Metodologi Riffat Hasan
Sebelum membahas metodologis
teologi feminisme Riffat Hassan, ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan bagaimana pendekatan (approach)
yang digunakan Riffat dalam
konstruksi pemikirannya.
Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu
artikel yang dimuat
jurnal Ulumul Qur’an, Feminisme
dan al-Qur’an -- artikel ini merupakan hasil wawancara Wardah Hafidz dengan
Riffat Hassan -- dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, Riffat menggunakan pendekatan dua level
yaitu: Pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk
melihat bagaimana al-Qur’an menggariskan
prinsip-prinsip ideal-normatif tentang
perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an,
tingkah lakunya, relasinya dengan
Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri.
Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka untuk
melihat secara empirik realitas sosiologis yang terjadi dan dialami perempuan.
Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana orang lain
memandang perempuan dalam
masyarakat Islam.[1]
Dua pendekatan ini
dalam realitasnya merupakan intertwine. Dalam pengertian bahwa di antara kedua pendekatan tersebut
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia adalah satu kesatuan. Melalui
dua pendekatan ini, Riffat berupaya mendapatkan realitas empirik sekaligus
gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan evaluasi,
penilaian dan kritik
terhadap realitas yang dialami kaumnya. Berdasarkan pendekatan ini
Riffat mampu membaca adanya kesenjangan
antara idealitas-normatif dan realitas
empiris yang dialami
kaum perempuan.
Hal inilah yang
kemudian mendorongnya untuk
melakukan pelacakan dan sekaligus pengkajian secara mendalam terhadap
teks-teks keagamaan yang telah
membentuk sedimen dalam
realitas sosio-historis
masyarakat Muslim. Selain pendekatan di atas, Riffat juga menggunakan
pendekatan historis di dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Hal ini
adalah sesuatu yang secara niscaya mesti dilakukan dalam rangka
untuk mencermati secara
kritis realitas Islam yang telah berdiri kokoh dalam
bangunan sejarah. Sebagaimana dijelaskan oleh Charles J. Adams
dalam Islamic Religious Tradition bahwa untuk dapat memberikan
pemaknaan yang benar
terhadap Islam, pendekatan
historis adalah sebuah keniscayaan.
Hal ini tidak
lain karena Islam
sebagai sebuah visi hidup dalam realitasnya tidak sepi dari
dialektikanya dengan realitas sejarah yang selalu berubah dan berkembang.[2]
Melalui pendekatan yang dipilihnya ini memungkinkan Riffat untuk
secara leluasa melakukan
pengkajian-pengkajian berkenaan dengan teks-teks yang terhampar dalam realitas
empiris sosiologis maupun yang
telah terekam dalam sejarah
peradaban manusia melalui warisan tertulisnya. Pendekatan ini
kemudian dikombinasikan dengan
serangkaian kerangka metodologi.
Dalam hal ini ia memang tidak secara eksplisit-holistik menjelaskan kerangka
metodologi yang gunakan. Namun demikian,
berdasarkan sebaran pemikiran yang
dikedepankannya, kita setidaknya
bisa melacak dan membuat
konstruksi berkenaan dengan
hal tersebut. Berikut
akan dijelaskan konstruksi
metodologi teologi feminisme Riffat Hassan.
Pertama, metode dekonstruksi.
Metode ini digunakan
Riffat sebagai sebuah keniscayaan
tidak lain karena
hakekat dicetuskannya ide
tentang teologi feminisme tidak
lain adalah untuk membongkar dan melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai
konsep keagamaan yang bias patriakhi. Menurut Riffat, adanya diskriminasi dan
segala bentuk ketidakadilan
yang menimpa kaum
perempuan dalam lingkungan umat
Islam bersumber dari
adanya pemahaman yang
bias dimana orientasi
patriarkhi sangat kental
mewarnai wajah-wajah pemahaman
alQur’an. Al-Qur’an adalah sumber
utama dan paling otoritatif dalam tradisi Islam. “Of all
the sources of
Islamic tradition, undoubtedly,
the most important
is the Qur’an which
is regarded by
Muslims in general,
as primary and
most authoritative sources of
normative Islam” demikian
Riffat Hasan menjelaskan.[3]
Kedua, metode hermeneutik. Salah
satu upaya signifikan
yang mesti dilakukan berkaitan
dengan adanya realitas ketidak adilan terhadap perempuan adalah dengan
melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an yang selama ini dijadikan
instrumen legitimasi bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap
perempuan. Dalam konteks ini metode hermeneutik menjadi sebuah keniscayaan.
Hermeneutik, sebagaimana asal katanya ‘hermeneutikos’ yang berarti ‘upaya
menjelaskan dan menelusuri’ adalah sebuah upaya menghadirkan, membaca, dan memaknai
kembali sebuah teks masa lalu
sehingga sesuai dengan
realitas kekinian. Carl Braaten dalam “History and Hermeneutics” secara
lebih detail menjelaskan bahwa
hermeneutik adalah “sebuah ilmu
yang mencoba menggambarkan bagaimana
sebuah kata atau
suatu kejadian dalam
waktu dan budaya lampau dapat
dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang”.[4]
Hermeneutik, dengan demikian,
dapat kita fahami
akan senantiasa melibatkan tiga hal mendasar yaitu teks, konteks dan
kontekstualisasi. Melalui metode hermeneutik ini Riffat melakukan pengkajian
kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dalam relasinya dengan teologi feminisme
yang dikonstruksinya.
Dalam kinerja hermeneutiknya, sebagaimana dijelaskan dalam Women’s
Interpretation of Islam, Riffat menggunakan tiga prinsip utama dalam
interpretasi, yaitu: Pertama, akurasi
linguistik. Prinsip ini pada dasarnya
berupaya untuk mendapatkan makna
sebuah terma atau
konsep secara tepat
dengan melihat dan merujuk kepada semua leksikon klasik dan
lain-lain apa yang dimaksud dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia
dipergunakan. Kedua, kriteria
konsistensi filosofis (criterion of philosophical consistency). Prinsip
ini adalah untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata (dalam
al-Qur’an) itu secara filosofis
konsisten dan tidak bertentangan.
Ketiga, kriteria etis (ethical
criterion). Prinsip ini digunakan sebagai acuan dan bingkai (frame)
utama dalam melakukan kritik, evaluasi dan sekaligus langkah progresif dalam
membaca al-Qur’an. “Apabila Tuhan
adil, keadilan itu
haruslah terefleksikan di dalam
al-Qur’an. Tuhan tidak dapat melakukan ketidakadilan. Apabila tampak
ketidakadilan di dalam al-Qur’an,
meskipun dari sudut pandang manusia, penafsir haruslah berupaya
mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya”.[5]
Kesimpulan
Riffat Hasan dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa
kecil yang tanpa keceriaan. Ia bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara
perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas
atas. Diusia ketujuh belas ia berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s
College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada
usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.
Menurutnya, perempuan juga mempunyai hak. Diantaranya adalah hak
dalam politik, hak dalam memilih pekerjaan, serta hak dan kewajiban belajar.
Refleksi pemikirannya terkait hal-hal tentang problem perempuan dalam islam,
dekontruksi tradisi islam, feminisme, dan transformasi sosial islam.
Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, Riffat
menggunakan pendekatan dua level yaitu: pendekatan ideal-normatif dan
pendekatan empiris. Melalui pendekatan-pendekatan terseut, ia merumuskan
metodologinya. Metode dekonstruksi dan metode hermeneutik.
Aplikasi metodologis ini
dapat dengan jelas
kita lihat misalnya ketika Riffat
menjelaskan dan melakukan reinterpretasi kata adam. Reinterpretasi ini menjadi
keniscayaan dalam konteks teologi feminismenya tidak lain karena sebagaimana
diketahui bahwa terdapat
asumsi teologis mendasar yang menjadikan perasaan superioritas laki-laki
atas perempuan, dari
sisi penciptaan, adam
adalah sosok mahluk pertama
maskulin dan berasal
dari padanya penciptaan Hawwa berasal. Riffat pun
mempertanyakan, benarkah adam
sebagai mahluk yang
pertama kali diciptakan
tersebut sosok laki-laki
sebagaimana yang menjadi
maistream pemikiran umat Islam
selama ini? Dalam
upaya pembacaan ulang
tersebut, Riffat melakukan pelacakan
terminologis untuk mendapatkan
maknanya yang akurat.
Kata adam adalah istilah
Ibrani berasal dari
kata adamah yang artinya tanah. Kata
yang muncul di
dalam al-Qur‟an sebanyak
dua puluh lima
kali ini dalam relasinya dengan
fenomena penciptaan manusia hanya muncul sekali, Surat Ali Imran, 3: 59 dan itu
pun hanya berbicara dalam konteks bahwa
adam adalah sosok mahluk
yang diciptakan dari
tanah dan sama sekali tidak menjelaskan secara eksplisit tentang
jenis kelaminnya.[6]
Pemaknaan bahwa adam
berjenis kelamin maskulin, menurut Riffat, tidak lain berasal dari
“analisis” linguistik yang selama
ini dilakukan oleh
para interpretator. Secara linguistik
kata benda itu memang maskulin namun bukan menyangkut
jenis kelamin, bahkan berdasarkan pemahaman
terhadap ayat-ayat lainnya
seperti surat al-A’raf,
7: 26, 27,
31, 35, 172; dan al-Isra’, 17:
70, istilah “adam” berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu kepada
seluruh manusia.[7]
Berdasarkan analisis tersebut sebuah kesimpulan meyakinkan yang
dapat ditarik, adalah tidak bisa langsung diartikan bahwa adam itu laki-laki.
“Al-Qur’an tidak pernah menyatakan
bahwa adam adalah
manusia pertama dan
tidak pula menyatakan bahwa
ia laki-laki”, demikian kata
Riffat. Hal ini
berarti bahwa pemahaman secara kontekstual
terhadap term adam
dan zauj sebagaimana
yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 35, al-A’raf, 7: 19 dan Taha,
20: 117 menjadi sebuah kemestian. Kata
zauj yang biasa
ditafsirkan sebagai “Hawwa”, bagi Riffat, menjadi
tidak relevan lagi.[8] Hal ini
tidak lain karena
kalau term adam tidak lagi dimaknai sebagai sosok
manusia maskulin, maka berarti kata
zauj tidak dapat dimaknai
sebagai ‘Hawwa’ yang
feminim. Itulah sebabnya Riffat memaknainya secara
kontekstual sebagai sesuatu yang menunjukkan terhadap pengalaman hidup
manusia secara kolektif,
laki-laki dan perempuan
secara bersama-sama. Melalui
pembacaan ulang sebagaimana di atas, secara jelas Riffat telah melakukan kontekstualisasi
terhadap teks al-Qur’an. part 1 part 2
[1]
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),
h.87
[2]
Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder
(ed.), The Study of the Middle East, (Canada: John Wiley & Sons,
Inc., 1976), h.31
[3]
Riffat Hassan, Are Human Right Compatible with Islam? The Issue of the Right of
Women in Muslim Communities, dalam Jurnal Profetika, Vol 3, No. 1, Jauarri
2001, h.26
[4] Carl
Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: Forterrs, 1966,
h.131
[5]
Riffat Hassan, Women’s Interprretation of Islam, dalam Hans Thijsen (ed.), Women
and Islam in Muslim Society, (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994),
h.116
[6]
Ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah
adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian
Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”.(Q.S. Ali Imran, 3:
59.
[7] Fatima
Mernisi dan Riffat Hassan, Op.Cit., h.58
[8] Ibid,
h.59-60
No comments:
Post a Comment