BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam upaya memahami Hadis Nabi secara objektif, maka usaha untuk
meng- hadirkan kembali konteks ketika sebuah Hadis tersebut lahir adalah sangat
penting. Hal tersebut terutama karena dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat
sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi yang harus dipertimbangkan,
agar lebih mendekat- kan kepada kebenaran gagasan yang disajikan dalam teks
tersebut. Tanpa memahami motif di balik penulisan sebuah buku, atau karya,
suasana politiko-psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh
pengarangnya, maka sangat mungkin terjadi salah paham ketika kita membaca
sebuah karya tulis. Namun sebuah hadis juga bukan saja harusdi pahami dengan
secara kontekstual namun juga ada hadis yang memahaminya secara tekstual,
sebagaimana yang akan di sajikan dalam makalah berikut ini.
B.
Rumusan masalah
Sebagaimana latar belakang di atas maka pemakalah mengambil rumusan
masalah bagaimana memahami hadis secara literal maupun kontestual dan bagaimana
membedakannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian makna literal dan kontekstual
Makna literal
Secara harfiyah makna
literal adalah arti kata sebagaimana aslinya/asalnya. Karena arti ini terdaftar
pada kamus (leksikon)
sebagai leksem, arti ini dapat
pula disebut arti/makna leksikal atau arti yang paling mendasar. Arti atau
makna harfiah biasanya dipertentangkan dengan arti/makna gramatikal. Soedjito (1986)
menjelaskan bahwa makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan
dengan kata yang lain dalam sebuah konstruksi.[1]
Makna kontekstual
Menurut antropolog B. Malinowski dari Inggris. dikemukakan oleh Parera, bahwa setiap kata mempunyai makna dasar
atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata itu baru mendapatkan makna
sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidak akan
terlepas dari konteks pemakaiannya, sehingga pendapat yang membedakan makna
primer atau makna dasar dan makna sekunder atau makna kontekstual secara
implisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.[2]
2.
Membedakan makna literal dan kontekstual
Dari pengertian diatas menunjukkan bahwa makna literal itu ialah
makna yang sesuai dengan ungkapan teks itu sendiri dan dipahami secara tekstual
apa adanya sesuai dengan teks, sedang makna kontekstual itu adalah mengetahui
makna dengan diarahkan kepada konteks kata itu dibuat. Cara memahami makna
kontekstual itu meliputi 3 hal, yakni menyesuaikan situasi atau kondisi,
menyesuaikan waktu, dan juga menyesuaikan tempat.
3.
Batas-Batas Tekstual dan Kontekstual Hadis
Secara umum M. Sa‛ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstual
meliputi dua hal, yaitu: 1. Dalam bidang ibadah mahdlah (murni) tidak ada atau
tidak perlu pemahaman kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk
penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid`ah. 2.
Bidang di luar ibadah murni (ghayr mahdlah). Pemahaman kontekstual perlu
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.35
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) mel
a. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide itu
ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal,
lintas ruang waktu, dan intersubjektif. b. Bersifat absolut, prinsipil, universal,
dan fundamental.
c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu„âsyarah bi
al-ma‟rûf. d. Terkait relasi antara manusia dan tuhan yang
bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan
pun dan di mana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis
tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan
seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah)
dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara
muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks si pelakunya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, mengapa untuk ibadah murni
(mahdlah) tidak perlu dipahami secara tekstual. Menurut analisa penulis di
sinilah peran Muhammad sebagai Rasulullah, beliau punya otoritas penuh tanpa
campur tangan ra‟yu manusia, dan itulah yang dimaksud firman Allah: ‛‛Dan
tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”37 Sedangkan di luar ibadah murni
(ghayr mahdlah) diperlukan pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang
pada moral ideal atau nas mengingat Muhammad saw. itu sebagai Rasulullah di
akhir zaman sehingga syari‟atnya berlaku untuk kapan dan di mana saja. Di
samping itu perlu dipahami pula, bagaimana posisi hadis disampaikan. Apakah
Muhammad saw. dalam posisi sebagai qadlî (hakim), pemimpin negara atau manusia
biasa. Hal itu dapat dilihat pula, apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat
terhadap hadis “jangan kamu shalat ashar, kecuali di perkampungan Banî
Quraydhah,” sebagaimana penjelasan yang lalu.
a.
Hadis yang dipahami secara literal
1)
Perang menggunakan siasat
الحرب خدعة (رواه البخاري ومسلم وغيرهماعن جابر بن عبدالله)
Artinya: “perang itu siasat”
keterangan
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi
teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang
demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu
tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah
memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk
kepada lawan tanpa syarat.[3]
2)
Shalat dengan berwudlu
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ قَالَ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ
مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ
حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
(BUKHARI - 132) : Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim
Al Hanzhali berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah
mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwa ia mendengar Abu
Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia
berwudlu." Seorang laki-laki dari Hadlramaut berkata, "Apa yang
dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah menjawab,
"Kentut baik dengan suara atau tidak."[4]
keterangan
Hadis tersebut dipahami secara literal, karena tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalatnya
orang yang berhadas tidak akan diterima oleh allah kecuali bersuci terlebih
dahulu dengan berwudlu. Karena bersuci, merupakan bagian dari syarat sahnya
shalat, jika sebuah syarat tidak terpenuhi maka sholat itu mejadi tidak sah.
3)
Mendo’akan orang yang bersin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
حَفْصٌ وَهُوَ ابْنُ غِيَاثٍ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ قَالَ
عَطَسَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلَانِ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ فَقَالَ الَّذِي لَمْ
يُشَمِّتْهُ عَطَسَ فُلَانٌ فَشَمَّتَّهُ وَعَطَسْتُ أَنَا فَلَمْ تُشَمِّتْنِي
قَالَ إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ وَإِنَّكَ لَمْ تَحْمَدْ اللَّهَ
و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي
الْأَحْمَرَ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
(MUSLIM - 5307) : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah
bin Numair telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Giyats dari Sulaiman At
Taimi dari Anas bin Malik berkata: Dua orang bersin di dekat nabi Shallallahu
'alaihi wa Salam, salah satunya didoakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Salam tapi yang lain tidak, yang tidak didoakan berkata: Wahai Rasulullah, Tuan
mendoakannya tapi tidak mendoakanku. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam
bersabda: "Sesungguhnya ia memuji Allah sementara kamu tidak." telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami Abu Khalid
Al Ahmar dari Sulaiman At Taimi dari Anas dari nabi Shallallahu 'alaihi wa
Salam dengan matan serupa.[5]
Keterangan
Sesungguhnya rasulullah mendo’akan orang yang bersin, setelah orang
tersebut membaca Alhamdulillah. Dan rasulullah tidak mendo’akan orang yang
bersin yang tidak membaca Alhamdulillah. Hadis rasulullah tersebut tida terikat
oleh ruang maupun waktu, karena dimanapun sampai kapanpun dan dalam keadaan
apapun ketika kita melihat orang yang bersin kemudia memuji allah, hendaknya
kita mendo’akannya. Begitupun sebaliknya
b.
Contoh hadis yang dipahami secara kontekstual
1)
Melaksanakan ibadah haji karena allah seperti orang yang baru
dilahirkan
من حج لله فلم يرفس ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه (رواه اليخاري ومسلم
وغيرهما عن أبى هريرة)
Artinya: “barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena allah semata,
lalu (selama melaksanakan ibadah haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran
seksual dan tidak berbuat fasik. Niscaya dia kembali (dalam keadaan bersihdar
dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.”
Secara tekstual , hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil
menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syari’ah sebagai hari yang dia itu baru
saja dilahirkan oleh ibunya. Tegasnya, dia itu seperti bayi yang baru
dilahirkan oleh ibunya.
Pemahaman secara kontekstual terhadap petunjuk hadis tersebut ialah
bahwa bagi orang yang berhasil menunaikan ibadah haji menurut petunjuk syari’ah
, maka dia diampuni segala dosanya dan dimaafkan segala kesalahannya oleh
allah, sehingga dia seperti tatkala baru dilahirkan ibunya.[6]
2)
Setan dibelenggu pada bulan ramadlan
إذاجاء رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبولب النار وصفدت الشياطن.
(رواه البخاري ومسلم وغيرهماعن أبي هريرة)
Artinya: “apabila bulan ramadlan telah tiba, maka pintu-pintu surge
terbuka, pintu-pintu neraka terkunci, dan para setan terbelenggu.”
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis diatas menyatakan bahwa
karena bulan ramadlanlah, maka otomatis pintu-pnitu surge terbuka pintu-pintu
neraka terkunci, dan para setan terbelenggu. Pemhaman itu menonjokan keutamaan
bulan Ramadan saja tanpa menyertakan berbagai amal yang seharusnya dilakukan
oleh orang-orang yang beriman pada bulan ramadala tersebut.
Dengan pemahama secara tekstual maka kenyataan dalam masyarakat
sering sulit dijawab. Dalam masyarakat sering terjadi pencurian dan erzinahan
pada bulan Ramadan. Sekiranya kata “dibelenggu” dalam hadis tersebut diartika
secara fisik dan penyebab dibelenggunya
semua setan itu adalah bulan Ramadan, niscaya tidak orang yang melakukan
perbuatan maksiat pada bulan itu. Kenyataannya, pada bulan Ramadan ada saja
peristiwa pelkanggaran terhadap larangan-larangan allah dengan demikian,
pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas kurang tepat. Yang lebh tepat
adalah pemahaman secara kontekstual.
Bula Ramadan adalah bulan Ibadah dan bulan ampunan. Pada bulan itu
orang-orang ya beriman berusaha melaksanakan berbagai ibadah, antara lain
puasa, tadarus al qur’an, dzikir, dan qiyamul lail, sera berbagai amal
kebajikan lainnya, misalnya bersedekah. Dalam pada itu, selama menjalani
ibadah-ibadah tersebut, orang-orang yang beriman berusaha untuk selalu jujur,
menghindarkan diri dari pertengkaran, dan berusaha keras untuk tidak melakukan
perbuatan maksiat. Dengan demikian, hamper-hampir tidak ada celah waktu yang
memberi peluang bagi setan untuk mengganggu orang-orang yang beriman pada bulan
Ramadan tersebut. Keadaan semacam itu menjadikan para setan terbelenggu, dalam
arti tidak dapat mengganggu orang-orang yang beriman yang sedang sibuk dan
asyik dengan berbagai ibadah dan amal kebajikan lainnya tersebut. Suasana yang
demikian itu dengan sendirinya menjadikan pintu-pintu surge terbuka luas dan
pintu-pntu neraka terkunci rapat.
Adapun orang-orang yang tidak melakukan berbagai ibadaha dan
kebajikan lainnya serta tidak berusaha untuk menjaga diri dari
perbuatan-perbuatan yang terlarang, maka walaupun saat itu sedang dalam bulan
Ramadan, setan tetap saja bebas mengganggu mereka, pintu surge tertutup, dan
pintu neraka terbuka. Jadi, yang menjadikan setan terbelenggu bukanlah semata-mata
bulan Ramadan, melainkan karena dalam bulan Ramadan, orang-orang yang beriman
berusaha keras untuk melakukan berbagai ibadah dan amal kebajikan lainnya.
Ajarana islam tentang kemuliaan bulan Ramadan da penghargaan terjhadap
amal-amal yang dilakukan dalam bulan Ramadan berlaku tanpa terikat oleh tempat
dan waktu. Karenanya, ajaran tersebut bersifat universal.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesmpulan
Mengikuti segala yang bersumber dari Rasulullah Muhammad merupakan
suatu keharusan, namun karena Rasulullah Muhammad dalam kehidupannya yang
terbatas baik waktu maupun wilayahnya, maka sudah seharusnya pula memahami
hadis tidak hanya dengan pendekatan tekstualis an- sich, kalau menginginkan
agar hadis senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan
dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena
itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis dengan mengacu
pada latar belakang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis itu
ditampilkan. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman yaitu: Pertama,
arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat
temporal. Kedua, memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir
teksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Syuhudi,
Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual Telaah Ma’anil Hadis Tentang Ajaran
Islam Yang Universal Temporal Dan Local, Bulan Bintang, Jakarta 1994.
N Yuslem -
MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 2010 - jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id
Aplikasi Hadis
Sembilan Imam
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Arti_harfiah
[2] N Yuslem - MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 2010 -
jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id
[3] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual, bulan
bintang, jakarta : 1994, hlm. 11
[4] Aplikasi hadis sembilan imam
[5] Ibid
[6] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual, bulan
bintang, jakarta : 1994, hlm. 15-16
[7] Syuhudi ismail, hadis nabi yang tekstual dan kontekstual telaah
ma’anil hadis tentang ajaran islam yang universal temporal dan local, bulan
bintang, Jakarta: 1994, hlm 62-64
No comments:
Post a Comment