Monday, December 26, 2016

Pemikiran Riffet Hasan (Hak yang Dimiliki Perempuan) dan Refleksi Pemikirannya

Pemikiran Riffet Hasan (Hak yang Dimiliki Perempuan)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masih ada sebagian umat Islam yang berlaku zalim dengan melarang perempuan menikmati haknya dalam memperdalam pengetahuan agama, berperan dalam dunia kerja, dan pergi ke mesjid-mesjid untuk beribadah atau belajar, padahal itu semua diperbolehkan oleh ajaran Islam. Di samping itu, perempuan juga memiliki hak. Diantara hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut :
1. Hak-hak perempuan dalam bidang politik
Didalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam wilayah politik. Salah satu ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah dalam QS.At-Taubah : 71.
2. Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
Perempuan dalam pandangan Islam mempunyai hak untuk bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal, sebagaimana laki-laki juga mempunyai hak bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal. Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, bahu membahu dengan kaum lelaki. Disamping itu para perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dll.
3. Hak dan kewajiban belajar
Islam memandang setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada Allah pada hari kemudian. Apabila dalam masalah akidah, tidak diperkenankan adanya taklid buta. Karena pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses pemikiran dan perolehan ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, maka wanita sebagaimana pria memerlukan pengembangan potensi rasionalitasnya dengan ilmu.


Refleksi Pemikiran Riffet Hasan
Pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kehidupannya, semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan perspektif dirinya, latar belakang sosial dan psikologi individu yang mengetahui tidak bias dilepaskan dalam proses berpikir yang kemudian melahirkan formulasi-formulasi ide. Hal ini terkait dengan hal-hal sebagai berikut[1]:
1. Problem Perempuan dalam Islam
Perbicangan tentang problem perempuan dalam Islam merupakan suatu kesenjangan antara teoritis dan praksis, karena antara cita ideal dan realitas empiris menjadi fenomena dominan dalam kehidupan perempuan.
Bentuk-bentuk pemasungan terhadap perempuan masih menjadi bagian dari tradisi masyarakat Islam. Misalnya negara Pakistan (salah satu) Negara Islam yang memperlakukan perempuan secara sewenang-wenang. Program islamisasi yang dicanangkan pemerintah dimulai dengan upaya domestikasi perempuan, dengan cara memaksa perempuan masuk kembali ke rumah, menutup seluruh tubuh mereka dan mengekang mereka dengan peraturan-peraturan yang memberatkan.
Perlakuan yang demikian menurut Riffat menunjukkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan seakan-akan pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memulai islamisasi. Sebab dibutuhkan waktu lama untuk merumuskan konsep-konsep politik, negara atau ekonomi Islam secara solid, sehingga jilbabisasi perempuan merupakan cara yang termudah untuk membedakan diri dari negara-negara non-islam. Karena menurut Riffat, perintah berjilbab adalah agar perempuan menjaga kesopanan.
Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan yang benar untuk melakukan domestikasi perempuan dan mengeluarkannya dari keterlibatan di sector publik. Dalam hal tersebut perlu adanya dekonstruksi secara holistik dan sistematis untuk mengurai lebih jauh tentang sebab perilaku tidak adil dan penindasan terhadap perempuan. Karena sistem patriarki dalam sejarah manusia sangat dominan, maka pembongkaran konsep dan implementasinya dapat dilakukan melalui berbagai dimensi yaitu sosiologis kultural, psikologis, antropologis dan teologis. Dalam konteks ini Riffat Hasan yang mengaku pemikirannya sangat dipengatruhi tokoh neo-modernis (Fazlur Rahman) mencoba mencermati melalui dimensi teologis.
2. Dekonstruksi tradisi islam
Tradisi Islam yang perlu penataan ulang bahkan pembongkaran pemahaman adalah didasarkan pada asumsi bahwa konstruksi teologi yang misoginis yang disebabkan pengaruh budaya Arab pra Islam yang misoginis dan bias anti perempuan yang diserap Islam dari tradisi agama Kristen dan Yahudi. Beberapa hal yang terkait dengan pembahasan teologi feminis dalam tradisi Islam perlu dipaparkan bahasan yang sistematis.
3. Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Sebagai suatu gerakan, titik tolak pembahasan feminism harus mengacu pada definisi operasional bukan dari definisi ideologis. Sehingga feminisme dilihat sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan.[2] Feminisme sebagai suatu gerakan, memiliki dimensi sejarah panjang, dimulai pada abad ke-14 disebutkan ada lima dasar preposisi feminisme pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yaitu :
a.       Timbulnya kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan kekeliruan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktik misogyny (kekejaman kaum pria terhadap kaum perempuan)
b.      Adanya suatu keyakinan bahwa jenis kelamin bersifat kultural dan bukanbersifat biologis
c.       Adanya suatu keyakinan bahwa kelompok sosial perempuan merupakan penajaman pendapat kelompok sosial laki-laki tentang ketidak sempurnaan jenis kelamin tertentu sebagai makhluk manusia
d.      Adanya suatu warisan sudut pandang dalam menerima sistem nilai yang berlaku dengan cara mengekspos dan menentang prasangka serta pembatasan perbedaan jenis kelamin berdasarkan perspektif kultur
e.       Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan perikemanusiaan. Semua preposisi tersebut dimaksudkan untuk memberi kemungkinan menjadi yang terbaik untuk setiap anak manusia (termasuk perempuan) karena adanya potensi diri yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi.
Oleh karena itu makna feminis di sini adalah mencai peluang kebebasan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin memperhatikan dirinya sendiri dengan lebih baik. Feminisme sebagai suatu gerakan, menurut Aida memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia
b. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin
c.  Menghapuskan semua hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin
d.  Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.
4. Tranformasi sosial islam
Untuk memahami interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh background penafsirnya, artinya tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural dan juga ideologi. Dari sinilah diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi, investigasi, analisissosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan.
Perubahan kacamata pandang yang digunakan dalam penafsiran masalah-masalah sosial Islam diharapkan dapat memberikan semangat dan kesempatan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Usaha seperti yang tersebut di atas itulah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi ini mempercepat transformasi social secara luas dan menyeluruh.




[1]  http//pemikiran-riffat-hasan/index.php/articel/17/12, diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:31
[2] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholis Madjid, jilid I, Jakarta: Demokrasi Project, 2011, h.699

No comments:

Post a Comment