Tuesday, December 27, 2016

Hadis dengan Syarah Hadits


A.    Langkah-langkah
1.      Uji validitas hadis yang akan disyarahi.
2.      Mengumpulkan hadis yang setema. Mengumpulkan matan-matan yang semakna dengan yang disyarahi.
3.      Jika hadis-hadis tersebut bertentangan. Maka diteliti mana yang lebih kuat dari segi sanadnya.
4.      Jika hadis-hadis yang bertentangan tersebut memiliki kualitas yang sama, maka dilakukan proses seperti:
a.       Al-Jam’u wa At-Taufiq
Kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai dengan konteksnya.
Contoh Larangan dan Kebolehan Buang Hajat Menghadap Kiblat
أن النبي قال إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة ولا تستدبروها ببول ولاغائط ولكن شرقوا أو غربوا قال أبو أيوب فقدمنا الشام فوجدنا مراحيض قد بنيت قبل القبلة فننحرف عنها ونستغفرالله قال نعم[1]
“Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar...”
فقال عبدالله بن عمر لقد ارتقيت يوما على ظهربيت لنافرأيت رسول الله على لبنتين مستقبلا بين المقدس لحاجته[2]
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis diatas tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat dilapangan terbuka, sedangkan yang melakukan buang hajat ditempat tertutup, misalnya di WC, Larangan tidak berlaku. Penyesuaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam’u[3]
b.      Tarjih
Contoh :  أنه كان يصبح جنبا وهوصائم(Hadis riwayat ‘Aisyah),  من أصبح جنبا فلا صوم له (Hadis riwayat Abi Hurairoh)
Diantara dua hadis diatas, yang paling Rajih adalah hadis riwayat Aisyah hal ini dikarenakan ‘Aisyah adalah istri Nabi yang otomatis lebih mengetahui keadaan Rasul dibanding Abu Hurairoh.
c.       Nasikh
Larangan dan Kebolehan Nikah Muth’ah
Kebolehan nikah muth’ah
 “sesungguhnya beliau (Rasulullah) telah mengizinkan kamu sekalian untuk melakukan nikah muth’ah, maka lakukanlah nikah muth’ah tersebut”
Larangan nikah muth’ah
 “barang siapa yang (saat ini) ada dari kalangan istrinya yang dikawini secara muth’ah, maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan pada mereka itu
Secara tekstual hadis diatas tampak saling bertentangan, hadis pertama membolehkan praktik nikah mut’ah sedangkan hadis kedua melarang. Berdasarkan petunjuk dari berbagai hadis nabi tentang nikah muth’ah maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya, secara universal nikah muth’ah itu dilarang. Pada waktu itu, secara temporal nikah muth’ah pernah diperbolehkan, yang kemudian diikuti larangan, dan larangan itu menasakh hadis hukum dalam hadis sebelumnya dan berlaku untuk selamanya.
Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan sesuatu yang bersifat dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu problem solving atas sesuatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun sunnah, kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama.
Oleh karena itu, ijtihad dalam syarah hadits yaitu suatu cara berfikir sungguh-sungguh para ulama dengan segenap kemampuannya untuk menginterpretasikan atau mensyarahi suatu hadits agar diperoleh suatu pemahaman baru yang mungkin biasanya memunculkan suatu hukum-hukum yang berkembang.
Dari hadits masyhur tentang yang diriwayatklan dari muadz bin jabal ketika dia diutus nabi Muhammad ke Yaman dapat diperoleh kesimpulan bahwa sumber-sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, jika dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Oleh karena itu, sejauh perkembanganya dalam ruang lingkup pensyarahan terhadap suatu hadits, ijtihad juga dilakukan setelah melalui seperti tahap mensyarahi hadits yang dikompromikan dengan al-Qur’an, hadits dengan hadits kemudian hadits dengan ijtihad yang mana hal itu dimaksudkan agar memperoleh pemahaman hadits secara sempurna dan komprehensif.[4]


Part 1

[1]  Imam Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 2 hal.72.
[2] Imam Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn Katsir, juz 1 hal.252.
[3] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994, hal.75.
[4] M alfatih suryadilaga, meodologi syarah hadis, SUKA-PRESS Sunan kalijaga,Yogyakarta 2014. h 133

No comments:

Post a Comment