangkan ilmu filsafat dengan bahasa sastra. Seniman seni ukir yang ternama adalah Badr dan Tarrif (961-976). Dan masih banyak yang lainnya.[2]

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bani Abbasiyah
1. Faktor politik
a.       Berpindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai ibu kotanya
b.      Banyaknya cendikiaan yang menjadi Khalifah
c.       Diakuinya mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab remi pada masa khalifah al-Ma’mun.
2. Faktor Sosiografi
a.       Meningkatnya kemakmuran umat islam pada masa itu
b.      Luasnya wilayah islam
c.       Kepribadian dari beberapa kholifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan
d.      Diadakannya pengaturan, pembukuan, dan pembidangan ilmu pengetahuan.[3]




Kesimpulan
Bani Abbasiyah lahir pada tahun 132 H/ 750 M. Puncak kejayaan islam adlah ketika dibawah kepemimpinan khalifah Harun ar-Rosyid. Pada masa bani abbasiyah, islam mengalami kemajuan dan kekuasaan. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum. Kemajuan kesenian. Kemajuan kekuasan, yang wilayahnya yang luas. Pada masa ini pula, islam dijadikan pusat ilmu pengetahuan terbesar di dunia. Adapun faktor-faktor yang mendukung perkembangan bani abbasiyah adalah faktor politik dan faktor sosiografi.
Demikian makalah yang dapat kami buat, apabila terdapat kesalahan dan kekuranga, baik tulisan maupun isi, kami mohon kritik dan saran dari para pembaca. Terimakasih atas partisipsi para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Fu’adi, Imam. 2011 . Sejarah Peradaban Islam . Yogyakarta : Teras

Hasymy, Ahmad. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang


http://perkembanganislambaniabbasiyah.blogspot.com/20:13/06-05-2014

Malik, Maman A. . 2005. Sejarah Kebudayaan Islam . Yogyakarta : Pokja Akademik

Misbah, Ma’ruf dkk. 2004. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III. Semarang: CV. Wicaksana

Rofiq, Choirul. 2009 . Sejarah Peradaban Islam . Ponorogo : STAIN Ponorogo Press




[1] Ahmad Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm.  276-278
[3] Ma’ruf Misbah dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, hlm. 61

Sejarah Berdirinya dan Kemajuan di Bidang Keagamaan Pada Masa Bani ‎Abbasiyah

PENDAHULUAN
Sejarah memanglah selalu menjadi kaca mata ilmu pengetahuan. Kita tahu, setelah rosulullah wafat kepemimpinan digantikan oleh Khulafaurrasyiddin. Kemudian dilanjutkan oleh Bani Umayah hingga ahirnya sampai pada masa Bani Abbasiyah.
Kemajuan kebudayaan islam pada masa Daulah Abbasiyah sering dianggap sebagai sebuah nostalgia untuk umat islam, yang tidak akan terwujud lagi dizaman sekarang. Kemajuan baik dalam segala bidang, sekarang dimiliki oleh Barat, dan dengan berbagai upaya Barat tetap mempertahanksn. Namun, tentu  tidak akan menjadi nostalgia ketika faktor-faktor penyebab Daulah Abbasiyah mencapai kejayaan tersebut  juga sedikit-demi sedikit  kembali dipegang dan dimiliki lagi oleh umat islam. Dibalik kemajuan yang sekarang dimiliki oleh Barat, sungguh tidak dapat dipungkiri kontribusi umat islam yang sangat besar untuk  mewujudkannya, walaupun sekarang terkadang dikaburkan kalau tidak boleh dikatakan dihilangkan kontribusi tersebut. Supaya seolah-olah kemajuan kebudayaan Barat adalah dengan diri sendiri, tidak ada sumbangsih  dari kebudayaan/peradaban Islam.
Membangkitkan kepercayaan umat  Islam akan potensi dan kekuatan diri sendiri itu merupakan upaya tersendiri. Salah satu caranya tiada lain melalui pembacaan sejarah kembali tentang masa-masa kemajuan kebudayaan islam tersebut. Oleh karena itu kami mencoba menarik dan menggali kembali kemajuan-kemajuan peradaban islam itu dalam tulisan ini. Agar nantinya bisa diambil hikah serta semangatnya oleh para pembaca sekalian.

Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan kelanjutan pemerintahan Bani Umayyah yang hancur di Damaskus. Dinamakan kekhalifan Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad SAW.[1]
Zaman ini adalah zaman keemasan umat islam. Dimana umat islam mencapai kejayaan, kekayaan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Zaman ini juga adalah puncak kemajuan dan kekuasaan umat islam. Terutama pada masa khalifah Harun ar-Rosyid.[2]

Kemajuan-Kemajuan pada Masa Bani Abbasiyah
Umat islam sesungguhnya telah banyak dipacu untuk mengembangkan dan memberikan inovasi serta kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup. Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata pergantian dinasti ummayah kepada dinasti abbasiyah tidak hanya pergantian kepemimpinan. Lebih dari itu, pergantian tersebut telah menorehkan wajah dunia islam dalam refleksi pengembangan wawasan dan disiplin ilmu pengetahuan. Dimana peningkatan itu sempat menjadi kiblat bagi perkembangan keilmuan dunia pada saat itu.

1. Kemajuan di bidang keagamaan
Ilmu pengetahuan agama telah berkembang pada masa daulah bani ummayah. Namun pada masa dinasti abbasiyah, ia mengalami perkembangan  dan kemajuan yang luar biasa. Masa ini melahirkan ulama-ulama besar ternama dan karya-karya agung dalam berbagai bidang ilmu agama. Misalnya dalam bidang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, dan ilmu fiqih.[3]

a. ilmu tafsir
Pada masa abbasiyah ini, ilmu tafsir mengakami perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran secara sistematis , berangkai dan menyeluruh serta terpisah dari hadis. Dan pada masa ini pula muncul beberapa lairan dengan tafsirnya masing-masing, seperti ahlu sunnah, syi’ah, dan mu’tazilah.
Ahli tafsir yang terkenal pada bidang tafsir bi al-ma’tsur masa ini adalah al-Subhi (w. 127 H), Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H). Sedangkan dari tafsir bi a- ra’yiyang sebagian dipelopori oleh golongan mu’tazilah adalah Abu Bakar al-‘Asham (w. 240 H) dan Ibnu Jarwi al-’Asadi (w. 387 H).

b. ilmu hadis
Pada masa daulah bani abbasiyah, kegiatan dalam bidang pengkodifikasian hadis dilakukan pula dengan giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya. Perlu diketahui bahwa pengkodifikasian hadis sebelum masa abbasiyah dilakukan tanpa mengadakan penyaringan, sehingga bercampur antara hadis nabi saw. dan yang bukan nabi saw. Berkenaan dengan kaeutamaan hadis sebagai sumber kedua setelah al quran.Maka para ulama islam pada masa abbasiyah ini berusaha semaksimal mungkin menyaring hadist-hadist rasululah agar diterima sebagai sumber hukum.
Para ulama hadis yang terkenal pada masa ini adalah Imam Bukhari (w. 256 H), dengan bukunya Shahih Bukhari. Kemudian Abu Muslim (w. 261 H) berasal dari nisabur dengan karyanya Shahih Muslim. Kemudian Ibnu Majah (w. 273 H), AbuDawud (w. 275 H), Turmudzi (w. 279 H) dan an-Nasa’I (w. 303 H). Karya-karya mereka dikenal dengan nama Kutubu al Sittah.[4]

c. ilmu kalam
Pada masa ini muncul ulama-ulama besar di bidang ilmu kalam, baik dari kalangan mu’tazilah maupun ahlusunnah waljama’ah. Dari kalangan mu’tazilah dikenal antara lain Abu Huzail al-Allaf (w. 235 H), al-Junnaj (w. 290 H0, al-Jahiz (w. 255 H), al-Nizam (w. 231 H). Sedangkan dari golongan ahlu sunnah wal jama’ah ada alsy’ari (w. 234 H), al-Baqillani (w. 497 H), al-Ghazali (w. 505 H) dan al-Maturudi (w. 333 H).Pengembangan ilmu kalam pada masa ini mempunyai peran yan cukup besar yaitu dalam menjaga akidah islam dengan menggunakan argumentasi manthiq dan filosofi rasional.

d. ilmu fiqh
Diantara kebanggaan  zaman pemerintahan daulah bani abbasiyah adalah terdapatnya empat imam madzhab yang ulung ketika itu. Yang mereka itu adalah, imamSyafi’I, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad bin Hambal. Keempat imam madzhab tersebut dengan karya-karya mereka merupakan para ulama fikih yang paling agung dan tiada bandingannya di dunia islam waktu itu, bahkan sampai sekarang.


Part 2


[1] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 105
[2] Ahmad Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 187
[3] Maman A. malik dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 124
[4] Ibid, hlm. 128

Faktor Internal Runtuhnya Bani Abbasiyah

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut[1] :
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Fanatisme kebangsaan dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atauTurki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsaPersia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Bani Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H). [3]
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[4] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
a.             Yang berbangsa Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
b.            Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
c.             Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
d.            Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
e.             Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[5]
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[6]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaranManuismeZoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[7] Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantasbid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliranMu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masadinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilahmulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyahtumbuh subur dan berjaya.[8]



[1] Badari Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah II. (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000). hlm.80
[2] Yusuuf al-Isy. Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah. Terj. Arif Munandar. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). hlm. 102-104
[3] Badari Yatim. Op.Cit. hlm. 50
[4] Ibid. hlm.63
[5] Yusuuf al-Isy. Op. Cit. hlm. 137
[6] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin. (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 436 dan 618
[7] Ahmad al-Usyairy. Attarikh al-Islami. Terj. Samson Rahman. (Jakarta: Akbar, 2003). hlm. 224
[8] Badari Yatim. Op.Cit. hlm. 84

Faktor-Faktor Runtuhnya Bani Abbasiyah

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.
Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:


FAKTOR EKSTERNAL RUNTUHNYA BANI ABBASIYAH

Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[1]
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.[2] Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.





[1] Badari Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah II. (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000). hlm. 76-79
[2] Ahmad al-Usyairy. Attarikh al-Islami. Terj. Samson Rahman. (Jakarta: Akbar, 2003). hlm. 259