Wednesday, June 15, 2016

Makalah Hadits Kontekstual tentang Pemikiran Hadits Ahmad Umar Hasyim



I.            PENDAHULUAN 
Dalam agama Islam hadits merupakan dasar hukum kedua setelah Al-Quran. Dalam memahami hadits adakalanya kita faham dengan isi sebuah hadits dengan cara tekstual atau tersurat. Tetapi ada juga yang membutuhkan penjelasan yang lebih karena kalimat suatu hadits belum bisa difahami atau bisa saja kita salah faham karena tidak memahami secara kontekstual. Banyak tokoh yang menawarkan metode dalam memahami hadits secara kontekstual. Seperti Yusuf Qardhawi dan Muhammad Ghazali yang mempunyai metode baru dalam memahami hadits.
Tetapi lain hal nya dengan Ahmad Umar Hasyim yang hanya menguatkan metode yang sudah ada sejak zaman Rasulullah. 

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Biografi Ahmad Umar Hasyim?
B.     Bagaimana Pemikiran Ahmad Umar Hasyim tentang hadits?
C.     Bagaimana pandangan beliau tentang orientalis?

III.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Ahmad Umar Hasyim
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim merupakan professor hadith dan ulum hadith di Universiti al-Azhar, Mesir. Beliau juga merupakan ahli Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah(Akademi Penyelidikan Islam) dan bekas ahli parlimen Mesir. Beliau dilahirkan pada 6 Februari 1941 di kampung Bani Amir, Zaqaziq, Mesir. 
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim memperoleh ijazah sarjana muda(B.A) pada tahun 1967. Beliau kemudian telah dilantik sebagai pensyarah  Fakulti Hadith, Kuliah Usuluddin. Beliau seterusnya menerima ijazah sarjana(M.A) dalam bidang hadith dan ulum hadith pada tahun 1969, dan menerima doktor falsafah dalam pengkhususan yang sama.
Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim kemudian dilantik sebagai professor hadith dan ulum hadith pada tahun 1983. Beliau juga telah dilantik sebagai Dekan Fakulti Usuluddin di Universiti al-Azhar cawangan Zagazig pada tahun 1987. Seterusnya pada tahun 1995, beliau berkhidmat sebagai presiden Universiti Al-Azhar.[1]

Antara jabatan beliau adalah:

1.      Ahli Parlimen Mesir. Beliau telah dilantik oleh bekas presiden Mesir Hosni Mubarak.
2.      Anggota Biro Politik Parti Demokratik Kebangsaan.
3.      Seorang ahli Majlis Syura.
4.      Ahli Lembaga Pemegang Amanah Radio dan Televisyen.
5.      Pengerusi program keagamaan di televisyen Mesir.

Antara karangan beliau :
1.      Al-Islam wa bina’ al-syakhsiyyah
2.      Min huda al-sunnah al-nabawiyyah
3.      Al-Syafaah fi dhauk al-kitab wa al-sunnah wa al-rad ‘ala munkariha
4.      Al-tadamun fi muajihah al-tahadiyyat
5.      Al-islam wa al-syabab
6.      Qisah al-sunnah
7.      Al-Quran wa lailah al-qadr
8.      Faidh al-bari fi syarh Sahih al-Bukhari.

B.     Pemikiran Ahmad Umar Hasyim tentang Hadits
Ahmad Umar Hasyim mendefinisikan riwayat sebagai berikut:[2]

الرواية هي أداء الحديث وتبليغه مع إسناده الى من عزي اليه بصيغة من صيغ الأداء المطابقة لحالة التحمل


“Riwayah adalah menyampaikan hadits dan memberikannya disertai sanad-sanad kepada seseorang yang ditemuinya dengan suatu bentuk dari bentuk-bentuk penyampaian yang bertingkat karena keadaan tahammulnya.”
Ahmad Umar Hasyim mendefinisikan Ilmu Hadits riwayat adalah ilmu yang menjelaskan tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, takrir (ketetapan atau pengakuan), atau sifat.
Sedangkan ilmu hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan sesuatu yang diriwayatkan (matan).[3]
Ada delapan cara dalam menerima suatu hadits diantara nya yaitu: dengan mendengarkan, membaca dengan hafalan, ijazah, Munawalah, Mukatabah, al-I’lam, al-Washiyyah dan al-Wijadah.[4]
Dalam hal penerimaan hadits Ahmad Umar Hasyim mensyaratkan dalam as-Sima’ tidak diperbolehkan adanya kesibukan lain dari perawi misalnya (bercerita, menulis hal lain) ketika mendengarkan hadis. Jika terjadi kesibukan lain maka hadis tidak dapat dibenarkan dan ini disepakati oleh Ibrahim al-Harabi, Abu Ahmad bin ‘Adi al-Hafiz, Abu Ishaq al-Isfaraim namun menurut Musa bin Harun al-Hamal perawi yang memiliki kesibukan lain ketika mendengarkan hadis dapat dibenarkan dan hadisnya dapat diterima.[5]

Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim yang berjudul Qawaid Ushul al-Hadis,  menjelaskan bahwa ada enam hal yang menyebabkan   kecacatan rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut adalah sebagai berikut:
1.   Fahsy al-Galad (banyak/sering salah). Perawi yang memiliki sifat ini, menurut Ibnu Hajar, hadisnya munkar atau  matruk.
2.   Fahsy al-Gaflah (banyak/sering lupa), jika seorang perawi keadaannya seperti ini maka hadis yang diriwayatkanya tergolong hadis  munkar atau matruk.
3.  Suu al-hifzi orang yang tidak ­ditajrih (dikuatkan) sisi ketepatan (hafalannya)  atau sisi kesalahan  (hafalannya).
4.  Al-Ikhtilat yaitu, rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan disebabkan oleh hal-hal yang al-tariah (incidental), apakah karena usia, hilangnya penglihatan, hilangnya buku catatan hadis, atau sebab lain sehingga hafalannya menjadi buruk, pada hal sebelumnya ia dhabit. Maka semua perawi yang masuk dalam golongan ini jatuh dari derajat shahih dan hasan. Namun dapat naik ketingkat  hasan jika ada syahid atau tabi’.
5.  al-Wahm, jika didapatkan melalui qarinah-qarinah dan pengumpulan jalur-jalur, maka hadisnya mu’allal.
6. Mukhalafah al-Siqah. jika terjadi dengan mengubah siyaq, maka menjadi mudraj al-Isnad atau mencampurkan yang mauquf dengan yang marfu’ maka menjadi mudraj al-matan atau mentaqdimkan atau mentakhirkan, maka menjadi maqlub atau dengan penambahan seorang rawi .
Dalam beberapa indikator yang digambarkan oleh Ahmad Hasyim di atas tentang cacatnya sanad karena kurangnya kualitas kedhabitan, maka penulis berkesimpulan bahwa yang menjadi dasar penetapan kedhabitan periwayat, secara normatif adalah hafalannya bukan pada tingkat pemahamannya pada hadis yang diriwayatkan. Namun demikian, dapat juga dipahami bahwa periwayat yang paham hadis dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain, jelas lebih tinggi martabatnya dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain.[6]

C.    TANGGAPAN TENTANG ORIENTALIS
Pandangan beliau tentang orientalis adalah salah satunya yaitu tentang tanggapan beliau soal inkar sunnah yang di gadang-gadang terus menerus oleh orientalis agar hadits tidak di jadikan sebagai hujjah dan hanya al-Quran saja yang menjadi hujjah. Berikut antara lain pandangan beliau :
1.      DR. Umar Hasyim  bersama ulama lain diantaranya adalah Syekh Al Azhar DR. Muhammad Sayid Thontawi, DR. Nasr Farid, Mufti Mesir, Prof. DR. Muhammad Imarah, DR. Yusuf Qardhawi, dan lain-lainnya yang tidak mungkin disebut disini satu persatu menolak pandangan DR. Mushtofa Mahmud, seorang liberal yang  kembali lagi kepangkuan Islam, dan seorang penulis besar dalam beberapa koran terkenal di Kairo. Beliau pengisi tetap dalam acara  “ Ilmu dan Iman “ di salah satu stasiun televisi, begitu juga beliau termasuk pendiri  Islamic Center yang cukup besar di kota Jizah, Mesir. Beliau sangat semangat mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanan pemerintah Mesir yang mengarah kepada kerjasama dengan Israel, membantah pemikiran orang-orang liberal semacam Nasr Abu Zaid , membela umat Islam yang tertindas di berbagai belahan bumi ini. Namun walaupun begitu, beliau tergelincir ketika menolak hadist-hadist syafa’at yang riwayat-riwayatnya sangat banyak sekali, bahkan hampir sampai pada derajat mutawatir . Beliau menolak hadist-hadist shohih tersebut hanya karena - menurut beliau – bertentangan dengan keumuman ayat- ayat Al Qur’an. Penolakan beliau terhadap hadist-hadist syafa’at tersebut menunai banyak kritikan dari berbagai kalangan.[7]
2.      Dalam buku “Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi,” DR. Ahmad Umar Hasyim menyebutkan enam sebab yang membuat munculnya hadits palsu ini. 1. Dikarenakan fanatisme politik, dimana pada waktu itu kaum muslimin –awalnya– pecah menjadi tiga kelompok besar;  Syiah, pro-Muawiyah, dan Khawarij. Kemudian, muncul lagi kaum Muktazilah, Murji`ah, dan seterusnya. Kondisi politik demikian mendorong masing-masing kelompok membuat hadits-hadits palsu untuk mendukung kelompoknya. Mereka tidak mungkin sanggup dan berani memalsukan Al-Qur`an karena ia sudah mutawatir dan banyak kaum muslimin yang hafal Al-Qur`an. Maka, yang bisa mereka lakukan adalah memalsukan hadits. 2. Karena fanatisme kesukuan. Yang paling menonjol adalah hadits-hadits palsu tentang kelebihan orang Arab atas non-arab, dimana kemudian orang-orang Persia pun membuat hadits-hadits palsu yang melebihkan mereka atas orang Arab. 3. Zindiq, yaitu orang-orang non-muslim dari Yahudi, Majusi, dan lain-lain yang menampakkan diri sebagai seorang muslim. Mereka membuat-buat hadits palsu yang dinisbatkan kepada RasulullahShallallahu Alaihi wauntuk menghancurkan Islam dan melemahkan kekuatannya. 4. Hadits-hadits palsu yang dibuat  tukang dongeng (al-qushshas). Mereka senang mempermainkan perasaan dan emosi orang awam dengan membuat-buat hadits palsu yang menyentuh hati dan terkadang membuat orang terkagum-kagum dengan cerita yang mereka bawakan. Para tukang dongeng ini sama sekali tidak ambil pusing dengan ancaman Nabi bagi orang yang berani mendustakan beliau. Bagi mereka, yang penting adalah bisa menjadi pusat perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan berbagai dongeng palsunya. 5. Perbedaan madzhab fikih, dimana sebagian pendukung masing-masing madzhab ada yang ‘kebablasan’ dalam mengunggulkan madzhabnya atas madzhab lain. Misalnya, ‘hadits’ yang diriwayatkan Muhammad bin Ukasyah Al-Kirmani ketika ditanya tentang orang yang mengangkat tangannya ketika ruku’, dia berkata, “Al-Musayyib bin Wadhih mengabarkan kepada kami dari Anas bin Malik secara marfu’; Barangsiapa yang mengangkat tangannya ketika hendak ruku’, maka tidak ada shalat baginya!” 6. Kebodohan, sebagian kaum muslimin yang di satu sisi mereka dikenal dengan kesalehannya, ketaatannya, dan zuhud. Namun, di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang sebetulnya bodoh dalam masalah agama. Mereka dengan sengaja membuat-buat hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi, untuk mendorong umat Islam agar rajin beribadah, lebih dekat kepada Allah, dan meninggalkan kenikmatan duniawi yang sementara. Orang-orang yang dikenal sebagai zuhud dan ahli ibadah ini banyak membuat hadits palsu dalam masalah fadha`il Al-Qur`an dan keutamaan amal-amal tertentu.[8]



IV.            KESIMPULAN
Ahmad Umar Hasyim tidak memiliki metode baru dalam memahami hadits secara kontekstual. Untuk lebih faham tentang pemikiran beliau mengenai hadits bisa dibaca dalam kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyah fi Muwajahati al-Tahaddi.

V.            PENUTUP  
Demikianlah makalah tentang “Ahmad Umar Hasyim” yang kami susun, tentunya dalam makalah ini masih  terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun segi materinya. Maka dari itu , kami mohon kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi dalam penyusunan makalah selanjutnya.













DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, ahmad Umar, Al-Sunnah al-Nabawiyah fi muwajahati al-Tahadi.
Rosyidin, Mukarom Faisal dan Sugiyono, Buku ajar Hadis untuk Madrasah Aliyah Progam Keagamaan.
http://www.afdhalilahi.net/2014/11/periwayatan-hadis.html di akses pada hari jumat-29-Mei-2015 pukul: 15.00
https://muhsinpamungkas.wordpress.com/ di akses pada hari jumat-29-Mei-2015 pukul: 15.30
http://www.Taman-Taman Syurga/  Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim.html. di akses pada hari jumat-29-Mei-2015 pukul: 16.01
http://sartikahinata.wordpress.com/2011/10/14/inkar-sunnah/. Di akses pada 25 Juni 2015 pukul 22.00


[1] http://www.Taman-Taman Syurga/  Syeikh Prof Dr Ahmad Umar Hasyim.html
[3] Ahmad Umar Hasyim, Al-Sunnah al-Nabawiyah fi muwajahati al-Tahadi, hal. 19
[4] Mukarom Faisal Rosyidin dan Sugiyono, Buku ajar Hadis untuk Madrasah Aliyah Progam Keagamaan, hal. 19-20.
[6] http://youchenkymayeli.blogspot.com/2014/11/kaedah-kedhabitan-periwayat-hadist.html
[7] http://www.ahmadzain.com/read.ilmu/86/menjawab-tuduhan-inkarus-sunnah-3/
[8] http://sartikahinata.wordpress.com/2011/10/14/inkar-sunnah/

No comments:

Post a Comment