I.
PENDAHULUAN
Kajian islam dikalangan orientalis melahirkan
pandangan-pandangan yang berbeda-beda. Di kalangan orientalis yang menggunakan
pisau analisis historis lebih banyak menyikapi Islam dengan nilai negatif,
misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah Kristen. Sedangkan
pemahaman secara positif lebih banyak dilakukan para Islamolog, misalnya W.
Montgomery Watt. Titik pandang yang berbeda tersebut didasari atas perbedaan
cara pandang, pendekatan dan interpretasi yang dilakukan. Di sisi lain,
terdapat pula pemahaman agama Islam menurut sosiolog, sekularis, humanis dan
modernis Barat. Atas dasar pemahaman di atas, makalah ini akan mencoba
menganalisis perbedaan pandangan Richard Bell dan John Wansbrough.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan dalam makalah ini adalah:
Bagaimana analisis perbedaan pandangan
Richard Bell dan John Wansbrough terhadap al-Qur’an?
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Richard Bell dan John Wansbrough
Richard Bell
merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, tak jelas
waktu kelahirannya secara pasti. Dalam beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar
Lingusitik ketimuran terutama dalam bahasa Arab. Richard Bell menjadi dosen di
Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya sebagai sarjana
al-Quran lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas Edinburgh, The
Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926).
John
Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karier
akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen
Sejarah di School of Oriental and Africa studies (SOAS University of London).
Kemudian ia menjadi dosen bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra
Timur Dekat. Ia sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja.[1]
B. Pendekatan Richard Bell dan John
Wansbrough terhadap al-Qur’an
Pendekatan Richard
Bell yang digunakan untuk meneliti al
Qur’an diantaranya pendekatan filologisme. Pendekatan ini
mulanya timbul sebagaiusaha kajian Barat melalui teks-teks ketimuran. Karenanya
analisisLinguistik Timur sangat intens dalam kajian pendekatan ini.
Kemudian pendekatan
historisme, pendekatan historisme
memandang bahwa NabiMuhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi merupakan
penyerupaan penyerupaan terhadap ajaran tentang Nabi dalam kitab Taurat dan
Injil dan wahyu yang disampaikan muncul dan inspirasinya berdasarkankondisi
lingkungan dan kitab suci sebelumnya. Richard Bell, misalnyamelihat pengaruh
Kristen dalam al-Qur’an. Pengaruh itu pada mulanyabersifat polemik kemudian
mengikuti salah satu sekte Kristen di Syiriayang menolak penyaliban Yesus
Kristus.
Pendekatan Historisme
– Fenomenologis. Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan sebelumnya,pendekatan
ini dipergunakan oleh W. M. Watt, yang diklaim sebagaiislamolog yang objetif,
terbuka dan memilki simpatik dengan Islam,melalui pendekatan ini Richard Bell
dan juga muridnya dimana keduamelihat al-Qur’an mimiliki kegandaan sumber
ganda. Watt, menilai bahwaal-Qur’an merupakan firman Alllah, tatapi diciptakan
melalui pengalamanpribadi Nabi Muhammad, namun, ia juga berusaha
menganologikanfenomena kewahyuan nabi Muhammad dengan konsep Kristen.
Pendekatan Hermeneutik
Obyektif Penerapan metode ini dalam kajian al-Qur’an pernah diupayakan oleh Richard Bell dalam merelokasi kronologi unit-unit oisinal wahyu. Namun, berbeda dengan Richard Bell yang berangkat dari tradisi kesarjanaan Kristen, sementara penerapan metode tersebut oleh Wansbrough tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi katimbang
tradisi Kristen.
Dalam melakukan kajiannya, John Wansbrough menggunakan analisa historis, sebagaimana digunakan oleh para orientalis sebelumnya dan literary analysis. Pendekatan historis dilakukan John Wansbrough dalam kaitannya dengan isi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat adanya kesamaan dengan kitab sebelumnya. Oleh karena itu, John Wansbrough mengatakan al-Qur’an dipengaruhi oleh agama atau tradisi sebelumnya, Yahudidan Kristen. Andrew Rippin, dalam menganalisa tulisan John Wansbrough mengungkap
akan metode ini.
C.
Pandangan Richard Bell
dan John Wansbrough terhadap al-Qur’an
Richard Bell,
sebagai refresentasi sarjana Kristen, misalnya mengatakan bahwa Muhammad banyak
terpengaruh suasana polemis dikalangan orang-orang Kristen Arab. Pada masa
Mekkah dan awal Madinah, Muhammad dan al-Qur’an kemudian terpengaruh oleh ajaran
Kristen. Misalnya menurut Bell, QS. al-Ikhlas bukanlah merupakan hasil
polemikantara Nabi Muhammad dan orang Kristen, melainkan terhadap orang
musyrikyang mempercayai banyak Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan mempunyai tiga
anak perempuan (allata, al-uzza, dan manat). Akan tetapi kisah tentang penolakan
penyaliban Yesus dalam al-Qur’an diklaim, diambil oleh Nabi Muhammad saw dari
arah satu sekte Kristen di Syiria.
194 metode historis yang sama dipergunakan Bell untuk menjelaskan fenomena
kewahyuan yang dialami Nabi Muhammad saw.
Menurut Richard
Bell, al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula kitab perundang-undangan
atau kumpulan kutbah, tetapi rasanya al-Qur’an lebih merupakan ramuan (medley) ketiganya,
dan ditambah berbagai “mutiara” yang bertebaran di dalamnya. “Pewahyuannya”
tentang selama kurang dua puluh tahun, disaat Nabi Muhammad Saw bangkit dari
posisi seorang pembaru keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya,. Mekkah menjadi
penguasa aktual di kota Madinah dan sebagian besar jazirah Arab. Karena wahyu
turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan
berubah selaras dengan kaum Muslimin selama masa-masa tersebut, maka
wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula. Lebih dari
itu, Bell, juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini
adalah hasil modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad saw.
Richard Bell juga menjelaskan bahwa sumber historis utama dari
ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen.
Richard Bell
menilai bahwa sumber al-Qur’an itu memiliki kegandaan sumber yaitu Tuhan dan
Muhammad SAW dan dia mengadopsi pandangan-pandangan yang mengikuti aliran
pendukung naskh al-Qur’an. Hal ini sekali lagi dikarenakan pandangan Richard
Bell yang secara koheren yang menekuni persoalan al-Qur’an hingga memicu
terjadi adanya persoalan kajian nasikh juga, yang pada akhirnya adalah untuk
membuat ragu umat Islam dan memporak-porandakan Islam, dan hal itu menjadi
tujuan utamanya, meskipun dalam sekian bukunya terlebih dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an (Pengantar al-Qur’an), ia menjelaskan bahwa
tujuan akhirnya itu adalah untuk mengklasifikasi serta memetakan dan juga
memilih redaksi Tuhan dan tambahannya (redaksi Nabi).
Pandangan ini
secara latah ingin membuktikan bahwa
al-Qur’an yang terbukukan sekarang memiliki keterlibatan (andil) manusia
(Muhammad Saw). Pada dasarnya Richard Bell sepakat bahwa nasikh adalah proses
penggantian atau penghapusan ayat dengan ayat lain yang lebih bertendensi pada
peralihan ketentuan hukum. Namun, dikarenakan dugaan dan pandangan tentatifnya
itu, bagi dia arti nasikh difokuskan hingga pada arti derevisinya yaitu,
perubahan, tambahan, salinan, koreksian atau revisi.
Menurut Bell arti
proses revisi (Tuhan) al-Qur’an dan naskh al-Qur’an, hal ini ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa
dipisahkan pada persoalan yang pada akhirnya sulitnya bagi kaum muslim dalam
menentukan mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan, dengan
mempertimbangkan sebab-sebab nuzul -nya, menurut Bell hal tersebut memiliki
proses yang sama yaitu berulang penurunan
ayat al-Qur’an sebagai pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks
serta konteks al-Qur’an. Padahal pendapat ulama klasik-hingga ulama kontemporer
memahami arti nasikh yang berbeda-beda, ada yang menyakini dan ada yang tidak
menyakini, pada umumnya mereka juga mengakui adanyanaskh, sebagaimana
pembahasan yang telah lalu.
Lain halnya menurut
Bell yang memahami tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna
naskh sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus secara total ayat-ayat
al-Qur’an, namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi
perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai dengan
zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan peryataan kebanyakan ulama
kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk oleh Bell tidak lain adalah
sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan ayat-ayat oleh Muhammad saw.[2]
Penentuan tentang
unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah hanya suatu gaya (genre) yang
didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah besar surat yang ada di dalam al-Qur’an
mengandung bahan-bahan dari berbagai
periode pewahyuan. Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam
pengertian minimal yakni pengumpulan unit-unit individual wahyu ke dalam surat
dan lebih parahnya ia melihat asumsi perevisianya yang lebih jauh melihat dalam proses pengumpulan
tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara konstan menurutnya tengah
mengalami revisi menurut periodenisasi,
pendek kata yakni telah mengalami perluasan, yang pada akhirnya memicu ketidak
orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan
bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupapenyesuaian rima atau sekedar
sisipan, dan lainnya. Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai
penyusunan al-Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara
keilmuan bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah
tauqifi (bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah
menimbulkan polemik dikalangan ulama, polemik ini berkembang luas dikalangan
ulama muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:
Pertama, adalah
sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat
yang ada adalah tauqifi (sesuai dengan
petunjuk Rasul). Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan
al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi (berdasarkan
ijtihad para Sahabat). Ketiga adalah pendapat moderat; mengatakan bahwa
sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagian lagi merupakan
ijtihad para sahabat. Persepsi kedua inilah yang diadopsi Bell yang kemudian
dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.[3]
Al-Qur’an sebagai
wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw. menurut John Wansbrough
adalah merupakan kepanjangan dari kitab Taurat, seperti pengambilan kata setan
dalam al-Qur’an. John Wansbrough mengatakan:
“... Qur’anic adaption of the Judae-Christian Satan will
not have been a consequence merely of autonamasia, not yet ofan attempt to
sparate prophet form poet (from both might be devinely inspirated) but rather
of the persuasion that all inspirations requered an intermediarry....”Selanjutnya John Wansbrough mengatakan:
“That the logia once collected and canonized might be
granted enhanced statusas the inimitanble and uncreated world of God would not
appear to have beeneither logical or neccessary. Both qualtes how ever may be
seen as reflexes ofRabbanic attitudes toward to Mosaic relevation,possibly
adobted and modified ofthe cource of the Judeo-Muslim polemic.”
Akan
tetapi isi-isi al-Qur’an dinaikkan derajatnya oleh umat Islam menjadi kitab
suci yang bernilai mutlak. John Wansbrough lebih jauh mengatakan:
“Whatever body of
prophetical wisdom might from time to time have been regarded as suplemantary
tio the contents af scripture it was with an organized corpus of recognizable
logia that mainstream of Islamic theology was concerned and not with a source
of connected wisdom for the elect”.
Yang
lebih fatal lagi dengan merujuk pada QS.
al-A’raf (7) 71, al-Saffat (31): 156, John Wansbrough memberi arti kata
al-Kitab/ Kitabullah yang ada dalam al-Qur’an dengan
ketetapan (dorcee),
otoritas (autority) atau usulan bukan dengan kitab suci.
Atas
keengganan untuk menyebut kitab suci tersebut, nampaknya tujuan yang hendak dicapai
oleh John Wansbrough adalah melepaskan al-Qur’an dari jalinan yang
transendental yaitu wahyu Allah.
Oleh karena itu, di munculkanlah
anggapan kata-kata yang di sinyalir sebagai tambahan dari Nabi Muhammad saw. John Wansbrough menganggap bahwa kata
qul dalam QS. al-An’am (6):, al-Ra’d
(13): 36 dan al-Ankabut (29): 52, kata tersebut sengaja disisipkan untuk menunjukkan
bahwa al-Qur’an adalah benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menjadikan
al-Qur’an tidak logis karena tidak sejalan dengan hegomonitas bahasa yang
berlebihan. Dengan demikian, John Wansbrough menyamakan al-Qur’an dengan karya sastra syair lain yang harus
konsisten dalam penggunaan
gaya bahasa.
Wansbrough
di sisi lain, menegaskan bahwa riwayat-riwayat tentang kisah pengumpulan
al-Qur’an serta laporan-laporan tentang kodeks para sahabat direkayasa dan
diangkat ke permukaan untuk memberikan otoritas kepada suatu teks Ilahi yang bahkan
belum dikompilasi hingga abad ke 3 H. Ia mengklaim bahwa teks al-Qur’an pada awalnya
begitu “cair” sehingga berbagai laporan yang mencerminkan varian tradisi-tradisi
independen di berbagai pusat metropolitan islam –misalnya Kufah, Bashrah,
Madinah dan lain lain- bisa ditelusuri jejaknya dalam mushaf al-Qur’an yang sekarang.
John
Wansbrough menolak mushaf utsmani. Ia mengundurkan penulisan al-Qur’an selama
300 tahun kemudian. Hal ini di identikkan dengan kodifikasi perjanjian lama yang
ditulis selama 900 tahun yang diambil dari tradisi lisan
IV.
PENUTUP
Richard Bell dan
John Wansbrough merupakan dua islamolog yang masing-masing mewakili Kristen dan Yahudi,
berusaha membuktikan
bahwa al-Qur’an tidak lebih merupakan replikasi atau mimesis dari
Injil dan Taurat. Karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian
kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan karya tersebut hanya menjelaskan
aspek-aspek tertentu saja dari ajaran al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Syarifuddin, Kajian Orientalis
Terhadap al Quran dan Hadis, pdf.
Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta:
FKBA, cet I, 2001)
Bell, Richard, Pengantar Studi Al-Qur’an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet III, 1995).
No comments:
Post a Comment