I.
PENDAHULUAN
Dalam agama Islam hadits merupakan dasar hukum kedua
setelah Al-Quran. Dalam memahami hadits adakalanya kita faham dengan isi sebuah
hadits dengan cara tekstual atau tersurat. Tetapi ada juga yang membutuhkan
penjelasan yang lebih karena kalimat suatu hadits belum bisa difahami atau bisa
saja kita salah faham karena tidak memahami secara kontekstual. Banyak tokoh
yang menawarkan metode dalam memahami hadits secara kontekstual. Seperti Yusuf
Qardhawi dan Muhammad Ghazali yang mempunyai metode baru dalam memahami hadits.
Tetapi lain
hal nya dengan Ahmad Umar Hasyim yang hanya menguatkan metode yang sudah ada
sejak zaman Rasulullah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Biografi Ahmad Umar Hasyim?
B. Bagaimana Pemikiran Ahmad Umar Hasyim tentang hadits?
C. Bagaimana pandangan beliau tentang orientalis?
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ahmad Umar Hasyim
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim merupakan professor hadith dan ulum
hadith di Universiti al-Azhar, Mesir. Beliau juga merupakan ahli Majma’
al-Buhuth al-Islamiyyah(Akademi Penyelidikan Islam) dan bekas ahli parlimen
Mesir. Beliau dilahirkan pada 6 Februari 1941 di kampung Bani Amir, Zaqaziq,
Mesir.
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim memperoleh ijazah
sarjana muda(B.A) pada tahun 1967. Beliau kemudian telah dilantik sebagai
pensyarah Fakulti Hadith, Kuliah
Usuluddin. Beliau seterusnya menerima ijazah sarjana(M.A) dalam bidang hadith
dan ulum hadith pada tahun 1969, dan menerima doktor falsafah dalam
pengkhususan yang sama.
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim kemudian
dilantik sebagai professor hadith dan ulum hadith pada tahun 1983. Beliau juga
telah dilantik sebagai Dekan Fakulti Usuluddin di Universiti al-Azhar cawangan
Zagazig pada tahun 1987. Seterusnya pada tahun 1995, beliau berkhidmat sebagai
presiden Universiti Al-Azhar.[1]
Antara jabatan beliau adalah:
1.
Ahli Parlimen
Mesir. Beliau telah dilantik oleh bekas presiden Mesir Hosni Mubarak.
2.
Anggota Biro
Politik Parti Demokratik Kebangsaan.
3.
Seorang ahli
Majlis Syura.
4.
Ahli Lembaga
Pemegang Amanah Radio dan Televisyen.
5.
Pengerusi
program keagamaan di televisyen Mesir.
Antara karangan beliau :
1.
Al-Islam wa
bina’ al-syakhsiyyah
2.
Min huda
al-sunnah al-nabawiyyah
3.
Al-Syafaah fi
dhauk al-kitab wa al-sunnah wa al-rad ‘ala munkariha
4.
Al-tadamun fi
muajihah al-tahadiyyat
5.
Al-islam wa
al-syabab
6.
Qisah
al-sunnah
7.
Al-Quran wa
lailah al-qadr
8.
Faidh al-bari
fi syarh Sahih al-Bukhari.
B. Pemikiran Ahmad Umar Hasyim tentang Hadits
الرواية هي أداء الحديث وتبليغه مع إسناده الى من عزي اليه بصيغة من صيغ الأداء المطابقة لحالة التحمل
“Riwayah adalah menyampaikan hadits
dan memberikannya disertai sanad-sanad kepada seseorang yang ditemuinya dengan
suatu bentuk dari bentuk-bentuk penyampaian yang bertingkat karena keadaan
tahammulnya.”
Ahmad Umar
Hasyim mendefinisikan Ilmu Hadits riwayat adalah ilmu yang menjelaskan tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, takrir (ketetapan
atau pengakuan), atau sifat.
Sedangkan ilmu hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan perawi (sanad) dan sesuatu yang diriwayatkan (matan).[3]
Ada delapan cara dalam menerima suatu hadits
diantara nya yaitu: dengan mendengarkan, membaca dengan hafalan, ijazah,
Munawalah, Mukatabah, al-I’lam, al-Washiyyah dan al-Wijadah.[4]
Dalam hal penerimaan hadits Ahmad Umar Hasyim
mensyaratkan dalam as-Sima’ tidak diperbolehkan adanya kesibukan lain dari
perawi misalnya (bercerita, menulis hal lain) ketika mendengarkan hadis. Jika
terjadi kesibukan lain maka hadis tidak dapat dibenarkan dan ini disepakati
oleh Ibrahim al-Harabi, Abu Ahmad bin ‘Adi al-Hafiz, Abu Ishaq al-Isfaraim
namun menurut Musa bin Harun al-Hamal perawi yang memiliki kesibukan lain
ketika mendengarkan hadis dapat dibenarkan dan hadisnya dapat diterima.[5]
Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim yang berjudul
Qawaid Ushul al-Hadis, menjelaskan bahwa
ada enam hal yang menyebabkan kecacatan
rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Fahsy
al-Galad (banyak/sering salah). Perawi yang memiliki sifat ini, menurut Ibnu
Hajar, hadisnya munkar atau matruk.
2. Fahsy
al-Gaflah (banyak/sering lupa), jika seorang perawi keadaannya seperti ini maka
hadis yang diriwayatkanya tergolong hadis
munkar atau matruk.
3. Suu
al-hifzi orang yang tidak ditajrih (dikuatkan) sisi ketepatan
(hafalannya) atau sisi kesalahan (hafalannya).
4. Al-Ikhtilat
yaitu, rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan disebabkan
oleh hal-hal yang al-tariah (incidental), apakah karena usia, hilangnya
penglihatan, hilangnya buku catatan hadis, atau sebab lain sehingga hafalannya
menjadi buruk, pada hal sebelumnya ia dhabit. Maka semua perawi yang masuk
dalam golongan ini jatuh dari derajat shahih dan hasan. Namun dapat naik
ketingkat hasan jika ada syahid atau
tabi’.
5. al-Wahm,
jika didapatkan melalui qarinah-qarinah dan pengumpulan jalur-jalur, maka
hadisnya mu’allal.
6. Mukhalafah al-Siqah. jika terjadi dengan
mengubah siyaq, maka menjadi mudraj al-Isnad atau mencampurkan yang mauquf
dengan yang marfu’ maka menjadi mudraj al-matan atau mentaqdimkan atau
mentakhirkan, maka menjadi maqlub atau dengan penambahan seorang rawi .
Dalam beberapa indikator yang digambarkan oleh
Ahmad Hasyim di atas tentang cacatnya sanad karena kurangnya kualitas
kedhabitan, maka penulis berkesimpulan bahwa yang menjadi dasar penetapan
kedhabitan periwayat, secara normatif adalah hafalannya bukan pada tingkat
pemahamannya pada hadis yang diriwayatkan. Namun demikian, dapat juga dipahami
bahwa periwayat yang paham hadis dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya
itu kepada orang lain, jelas lebih tinggi martabatnya dari pada periwayat yang
hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang
lain.[6]
C.
TANGGAPAN TENTANG ORIENTALIS
Pandangan beliau tentang orientalis adalah
salah satunya yaitu tentang tanggapan beliau soal inkar sunnah yang di
gadang-gadang terus menerus oleh orientalis agar hadits tidak di jadikan
sebagai hujjah dan hanya al-Quran saja yang menjadi hujjah. Berikut antara lain
pandangan beliau :
1.
DR. Umar
Hasyim bersama ulama lain diantaranya adalah Syekh Al Azhar DR. Muhammad
Sayid Thontawi, DR. Nasr Farid, Mufti Mesir, Prof. DR. Muhammad Imarah, DR. Yusuf
Qardhawi, dan lain-lainnya yang tidak mungkin disebut disini satu persatu menolak pandangan DR. Mushtofa Mahmud, seorang
liberal yang kembali lagi kepangkuan
Islam, dan seorang penulis besar dalam beberapa koran terkenal di Kairo. Beliau
pengisi tetap dalam acara “ Ilmu dan
Iman “ di salah satu stasiun televisi, begitu juga beliau termasuk pendiri Islamic Center yang cukup besar di kota
Jizah, Mesir. Beliau sangat semangat mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanan pemerintah Mesir yang mengarah
kepada kerjasama dengan Israel, membantah pemikiran orang-orang liberal semacam
Nasr Abu Zaid , membela umat Islam yang tertindas di berbagai belahan bumi ini.
Namun walaupun begitu, beliau tergelincir ketika menolak hadist-hadist syafa’at
yang riwayat-riwayatnya sangat banyak sekali, bahkan hampir sampai pada derajat
mutawatir . Beliau menolak hadist-hadist shohih tersebut hanya karena - menurut
beliau – bertentangan dengan keumuman ayat- ayat Al Qur’an. Penolakan beliau
terhadap hadist-hadist syafa’at tersebut menunai banyak kritikan dari berbagai
kalangan.[7]
2.
Dalam buku “Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi,” DR. Ahmad Umar Hasyim menyebutkan enam sebab
yang membuat munculnya hadits palsu ini. 1. Dikarenakan fanatisme politik,
dimana pada waktu itu kaum muslimin –awalnya– pecah menjadi tiga kelompok
besar; Syiah, pro-Muawiyah, dan
Khawarij. Kemudian, muncul lagi kaum Muktazilah, Murji`ah, dan seterusnya.
Kondisi politik demikian mendorong masing-masing kelompok membuat hadits-hadits
palsu untuk mendukung kelompoknya. Mereka tidak mungkin sanggup dan berani
memalsukan Al-Qur`an karena ia sudah mutawatir dan banyak kaum muslimin yang
hafal Al-Qur`an. Maka, yang bisa mereka lakukan adalah memalsukan hadits. 2.
Karena fanatisme kesukuan. Yang paling menonjol adalah hadits-hadits palsu
tentang kelebihan orang Arab atas non-arab, dimana kemudian orang-orang Persia
pun membuat hadits-hadits palsu yang melebihkan mereka atas orang Arab. 3.
Zindiq, yaitu orang-orang non-muslim dari Yahudi, Majusi, dan lain-lain yang
menampakkan diri sebagai seorang muslim. Mereka membuat-buat hadits palsu yang
dinisbatkan kepada RasulullahShallallahu Alaihi wauntuk menghancurkan Islam dan
melemahkan kekuatannya. 4. Hadits-hadits palsu yang dibuat tukang dongeng (al-qushshas). Mereka senang
mempermainkan perasaan dan emosi orang awam dengan membuat-buat hadits palsu
yang menyentuh hati dan terkadang membuat orang terkagum-kagum dengan cerita
yang mereka bawakan. Para tukang dongeng ini sama sekali tidak ambil pusing
dengan ancaman Nabi bagi orang yang berani mendustakan beliau. Bagi mereka,
yang penting adalah bisa menjadi pusat perhatian orang-orang di sekelilingnya
dengan berbagai dongeng palsunya. 5. Perbedaan madzhab fikih, dimana sebagian
pendukung masing-masing madzhab ada yang ‘kebablasan’ dalam mengunggulkan
madzhabnya atas madzhab lain. Misalnya, ‘hadits’ yang diriwayatkan Muhammad bin
Ukasyah Al-Kirmani ketika ditanya tentang orang yang mengangkat tangannya
ketika ruku’, dia berkata, “Al-Musayyib bin Wadhih mengabarkan kepada kami dari
Anas bin Malik secara marfu’; Barangsiapa yang mengangkat tangannya ketika
hendak ruku’, maka tidak ada shalat baginya!” 6. Kebodohan, sebagian kaum
muslimin yang di satu sisi mereka dikenal dengan kesalehannya, ketaatannya, dan
zuhud. Namun, di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang sebetulnya bodoh
dalam masalah agama. Mereka dengan sengaja membuat-buat hadits palsu yang
disandarkan kepada Nabi, untuk mendorong umat Islam agar rajin beribadah, lebih
dekat kepada Allah, dan meninggalkan kenikmatan duniawi yang sementara.
Orang-orang yang dikenal sebagai zuhud dan ahli ibadah ini banyak membuat hadits
palsu dalam masalah fadha`il Al-Qur`an dan keutamaan amal-amal tertentu.[8]
IV.
KESIMPULAN
Ahmad Umar Hasyim tidak memiliki metode baru dalam memahami hadits secara
kontekstual. Untuk lebih faham tentang pemikiran beliau mengenai hadits bisa
dibaca dalam kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyah fi Muwajahati al-Tahaddi.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Ahmad Umar Hasyim” yang kami susun,
tentunya dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan
maupun segi materinya. Maka dari itu , kami mohon kritik
dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi dalam penyusunan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, ahmad Umar, Al-Sunnah al-Nabawiyah
fi muwajahati al-Tahadi.
Rosyidin, Mukarom Faisal dan Sugiyono, Buku
ajar Hadis untuk Madrasah Aliyah Progam Keagamaan.
http://www.afdhalilahi.net/2014/11/periwayatan-hadis.html di akses pada hari
jumat-29-Mei-2015 pukul: 15.00
http://www.Taman-Taman
Syurga/ Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim.html. di
akses pada hari jumat-29-Mei-2015 pukul: 16.01
http://sartikahinata.wordpress.com/2011/10/14/inkar-sunnah/.
Di akses pada 25 Juni 2015 pukul 22.00
http://www.ahmadzain.com/read.ilmu/86/menjawab-tuduhan-inkarus-sunnah-3/
Di akses pada 25 Juni 2015 pukul 22.04
[4] Mukarom Faisal Rosyidin
dan Sugiyono, Buku ajar Hadis untuk Madrasah Aliyah Progam Keagamaan, hal.
19-20.
No comments:
Post a Comment