Sunday, June 5, 2016

Makalah Ma'anil Hadits tentang Pendekatan Makna Literal dan Kontekstual dalam Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam upaya memahami Hadis Nabi secara objektif, maka usaha untuk meng- hadirkan kembali konteks ketika sebuah Hadis tersebut lahir adalah sangat penting. Hal tersebut terutama karena dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan, agar lebih mendekat- kan kepada kebenaran gagasan yang disajikan dalam teks tersebut. Tanpa memahami motif di balik penulisan sebuah buku, atau karya, suasana politiko-psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh pengarangnya, maka sangat mungkin terjadi salah paham ketika kita membaca sebuah karya tulis. Namun sebuah hadis juga bukan saja harusdi pahami dengan secara kontekstual namun juga ada hadis yang memahaminya secara tekstual, sebagaimana yang akan di sajikan dalam makalah berikut ini.

B.     Rumusan masalah
Sebagaimana latar belakang di atas maka pemakalah mengambil rumusan masalah bagaimana memahami hadis secara literal maupun kontestual dan bagaimana membedakannya.















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian makna literal dan kontekstual
Makna literal
Secara harfiyah makna literal adalah arti kata sebagaimana aslinya/asalnya. Karena arti ini terdaftar pada kamus (leksikon) sebagai leksem, arti ini dapat pula disebut arti/makna leksikal atau arti yang paling mendasar. Arti atau makna harfiah biasanya dipertentangkan dengan arti/makna gramatikal. Soedjito (1986) menjelaskan bahwa makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah konstruksi.[1]
Makna kontekstual
Menurut antropolog B. Malinowski dari Inggris. dikemukakan oleh Parera, bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya, sehingga pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan makna sekunder atau makna kontekstual secara implisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.[2]
2.      Membedakan makna literal dan kontekstual
Dari pengertian diatas menunjukkan bahwa makna literal itu ialah makna yang sesuai dengan ungkapan teks itu sendiri dan dipahami secara tekstual apa adanya sesuai dengan teks, sedang makna kontekstual itu adalah mengetahui makna dengan diarahkan kepada konteks kata itu dibuat. Cara memahami makna kontekstual itu meliputi 3 hal, yakni menyesuaikan situasi atau kondisi, menyesuaikan waktu, dan juga menyesuaikan tempat.
3.      Batas-Batas Tekstual dan Kontekstual Hadis
Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstual meliputi dua hal, yaitu: 1. Dalam bidang ibadah mahdlah (murni) tidak ada atau tidak perlu pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah. 2. Bidang di luar ibadah murni (ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.35 Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) mel
a. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide itu ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubjektif. b. Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.
                                                           
c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu„âsyarah bi al-ma‟rûf.  d.  Terkait relasi antara manusia dan tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, mengapa untuk ibadah murni (mahdlah) tidak perlu dipahami secara tekstual. Menurut analisa penulis di sinilah peran Muhammad sebagai Rasulullah, beliau punya otoritas penuh tanpa campur tangan ra‟yu manusia, dan itulah yang dimaksud firman Allah: ‛‛Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”37 Sedangkan di luar ibadah murni (ghayr mahdlah) diperlukan pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang pada moral ideal atau nas mengingat Muhammad saw. itu sebagai Rasulullah di akhir zaman sehingga syari‟atnya berlaku untuk kapan dan di mana saja. Di samping itu perlu dipahami pula, bagaimana posisi hadis disampaikan. Apakah Muhammad saw. dalam posisi sebagai qadlî (hakim), pemimpin negara atau manusia biasa. Hal itu dapat dilihat pula, apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat ashar, kecuali di perkampungan Banî Quraydhah,” sebagaimana penjelasan yang lalu. 
a.       Hadis yang dipahami secara literal
1)      Perang menggunakan siasat
الحرب خدعة (رواه البخاري ومسلم وغيرهماعن جابر بن عبدالله)
Artinya: “perang itu siasat”
keterangan
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.[3]
2)      Shalat dengan berwudlu
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
(BUKHARI - 132) : Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu." Seorang laki-laki dari Hadlramaut berkata, "Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah menjawab, "Kentut baik dengan suara atau tidak."[4]
keterangan
Hadis tersebut dipahami secara literal,  karena tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalatnya orang yang berhadas tidak akan diterima oleh allah kecuali bersuci terlebih dahulu dengan berwudlu. Karena bersuci, merupakan bagian dari syarat sahnya shalat, jika sebuah syarat tidak terpenuhi maka sholat itu mejadi tidak sah.
3)      Mendo’akan orang yang bersin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا حَفْصٌ وَهُوَ ابْنُ غِيَاثٍ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
عَطَسَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَانِ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ فَقَالَ الَّذِي لَمْ يُشَمِّتْهُ عَطَسَ فُلَانٌ فَشَمَّتَّهُ وَعَطَسْتُ أَنَا فَلَمْ تُشَمِّتْنِي قَالَ إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ وَإِنَّكَ لَمْ تَحْمَدْ اللَّهَ
و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي الْأَحْمَرَ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
(MUSLIM - 5307) : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Giyats dari Sulaiman At Taimi dari Anas bin Malik berkata: Dua orang bersin di dekat nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, salah satunya didoakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam tapi yang lain tidak, yang tidak didoakan berkata: Wahai Rasulullah, Tuan mendoakannya tapi tidak mendoakanku. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Sesungguhnya ia memuji Allah sementara kamu tidak." telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dari Sulaiman At Taimi dari Anas dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam dengan matan serupa.[5]
Keterangan
Sesungguhnya rasulullah mendo’akan orang yang bersin, setelah orang tersebut membaca Alhamdulillah. Dan rasulullah tidak mendo’akan orang yang bersin yang tidak membaca Alhamdulillah. Hadis rasulullah tersebut tida terikat oleh ruang maupun waktu, karena dimanapun sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun ketika kita melihat orang yang bersin kemudia memuji allah, hendaknya kita mendo’akannya. Begitupun sebaliknya
b.      Contoh hadis yang dipahami secara kontekstual
1)      Melaksanakan ibadah haji karena allah seperti orang yang baru dilahirkan
من حج لله فلم يرفس ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه (رواه اليخاري ومسلم وغيرهما عن أبى هريرة)
Artinya: “barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena allah semata, lalu (selama melaksanakan ibadah haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fasik. Niscaya dia kembali (dalam keadaan bersihdar dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.”
Secara tekstual , hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syari’ah sebagai hari yang dia itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Tegasnya, dia itu seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.
Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut ialah bahwa bagi orang yang berhasil menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syari’ah , maka dia diampuni segala dosanya dan dimaafkan segala kesalahannya oleh allah, sehingga dia seperti tatkala baru dilahirkan ibunya.[6]
2)      Setan dibelenggu pada bulan ramadlan
إذاجاء رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبولب النار وصفدت الشياطن. (رواه البخاري ومسلم وغيرهماعن أبي هريرة)
Artinya: “apabila bulan ramadlan telah tiba, maka pintu-pintu surge terbuka, pintu-pintu neraka terkunci, dan para setan terbelenggu.”
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis diatas menyatakan bahwa karena bulan ramadlanlah, maka otomatis pintu-pnitu surge terbuka pintu-pintu neraka terkunci, dan para setan terbelenggu. Pemhaman itu menonjokan keutamaan bulan Ramadan saja tanpa menyertakan berbagai amal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman pada bulan ramadala tersebut.
Dengan pemahama secara tekstual maka kenyataan dalam masyarakat sering sulit dijawab. Dalam masyarakat sering terjadi pencurian dan erzinahan pada bulan Ramadan. Sekiranya kata “dibelenggu” dalam hadis tersebut diartika secara fisik  dan penyebab dibelenggunya semua setan itu adalah bulan Ramadan, niscaya tidak orang yang melakukan perbuatan maksiat pada bulan itu. Kenyataannya, pada bulan Ramadan ada saja peristiwa pelkanggaran terhadap larangan-larangan allah dengan demikian, pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas kurang tepat. Yang lebh tepat adalah pemahaman secara kontekstual.
Bula Ramadan adalah bulan Ibadah dan bulan ampunan. Pada bulan itu orang-orang ya beriman berusaha melaksanakan berbagai ibadah, antara lain puasa, tadarus al qur’an, dzikir, dan qiyamul lail, sera berbagai amal kebajikan lainnya, misalnya bersedekah. Dalam pada itu, selama menjalani ibadah-ibadah tersebut, orang-orang yang beriman berusaha untuk selalu jujur, menghindarkan diri dari pertengkaran, dan berusaha keras untuk tidak melakukan perbuatan maksiat. Dengan demikian, hamper-hampir tidak ada celah waktu yang memberi peluang bagi setan untuk mengganggu orang-orang yang beriman pada bulan Ramadan tersebut. Keadaan semacam itu menjadikan para setan terbelenggu, dalam arti tidak dapat mengganggu orang-orang yang beriman yang sedang sibuk dan asyik dengan berbagai ibadah dan amal kebajikan lainnya tersebut. Suasana yang demikian itu dengan sendirinya menjadikan pintu-pintu surge terbuka luas dan pintu-pntu neraka terkunci rapat.
Adapun orang-orang yang tidak melakukan berbagai ibadaha dan kebajikan lainnya serta tidak berusaha untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang terlarang, maka walaupun saat itu sedang dalam bulan Ramadan, setan tetap saja bebas mengganggu mereka, pintu surge tertutup, dan pintu neraka terbuka. Jadi, yang menjadikan setan terbelenggu bukanlah semata-mata bulan Ramadan, melainkan karena dalam bulan Ramadan, orang-orang yang beriman berusaha keras untuk melakukan berbagai ibadah dan amal kebajikan lainnya. Ajarana islam tentang kemuliaan bulan Ramadan da penghargaan terjhadap amal-amal yang dilakukan dalam bulan Ramadan berlaku tanpa terikat oleh tempat dan waktu. Karenanya, ajaran tersebut bersifat universal.[7]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesmpulan
Mengikuti segala yang bersumber dari Rasulullah Muhammad merupakan suatu keharusan, namun karena Rasulullah Muhammad dalam kehidupannya yang terbatas baik waktu maupun wilayahnya, maka sudah seharusnya pula memahami hadis tidak hanya dengan pendekatan tekstualis an- sich, kalau menginginkan agar hadis senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks.  Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis dengan mengacu pada latar belakang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis itu ditampilkan. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman yaitu: Pertama, arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat temporal. Kedua, memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ismail Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual Telaah Ma’anil Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal Temporal Dan Local, Bulan Bintang, Jakarta 1994.

N Yuslem - MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 2010 - jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id
Aplikasi Hadis Sembilan Imam


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Arti_harfiah
[2] N Yuslem - MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 2010 - jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id
[3] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual, bulan bintang, jakarta : 1994, hlm. 11
[4] Aplikasi hadis sembilan imam
[5] Ibid
[6] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual, bulan bintang, jakarta : 1994, hlm. 15-16
[7] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual telaah ma’anil hadis tentang ajaran islam yang universal temporal dan local, bulan bintang, Jakarta: 1994, hlm 62-64

No comments:

Post a Comment