Isra’ Mi’raj
Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad
makin mau menyendiri. Makin gigih
pihak Quraisy melakukan
gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin
pula ia merasakan
pedihnya. Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau
isterinya itu kelak
akan dapat juga
menghiburnya, dapat mengobati luka
dalam hatinya, seperti
dilakukan Khadijah dulu.
Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam
yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu sebabnya ia
segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis
kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad
nikah, sedang perkawinan berlangsung dua
tahun kemudian, ketika
usianya mencapai sembilan tahun. Sementara itu
ia kawin pula
dengan Sauda, seorang
janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia[1]
dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah.
Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad
sedang berada di rumah saudara sepupunya,
Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat
nama panggilan Umm Hani’.
Ketika itu Hindun
mengatakan: “Malam itu Rasulullah
bermalam di rumah
saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur
dan kamipun tidur.
Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:
‘Umm Hani’, saya
sudah salat akhir
malam bersama kamu
sekalian seperti yang kau lihat di lembah ini. Kemudian saya ke Baitul
Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang
bersama-sama kamu seperti kau lihat.” Kataku: “Rasulullah, janganlah
menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan
mengganggumu lagi!” “Tapi harus
saya ceritakan kepada
mereka” jawabnya.
Orang yang mengatakan,
bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad
dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada
yang pernah dikatakan
oleh Aisyah: “Jasad Rasulullah
SAW tidak hilang,
tetapi Allah menjadikan
isra’ itu dengan ruhnya.” Juga
Mu’awiya bin Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra’
Rasul menyatakan: Itu adalah
mimpi yang benar
dari Tuhan. Di samping
semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً
لِلنَّاسِ
“Tidak
lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian
bagi manusia.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 60)
Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Baitul
Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh
Muhammad, bahwa dalam isra’
itu ia berada
di pedalaman, seperti yang
akan disebutkan ceritanya nanti.
Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping mereka itu ada lagi
pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan
pendapat ini di
kalangan ahli-ahli iImu
kalam banyak sekali dan
ribuan pula tulisan-tulisan sudah
dikemukakan orang. Sekitar
arti isra’ ini.
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang
disarikannya dari pelbagai buku sejarah
hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut: “Pada tengah
malam yang sunyi
dan hening, burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang buas
sudah berdiam diri,
gemercik air dan
siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad
terbangun oleh suara yang memanggilnya: “Hai
orang yang sedang
tidur, bangunlah!” Dan
bila ia bangun, dihadapannya
sudah berdiri Malaikat
Jibril dengan wajah
yang putih berseri dan berkilauan
seperti salju, melepaskan rambutnya yang
pirang terurai, dengan mengenakan
pakaian berumbaikan mutiara
dan emas. Dan
dari sekelilingnya
sayap-sayap yang beraneka
warna bergeleparan. Tangannya
memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq[2] yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan
itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun naik. “Maka meluncurlah
buraq itu seperti
anak panah membubung
di atas pegunungan Mekah,
di atas pasir-pasir
sahara menuju arah ke
utara. Dalam perjalanan itu ia
ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara
dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa dilahirkan. Sesudah
itu kemudian meluncur
di udara. “Sementara itu
ada suara-suara misterius
mencoba menghentikan Nabi,
orang yang begitu ikhlas
menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya
Tuhanlah yang dapat menghentikan
hewan itu di
mana saja dikehendaki-Nya.
Seterusnya mereka sampai
ke Baitul Maqdis. Muhammad
mengikatkan hewan
kendaraannya itu. Di
puing-puing kuil Sulaiman
ia bersembahyang bersama-sama
Ibrahim, Musa dan
Isa. Kemudian dibawakan
tangga, yang lalu dipancangkan diatas
batu Ya’qub. Dengan
tangga itu Muhammad
cepat-cepat naik ke langit. Langit pertama
terbuat dari perak
murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan
rantai-rantai emas. Tiap
langit itu dijaga
oleh malaikat, supaya jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan
rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad memberi hormat kepada
Adam. Di tempat
ini pula semua
makhluk memuja dan
memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh,
Harun, Musa, Ibrahim, Daud,
Sulaiman, Idris, Yahya
dan Isa. Juga
di tempat itu ia
melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua matanya
adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan-Nya, maka yang
berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat
nama-nama mereka yang
lahir dan mereka
yang mati, dalam sebuah
buku besar. Ia melihat
juga Malaikat Air mata,
yang menangis karena
dosa-dosa orang, Malaikat Dendam
yang berwajah tembaga
yang menguasai anasir
api dan sedang duduk
di atas singgasana
dari nyala api.
Dan dilihatnya juga
ada malaikat yang besar
luar biasa, separo
dari api dan
separo lagi dari
salju, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang
tiada hentinya menyebut-nyebut nama Tuhan:
Oh Tuhan, Engkau telah
menyatukan salju dengan api,
telah menyatukan semua
hamba-Mu setia menurut
ketentuan-Mu.[3]
Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat
yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu
kepala, tiap kepala tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut tujuh puluh ribu lidah,
tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh puluh
ribu bahasa, tiap
bahasa dengan tujuhpuluh
ribu dialek. Semua itu
memuja dan memuji
serta mengkuduskan Tuhan. “Sementara ia
sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib
itu, tiba-tiba ia membubung
lagi sampai di
Sidratul Muntaha yang terletak
di sebelah kanan ‘Arsy,
menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah,
tidak sampai sekejap matapun
ia sudah menyeberangi
lautan-lautan yang begitu luas
dan daerah-daerah cahaya yang
terang-benderang, lalu bagian
yang gelap gulita disertai berjuta
juta tabir kegelapan,
api, air, udara
dan angkasa. Tiap
macam dipisahkan oleh jarak
500 tahun perjalanan.
Ia melintasi tabir-tabir
keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu terdapat
tujuh puluh ribu kelompok malaikat
yang bersujud tidak
bergerak dan tidak
pula diperkenankan
meninggalkan tempat.
Kemudian terasa lagi
ia membubung ke
atas ke tempat
Yang Maha Tinggi. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah sudah hilang
tertelan. Keduanya tampak hanya
sebesar biji-bijian di
tengah-tengah ladang yang
membentang luas. “Begitu seharusnya
manusia itu, di
hadapan Raja semesta
alam.”
Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan ‘Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat
Tuhan dengan persepsinya,
dan melihat segalanya
yang tidak dapat dilukiskan
dengan lidah, di
luar jangkauan otak
manusia akan dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan
sebelah tangan-Nya di
dada Muhammad dan yang
sebelah lagi di
bahunya. Ketika itu
Nabi merasakan kesejukan di
tulang punggungnya. Kemudian
rasa tenang, damai,
lalu fana ke dalam
Diri Tuhan yang
terasa membawa kenikmatan. Sesudah berbicara (?)
Tuhan memerintahkan hamba-Nya
itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang lima
puluh kali. Begitu Muhammad kembali turun dari
langit, ia bertemu
dengan Musa. Musa berkata
kepadanya: “Bagaimana kau
harapkan pengikut-pengikutmu akan
dapat melakukan salat lima puluh kali tiap hari? Sebelum
engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya
dikurangi jumlah sembahyang
itu.” Muhammadpun kembali. Jumlah
sembahyang juga lalu
dikurangi menjadi empat
puluh. Tetapi Musa
menganggap itu masih
di luar kemampuan
orang. Disuruhnya lagi Nabi
penggantinya itu berkali-kali
kembali kepada Tuhan sehingga berakhir
dengan ketentuan yang
lima kali.
Sekarang Jibril membawa
Nabi mengunjungi surga
yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi
mereka yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi.
Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Baitul Maqdis ke
Mekah.
Demikian cerita Dermenghem
tentang Isra’ dan
Mi’raj. Kitapun dapat
melihat, apa yang diceritakannya itu
memang tersebar luas
dalam buku-buku sejarah hidup
Nabi, sekalipun akan
kita lihat juga bahwa
semua itu berbeda-beda.
Di sana-sini dilebihi atau
dikurangi.
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi
SAW sesudah berjumpa dengan
Adam di langit
pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat
orang-orang bermoncong seperti
moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti
batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam
mulut mereka dan
keluar dari dubur.
Aku bertanya: “Siapa
mereka itu, Jibril?”. “Mereka yang memakan harta
anak-anak yatim secara tidak sah,” jawab
Jibril.
Kemudian ku lihat orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara keluarga
Fir’aun menyeberangi mereka
seperti unta yang
kena penyakit dalam kepalanya,
ketika dibawa ke
dalam api. Mereka
diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku
bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril ?”. “Mereka itu tukang-tukang
riba,” jawabnya. Kemudian
kulihat orang-orang, di
hadapan mereka ada daging
yang gemuk dan
baik, di samping
ada daging yang
buruk dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan
meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku
bertanya: “Siapakah mereka
itu, Jibril ?” “Mereka orang-orang yang
meninggalkan wanita yang
dihalalkan Tuhan dan
mencari wanita yang diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat
wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa
mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki lain bukan
dari keluarga mereka ...” Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang
budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya
dia: “Kepunyaan siapa
engkau?” Aku tertarik sekali waktu
kulihat. “Aku kepunyaan
Zaid ibn Haritha,”
jawabnya. Maka Rasulullah SAW lalu
memberi selamat kepada
Zaid ibn Haritha.”[4]
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup Nabi yang lain dan dalam
buku-buku tafsir orang
akan melihat bermacam-macam hal
lagi di samping itu. Sudah
menjadi hak setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di
mana benar ketelitian
dan penyelidikan yang
mereka adakan dalam hal
ini semua, mana yang
boleh dijadikan pegangan
(askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih
(otentik), dan mana pula yang hanya berupa
buah khayal orang-orang
tasawuf dan sebangsanya. Kalau di
sini tidak cukup
ruangan untuk mengadakan
ketentuan atau penyelidikan dalam
bidang tersebut, dan
kalau bukan pula
di sini tempatnya untuk menyatakan apakah isra’ dan
mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan
jasad, ataukah isra’dan mi’raj itu semuanya dengan ruh
- maka sudah
tentu bahwa tiap
pendapat itu akan ada
dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas
pendapat-pendapat itu orang menyatakan
pendiriannya sendiri, yang
akan berbeda pula
satu dari yang lain.
Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan
mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan
tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan Rasul.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah,
Sungguh aku ini
manusia seperti kamu
juga yang diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Esa,”(Q.S. al-Kahfi,
18 : 110) dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur’an, dan
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan-Nya, tetapi Dia
mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang
dikehendaki-Nya.”(Q.S. an-Nisa, 4 : 48)[5]
Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain-
ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kami
kemukakan. Kami belum mengetahui,
sudah adakah orang mengemukakan hal
ini sebelum kami,
atau belum. Isra’ dan
mi’raj ini dalam
hidup kerohanian Muhammad
mempunyai arti yang tinggi
dan agung sekali,
suatu arti yang
lebih besar dari
yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak
sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu.
Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah
dipersatukan oleh kesatuan wujud ini,
yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu
tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau
sesuatu yang dapat
mengalangi intelek dan
jiwa Muhammad, yang
akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas
oleh kekuatan-kekuatan kita yang
sensasional, yang dapat
diarahkan menurut akal
pikiran.
Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani
Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu
disadarinya, sejak dari awal yang
azali sampai pada
akhir yang abadi.
Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya
dalam mencapai kesempurnaan
itu, dengan jalan kebaikan dan
keindahan dan kebenaran,
dalam mengatasi dan
mengalahkan segala kejahatan,
kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga.
Orang tidak akan mencapai
keluhuran demikian itu,
kalau tidak dengan suatu
kekuatan yang berada
di atas kodrat
manusia yang pernah dikenalnya.
Apabila sesudah itu
kemudian datang orang-orang
yang menjadi pengikut Muhammad yang
tidak sanggup mengikuti
jejak pikirannya yang begitu
tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam,
kesempurnaan serta perjuangannya
mencapai kesempurnaan itu,
maka hal ini
tidak mengherankan dan bukan
pula aib tentunya.
Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada
batas-batas ini, tenaga
kita sudah tidak
mampu mengatasinya.
Apabila kita mau
menyebutkan sebagai contoh cerita
orang-orang buta yang
ingin mengetahui gajah
itu apa, maka
salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu
ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah
buntutnya; yang seorang lagi berkata,
bahwa gajah itu sebatang
pohon, sebab kebetulan
yang dijumpainya adalah
kakinya; yang ketiga berkata,
bahwa gajah itu
runcing seperti anak
panah, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah taringnya;
yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok,
banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang
dipegangnya adalah belalainya.
Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang
ketika orang yang tidak
buta itu melihat
gajah untuk pertama
kalinya. Boleh juga kiranya
kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran)
Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam
isra’dan mi’raj yang berhubungan
dengan waktu pertama
sejak sebelum Adam
sampai pada akhir hari
kebangkitan dan yang
akan menghilangkan pula
kesudahan ruang ini, ketika
ia melihat dengan mata batin dari
Sidratul Muntaha ke alam semesta
ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang
yang dapat menangka parti isra’ mi’raj itu.
Tatkala itu ia
berhadapan dengan bagian-bagian
yang tidak termasuk kesatuan alam,
sedang hidupnya hanya
seperti partikel-partikel tubuh,
bahkan seperti
partikel-partikel yang melekat
pada tubuh itu
dengan susunannya yang tidak
terpengaruh karenanya. Dari
mana pula partikel-partikel dari pada
hidup tubuh itu, dari
denyutan jantungnya, pancaran
jiwanya, pikirannya yang
penuh dengan enersi yang
tak kenal batas
sebab, dari wujud
hidup itulah ia berhubungan dengan
segala kehidupan alam
ini.
Isra’ dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan
mi’raj juga yang semuanya dengan ruh.
Ini adalah begitu
luhur, begitu indah
dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali
dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir
yang abadi. Ini adalah suatu pendakian
ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem,
tempat Isa dilahirkan.
Pertemuan rohani demikian
ini sudah mengandung selawat bagi
Muhammad, Isa, Musa
dan Ibrahim, suatu
manifestasi yang kuat sekali
dalam arti kesatuan
hidup agama sebagai
suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus
menuju kepada kesempurnaan. Ilmu pengetahuan pada masa kita
sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula
mi’raj dengan ruh.
Apabila tenaga-tenaga yang
bersih itu bertemu, maka
sinar yang benarpun
akan memancar. Dalam
bentuk tertentu sama pula halnya
dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi
ketika ia menemukan
suatu arus listrik
tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia.
Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik itu
telah dapat menerangi
kota Sydney di
Australia.
IImu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori
telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga
transmisi suara di atas gelombang ether dengan radio, telephotography
(facsimile transmisi) dan teleprinter
lainnya, suatu hal
yang tadinya masih
dianggap suatu pekerjaan khayal belaka.
Tenaga-tenaga yang masih
tersimpan dalam alam
semesta ini setiap hari
masih selalu memperlihatkan yang
baru kepada alam kita.
Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi
seperti yang sudah dicapai oleh
jiwa Muhammad itu,
lalu Allah memperjalankan dia
pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha, yang
disekelilingnya sudah diberi berkah
guna memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya, maka itupun oleh
ilmu pengetahuan dapat
pula dibenarkan. Arti
semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat
dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah
pula membayangkan kesatuan
rohani dan kesatuan
alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa
Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha
menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha
mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang
sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.
Orang-orang Arab penduduk
Mekah tidak dapat
memahami semua pengertian
ini. Itulah pula
sebabnya, tatkala soal
isra’ itu oleh Muhammad
disampaikan kepada mereka, merekapun
lalu menanggapinya dari
bentuk materi (mungkin atau
tidaknya isra’ itu).
Apa yang dikatakannya
itu kemudian menimbulkan kesangsian juga
pada beberapa orang
pengikutnya, pada orang-orang
yang tadinya sudah percaya.
Mereka banyak yang
mengatakan: Masalah ini
sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan
pergi dan sebulan
pulang. Mana boleh
jadi Muhammad hanya satu
malam saja pergi-pulang
ke Mekah?!
Tidak sedikit mereka
yang sudah Islam
itu kemudian berbalik
murtad. Mereka yang masih
menyangsikan hal ini
lalu mendatangi Abu
Bakr dan keterangan yang diberikan
Muhammad itu dijadikan
bahan pembicaraan. “Kalian berdusta,”
kata Abu Bakr. “Sungguh?” kata
mereka. “Dia di
masjid sedang bicara
dengan orang banyak.” “Dan kalaupun itu yang
dikatakannya?” kata Abu Bakr lagi,
“tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada
berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada
waktu malam atau
siang, aku percaya.
Ini lebih lagi
dari yang kamu herankan.” Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan
mendengarkan ia melukiskan Baitul Maqdis. Abu
Bakr sudah pernah
berkunjung ke kota
itu. Selesai Nabi melukiskan
keadaan mesjidnya, Abu
Bakr berkata: “Rasulullah, saya
percaya.” Sejak itu Muhammad
memanggil Abu Bakr dengan
“Ash-Shiddiq.[6]
Alasan mereka yang
berpendapat bahwa isra’
itu dengan jasad
ialah karena ketika Quraisy
mendengar tentang kejadian Suraqa mereka menanyakannya dan mereka yang sudah
beriman juga menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka
memang belum pernah
mendengar hal semacam itu.
Lalu diceritakannya tentang adanya
kafilah yang pernah
dilaluinya di tengah
jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang
menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah
kafilah lain dan
sesudah minum lalu ditutupnya bejana
itu. Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun
membenarkan apa yang telah diceritakan
Muhammad itu.
Analisis
Kekejaman yang dilakukan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW
selama beberapa tahun membuktikan sifat kerasnya pendirian kaum Quraisy
terhadap kepercayaannya kepada agama yang dianutnya. Mereka sangat setia kepada
agama yang mereka yakini (agama jahiliyah), sehingga sulit bagi mereka menerima
agama baru terlebih dibawa oleh anak kecil walaupun ia termasuk dari keluarga
pemuka. Sehingga mereka menghujani Nabi Muhammad SAW dan ummatnya
siksaan-siksaan yang kejam. Selama paman nabi Abu Thalib dan istrinya Khadijah
masih hidup, siksaan dan caciankaum Quraisy tidaklah begitu kejam dibandingkan
dengan setelah mereka meninggal. Ketika peristiwa tersebut Nabi Muhammad
mengalami duka yang hebat. Jikalau manusia biasa yang mengalami hal tersebut,
apakah ia masih akan melanjutkan dakwahnya ? Setelah kehilangan paman yang
sangat menyayanginya dan selalu menjaganya. Kemudian disusul kepergian sang
isteri tercinta yang menyayanginya dengan sepenuh hati, yang menjadi sandaran
ketika ia sedih atau dalam masalah, dan yang selalu mendukung apa saja yang
akan ia kerjakan. Umumnya orang pasti tidak mau melanjutkan dakwahnya setelah
peristiwa tersebut dengan siksaan dan cacian yang telah menunggu di depan.
Namun Nabi Muhammad berbeda, beliau tetap melanjutkan dakwahnya
walaupun melalui banyak rintangan sulit dan kepahitan hidup yang terus menanti
di depannya. Karena keteguhan hati, keikhlasan, kesabaran, dan keuletan
beliaulah yang menjadikan beliau pantas menjadi suri tauladan bagi ummatnya.
Walaupun demikian, sosok yang begitu mulia ini masih diragukan kebenarannya
(wahyu yang ia bawa) oleh sebagian ummatnya dari zaman dahulu sampai sekarang.
Yaitu ketika beliau mendapat wahyu tentang isra’ mi’raj. Banyak dari ummatnya
yang sudah beriman menjadi murtad karena tidak mempercayai hal tersebut. Bagi
mereka hal tersebut tidak masuk akal. Secara akal tidak mungkin dari
Mekkah-Syam pergi-pulang dalam waktu semalam, karena pada zaman itu perjalanan
pergi-pulang membutuhkan waktu dua bulan. Tapi apakah tidak ada yang mungkin jika
Tuhan yang menguasai alam ini menghendaki hal tersebut ? Kurasa itu cukup untuk
ummat terdahulu. Lalu bagaimana untuk umat yang sekarang ?
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi dewasa ini, jawaban
tersebut kurang bisa diterima. Kemudian jawaban seperti apakah yang diinginkan
ummat zaman ini inginkan ? Jawabnya kita butuh meneliti dan mengupas kembali
permasalahan tersebut untuk mewujudkan iman yang dapat dibenarkan oleh akal
bukan hanya dibenarkan oleh hati saja. part 1 part 2
[1]
Kota dimana Nabi SAW dan umatnya mencari perlindungan dari orang-orang Quraysh
atas siksaan yang mereka berikan. Dalam buku lain kota ini dikenal dengan nama
Habsyah. Lihat di Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah
Suyud SA Syurayudha, Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 79-81
[2] Kuda
bersayap berkepala manusia yang dipercaya menemani perjalanan isra’ dan mi’raj
Nabi Muhammad. Lihat di Robert Spancer, The
Truth about Muhammad, New York : Regnery Publishing, Inc. 1947, hlm. 7
[4] Op.cit, hlm.161-162
[5] M.
Husayn Haykal, The Life Op.cit., hlm.202
No comments:
Post a Comment