Monday, December 26, 2016

Metodologi Riffat Hasan

Metodologi Riffat Hasan
Sebelum membahas metodologis  teologi feminisme  Riffat  Hassan, ada baiknya terlebih  dahulu dijelaskan bagaimana pendekatan (approach) yang digunakan Riffat dalam  konstruksi  pemikirannya. Sebagaimana dijelaskan dalam  salah  satu  artikel  yang  dimuat  jurnal  Ulumul Qur’an, Feminisme dan al-Qur’an -- artikel ini merupakan hasil wawancara Wardah Hafidz dengan Riffat Hassan -- dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat menggunakan pendekatan dua level yaitu: Pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk melihat bagaimana al-Qur’an  menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif  tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an, tingkah lakunya, relasinya  dengan Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri.  Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka untuk melihat secara empirik realitas sosiologis yang terjadi dan dialami perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang perempuan dalam  masyarakat  Islam.[1] Dua  pendekatan  ini  dalam  realitasnya merupakan  intertwine. Dalam pengertian  bahwa di antara kedua pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia adalah satu kesatuan. Melalui dua pendekatan ini, Riffat berupaya mendapatkan realitas empirik sekaligus gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan  evaluasi,  penilaian  dan  kritik  terhadap realitas yang dialami kaumnya. Berdasarkan pendekatan ini Riffat mampu  membaca adanya kesenjangan antara idealitas-normatif  dan  realitas  empiris  yang  dialami  kaum perempuan.
Hal inilah yang  kemudian  mendorongnya  untuk  melakukan pelacakan  dan  sekaligus pengkajian secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan yang telah  membentuk  sedimen  dalam  realitas  sosio-historis masyarakat Muslim. Selain pendekatan di atas, Riffat juga menggunakan pendekatan historis di dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Hal ini adalah sesuatu yang secara niscaya mesti dilakukan dalam  rangka  untuk  mencermati  secara  kritis realitas Islam yang telah berdiri kokoh  dalam  bangunan  sejarah.  Sebagaimana dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam  Islamic Religious Tradition  bahwa untuk dapat  memberikan  pemaknaan  yang  benar  terhadap  Islam,  pendekatan  historis adalah  sebuah  keniscayaan.  Hal  ini  tidak  lain  karena  Islam  sebagai  sebuah  visi hidup dalam realitasnya tidak sepi dari dialektikanya dengan realitas sejarah yang selalu berubah dan berkembang.[2]
Melalui pendekatan yang dipilihnya ini memungkinkan Riffat untuk secara leluasa  melakukan pengkajian-pengkajian berkenaan dengan teks-teks yang terhampar dalam  realitas  empiris  sosiologis  maupun yang  telah terekam  dalam  sejarah  peradaban  manusia  melalui warisan tertulisnya. Pendekatan  ini  kemudian  dikombinasikan  dengan  serangkaian  kerangka metodologi. Dalam hal ini ia memang tidak secara eksplisit-holistik menjelaskan kerangka metodologi  yang gunakan. Namun demikian, berdasarkan sebaran  pemikiran  yang  dikedepankannya,  kita  setidaknya  bisa  melacak  dan membuat  konstruksi  berkenaan  dengan  hal  tersebut.  Berikut  akan  dijelaskan konstruksi metodologi teologi feminisme Riffat Hassan.
Pertama,  metode  dekonstruksi.  Metode  ini  digunakan  Riffat  sebagai sebuah  keniscayaan  tidak  lain  karena  hakekat  dicetuskannya  ide  tentang  teologi feminisme tidak lain adalah untuk membongkar dan melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai konsep keagamaan yang bias patriakhi. Menurut Riffat, adanya diskriminasi  dan  segala  bentuk  ketidakadilan  yang  menimpa  kaum  perempuan dalam  lingkungan  umat  Islam  bersumber  dari  adanya  pemahaman  yang  bias  dimana  orientasi  patriarkhi  sangat  kental  mewarnai  wajah-wajah  pemahaman  alQur’an.  Al-Qur’an adalah sumber utama dan paling otoritatif dalam tradisi Islam. “Of  all  the  sources  of  Islamic  tradition,  undoubtedly,  the  most  important  is  the Qur’an  which  is  regarded  by  Muslims  in  general,  as  primary  and  most authoritative  sources  of  normative  Islam” demikian Riffat Hasan menjelaskan.[3]
Kedua, metode hermeneutik. Salah  satu  upaya  signifikan  yang  mesti dilakukan  berkaitan  dengan adanya realitas ketidak adilan terhadap perempuan adalah dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an yang selama ini  dijadikan  instrumen  legitimasi  bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini metode hermeneutik menjadi sebuah keniscayaan. Hermeneutik, sebagaimana asal katanya  ‘hermeneutikos’ yang berarti ‘upaya menjelaskan dan menelusuri’ adalah sebuah upaya menghadirkan, membaca, dan  memaknai  kembali  sebuah teks masa  lalu  sehingga  sesuai  dengan  realitas kekinian. Carl Braaten dalam “History and Hermeneutics” secara lebih  detail menjelaskan bahwa hermeneutik adalah “sebuah ilmu  yang  mencoba menggambarkan  bagaimana  sebuah  kata   atau  suatu  kejadian  dalam  waktu  dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang”.[4] Hermeneutik,  dengan  demikian,  dapat  kita  fahami  akan senantiasa melibatkan tiga hal mendasar yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi. Melalui metode hermeneutik ini Riffat melakukan pengkajian kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dalam relasinya dengan teologi  feminisme  yang dikonstruksinya.
Dalam kinerja hermeneutiknya, sebagaimana dijelaskan dalam Women’s Interpretation of Islam, Riffat menggunakan tiga prinsip utama dalam interpretasi, yaitu:  Pertama,  akurasi  linguistik.  Prinsip  ini  pada  dasarnya  berupaya  untuk mendapatkan  makna  sebuah  terma  atau  konsep  secara  tepat  dengan  melihat  dan merujuk kepada semua leksikon klasik dan lain-lain apa  yang dimaksud  dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan.  Kedua, kriteria konsistensi filosofis (criterion of philosophical consistency). Prinsip ini adalah untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata (dalam al-Qur’an) itu secara  filosofis konsisten dan tidak bertentangan.  Ketiga, kriteria etis  (ethical criterion). Prinsip ini digunakan sebagai acuan dan bingkai (frame) utama dalam melakukan kritik, evaluasi dan sekaligus langkah progresif dalam membaca al-Qur’an. “Apabila Tuhan  adil,  keadilan  itu  haruslah  terefleksikan di dalam al-Qur’an. Tuhan tidak dapat melakukan ketidakadilan. Apabila tampak ketidakadilan di dalam al-Qur’an,  meskipun dari sudut pandang manusia, penafsir haruslah berupaya mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya”.[5]


Kesimpulan
Riffat Hasan dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Ia bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas. Diusia ketujuh belas ia berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.
Menurutnya, perempuan juga mempunyai hak. Diantaranya adalah hak dalam politik, hak dalam memilih pekerjaan, serta hak dan kewajiban belajar. Refleksi pemikirannya terkait hal-hal tentang problem perempuan dalam islam, dekontruksi tradisi islam, feminisme, dan transformasi sosial islam.
Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat  menggunakan pendekatan dua level yaitu: pendekatan ideal-normatif dan pendekatan empiris. Melalui pendekatan-pendekatan terseut, ia merumuskan metodologinya. Metode dekonstruksi dan metode hermeneutik.
Aplikasi  metodologis  ini  dapat  dengan  jelas  kita  lihat misalnya ketika Riffat menjelaskan dan melakukan reinterpretasi kata adam. Reinterpretasi ini menjadi keniscayaan dalam konteks teologi feminismenya tidak lain karena sebagaimana diketahui  bahwa  terdapat  asumsi teologis mendasar yang menjadikan  perasaan superioritas  laki-laki  atas  perempuan,  dari  sisi  penciptaan,  adam  adalah  sosok mahluk  pertama  maskulin  dan  berasal  dari  padanya  penciptaan Hawwa  berasal. Riffat  pun  mempertanyakan,  benarkah  adam  sebagai  mahluk  yang  pertama kali diciptakan  tersebut  sosok  laki-laki  sebagaimana  yang  menjadi  maistream pemikiran  umat  Islam  selama  ini?   Dalam  upaya  pembacaan  ulang  tersebut, Riffat  melakukan  pelacakan  terminologis  untuk  mendapatkan  maknanya  yang akurat.
Kata  adam adalah  istilah  Ibrani  berasal  dari  kata  adamah yang  artinya tanah.  Kata  yang  muncul  di  dalam  al-Qur‟an  sebanyak  dua  puluh  lima  kali  ini dalam relasinya dengan fenomena penciptaan manusia hanya muncul sekali, Surat Ali Imran, 3: 59 dan itu pun hanya berbicara dalam konteks bahwa  adam  adalah sosok  mahluk  yang  diciptakan  dari  tanah  dan  sama sekali tidak menjelaskan secara  eksplisit  tentang  jenis  kelaminnya.[6] Pemaknaan  bahwa  adam  berjenis kelamin maskulin, menurut Riffat, tidak lain berasal dari “analisis” linguistik yang selama  ini  dilakukan  oleh  para interpretator.  Secara  linguistik  kata  benda   itu memang maskulin namun bukan menyangkut jenis kelamin, bahkan berdasarkan pemahaman  terhadap  ayat-ayat  lainnya  seperti  surat  al-A’raf,  7:  26,  27,  31,  35, 172; dan al-Isra’, 17: 70, istilah “adam” berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu kepada seluruh manusia.[7]
Berdasarkan analisis tersebut sebuah kesimpulan meyakinkan yang dapat ditarik, adalah tidak bisa langsung diartikan bahwa adam itu laki-laki. “Al-Qur’an tidak pernah menyatakan  bahwa  adam  adalah  manusia  pertama  dan  tidak  pula menyatakan  bahwa  ia  laki-laki”, demikian  kata  Riffat.  Hal  ini  berarti  bahwa pemahaman  secara  kontekstual  terhadap  term  adam  dan  zauj  sebagaimana  yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 35, al-A’raf, 7: 19 dan Taha, 20: 117 menjadi sebuah  kemestian.  Kata  zauj  yang  biasa  ditafsirkan  sebagai  “Hawwa”, bagi Riffat,  menjadi  tidak  relevan  lagi.[8] Hal  ini  tidak  lain  karena  kalau  term  adam tidak lagi dimaknai sebagai sosok manusia maskulin, maka berarti kata  zauj  tidak dapat  dimaknai  sebagai  ‘Hawwa’  yang  feminim. Itulah  sebabnya  Riffat memaknainya  secara  kontekstual sebagai sesuatu yang menunjukkan terhadap pengalaman  hidup  manusia  secara  kolektif,  laki-laki  dan  perempuan  secara bersama-sama. Melalui  pembacaan  ulang  sebagaimana di atas, secara  jelas Riffat telah melakukan kontekstualisasi terhadap teks al-Qur’an. part 1  part 2




[1] Taufik  Abdullah  dan  M.  Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.87
[2] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (ed.),  The Study of the Middle East, (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1976), h.31
[3] Riffat  Hassan,  Are  Human  Right  Compatible  with  Islam?  The  Issue  of  the Right  of Women in Muslim Communities, dalam Jurnal Profetika, Vol 3, No. 1, Jauarri 2001, h.26
[4] Carl Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: Forterrs, 1966, h.131
[5] Riffat  Hassan,  Women’s  Interprretation  of  Islam,  dalam  Hans  Thijsen  (ed.), Women and Islam in Muslim Society, (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h.116
[6] Ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”.(Q.S. Ali Imran, 3: 59.
[7] Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Op.Cit., h.58
[8] Ibid, h.59-60

No comments:

Post a Comment