A. Langkah-langkah
1. Uji validitas hadis yang akan
disyarahi.
2. Mengumpulkan hadis yang setema.
Mengumpulkan matan-matan yang semakna dengan yang disyarahi.
3. Jika hadis-hadis tersebut bertentangan.
Maka diteliti mana yang lebih kuat dari segi sanadnya.
4. Jika hadis-hadis yang bertentangan
tersebut memiliki kualitas yang sama, maka dilakukan proses seperti:
a. Al-Jam’u wa At-Taufiq
Kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama
diamalkan sesuai dengan konteksnya.
Contoh Larangan dan Kebolehan Buang Hajat Menghadap Kiblat
أن النبي قال إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة ولا تستدبروها
ببول ولاغائط ولكن شرقوا أو غربوا قال أبو أيوب فقدمنا الشام فوجدنا مراحيض قد
بنيت قبل القبلة فننحرف عنها ونستغفرالله قال نعم[1]
“Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap kiblat
dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar...”
فقال عبدالله بن عمر لقد ارتقيت يوما على ظهربيت لنافرأيت رسول الله
على لبنتين مستقبلا بين المقدس لحاجته[2]
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis diatas tidak
bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat dilapangan
terbuka, sedangkan yang melakukan buang hajat ditempat tertutup, misalnya di
WC, Larangan tidak berlaku. Penyesuaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam’u[3]
b. Tarjih
Contoh : أنه
كان يصبح جنبا وهوصائم(Hadis
riwayat ‘Aisyah), من أصبح جنبا فلا صوم له (Hadis
riwayat Abi Hurairoh)
Diantara dua hadis diatas, yang paling Rajih adalah hadis riwayat Aisyah
hal ini dikarenakan ‘Aisyah adalah istri Nabi yang otomatis lebih mengetahui
keadaan Rasul dibanding Abu Hurairoh.
c. Nasikh
Larangan dan Kebolehan Nikah Muth’ah
Kebolehan nikah muth’ah
“sesungguhnya beliau (Rasulullah) telah mengizinkan kamu sekalian
untuk melakukan nikah muth’ah, maka lakukanlah nikah muth’ah tersebut”
Larangan nikah muth’ah
“barang siapa yang (saat ini) ada dari kalangan istrinya yang
dikawini secara muth’ah, maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu
sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan pada mereka itu”
Secara tekstual hadis diatas tampak saling bertentangan, hadis pertama
membolehkan praktik nikah mut’ah sedangkan hadis kedua melarang. Berdasarkan
petunjuk dari berbagai hadis nabi tentang nikah muth’ah maka dapat dipahami
bahwa pada dasarnya, secara universal nikah muth’ah itu dilarang. Pada waktu
itu, secara temporal nikah muth’ah pernah diperbolehkan, yang kemudian diikuti
larangan, dan larangan itu menasakh hadis hukum dalam hadis sebelumnya dan
berlaku untuk selamanya.
Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan
segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan sesuatu yang bersifat
dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu
problem solving atas sesuatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-Qur’an
ataupun sunnah, kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama.
Oleh karena itu, ijtihad dalam syarah hadits yaitu suatu cara berfikir
sungguh-sungguh para ulama dengan segenap kemampuannya untuk
menginterpretasikan atau mensyarahi suatu hadits agar diperoleh suatu pemahaman
baru yang mungkin biasanya memunculkan suatu hukum-hukum yang berkembang.
Dari hadits masyhur tentang yang diriwayatklan dari muadz bin jabal
ketika dia diutus nabi Muhammad ke Yaman dapat diperoleh kesimpulan bahwa
sumber-sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, jika dalam Al-Qur’an dan
Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui
ijtihad. Oleh karena itu, sejauh perkembanganya dalam ruang lingkup pensyarahan
terhadap suatu hadits, ijtihad juga dilakukan setelah melalui seperti tahap
mensyarahi hadits yang dikompromikan dengan al-Qur’an, hadits dengan hadits kemudian
hadits dengan ijtihad yang mana hal itu dimaksudkan agar memperoleh pemahaman
hadits secara sempurna dan komprehensif.[4]
Part 1
[1] Imam
Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn
Katsir, juz 2 hal.72.
[2] Imam
Bukhari, Sohih Bukhari, Al-Maktabah; Al-Syamilah, Beirut: Dar Ibn
Katsir, juz 1 hal.252.
[3] Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1994, hal.75.
[4] M
alfatih suryadilaga, meodologi syarah hadis, SUKA-PRESS Sunan
kalijaga,Yogyakarta 2014. h 133
No comments:
Post a Comment