Seseorang yang enggan bertilaawatil qur’an tentu
memiliki beberapa faktor penyebabnya. Diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Karena Citra yang Kurang
Baik dari Nenek Moyang Kita tentang Al-Qur’an.
Kita ditunjukkan bahkan juga mungkin dilibatkan dalam kegiatan
mereka dengan Al-Qur’an. Misalnya kita melihat Al-Qur’an sering dibaca di sisi
orang yang merenggang nyawa (hampir meninggal), atau ketika berziarah kubur,
dan memohon berkah untuk kesembuhan orang sakit. Kitab yang disucikan
kertas-kertasnya itu, dicium, dijadikan pembukaan berbagai acara, ditulis
sebagai kaligrafi lalu digantung atau dicetak sebagai hiasan di ruang emas atau
perak. Semua itu kita terima begitu saja seakan-akan memang begitulah
semestinya ia diperlakukan, dan itu sudah sejak dulu, sejak ia diturunkan.
Sehingga dalam benak kita ketika mendengar kata “membaca Al-Qur’an”, maknanya
bukan membaca dalam arti memahami yang manfaatnya dapat kita petik sendiri,
melainkan membacakan untuk orang lain. Atau yang tercetus dalam pikiran adalah
mengeja deretan huruf dengan benar serta melagukannya dengan indah. Apa yang
dimaksud dengan membaca adalah “mengeja kata”. Mungkin kita pernah menyadari
hal itu. Namun, kemudian kesadaran itu tenggelam karena kita tidak bisa berbuat
apa-apa sementara dorongan dari lingkungan kita begitu kuat. Kebiasaan yang
mengakar kuat mengalahkan daya kritis kita. Kita larut dan ikut dalam
kenikmatan itu. Kita pun akhirnya ikut merasa cukup membaca Al-Qur’an dengan tartil
sambil melagukannya dengan lagu-lagu tertentu. Dan lagu itu menjadi terbiasa di
telinga kita hingga kita lupa memperhatikan maknanya. Kita pun merasa tergugah
oleh Al-Qur’an dan merasa terpengaruh olehnya, tanpa menyadari bahwa kita
terpengaruh oleh karena lagu Al-Qur’annya, bukan (kandungan) Al-Qur’an.
2. Karena Melupakan Tujuan
Al-Qur’an
Banyak orang membaca Al-Qur’an (Tilaawatil qur’an) hanya
dengan membaca lafalnya saja dan melupakan tujuan Al-Qur’an sehingga tidak
memahami isi dan kandungannya. Tujuan Al-Qur’an, bukan untuk dibaca saja,
tetapi juga untuk diamalkan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tujuan
Al-Qur’an diturunkan adalah untuk diamalkan. Siapa yang mengamalkan Al-Qur’an
maka ia pantas disebut ahli Al-Qur’an. Orang yang membacanya dituntut untuk
memahaminya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kita membacanya secara
tartil dan tidak tergesa-gesa, sehingga pemahamannya memancar dalam lubuk dan
jejak-jejak keimanan akan muncul dalam perilaku”
Tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk (hidayah)
jalan kebaikan bagi diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana pernyataan
Al-Qur’an sendiri dalam surat Yunus ayat 57 yang artinya:“Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman.”
3. Karena Minder Memahami
Hikmah Al-Qur’an dengan Pikirannya
Sebagian orang, minder untuk berusaha memahami hikmah Al-Qur’an
dengan pikirannya. Kita segan memahaminya secara langsung tanpa bantuan kitab
tafsir, untuk mengetahui makna kata dan ayat. Tapi justru sikap seperti itu
menurut Ibn Taimiyah menghambat orang untuk memahami Al-Qur’an. Salah satu
penyebab rasa minder itu adalah kita terlalu percaya pada sebuah anggapan bahwa
memahami Al-Qur’an harus mendalam dan mendetail. Beberapa orang yang bermaksud
memetik Al-Qur’an merasa harus berhenti pada setiap kata untuk memahami
maknanya dan mendalami isinya. Sehingga mereka mampu membaca beberapa ayat
saja, kemudian lelah, lalu berhenti. Cara membaca seperti ini memang memperkaya
pemahaman dan menambah keimanan. Tapi juga bisa membuat jenuh dan bosan. Tidak
ada keharusan untuk tahu secara mendetail dalam memahami Al-Qur’an. Memahami
secara garis besarnya, yakni mengetahui pesan moral dari ayat-ayat yang kita
baca sudah cukup. Ibn Masud pernah berkata “Jangan berbuat bid’ah,
jangan memaksa diri membaca Al-Qur’an secara fasih, jangan memaksa diri
memahami Al-Qur’an secara mendalam. Jangan memaksa diri. Lakukan semampu kalian.”
4. Karena Memburu Pahala
Anggapan bahwa Al-Qur’an hanyalah sumber pahala dan keberkahan,
harus diluruskan. Sudah umum dipahami bahwa membaca satu huruf Al-Qur’an
bernilai sepuluh kebaikan. Dari pemahaman seperti itu banyak orang yang enggan
merenungkan Al-Qur’an. Mereka lebih memilih berlomba-lomba mengkhatamkan
sebanyak dan secepat mungkin. Khususnya pada bulan Ramadhan. Jadi membaca bukan
lagi menjadi sarana untuk memahami Al-Qur’an melainkan telah menjadi tujuan
sendiri. Itulah kesalahan kita selama ini.
5. Karena Menghafal Al-Qur’an
Akibat ambisi seorang penghafal yang ingin cepat mendapatkan
hafalannya dan menjaganya, mereka menjadi lupa dan enggan akan Tilaawatil
Qur’an (membaca Al-Qur’an). Seolah-olah menghafal adalah
tujuan Al-Qur’an diturunkan. Padahal menghafal adalah satu cara untuk
memudahkan mereka memetik manfaat Al-Qur’an, selain berdoa dengannya di manapun
tanpa tergantung mushaf. Imam M. Ghazali, seperti yang dikutip Majdi Al-Hilali,
berkata “Aku sudah menghafal Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Namun
hafalan itu membuatku tidak memedulikan maknanya. Sampai aku dewasa, menghafal
Al-Qur’an tanpa memahami maknanya, aku pun tumbuh tanpa memahami apa-apa.
Proses menghafal membuang waktuku untuk merenungi Al-Qur’an. Dan aku tidak ingin
mengulanginya lagi.”
6. Karena Mempunyai Penyakit
Hati, Merasa Berdosa, Kotor dan Tak Pantas Membaca Al-Qur’an yang
Suci
Anggapan ini keliru, mereka yang beranggapan demikian merasa
harus membersihkan diri lebih dulu sebelum mendekati Al-Qur’an. Setelah
berusaha mendekatkan diri, mereka ragu-ragu apakah sudah bersih belum. Mereka
terombang-ambing. Sesungguhnya tidak perlu demikian. Sebab hal seperti itulah
yang menjadi penghalang seseorang memetik manfaat dari Al-Qur’an. Majdi
Al-Hilali menegaskan bahwa beliau tidak bermaksud mengecilkan pengaruh maksiat
dan penyakit hati dalam upaya memahami Al-Qur’an dan menyerap nilai-nilai
Al-Qur’an. Dengan pendapat di atas, sebenarnya beliau ingin mengatakan bahwa
jiwa yang sakit pun, bisa diobati dengan Al-Qur’an. Karena seharusnya, jiwa
yang sakit sudah sepantasnya kembali ke Al-Qur’an yaitu dengan bertilaawatil
qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim,
Acep Iim. 1995. Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap. Bandung:
Diponegoro.
Al-Balady,
Athiq bin Ghaits. Terjemah Fadhail al-Qur’an Menurut Hadits-Hadits
Rasulullah SAW. Semarang: CV. Toha Putra.
Al-Jamzuri,
Sulaiman. 1992. tth. Fathu al-Aqfal. Semarang: Maktabah ‘Alawiyah.
Al-Qaradhawi,
Yusuf . 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an ;
penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta : Gema Insani Press.
Ash-Shabunniy,
M.Ali. 1999. At-Tibyan Fi Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka
Setia.
Djalal,
Abdul. 2008. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Hamzah,
Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: GAMA
MEDIA.
Khon, Abdul Majid.
2011. Praktikum Qira’at. Jakarta : AMZAH.
Munir, M.
Misbachul. 1997. Pedoman Lagu-lagu Tilaawatil Qur’an dilengkapi dengan
Tajwid dan Qasidah. Surabaya: Apollo.
No comments:
Post a Comment