Friday, July 1, 2016

Makalah Hadits Sains tentang Hadis Larangan Buang Air Pada Air Tergenang



PENDAHULUAN
A.    Labar Belakang
Hadis merupakan salah satu objek yang mengalami pengkajian secara terus menerus sampai sekarang. Hal itu dikarenakan adanya kepedulian para sarjana Islam terhadap warisan Nabi Muhammad saw yang sangat dimuliakan oleh umat Islam. Dewasa ini, pengkajian hadis tidak hanya ditujukan sebagai pembuktian keauntetikan hadis saja, tetapi juga mengungkap pesan yamg tersirat di balik penurutan Nabi saw. Nabi saw adalah orang yang mampu berpikir panjang. Tak jarang sabda beliau pada waktu berabad-abad yang lalu namun masih relevan sampai saat ini. Misalnya penjelasan beliau mengenai fenomena alam dan sains. Seperti Larangan buang air pada air yang tidak mengalir atau tergenang. Jika diteliti, larangan tersebut mempunyai pesan tersirat yang masih relevan sampai sekarang.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka penulis membuat makalah ini selain sebagai tugas mata kuliah Hadis Sains, tetapi juga ingin memberi pengertian secara lebih dalam mengenai rahasia larangan Nabi saw terhadap seseorang yang buang air pada air yang tergenang. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca untuk memahami makna tersirat yang ada pada hadis larangan buang air pada air tergenang. Semoga bermanfaat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadis tentang larangan buang air pada air tergenang?
2.      Bagaimana larangan air tergenang yang terkena kencing?
3.      Bagaimana penjelasan sains terhadap larangan buang air pada air tergenang?


A.    Hadis tentang Larangan Buang Air pada Air Tergenang
Banyak terdapat hadis mengenai larangan buang air pada air tergenang. Diantaranya
عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى عنْ البول فِى الْمَاءِ الرَّاكِد .
“dari Jabir dari Rasulullah saw, bahwa beliau melarang kencing pada air yang menggenang”. (HR.Muslim, Hadis No.423. Software Hadis Mausu’ah 9 Imam).

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه قال لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ 
”dari Abu Hurairah dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil dalam air yang diam (tergenang), kemudian mandi di situ”. (HR.Al-Nasa’i, hadis no.221, software Hadis Mausu’ah 9 Imam)

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى يُبَالَ فِى الْمَاءِالدانم ثم يتوضا منه
“dari Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwasanya Rasulullah saw melarang kencing di dalam air yang tidak mengalir kemudian berwudhu darinya”. (HR. Ahmad ibn Hanbal, hadis no.9988, Software Hadis Mausu’ah 9 Imam) [1]
ان أبا هريرة سمع رسول الله ص م : لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“ Janganlah salah seorang kamu kencing ke dalam air yang tenang yang tidak mengalir, kemudian dia  mandi di dalamnya” (Al Bukhary 4:68; Muslim 2:28; Al Lu’lu-u wal Marjan 1:69).[2]

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah melarang seseorang untuk:
1.      Buang air kecil didalam air yang tidak pengalir (tergenang)
2.      Buang air kecil didalam air tergenang kemudian mandi di air itu
3.      Mandi jinabat di dalam air yang tergenang yang terkena kencing[3]
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa orang yang berjunub tidak boleh mandi kedalam air yang tidak mengalir, maksudnya tidak boleh mandi dengan cara menyelam.

B.     Larangan Buang Air pada Air yang Tidak Mengalir (Tergenang)
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum air tergenang yang terkena air kencing:
1.      Syafi’iyah berpendapat jika air yang tergenang itu sedikit, maka hukumnya haram. Jika airnya banyak maka makruh.
2.      Sebagian ulama’ berpendapat bahwa baik sedikit atau banayak hukum air tersebut tetap haram.
3.      Ada yang mengharamkan air yang terkena kencing apabila air tersebut berubah baik rasa, warna maupun baunya.
Meskipun demikian, pada dasarnya hadis-hadis diatas hanya memberi pesan adanya larangan buang air di dalam air tergenang (baik langsung mengencingi air tersebut atau pun menuangkan air kencing kedalamnya), bukan sebagai dasar diharamkannya air yang terkena air kencing. Jadi kencing pada air tergenang tetap dilarang terlepas dari najis tidaknya air yang terkena kencing itu.[4]
Abu Hurairah pernah berkata: “Bagaimana kita mandi dengan air yang tenang itu (yang telah terkena kencing)? Diciduk dengan gayung?” perkataan tersebut mengisyaratkan bahwa larangan kencing pada air tergenang karena menjijikan. Perbuatan tersebut juga mengotori air.
Di dalam sarah Muslim, An Nawawy berkata bahwa berdasarkan hadis diatas terdapat sebagian air adalah larangan haram, dan sebagian air yang lain adalah larangan makrum. Apabila air itu banyak dan mengalir maka hukumnya makruh kita kencing didalamnya.
Menurut sebagian ulama’ syafi’iyah, jika air itu sedikit tapi mengalir maka hukumnnya makruh, tidak haram. Jika air itu tenang dan berjumlah banyak hukum kencing diair tersebut.
Namun mayoritas ulama’ ahli tahqiq dan ulama’ ushul berpendapat bahwa buang air pada air tergenang hukumnya haram karena dapat menajiskan airdan mencemari lingkungan.
Para ulama’ mengatakan: ”dimakruhkan kita kencing dan buang air besar di dekat air, walau pun tidak sampai mengalir ke dalam air, mengingat umum latangan tentang membuang air besar di tempat-tempat yang didatangi orang ramai dan karena mengganggu orang yang menggunakan air itu”.


C.     Penjelasan Sains mengenai Larangan Buang Air pada Air Tergenang
Rasulullah melarang buang air pada air tergenang bukan tanpa sebab. Rasulullah telah jauh memikirkan kebaikan bagi umat beliau, terutama mengenai kesehatan. Jika ditinjau dari segi kesehatan, buang air pada air tergenang memberi dampak buruk bagi lingkungan serta bagi orang lain. Buang air pada air tergenang mengakibatkan pencemaran pada air yang tergenang tersebut, apabila air itu terkena kulit seseorang maka akan berdampak buruk. Apalagi air tersebut digunakan untuk mandi atau berwudhu.
Kebiasaan buang air pada air tergenang dapat menimbulkan telur-telur bilharziasis. Kemudian telur-telur tersebut menetas dan jika terkena kulit akan mengakibatkan berbagai penyakit pada kulit, seperti kutu air.
Selain itu, Buang air atau kencing pada air yang tergenang berlawanan dengan dengan prinsip sanitasi (pembudayaan hidup sehat). Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bisang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat.[5] Dan kencing pada air tergenang termasuk perilaku yang tidak menjaga kebersihan lingkungan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam melarang seseorang buang air ke dalam air yang tidak mengalir atau tergenang dan melarang mandi dalam air tersebut.

D.    Hikmah Dilarangnya Buang Air pada Air Tergenang
1.      Sempurnanya syari’an Islam yang mengatur tentang kebersihan.
2.      Islam menganjurkan untuk memelihara kesehatan
3.      Islam melarang segala hal yang dapat menyakiti  orang lain
4.      Terhindar dari penyakit



PENUTUP
Kesimpulan
ان أبا هريرة سمع رسول الله ص م : لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“ Janganlah salah seorang kamu kencing ke dalam air yang tenang yang tidak mengalir, kemudian dia  mandi di dalamnya” (Al Bukhary 4:68; Muslim 2:28; Al Lu’lu-u wal Marjan 1:69).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah melarang seseorang untuk:
1.      Buang air kecil didalam air yang tidak pengalir (tergenang)
2.      Buang air kecil didalam air tergenang kemudian mandi di air itu
3.      Mandi jinabat di dalam air yang tergenang yang terkena kencing
Buang air pada air yang tidak mengalir dilarang oleh Islam karena dapat mencemari lingkungan, menimbulkan penyakit, dan berlawanan dengan prinsip sanitasi.


DAFTAR PUSTAKA
Muhtarom, Mengungkap Rahasia & Kebenaran Ilmiah Hadis-hadis Nabi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 2 (Thaharah & Shalat), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003
Software Kamus Besar Bahasa Indonesia



[1] Muhtarom, Mengungkap Rahasia & Kebenaran Ilmiah Hadis-hadis Nabi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, hlm.69
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 2 (Thaharah & Shalat), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003, hlm.77
[3] Muhtarom, hlm.72
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, hlm.78
[5] Software Kamus Besar Bahasa Indonesia

No comments:

Post a Comment